Hari itu Alma berangkat bekerja seperti biasa. Dia sudah sampai di perusahaan. Saat akan masuk lift, Alma melihat banyak staf yang memandang padanya, bahkan mereka saling bisik seolah mengabaikan keberadaannya di sana. Meskipun Alma tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dia merasa aneh. Hingga Alma memilih diam lalu masuk ke lift yang sama dengan para staf. Alma berdiri diam meski para staf menatapnya aneh. Dia melihat ke angka berjalan yang ada di atas pintu lift, begitu pintu terbuka di lantai ruangan Haris berada, Alma langsung keluar dari sana. Setelah menaruh tas di mejanya, Alma pergi ke ruangan Haris untuk membereskan meja Haris seperti biasa. Saat dia sibuk menata berkas kemarin agar siap diperiksa ketika Haris datang, ternyata pria itu sudah masuk ke ruangan. “Kamu datang pagi sekali?” Alma terkejut mendengar suara Haris sampai menoleh dengan cepat. “Anda yang datang lebih awal, Pak.” Alma membalas sopan. Haris hanya mengangguk. Tanpa Alma ketahui, ternyat
Di sisi lain, tanpa sepengetahuan Adhitama. Risha pergi ke rumah sakit karena merasa kurang sehat. Risha tahu hanya akan membuat Adhitama cemas jika mengeluhkan kondisinya, hingga diam-diam dia memilih menemui dokter. “Saya mau periksa karena kaki saya bengkak sampai seperti ini,” kata Risha sambil memperlihatkan kedua kakinya saat sudah berada di dalam ruangan dokter. “Kenapa bisa sampai sebengkak ini? Apa Anda kurang gerak?” tanya dokter memastikan. “Saya melakukan kegiatan seperti biasa. Tidak banyak duduk juga tidak banyak jalan. Saya tidak tahu kenapa bisa sebengkak ini,” kata Risha menjelaskan. Dokter mencoba mengamati kaki Risha, lalu berkata, “Saya menyarankan agar Anda melakukan tes urine.” Risha setuju. Setelahnya dia memberikan sampel urine untuk tes laboratorium. Risha tidak pulang dan menunggu karena dokter meminta tes urine Risha diselesaikan hari itu juga. Risha akhirnya menunggu hasil laboratorium keluar. Dia duduk dengan ekspresi wajah bingung karena memikirka
Malam itu Risha dan Adhitama mengundang Alma dan Haris untuk makan malam di rumah. Risha bahkan mendatangkan chef ternama untuk menghidangkan makanan spesial untuk mereka. Setelah duduk di meja makan, Haris menyadari ada sesuatu yang kurang. Lily tidak ada bersama mereka di sana. “Di mana Lily?” tanya Haris. Dia memang tidak melihat gadis kecil itu menyambutnya datang tadi. “Oh, Lily sepertinya kecapean karena ada kegiatan fieldtrip di sekolah, jadi dia tidur lebih awal,” jawab Risha. Haris mengangguk. Dia menoleh pada Alma yang agak canggung karena diundang Risha ke sana. Alma duduk di sebelah Haris dan masih terlihat kurang nyaman. “Ayo makan!” ajak Risha sambil menatap pada Alma. Alma mengangguk. Mereka akhirnya menikmati hidangan malam itu sambil membahas hal-hal random. Hingga Risha memandang Alma kemudian bertanya — “Sudah berapa bulan usia kandunganmu?” Alma terkejut mendengar pertanyaan Risha, sampai-sampai dia menoleh pada Haris. “Sudah sebelas minggu
Adhitama dan Risha melihat Lily di kamar setelah Alma dan Haris pulang. Mereka hanya berdiri di ambang pintu memperhatikan Lily yang benar-benar masih terlelap.Adhitama menutup pintu dengan sangat pelan, dia bahkan mengecilkan volume suaranya meski pintu itu sudah tertutup rapat.“Ayo ke kamar,” ucap Adhitama Risha mengangguk, tersenyum saat Adhitama menggandengnya erat. Risha tak pernah membayangkan pernikahannya dengan Adhitama bisa berubah sehangat ini. Dia menunduk mengekori langkah suaminya, sampai beberapa detik kemudian kaget mendengar pertanyaan Adhitama.“Kakimu, kenapa bengkak?”Risha yang sejak kemarin ingin menyembunyikan kondisinya dari Adhitama mencoba untuk berkilah.“Sepertinya karena memakai sepatu yang sempit seharian Mas,” balas Risha.Adhitama diam, dia memandang Risha seolah menuntut penjelasan lain yang lebih masuk akal.Namun, Risha masih saja memberikan alasan yang sama.“Tidak, kamu pikir aku tidak tahu? Atau kamu pikir aku bodoh? Ayo kita ke UGD,” ucap Adhi
Risha menjalani pagi itu seperti biasa, dia menunjukkan senyuman hangat ke Lily. Menunggui anak itu mandi bahkan menyisir rambut Lily dan mengepangnya rapi. Hari itu entah apa yang akan terjadi, Risha pasrah saja jika dokter yang akan dia datangi bersama Adhitama nanti memintanya untuk merelakan calon adik Lily. "Bunda, kapan aku bisa ketemu adik bayi?" Risha masih sibuk mengepang rambut Lily saat anak itu tiba-tiba saja bertanya. Sesak dada Risha mendengar kalau Lily sangat menginginkan adik. Lily bahkan Risha rasa berbeda. Jika anak lain biasanya enggan memiliki saudara karena takut kasih sayang orangtuanya terbagi, Lily malah sangat antusias menunggu kelahiran sang adik. "Em... nanti juga Lily bakal ketemu adik," jawab Risha. Dia berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya dengan memulas senyum. Mereka sedang menghadap kaca, Risha tak mau sampai Lily melihat kesedihan di raut wajahnya. "Bunda, Papa hari ini libur ya? Kok masih belum siap." Perkataan Lily mem
Alma masih merasa kurang nyaman saat berangkat ke kantor. Semua pandangan staf tampak berbeda dan semakin jelas seperti membencinya. Alma berdiri di depan pintu lift membiarkan staf lain berbisik-bisik di belakangnya, bahkan saat pintu lift terbuka, mereka membiarkan Alma masuk sendiri ke lift. Alma mengerutkan kening, dia sampai bertanya" Kenapa kalian tidak masuk?" Para staf itu hanya menatap datar Alma, hingga salah satunya menjawab," Tidak apa-apa, kami bisa menunggu lift lain." Alma semakin sedih, apa di mata orang lain dia sangat hina hanya karena dekat dengan Haris. Alma melepas tombol lift yang tadi dia tahan agar pintu tetap terbuka, di saat itu dia melihat para staf yang ada di depan menyingkir memberi jalan pada seseorang. Alma mendongak, dia melihat Andre masuk lalu menekan tombol agar lift itu tertutup. Alma hanya bisa membeku memandang Andre, tiba-tiba saja air matanya menetes. Andre menoleh memandang Alma. Dia merasa kasihan ke wanita itu lalu menepuk lembut le
Alma menghentikan langkah kakinya saat hampir tiba di pantry. Bukan tanpa alasan, dia melihat beberapa staff berada di sana dan berpikir mereka pasti akan menggunjingnya lagi.Meski memiliki perasaan seperti itu, tapi Alma tetap menguatkan diri menghadapi apa yang terjadi. Dia melangkah, mengambil cangkir lalu membuat teh seperti biasa.Alma merasa sedikit aneh. Apa yang dia takutkan ternyata tidak terjadi. Staf yang dia pikir akan mengejek atau berkata buruk kepadanya memilih pergi.Alma menggeleng pelan, membuat teh kemudian kembali ke ruang kerja Haris untuk memberikan minuman itu.“Ini teh Anda, Pak.” Alma meletakkan cangkir ke meja. Dia tidak langsung pergi dari sana tapi memilih untuk menunggu Haris bereaksi.“Terima kasih,” balas Haris tanpa memandang Alma.Alma yang mendapati sikap Haris seperti ini menjadi berkecil hati, dia merasa sudah membuat kesalahan tapi tidak mengerti kesalahan apa yang sudah dia buat.“Kalau sudah tidak ada lagi yang Anda butuhkan, saya pamit kembali
Sore itu Roshadi menerima panggilan dari Adhitama yang ingin mengajaknya bertemu. Meski terkejut, tapi Roshadi juga sangat senang, apalagi Adhitama yang berinisiatif mengajaknya lebih dulu. Bukankah sudah lama mereka tidak berhubungan baik seperti ini, Roshadi benar-benar lega dengan perubahan sikap Adhitama padanya. Adhitama mengajak Roshadi bertemu di lapangan golf. Pria itu sendiri berpikir jika Adhitama ingin membahas soal pekerjaan. Roshadi dan Adhitama sudah berada di lapangan dan siap bermain. Adhitama memegang stick golf dan memukul bola. Suami Risha itu menatap ke arah bola itu melesat kemudian menoleh Roshadi. “Sebenarnya, ini adalah impianku sejak dulu, bisa bermain seperti ini bersama Papa, tapi impian yang sangat sederhana itu tidak pernah terlaksana,” ucap Adhitama. Roshadi mengangguk-angguk, mereka berjalan menuju bola lalu Adhitama kembali memukul bolanya sampai terlempar jauh dan jatuh ke arah lubang berada. Roshadi menatap Adhitama. "Apa ada masalah?” tan
Haris tak punya pilihan selain pergi ke Mahesa. Setelah sarapan dia pamit ke Alma yang tampak masih saja mencemaskan kondisinya. Tanpa Haris tahu, Alma takut jika sampai Haris kenapa-napa. Dia khawatir dan berpikiran negatif pada Adhitama. 'Bagaimana kalau setelah sampai di sana tiba-tiba sudah ada polisi dan Haris ditangkap?' Sebaik-baiknya Adhitama yang dia tahu, tapi mengingat bagaimana sikap Risha tempo hari membuat Alma khawatir. "Kabari aku kalau sudah sampai Mahesa ya," ucap Alma. Dia berdiri di depan Haris yang tampak gagah seperti biasa. "Aku pasti akan mengabarimu, baik-baik di rumah dan jangan pergi ke mana-mana, aku akan menyelesaikan masalah secepatnya dan langsung pulang," kata Haris. Alma mengangguk, dia meminta Haris hati-hati sesaat sebelum pria itu naik ke taksi online yang sudah dipesan. Alma melambaikan tangan, dia berniat masuk ke dalam setelah taksi yang suaminya tumpangi pergi, akan tetapi tetangganya yang kebetulan melintas lebih dulu menyapa.
Meski curiga dengan kedatangan Rara dan sikap Haris setelahnya, tapi Alma masih bisa bersikap biasa. Seperti saat menjelang tidur malam ini, Alma yang baru saja memastikan semua pintu sudah tertutup mendekat ke lemari untuk mengambil selimut. Dia tersenyum pada Haris yang tampak bersandar pada kepala ranjang sambil menonton berita dari televisi berukuran tak seberapa. "Kamu pasti merasa aneh, karena TV di kamarku hanya sebesar tempe," kata Alma. Dia mendekat ke ranjang lalu membentangkan selimut menutupi kakinya dan Haris. Mendengar ucapan merendah Alma yang lucu, Haris hanya tertawa. "Masih bagus masih bisa nonton TV," balas Haris. Alma hanya tersenyum simpul, dia mengatur bantalnya lalu tiduran miring memandang Haris yang masih duduk. "Pak Haris!" Alma iseng memanggil suaminya lalu terkekeh kecil. Haris menoleh sambil menekuk bibir, tangannya terulur melewati kepala Alma lalu membelai pipi wanita itu. "Bapak kenapa bisa ganteng banget? Makan apa dulu waktu kecil?" Haris ma
Rara menatap Alma yang berdiri di hadapannya. Dia sengaja datang ke sana karena kesal Adhitama memecatnya. Bahkan Rara berniat memberitahukan kebohongan Haris pada Alma, juga taruhan mereka. “Ada perlu apa?” tanya Alma lagi karena Rara tidak kunjung menjawab. Saat Rara hendak bicara, dia melihat Haris keluar dan membuat Rara memilih menahan diri. Sementara itu Haris jelas terkejut melihat Rara berada di sana. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Haris tanpa basa-basi. Dia takut jika Rara sampai bicara macam-macam ke Alma. “Oh, aku ke sini ingin mengantar dokumen saja. Tadi mampir ke rumahmu, tapi kata pembantumu kamu pergi dan mungkin ada di rumah Alma,” jawab Rara. Alma tidak memiliki perasaan curiga sama sekali. Dia malah mempersilakan Rara masuk. “Aku buatkan minum dulu,” ucap Alma setelah Rara duduk. Haris memandang Alma yang berjalan ke dapur, begitu Alma sudah menghilang dari pandangan, Haris langsung menatap benci pada Rara. “Apa maksudmu datang ke sini?” Haris mengam
Beberapa saat berselang Alma sudah selesai berbelanja di warung. Dia langsung pulang sambil tersenyum membawa belanjaan yang dibelinya. “Aku sudah beli kebutuhan kita, kamu jangan cemas,” ucap Alma dengan bangga memperlihatkan apa yang dibawanya pada Haris. Haris merespon dengan senyuman saat melihat Alma tersenyum lepas. Alma pergi ke dapur untuk memasak, lalu Haris menyusul. “Biar aku bantu,” ucap Haris sambil membuka kantong plastik berisi belanjaan Alma. “Tidak usah, kamu tunggu saja,” tolak Alma. “Aku bisa bantu,” kekeh Haris. Alma menatap Haris yang memaksa, lalu akhirnya membiarkan saja Haris membantu. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Haris.Alma sejenak tampak berpikir sebelum menjawab, “Bantu saja aku mengupas bawang." “Bawang yang mana?” tanya Haris menatap bawang putih dan merah di meja. “Semuanya, bawang merahnya lima biji, bawang putihnya empat,” jawab Alma. Haris mengangguk. Dia mulai mengupas bawang merah lebih dulu. Awalnya biasa saja, tapi saat mengupas
Perasaan Haris tak karuan, apalagi Alma tak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah biasa hidup sederhana,” ujar Alma menjawab pertanyaan Haris. Haris terkejut. Dia malah tampak seperti orang putus asa di mata Alma, hingga istrinya itu tiba-tiba memeluk dirinya. “Kita pasti bisa melewati ini semua, semua akan baik-baik saja,” ucap Alma sambil mengusap lembut punggung Haris. Alma bahkan masih bisa memulas senyuman hangat. Haris tiba-tiba merasa bersalah karena sudah membohongi Alma, tapi mau bagaimana lagi, dia harus membuat Rara kalah dan pergi jauh dari kehidupannya dan Alma untuk selamanya. ** Keesokan harinya. Haris dan Alma sudah mengemas barang mereka, keduanya menemui pembantu dan membuat mereka bingung karena Haris dan Alma membawa koper. “Kami pamit dulu, Bi,” kata Haris. “Memangnya Tuan mau ke mana? Liburan?” tanya pembantu. Haris dan Alma saling tatap, lalu Haris menjawab, “Mulai saat ini kami akan pindah dari rumah ini.”
Hari itu karena masih belum mendapat sekretaris pengganti, Haris pergi makan siang di kantin. Saat sedang makan. Rara tiba-tiba mendekati Haris karena melihat pria itu duduk sendirian. “Kamu sendirian?” tanya Rara lalu langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Haris. Haris terkejut Rara muncul di sana dan langsung duduk, tapi dia membiarkan saja. “Selamat untuk pernikahanmu,” ucap Rara. “Terima kasih,” balas Haris singkat. Haris melanjutkan makan. Dia tidak memedulikan keberadaan Rara di depannya. Namun, saat Haris masih sibuk makan, tiba-tiba Rara kembali bicara. “Apa kamu yakin kalau Alma mencintaimu bukan karena hartamu?” tanya Rara memancing. Haris melirik tajam pada Rara, lalu membalas, “Jangan berpikiran buruk apalagi menjelek-jelekkan istriku.” “Aku tidak menjelekkan, hanya saja semua orang juga berpikir sama denganku,” ujar Rara sambil melirik ke samping. Rara yakin karyawan yang berada di sana sedang memperhatikannya dan Haris. Haris ingin mengaba
Pagi itu, Haris sedang menatap layar laptopnya. Ketukan pintu pelan membuatnya menoleh. Kepala HRD Mahesa melangkah masuk dengan membawa map tebal."Selamat pagi, Pak Haris," sapa wanita itu sopan."Pagi. Silakan duduk, Bu Mira," jawab Haris sambil berdiri dari kursi empuknya menuju sofa.Haris bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Padahal dulu dia pernah marah ke wanita itu.Mira tersenyum kecil sambil membuka map di tangannya. "Saya ke sini untuk membahas soal sekretaris baru yang akan ditugaskan ke Bapak. Ada beberapa kandidat yang sudah kami seleksi, tapi kami ingin tahu lebih detail mengenai kriteria yang Bapak inginkan."Haris menyandarkan punggung dan melipat tangan di depan dada. "Maaf, aku lupa bilang semoga tidak terlambat memberitahu, yang paling penting aku ingin sekretarisku berjenis kelamin laki-laki."Mira terlihat sedikit terkejut. "Oh, apakah ada alasan khusus, Pak?""Alasannya simpel," jawab Haris dengan nada tenang. "Aku lebih nyaman bekerj
Pagi pertama sebagai pengantin baru terasa berbeda. Haris membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya yang masih berat. Sinar matahari yang menyusup melalui sela-sela tirai kamar membuat Haris menyadari bahwa hari baru telah tiba. Di sisinya, Alma masih terlelap dengan posisi miring ke arahnya, wajah wanita itu terlihat damai dan polos. Haris tersenyum sendiri, tangannya bergerak lembut membelai rambut istrinya. "Alma, bangun, ini sudah pagi," bisik Haris. Suaranya hangat namun cukup untuk membuat Alma mengerutkan kening kecil. "Hmm... ya ampun, maaf aku bangun kesiangan," jawab Alma sambil bergeser sedikit sambil berusaha membuka matanya. "Tidak apa-apa! Hari ini spesial, hari pertama kita jadi suami-istri," kata Haris sambil terkekeh. Mendengar itu, Alma membuka matanya lebar, dia menatap Haris yang tersenyum penuh cinta di depannya. Pipi Alma langsung merona. "Kita sudah menikah ya? Rasanya masih seperti mimpi buatku." Haris mengangguk sambil mera
Haris benar-benar menunggu Alma. Dia berdiri di kamar sambil melihat Alma mengambil baju di lemari juga beberapa barang pribadi lainnya.“Sudah?” tanya Haris ketika Alma berjalan ke arahnya.“Sudah,” jawab Alma dengan kedua tangan penuh pakaian.Haris membantu membawa pakaian Alma dan kembali ke kamarnya.“Aku mau mandi dulu, setelah itu nanti kamu,” kata Alma sambil meletakkan pakaiannya di sofa.Haris hanya mengangguk dan menuruti keinginan Alma.Alma masuk kamar mandi dan membersihkan diri, baru setelahnya bergantian dengan Haris. Alma agak canggung, apalagi saat keluar dari kamar mandi Haris memandangnya tanpa berkedip.Alma tak mau menatap wajah Haris, dia langsung duduk dan membiarkan pria itu masuk ke kamar mandi.Saat Haris masih di kamar mandi, Alma bingung harus melakukan apa. Bahkan dia takut naik ke ranjang, sehingga memilih duduk di sofa yang ada di kamar sambil menyalakan televisi.Alma merasa aneh. Jantungnya berdegup tak karuan, sampai-sampai dadanya berdebar cepat kar