Risha menjalani pagi itu seperti biasa, dia menunjukkan senyuman hangat ke Lily. Menunggui anak itu mandi bahkan menyisir rambut Lily dan mengepangnya rapi. Hari itu entah apa yang akan terjadi, Risha pasrah saja jika dokter yang akan dia datangi bersama Adhitama nanti memintanya untuk merelakan calon adik Lily. "Bunda, kapan aku bisa ketemu adik bayi?" Risha masih sibuk mengepang rambut Lily saat anak itu tiba-tiba saja bertanya. Sesak dada Risha mendengar kalau Lily sangat menginginkan adik. Lily bahkan Risha rasa berbeda. Jika anak lain biasanya enggan memiliki saudara karena takut kasih sayang orangtuanya terbagi, Lily malah sangat antusias menunggu kelahiran sang adik. "Em... nanti juga Lily bakal ketemu adik," jawab Risha. Dia berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya dengan memulas senyum. Mereka sedang menghadap kaca, Risha tak mau sampai Lily melihat kesedihan di raut wajahnya. "Bunda, Papa hari ini libur ya? Kok masih belum siap." Perkataan Lily mem
Alma masih merasa kurang nyaman saat berangkat ke kantor. Semua pandangan staf tampak berbeda dan semakin jelas seperti membencinya. Alma berdiri di depan pintu lift membiarkan staf lain berbisik-bisik di belakangnya, bahkan saat pintu lift terbuka, mereka membiarkan Alma masuk sendiri ke lift. Alma mengerutkan kening, dia sampai bertanya" Kenapa kalian tidak masuk?" Para staf itu hanya menatap datar Alma, hingga salah satunya menjawab," Tidak apa-apa, kami bisa menunggu lift lain." Alma semakin sedih, apa di mata orang lain dia sangat hina hanya karena dekat dengan Haris. Alma melepas tombol lift yang tadi dia tahan agar pintu tetap terbuka, di saat itu dia melihat para staf yang ada di depan menyingkir memberi jalan pada seseorang. Alma mendongak, dia melihat Andre masuk lalu menekan tombol agar lift itu tertutup. Alma hanya bisa membeku memandang Andre, tiba-tiba saja air matanya menetes. Andre menoleh memandang Alma. Dia merasa kasihan ke wanita itu lalu menepuk lembut le
Alma menghentikan langkah kakinya saat hampir tiba di pantry. Bukan tanpa alasan, dia melihat beberapa staff berada di sana dan berpikir mereka pasti akan menggunjingnya lagi.Meski memiliki perasaan seperti itu, tapi Alma tetap menguatkan diri menghadapi apa yang terjadi. Dia melangkah, mengambil cangkir lalu membuat teh seperti biasa.Alma merasa sedikit aneh. Apa yang dia takutkan ternyata tidak terjadi. Staf yang dia pikir akan mengejek atau berkata buruk kepadanya memilih pergi.Alma menggeleng pelan, membuat teh kemudian kembali ke ruang kerja Haris untuk memberikan minuman itu.“Ini teh Anda, Pak.” Alma meletakkan cangkir ke meja. Dia tidak langsung pergi dari sana tapi memilih untuk menunggu Haris bereaksi.“Terima kasih,” balas Haris tanpa memandang Alma.Alma yang mendapati sikap Haris seperti ini menjadi berkecil hati, dia merasa sudah membuat kesalahan tapi tidak mengerti kesalahan apa yang sudah dia buat.“Kalau sudah tidak ada lagi yang Anda butuhkan, saya pamit kembali
Sore itu Roshadi menerima panggilan dari Adhitama yang ingin mengajaknya bertemu. Meski terkejut, tapi Roshadi juga sangat senang, apalagi Adhitama yang berinisiatif mengajaknya lebih dulu. Bukankah sudah lama mereka tidak berhubungan baik seperti ini, Roshadi benar-benar lega dengan perubahan sikap Adhitama padanya. Adhitama mengajak Roshadi bertemu di lapangan golf. Pria itu sendiri berpikir jika Adhitama ingin membahas soal pekerjaan. Roshadi dan Adhitama sudah berada di lapangan dan siap bermain. Adhitama memegang stick golf dan memukul bola. Suami Risha itu menatap ke arah bola itu melesat kemudian menoleh Roshadi. “Sebenarnya, ini adalah impianku sejak dulu, bisa bermain seperti ini bersama Papa, tapi impian yang sangat sederhana itu tidak pernah terlaksana,” ucap Adhitama. Roshadi mengangguk-angguk, mereka berjalan menuju bola lalu Adhitama kembali memukul bolanya sampai terlempar jauh dan jatuh ke arah lubang berada. Roshadi menatap Adhitama. "Apa ada masalah?” tan
Setelah meminta izin dadakan ke Adhitama, Risha pergi ke rumah Alma untuk mengajak pergi. Risha menunjukkan senyumannya seolah menutupi kenyataan pahit yang sebentar lagi akan dia hadapi. Kedatangannya membuat Alma penasaran apa yang mungkin akan dia lakukan. “Apa kamu sudah benar-benar keluar dari Mahesa?” tanya Risha sesaat setelah Alma membuka pintu rumah. “Hari ini aku sudah izin tidak masuk, besok baru akan mengambil barang-barang di kantor,” jawab Alma. “Apa Kak Haris bertanya, kamu izin hari ini untuk apa?” tanya Risha. “Iya, dia sempat khawatir kalau aku kenapa-kenapa,” jawab Alma. “Lihat! Kecemasasannya saja sudah menunjukkan kalau Kak Haris memang memiliki perasaan padamu. Tapi kenapa kamu masih ragu?” tanya Risha sambil menatap Alma. Alma diam tak bisa menjawab. Dia akhirnya mengalihkan pembicaraan. “Apa sebenarnya rencana Kakak?” tanya Alma. Risha tersenyum lalu membalas, “Nanti kamu akan tahu. Sekarang berkemaslah, bawa beberapa pakaian.” Alma mengeru
Jam menunjukkan pukul sebelas malam dan semua orang yang ada di villa sudah terlelap tidur. Namun, Risha tampak berada dia ambang pintu menatap ke arah penjaga yang sedang membukakan pagar. Risha memulas senyum, satu unit mobil yang sangat dia kenali masuk ke dalam lalu berhenti. Senyuman wanita itu semakin lebar kala mendapati Adhitama keluar lalu berbicara sejenak dengan si penjaga villa. Risha berjalan mendekat sambil tertawa karena melihat wajah Adhitama masam. Adhitama tiba-tiba menyentil kening Risha saat mereka berhadap-hadapan. "Aduh! Sakit tahu Mas," keluh Risha. Dia seketika diam melihat wajah dingin Adhitama.Risha tak berani marah dan malah tertawa, dia melingkarkan tangan ke pinggang Adhitama memeluk untuk merayu pria itu. "Bisa-bisanya!" ucap Adhitama. Risha tahu kalau Adhitama tidak akan marah padanya. Suaminya itu bahkan sudah membalas memeluk dan terasa lebih erat dari pelukan Risha. "Aku tahu Mas Tama pasti akan menyusul ke sini," ucap Risha, dia tert
Risha membuat Adhitama tersenyum bahagia dengan pelayanannya yang memuaskan di atas ranjang. Adhitama bahkan sampai menutup wajah menggunakan selimut sambil sesekali menginitp Risha yang sudah bangkit hendak membersihkan diri. Risha hanya tersenyum dan melenggang masuk ke kamar mandi, tapi tak lama Adhitama ternyata menyusul masuk. “Kenapa Mas Tama ikut?” tanya Risha keheranan. “Kita gantian saja,” imbuhnya. “Aku tiba-tiba saja lapar,” jawab Adhitama. Risha membenarkan pakaiannya dan mengerutkan dahi. “Bukannya tadi bilang mau makan malam sama Papa?” “Iya sudah, tapi hanya sedikit karena buru-buru ingin menyusulmu ke sini,” balas Adhitama. “Dasar Mas Tama ini.” Risha menggeleng sambil menahan tawa. “Ya sudah, aku keluar dulu melihat di kulkas ada stok apa yang bisa dimasak,” ujarnya. “Tidak usah saja, lagipula ini hampir jam satu malam. Aku tidak mau malam-malam makan yang mengandung karbo, nanti perutku jadi gendut dan tidak sixpack lagi,” tolak Adhitama. Risha me
Di kamarnya, beberapa waktu yang lalu Alma masih belum bisa tidur meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Alma membaca ulang beberapa pesan Haris. Dia ingin membalas, tapi karena Risha sudah melarangnya, membuat Alma memilih mengabaikan. [Kamu pergi ke mana?] [Kenapa tidak menjawab panggilanku?] [Apa aku ada salah, sampai kamu mengabaikanku?] [Alma, setidaknya jawab pesanku kalau tidak mau mengangkat telponku agar aku tahu kamu baik-baik saja.] “Sekarang dia seperti sangat mencemaskanku, tapi kenapa kemarin dia begitu cuek?” gumam Alma. Alma mengusap perutnya. Dia diam dan berpikir. “Meski tanpa tanggungjawab Pak Haris, aku pasti masih bisa membesarkannya sendiri,” gumam Alma. Alma memandangi ponsel sambil berbaring, hingga tanpa sadar dia pun mengantuk sampai akhirnya tertidur begitu saja. ** Keesokan harinya. Semua orang sudah bangun. Alma keluar dari kamar untuk menghirup udara pagi, sampai dia terkejut ketika melihat Adhitama di sana. Alma melihat Lily yang
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin