"Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya.
"Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri."Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah."Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi.."Oh! Kamu membantah perintah saya? Orang kampung memang begini!" Meli marah kedua tangannya dilipat di dadanya. Meli benar-benar keterlaluan berlagak layaknya majikan yang menyuruh pembantunya."Bukan begitu, Bu!""Kalau kamu tidak mau, harusnya kamu tahu diri dong! Sudah numpang, dimintain tolong begini saja tidak mau!" Entah kenapa ucapan dari mulut Meli benar-benar menguji kesabaran Faridah."Maaf, Bu. Jika memang ini imbalan yang harus saya berikan karena menumpang, saya akan mundur. Lebih baik saya pulang kampung daripada harga diri saya diinjak-injak seperti ini!" Ucapan begitu lancar dari mulut Faridah membuat Meli gelagapan. Meli terkejut dengan keberanian Faridah saat ini."Heh, Faridah! Mana ada orang kampung dan miskin punya harga diri?" Tanpa berpikir panjang, Faridah ke kamar dan mengemas semua baju-bajunya."Nenek mau kemana?" Hati hancur ketika harus berpisah dengan Keynan, cucu yang selalu membuatnya terus bersabar. Namun kali ini benar-benar tidak bisa dibiarkan."Nenek pulang kampung, Nak. Keynan sama Oma Meli ya, Keynan harus jadi anak baik!" Ingin sekali Faridah mengajak Keynan tinggal di kampung, tapi apa yang akan terjadi jika mertua Weni tidak setuju.Meli terkejut melihat Faridah keluar dari kamar menenteng tas cukup besar berisi beberapa helai baju. Meli benar-benar mati kutu melihat Faridah keluar dari rumah akibat ulahnya."Aku harus cari alasan wanita ini pergi" gumam Meli."Saya titip Keynan kepada anda, Bu Meli. Orang kampung ini saatnya pamit dari kediaman orang kota seperti anda!"Faridah berlalu meninggalkan Keynan bersama Meli. Sebisa mungkin Faridah mengabaikan panggilan Keynan yang memintanya kembali. Andai hanya Weni yang berkata kasar, pasti Faridah akan memaafkannya. Namun jika keluarga Weni yang lain menginjak harga dirinya, Faridah lebih memilih mundur dan mengalah."Bu!" Faridah menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Ratna berdiri tak jauh dari mobil Meli."Nak Ratna," Ratna gegas menghampiri Faridah. Ratna melihat ada yang tidak beres dengan sikap Faridah apalagi sebuah tas besar berada di genggaman tangannya."Ibu mau kemana?""Pulang kampung, Nak. Ibu pamit ya, jaga dirimu baik-baik!" Faridah mengusap kepala Ratna. Ratna merasa begitu berat harus berpisah dengan sosok ibu yang sudah dianggapnya ibu kandung sendiri."Bu, ini ada sedikit bekal. Dipakai ya?" Ratna menyelipkan dua lembar uang pecahan seratus ribuan kepada Faridah. Faridah hendak menolaknya namun dengan kemauan Ratna, Faridah terpaksa menerimanya. Ratna tahu jika Faridah tak tahan dengan sikap anak dan mertuanya."Ini alamat ibu di kampung, jika Nak Ratna mau kesana, bisa datang ke alamat ini!" Faridah memberikan secarik kertas berisi alamat rumahnya sebelum berangkat dengan jasa ojek yang mangkal tak jauh dari rumah Weni.Sepanjang perjalanan, Faridah tak hentinya mengucapkan istighfar. Ucapan dan perlakuan yang diterimanya saat bersama Weni sangat menyakiti hatinya."Ya Allah, maafkan hambamu tak bisa menjaga cucu hamba. Semoga hati Weni berubah, engkau adalah dzat yang mampu membolak balikkan perasaan manusia," perjalanan berganti dengan menggunakan bis kota yang mengantarkannya ke kampung. Kampung yang subur dan selalu menjadi harapan petani. Dua jam, Faridah sudah sampai di kampungnya. Faridah menggunakan jasa becak supaya segera sampai ke rumahnya.Rumah tak mewah namun membuatnya cukup nyaman. Dibuka pintu rumahnya, suasana begitu sepi tanpa suaminya.Tok tok tok"Assalamu alaikum," terdengar suara Fatma. Salah satu tetangganya memberitahu Fatma atas kepulangan ibunya."Waalaikum salam," Faridah gegas keluar. Fatma mencium punggung telapak tangan dan berpelukan."Bu," tak ada yang bisa Fatma tanyakan, lidah terasa kelu. Fatma bisa menebak yang terjadi pada ibunya."Ibu tidak apa-apa, Nak. Ibu selalu baik-baik saja," Faridah mengusap bahu Fatma supaya tetap tenang.Faridah dibantu Fatma merapikan semua barang-barang yang sempat dimasukkan ke lemari karena ditinggal ke kota sementara. Faridah merasa lebih tenang bisa kembali ke rumah peninggalan suaminya. Ada rasa yang mengganjal, teringat perlakuan Weni pada Keynan. Ingin hati kembali menjaga Keynan namun langkah terasa berat untuk kembali. Hanya doa yang selalu dipanjatkan demi kebahagiaan Keynan."Assalamu alaikum," suara Ridho terdengar dari luar. Fatma gegas keluar dan mempersilahkan Ridho masuk. Ridho ternyata membawakan istri dan ibu mertuanya dua bungkus makan siang."Terima kasih, Nak Ridho. Ibu bangga pada kalian berdua," mereka makan siang berdua sedangkan Ridho kembali mengajar ngaji di siang hari sebagai kegiatan ekstra di lembaga pendidikan.Meli gelisah karena Faridah memutuskan pulang, tak ada lagi menu makanan enak yang bisa disajikan saat ada acara."Duh, gimana nih? Aku harus telepon Weni dan mengatakan jika ibunya tidak mau lagi tinggal disini!" Weni menghubungi Weni dan mengatakan kebohongannya kepada Weni. Weni yang selalu percaya kepada mertuanya begitu marah dengan alasan yang diberikan mertuanya. Tak sekalipun dirinya peduli kepada Faridah.Di seberang sana, Weni mulai termakan omongan ibu mertuanya. Seketika emosi naik dan ingin memarahi ibunya. Dicarinya nomor Fatma memastikan ibunya sudah di rumah. Weni bertambah kesal karena beberapa kali menghubungi Fatma tak ada sahutan sama sekali."Brengsek! Kemana anak itu!" Weni mengumpat sendirian di ruang kerjanya."Bisa-bisanya dia meninggalkan rumah dan membiarkan Keynan bersama Mama!""Anak udik itu lagi, ponselnya dibuang atau gimana sih. Sedari tadi dipanggil tidak diangkat!"Keynan merengek minta makan namun Meli mengabaikannya dan malah membentaknya. Keynan bahkan hampir menangis karena Meli tak bisa mengerti keinginannya."Oma, Keynan lapar!""Apaan sih, nih kue buat pengganjal perutmu sampai Mamamu datang!" Meli kesal dan terpaksa memberikan sepotong kue untuk Keynan. Keynan terpaksa memakan kue karena takut dengan Meli.Hari semakin sore, Meli yang perutnya juga lapar terpaksa membuat makanan untuknya dan Keynan. Hanya dengan telor ceplok dan kecap, sudah membuat Keynan lahap makan. Sedangkan Meli, bukan hanya telur ceplok namun beberapa lauk frozen food pun digoreng untuk dirinya sendiri tanpa mau berbagi dengan Keynan."Nek, Keynan mau sosis," Keynan tergiur saat Meli begitu lahap menikmati sosis bersama telur dan beberapa lauk lain sedangkan dirinya hanya mendapat jatah satu telur ceplok."Tidak usah, anak kecil jangan makan banyak-banyak!" Terlihat rakus sekali saat Meli makan. Keynan terpaksa menahan air liur saat makanan kesukaannya dilahap habis oleh Omanya. Sangat berbeda dengan Faridah, Faridah akan selalu mengedepankan cucunya daripada dirinya. Tak berapa lama terdengar deru mobil Weni memasuki halaman rumah. "Heh, Bocah. Kamu masuk ke kamar sekarang! Makan di kamar sekalian!" Keynan terpaksa membawa piringnya ke kamar atas perintah oma nya. Terlihat sekali wajah Weni begitu muram saat pulang kerja."Ma, maaf ya sudah merepotkan mama menjaga Keynan. Emang dasar wanita tak berguna, mengasuh cucunya saja tidak mau!" Weni emosi ketika pulang kerja. Kini dirinya harus mencari Day Care untuk Keynan jika ibunya tak mau kembali. Untuk itu, Weni harus membayar lebih jika Keynan harus dititipkan k
Faridah berpikir sejenak, ada rasa ingin kembali ke kota demi Keynan dan ada rasa ragu ketika harus bersama dengan menantunya."Bu, tolonglah Weni. Keynan tak ada yang menjaga, Bu!" Weni mulai bersandiwara memperlihatkan wajah memelas. Fatma malah mencebik ke arah Weni yang pasang wajah memelas."Kalau Keynan dibawa ke kampung saja bagaimana, Mbak? Disini Keynan bisa belajar mengaji, daripada di kota cuma diem aja di rumah!" Andai tidak sedang bersandiwara, ingin sekali Weni menampar mulut Fatma. "Jangan dong! Masa cucuku mau dibawa ke kampung!" Meli terdengar sewot dengan ucapan Fatma. "Disana juga nggak ada yang jaga, lebih baik di kampung saja!" Ucapan Fatma lagi-lagi memancing emosi Weni dan Meli. Dua wanita beda generasi tersebut saling melirik karena kesal dengan ucapan Fatma."Tidak bisa, Keynan tetap tinggal di kota!" Akhirnya Weni memutuskan jika Keynan tetap di kota. Fatma kembali menyimak ucapan Weni dan Meli."Berikan wantu untuk ibu dulu, Nak. Ibu ingin tinggal di kampu
Teriakan Keynan membuat Weni semakin geram. Bagaimana tidak, Keynan memutuskan tinggal bersama Faridah. "Dengar tuh, Bu. Keynan minta tetap bersama Neneknya tapi Weni tidak setuju kalau tinggal di kampung. Ibu harus kembali tinggal disini!" "Supaya bisa jadi babu gratisan? Ingat, Mbak! Nggak seharusnya Mbak Weni kayak gitu pada ibu!" Fatma angkat bicara membela ibunya. Weni berjalan ke arah Fatma dan tiba-tiba mendorongnya hingga Fatma mundur beberapa langkah ke belakang."Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Tau apa kamu susahnya hidup di kota?" "Aku tak akan ikut campur selama ibu bahagia. Kalau kamu memperlakukan ibu seperti pembantu, aku akan tetap ikut campur!" Fatma mendorong balik Weni. Tenaga Fatma tak kalah besar dari Weni meski postur tubuh Fatma hampir sama dengan Weni."Sudah kalian jangan bertengkar! Ibu akan bawa Keynan ke kampung!" Keputusan Faridah saat itu juga. Meli seakan kebakaran jenggot karena Keynan lebih memilih neneknya dari kampung daripada dirinya. M
Faridah senang sekali masih ada rejeki untuk membayar biaya rumah sakit Keynan. Tak ada perhatian sedikitpun dari Weni selama anaknya di rawat. Hanya Faridah yang selalu menemani Keynan. Fatma sesekali datang membawa baju ganti dan membawa makanan untuk Faridah."Nenek pijit ya," Faridah memijit pelan kaki Keynan, tak lupa dilantunkannya sholawat. Sholawat yang selalu Faridah lantunkan menjadi candu bagi Keynan.Seminggu sudah Keynan dirawat dan keadaan mulai membaik. Faridah memutuskan membawa Keynan pulang ke kampung. Melihat sikap dan rasa tidak peduli semakin membuat Faridah mantap membawa dan merawat Keynan ke kampung."Nanti kalau di kampung, Keynan bisa ikut Paman Ridho mengaji ya?" Keynan tersenyum sambil mengangguk cepat. Keynan bersemangat sekali belajar mengaji. Saat Faridah masih mengasuhnya, Faridah selalu mengaji di samping Keynan membuat Keynan ingin bisa mengaji seperti Faridah."Nek, bagus banget ya?" Faridah tersenyum melihat Keynan penuh semangat melihat pemandangan
Dua hari berselang, tidak ada tanda-tanda Weni mengirim pesan atau sekedar menghubungi Fatma melalui ponselnya. Meski tidak menghubungi namun Fatma tetap khawatir akan rencana yang dilakukan Weni. Apalagi Fatma mencurigai Meli di balik perubahan sikap Weni.Fatma asik mengawasi Keynan bermain dengan teman sebaya di halaman rumah Faridah. Sehari-hari Fatma selalu membantu Faridah menjaga Keynan disaat Faridah sedang bekerja di sawah tetangga atau sedang berjualan sayur di pasar. Ridho bahkan lebih senang karena Fatma memiliki sosok teman yaitu keponakannya sendiri. "Bibi, Keynan capek!" Keynan setengah berlari ke arah Fatma. "Jagoan Bibi lelah ternyata," Fatma menggendong Keynan masuk ke rumah Faridah dan memintanya beristirahat. Wajah Keynan begitu ceria, tidak ada lagi wajah sedih yang biasanya ditunjukkan. Keynan membaringkan tubuhnya di dipan bambu samping jendela. Angin sejuk di siang hari membuat kedua mata Keynan perlahan terpejam. Keynan mudah sekali tidur siang jika berada
Keesokan paginya, Fatma bersama Ridho berangkat ke kantor polisi tempat Faridah ditahan. Fatma begitu bersemangat sekali, berharap Ibunya segera bebas. Sesampai di sana, Faridah terlihat duduk bersila di tahanan sementara. Mulut Faridah hanya bisa berdzikir dan beristighfar atas musibah yang menimpanya. "Lapangkan hati hamba, Ya Allah," gumam Faridah di sela-sela dzikirnya. Fatma diijinkan bertemu dengan Faridah. Pertemuan mengharukan, Faridah memeluk Fatma yang menangis di depannya. Faridah berusaha tetap tegar di depan Fatma. Faridah yakin jika Fatma adalah orang yang paling terpukul atas musibah yang menimpanya. Ridho dan salah satu temannya mengurus kasus Faridah dengan menunjukkan beberapa bukti. Bukan itu saja, rekan Ridho juga berhasil mencari bukti data Keynan di rumah sakit dan puskesmas dalam waktu semalam saja. Beberapa polisi mendalami kasus Faridah sejenak. Memastikan bukti yang dibawa pihak Faridah bisa membebaskan Faridah dari tuduhan palsu. "Ibu, Fatma tidak terima
Hari minggu, kebetulan libur kerja dan Weni sengaja bermalas-malasan di rumah mertuanya. Meli hari ini juga malas bertemu Weni meski sementara waktu tinggal di rumahnya."Ratna, makanan sudah siap?" "Sudah, Nyonya!" Meli membuka tudung saji dan menu sarapan sudah terhidang di meja. Meli gegas menikmati sarapan tanpa memanggil Weni terlebih dahulu. Tiba-tiba Weni keluar dari kamar dan menghampiri meja makan. Melihat Weni rasanya kesal sekali karena gagal mendapatkan sertifikat rumah Faridah."Pagi, Ma!" "Hmm," malas sekali Meli saat menjawab sapaan Weni."Mama selesai makan dan sekarang mau rebahan!""Tumben mama nggak nemenin Weni?" Weni merasa aneh dengan Meli. Biasanya Meli akan menemani sekedar mengobrol bersama Weni di saat makan."Mama lagi nggak mood aja," sahut Meli."Mama ada rencana lagi untuk merebut sertifikat itu kah?" Seketika kedua mata Meli berbinar mendengar ucapan Weni. Meli ingin sekali menguasai uang hasil penjualan rumah milik Faridah. Meli kembali duduk bersama
Keduanya kembali ke kediamannya dengan suka cita. Keynan yang selalu dianggapmya beban sudah bersama Neneknya dan sebentar lagi rumah Faridah akan menjadi jatuh ke tangannya."Mama nggak sabar bisa segera jual rumah itu, Wen!" "Weni juga, Ma. Lokasi rumah cukup bagus dan pasti harganya terbilang lumayan!" Weni sudah membayangkan hasil penjualan rumah Faridah. Meski lokasi kampung berada di pinggiran kota namun harga tanah di sana termasuk cukup lumayan. Mereka sudah larut dalam khayalan menikmati uang dalam jumlah besar."Aku bisa beli berlian itu!" Gumam Meli."Aku akan menjadi wanita paling keren karena perhiasan terbaruku!" Weni mulai membayangkan dirinya menjadi pusat perhatian karena penampilannya. Terlihat cukup norak, tetapi ini adalah pilihan Weni.Pagi itu, Ratna yang mengetahui rencana majikannya, segera kembali menghubungi Fatma. Ratna hanya ingin menyampaikan rencana jahat Weni dan Meli kepada salah satu anggota keluarga Faridah. Kesempatan bagi Ratna ketika majikannya t
Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te
Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih
Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d
Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka
"Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu
Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku
Pagi ini Fatma melihat Faridah sedang duduk melamun di pekarangan rumah. Tatapannya kosong seperti memikirkan beban teramat berat. Fatma menghentikan pekerjaanya dan menghampiri Faridah."Ibu," Faridah terkejut melihat Fatma sudah di sampingnya."Fa-Fatma!" "Ibu sedang memikirkan apa?" Fatma mencoba bertanya kepada Faridah. "Tidak ada apa-apa. Fat, Ibu mau bertanya padamu." Fatma mengernyitkan dahinya. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Faridah."Apa Ibu salah jika ingin mencari keberadaan Kakak kamu? Ibu merasa Kakak kamu sedang berada di dalam lembah hitam. Ibu khawatir jika Kakakmu salah jalan." Andai jika diijinkan, Fatma ingin mengatakan untuk tidak mengijinkan Ibunya ke kota sendirian, apalagi sudah dipastikan akan mendapatkan hinaan dari Weni maupun orang yang kenal dengannya. Namun, Fatma sama sekali tidak punya hak atas keinginan Ibunya terhadap Weni."I-Ibu tidak salah. Hanya saja Fatma takut jika Mbak Weni menyakiti hati Ibu ketika bertemu," Fatma terpaksa mengungkapk
Meli kesal melihat gelang baru milik Weni. Gelang yang pernah diinginkan. Bahkan sampai sekarang, hanya saja Weni ternyata lebih dulu mendapatkan gelang yang diimpikan."Kok bisa dia punya gelang itu. Gelang itu harganya sangat mahal. Mustahil jika Weni bisa memilikinya!" Meli tidak hentinya menggerutu menuju ke meja. Tanpa disengaja Meli melihat menantu dan anaknya sedang makan siang. Bibir seketika tersenyum, ada niat tersembunyi saat ini. Kebetulan sekali Meli ingin gelang yang lebih cetaf dari yang dimiliki Weni."Halo, anak dan menantuku!" Kedatangan Meli yang tidak disengaja mengejutkab mereja berdua. Termasuk Aris saat ini. Sedangkan Marisa terlihat biasa saja saat Meli kini berada di depannya."Mama pesan dulu gih!" Tanpa pikir panjang, Meli memesan sesuai permintaan Marisa. Sesekali Meli berpikir untuk merangkai kata yang akan digunakan membujuk Marisa. Meli benar-benar tidak ingin kalah saing dari Weni."Marisa, bagaimana kandunganmu? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan. Mis
Suhu tubuh Keynan semakin tinggi membuat Keynan mengigau. Fatma, Ridho dan juga Faridah bergantian menenangkan Keynan. Hingga menjelang dini hari, Keynan barulah merasa tenang."Alhamdulillah, sudah lebih tenang daripada tadi!" Gumam Fatma sedikit lebih lega melihat perubahan keadaan Keynan. Begitu pula dengan Faridah, cukup tenang melihat Keynan sudah kembali tenang. Tidak lagi memanggil Ibunya yang tidak pernah ingin menemuinya."Fat, istirahatlah! Biar Ibu saja yang menjaga Keynan!" Fatma duduk bersandar di sebuah kursi sedangkan Faridah duduk di samping brankar Keynan. Keduanha begitu lelah hingga dengan cepat kedua mata mereka terpejam.Ridho berjaga di depan ruang rawat inap Keynan memastikan jika terjadi apa-apa di dalam ruangan. Keesokan harinya, Fatma berpamitan untuk menjual gelang sebagai biaya untuk pengobatan Keynan. Meski tidak besar namun cukup untuk membayar tagihan rumah sakit. Faridah bersyukur sekali masih ada salah satu anaknya yang selalu ikhlas menolongnya tanp