Bab 3 Bantuan Dari Bu Intan
Tak perlu menunggu lama, balasan dari Ayuk pun datang.
[Besok ya kita ketemu bos ku]
[Iya, siap]
Tak henti-hentinya aku berucap syukur. Lalu meminta hatiku untuk berhenti merasa sakit. Karena dengan bantuan Bu Intan, semoga saja apa yang aku usahakan ini akan menjadi langkah awal diriku memulai kehidupan baru yang lebih baik. Serta menjadi jalan untuk ku membalikkan kehidupan orang-orang licik seperti mereka.
***
"Nana!"
Aku terperanjat mendenger panggilan dari Bu Ria. Segera aku menemui ibu mertuaku itu yang kini sedang sibuk menghitung uang di meja kasir.
Yaa begitulah. Meski kesehariannya sama dengan ku, tetapi wanita yang telah melahirkan Mas Indra itu hanya menghabiskan waktunya duduk manis di depan meja kasir. Jarang sekali ia membantuku sekalipun keadaan warung sedang ramai-ramainya.
"Iya, Bu?" tanyaku.
Tanpa menoleh dan tetap sibuk dengan lebaran-lebaran rupiahnya, ibu mertuaku itu pun berkata," Bu Intan pesen dua mie ayam. Cepet kamu buatkan dan antar ke tokonya."
Aku mengangguk lalu berlalu menuju gerobak mie ayam yang memang berada di area depan warung. Bersegera menyiapkan pesanan dari Bu Intan, yang mana aku yakini ini adalah alasan beliau supaya aku bisa menemuinya tanpa dicurigai ibu mertuaku.
"Nana tinggal dulu, Bu," pamitku setelah menyelesaikan pesanan milik Bu Intan.
Aku pun bergegas ke luar warung. Tak sabar rasanya ingin bertemu malaikat penolongku.
"Jangan lama-lama!" teriak Bu Ria, padahal aku sudah sedikit jauh dari warungnya.
***
"Assalamualaikum," ucapku seraya membuka pintu toko milik Bu Intan.
Terlihat dari dalam Ayuk berjalan ke arahku.
"Wa'alaikumsalam, masuk, Mbak. Bu Intan udah nunggu di dalem," kata Ayuk.
Sembari membawa sebuah kantong plastik berisikan dua bungkus mie ayam, aku terus mengikutin langkah gadis berhijab paris itu. Menyusuri jalan yang di kanan dan kirinya dipenuhu berbagai model pakaian muslimah yang tergantung di rak.
Sampai akhirnya aku tiba di hadapan Bu Intan yang sedang duduk bersantai di meja kerjanya.
"Taruh di sini aja, Mbak, mie ayamnya." Ayuk menunjuk ke arah meja tempat Bu Intan berada.
"Iya, Yuk," balasku.
Aku menaruh mie ayam seperti yang diinstruksikan temanku itu. Lalu, ikut duduk di sampingnya, menghadap ke tempat di mana Bu Intan berada.
"Bagaimana kabarmu? Sudah baikan?" tanya Bu Intan sambil meletakkan benda pintarnya.
"Alhamdulillah, Bu," jawabku sambil menyunggingkan senyum manis.
Bu Intan mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "Saya sudah dengar masalahmu dari Ayuk. Sungguh disayangkan Bu Ria dan Indra setega itu sama kamu. Padahal selama ini saya kenal mereka begitu baik," ujar Bu Intan yang tampak kecewa.
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan dari Bu Intan barusan.
Bu Intan dan Bu Ria sendiri memang sudah cukup lama saling mengenal. Tepatnya semenjak Bu Intan membuka tokonya di daerah sini, yang kemudian menjadi salah satu pelanggan di warung mie ayam ibu mertuaku itu.
"Saya akan bantu kamu sebisa saya. Bukan berarti saya mendukung rencana balas dendam kamu. Saya hanya ingin mendukung kamu sukses dan terlepas dari keluarga licik seperti mereka." Bu Intan menatapku dengan serius.
"Iya, Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya," balasku sambil tersenyum sungkan.
"Tapi ... kalau bisa, lebih baik kamu fokus membangun usahamu. Jangan menyimpan rasa dendam, karena itu tidak dibenarkan dalam agama. Tunjukkan saja pada mereka kalau kamu bisa sukses tanpa mereka. Dengan begitu, tanpa kamu membalas dendam pada mereka, mereka pasti sudah terkena imbasnya," ujar Bu Intan sambil tersenyum.
Aku mengangguk pelan. Menyadari betul nasihat yang diberikan Bu Intan tersebut baik untukku. Balas dendam memang tidak dibenarkan. Namun, entah mengapa hatiku masih ingin menolak hal tersebut.
Bu Intan kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang berada di kursi sampingnya.
"Ini kunci rukonya. Kamu bisa memulai usahamu kapan saja. Jangan pikirkan soal uang sewa. Marketingnya kebetulan masih saudara dengan saya. Jadi, kamu tenang aja," papar Bu Intan.
"Ya Allah ... terima kasih banyak, ya, Bu," kataku. Sungguh, aku merasa sangat berutung bisa bertemu dengan Bu Intan. Selain cantik, pintar, sholeha, beliau juga baik pada setiap orang. Masyaa Allah.
Bu Intan menyentuh jari jemariku yang berada di atas meja. "Saya percaya kamu orang baik."
Aku hanya bisa mengulas senyum tipis mendengar ucapan Bu Intan barusan. Hati mendadak merasa sedih dan hampir saja air mataku terjatuh lantaran terharu dengan kebaikan dan kepercayaan yang diberikan wanita berhijab panjang tersebut.
Sampai tiba-tiba terdengar suara dari arah luar yang memanggil namaku.
"Nana!"
Seketika kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Ternyata sudah ada Bik Inah yang membuka setengah pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam toko.
"Maaf, permisi, ya, Bu." Dengan tergesa-gesa aku beranjak dari tempat duduk ku. Bersamaan dengan itu wanita berkulit putih depanku itu langsung melepaskan tangannya dari tanganku.
Aku berjalan cepat menuju luar.
"Lama banget, sih!" omel Bik Inah. Lalu menutup pintu toko yang terbuat dari kaca itu.
Aku dan Bik Inah berjalan berdampingan kembali ke warung. Dan di saat itu juga lah Bik Inah tak henti-hentinya mengomeliku karena terlalu lama berada di toko milik Bu Intan.
"Iya, maaf, Bik. Soalnya tadi aku dapet berita seru, jadi saking asyiknya sampai lupa waktu, deh," ucapku sambil terkekeh. Dan seketika itu Bik Inah menghentikan langkahnya.
"Berita seru? Apaan?" Bik Inah tampak penasaran.
Aku terdiam. Sengaja tak langsung menjawab pertanyaan dari Bik Inah.
"Eeee, malah diem!" sungut Bik Inah.
"Ck! Ada lah, Bik, pokoknya." Aku pun berjalan meninggalkan Bik Inah.
"Nana!" seru Bik Inah, lantas berjalan mengekor di belakangku.
Tepat di depan warung, langkahku mendadak terhenti tatkala aku melihat keberadaan Tiyem yang berada di salah satu meja pelanggan. Ia tak hanya sendiri, tetapi bersama dengan dua orang pegawai salonnya.
Dan aku semakin terkejut ketika kemunculan Mas Indra dari dalam warung dan langsung bergabung bersama Tiyem dan lainnya. Mereka semua tampak asyik mengobrol seakan tak ada aku di dunia mereka. Ekspresi yang hampir sama ketika acara pernikahannya kemarin pun mereka tunjukkan.
Aku terdiam, mematung menatap nyalang lurus ke arah wanita berparas setan itu. Perasaan yang tadinya sedih kini telah bangkit. Sekarang, menghancurkan usaha Tiyem telah menjadi salah satu targetku.
"Aduh!"
Aku meringis karena tubuh gempal Bik Inah menabrakku.
"Makanya jangan ngelamun," ucap Bik Inah tanpa bersalah. Lalu tetap melangkah masuk ke dalam warung.
Bersamaan dengan itu, Mas Indra dan lainnya akhirnya menyadari keberadaanku. Termasuk Bu Ria, yang lagi-lagi masih sibuk dengan uangnnya.
"Nana." Mas Indra hendak beranjak dari tempatnya, tapi terhenti ketika ibunya bersuara.
"Nana, cepet buatin mie ayam tiga porsi!" perintah ibu mertuaku dari meja kasir.
"Tambah satu, ya, Na," ujar Mas Indra. Yang mana aku yakin, satu porsi itu lantaran ia pasti ingin ikut makan bersama istri barunya.
"Iyaa ...," jawabku dengan suara lemah. Lantas berjalan ke arah gerobak yang tak jauh dari ku seraya menatap tajam ke arah Mas Indra yang malah ikut memerintahku dan bukannya membantuku.
Di momen itu, aku melihat jelas perubahan suamiku. Wajar, mungkin karena sekarang bukan aku lagi yang mengisi hatinya. Tak apa, toh, setelah ini aku akan berpisah dengannya.
"Tunggu saja, Mas. Pernikahan keduamu ini adalah langkah awal menuju kesuksesanku."
Bab 4 Izin Pulang Kampung"Iyaa ...," jawabku dengan suara lemah. Lantas berjalan ke arah gerobak yang tak jauh dari ku seraya menatap tajam ke arah Mas Indra yang malah ikut memerintah ku dan bukannya membantuku. Di momen itu, aku melihat jelas perubahan suamiku. Wajar, mungkin karena sekarang bukan aku lagi yang mengisi hatinya. Tak apa, toh, setelah ini aku akan berpisah dengannya. "Tunggu saja, Mas. Pernikahan keduamu ini adalah langkah awal menuju kesuksesanku."Dengan perasaan yang harus dipaksa untuk kuat, aku mengantarkan pesanan untuk Tiyem dan lainnya. "Permisi, Mbak," ucapku seraya meletakkan satu per satu mangkok bergambar ayam jago di atas meja. "Makasih, ya, Na," balas Tiyem sambil mengembangkan senyumannya. Betul-betul merasa tak bersalah pada ku. Aku menyunggingkan senyumku. "Iya, Mbak.""Oya, kamu gabung sekalian aja, soalnya kan aku mau bahas kerja sama antara salonku sama warungnya Bu Ria," ujar Tiyem yang membuatku terheran-heran. Kerja sama? kerja sama apa y
Bab 5 Usaha Sendir Mulai BerdiriTanpa berkata lagi, Bu Ria lantas meninggalkan ku. Jelas sekali raut wajahnya tampak kesal sekaligus khawatir. Sebab, dengan apa yang barusan aku sampaikan, hal itu pasti membuat Bu Ria takut lantaran akan ada orang yang menyaingi usahanya."Ini baru awal, Bu," batinku. Menatap ibu mertuaku yang dilanda kegelisahan.***Di pagi harinya, ketika fajar mulai menampakkan sinarnya, aku telah bersiap untuk menjalankan rencanaku hari ini. Dengan berpura-pura akan balik ke kampung halamanku, yang padahal sebenarnya akuingin menemuiseseorang untuk kumintai bantuannya."Aku pamit, ya, Mas," kataku saat melewati Mas Indra yang baru saja keluar dari kamar mandi."Loh, sepagi ini kamu berangkatnya?" tanya Mas Indra heran. Langkahku pun terhenti seketika."Iya, biar gak macet di jalan. Lagian kan jauh. Dah, ya, aku pergi. Assalamualaikum." Aku kembali melanjutkan langkahku."Gak salim dulu?!" tanya Mas Indra sedikit berteriak. Namun, aku abaikan karena memang tak
Bab 6 Persaingan Dimulai "Udah, jangan nangis lagi. Sekarang waktunya kamu berjuang," papar Rika. "Iya, makasih, ya."Sebelum pulang, aku dan Rika kembali membahas bagaimana kedepannya aku akan menjalankan usaha ku ini. Karena bagaimanapun aku tetap harus bekerja di warung mie ayam milik Bu Ria. Sedangkan, untuk juru masak di warung ku sendiri aku belum mendapatkannya. Di tengah-tengah kebingungan yang sedang melanda, tiba-tiba Rika bersuara. "Tetep kamu yang masak, Na. Kan, untuk ayamnya gak tiap hari masak, to? Jadi kedepannya bisa lah diakalin. Dan untuk pelayannya nanti biar aku minta dua pekerja ku bantu di sini. Lagian kan sekarang kita parnert kerja," kata Rika lalu menyunggingkan senyuman. Mendengar apa yang dikatakan teman baik ku itu, sontak membuat semangat ku kembali terbakar. Aku kembali bersemangat untuk bisa membangun usaha ku kali ini. Sampai akhirnya Aku dan Rika mengurungkan niat kami untuk pulang. Kami memutuskan untuk pergi ke pasar guna membeli kebutuhan bah
Bab 7 Kedatangan Bu Ria Di Warung Nana Sementara aku, merasa mood-ku mulai kembali setelah mendengar semangat yang disebarkan oleh teman baikku itu. Lalu bersiap di depan gerobak untuk meracik pesanan dari pelanggan pertama. Dari depan tungku, netra ku terus saja memperhatikan mobil yang baru saja terparkir. Dan setelah pemilik mobilnya itu turun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa orang tersebut. Dia adalah ... Bu Intan. Aku benar-benar tak menyangka kalau pelanggan pertamaku adalah Bu Intan. Tentu saja mendapati hal demikian, aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk wanita yang sudah membantuku itu. Bu Intan berjalan dengan elegan memasuki warung. "Assalamualaikum, Nana," sapa Bu Intan sambil tersenyum. "Wa'alaikumsalam, Bu Intan ...," balasku ramah seraya mengulas senyum manis ke arah wanita yang cukup berjasa untuk ku itu. "Tolong buatin dua puluh porsi mie ayam bakso, ya," pesan Bu Intan. Kedua mataku terbuka lebar seketika. "Du-dua puluh, Bu?" balasku
Bab 8 Diminta PulangDengan memasang wajah tegap, Rika berkata, "memangnya ada urusan apa sampai mencari pemilik warung ini? Ada masalah kah?" Rika menatap tajam ke arah Bu Ria.Setelah mendapat balasan demikian, aku pikir ibu mertuaku itu akan menciut nyalinya. Tapi ternyata aku salah. Malah, Bu Ria bertindak di luar sangkaan ku yang membuatku tercengang. "Awas kamu!!" peringat Bu Ria dengan dua bola matanya yang hampir keluar. Lalu, meludah di depan Rika dan pergi dengan angkuhnya.Di momen itu, aku melihat sahabatku itu hanya bergeming sambil menatap dua wanita set*n itu pergi. Mungkin Rika terlalu syok lantaran baru kali ini ada orang yang meludah di depannya, yang mana hal itu bukanlah tindakan yang baik."Astaghfirullah ... ternyata sejahat itu ibu mertuaku," ucapku melihat sikap kasar dari Bu Ria.Aku tak pernah menyangka kalau wanita yang telah melahirkan suamiku itu rupanya bisa sekasar itu pada orang lain. Sekarang, aku sadar bahwa Bu Ria bukan hanya orang yang jahat, namun
Bab 9 Menjalankan Perintah dari Ibu Mertua "Halah! Kamu tuh tau apa soal usaha. Ibu itu minta kamu pulang buat ngerjain sesuatu. Bukan nasehatin Ibu!" balas Bu Ria ketus. "Ngelakuin sesuatu? Apa, Bu?" jawab ku yang sedikit terkejut sekaligus penasaran. Jangan-jangan, ibu mertuaku itu meminta ku untuk .... "Jangan bilang Ibu mau Nana pergi ke warung baru itu terus taruh kecoa mati lagi," tebak ku. "Hus! Ngawur kamu!" tegur Bu Ria tak terima. Aku terheran, ternyata tebakan ku salah. Lantas, apa yang dimaksud ibu mertuaku itu? "Ibu itu cuma minta Mbak Nana buat pergi ke warung baru itu!" timpal Jamilah dengan muka sinis nya. Hah? Aku tercengang mendengar perkataan adik iparku barusan. Apa aku tak salah dengar? Ya kali wanita tua itu memintaku pulang hanya untuk mendatangi warung baru yang katanya adalah saingan bisnisnya itu. Lagipu
Bab 10 Nana Mau Jujur?"Lagian, tumben kamu di sini, Mas? bukannya ini masih jam kerja, ya?" tanyaku. Mencoba mengalihkan pembicaraan sekaligus mencari jawaban atas rasa penasaranku.Mendengar pertanyaan yang aku ajukan barusan, membuat perubahan raut wajah Mas Indra terlihat jelas. Suamiku itu tampak gugup seolah bingung memberikan jawaban yang tepat. Tentu karena hal tersebutlah yang membuatku merasa curiga kalau pasti ada yang sedang disembunyikan dari pria yang menikahi ku beberapa tahun silam itu."Kenapa, Mas? sakit? apa dipecat?" tanyaku lagi.
Bab 11 Usulan Tidak Masuk AkalBu Ria terdiam. Sorot matanya tampak jelas berbeda dari sebelumnya, yang mana kini terlihat nyalinya sedikit menciut setelah mendengar perkataan ku barusan.Tak lama setelah itu, Mas Indra juga keluar dari dapur. Ia berdiri tepat di belakangku."Udah, ya, Bu ... Nana mau jujur," ucapku sambil sedikit melirik ke arah Mas Indra.Saat itu, dengan sengaja aku tak langsung melanjutkan ucapanku, sehingga membuat situasi terasa amat menegangkan. Dan betul saja, sekilas aku melihat raut wajah dari suamiku yang tampak gelisah.Entah, entah apa yang ada dipikiran Mas Indra kala it
Part 20 TAMAT"Aku gak mau basa-basa, to the poin aja, mau apa kamu ke sini?" tanya ku pada Mas Indra. "Na, Mas ke sini mau bilang—""Bilang apa? cepetan, aku gak ada waktu!"tukas ku masih tetap memasang wajah cuek. "Mas minta maaf ya sama kamu."Aku tertawa kecil seraya menatap tajam sebentar ke arah Mas Indra. "Gak usah minta maaf—""Tapi, Na," tukas Mas Indra yang membuat ku menoleh ke arahnya. "Mas banyak salah sama kamu. Jadi sudah seharusnya Mas minta maaf ke kamu."Aku menghela napas kasar. "Udah ya, Mas, Nana capek sama semua drama ini.""Drama? maksud kamu?" timpal Mas Indra. Kamu menatap serius ke arah pria di hadapan mu itu. "Mas, aku udah tau ya hubungan kamu sama Tiyem itu gimana."Mas Indra terkejut mendengar ucapan ku barusan. Ekspresinya yang tadi tampak melas pun mendadak berubah gelisah disertai keringat yang mulai membasahi wajahnya. "Kalian udah nikah, kan?""Na, Mas minta maaf ya," ucap Mas Indra cepat. "Aku bilang Mas gak perlu minta maaf!""Nana ...."Aku
Bab 19 Mulai terang-terangan "Mulai sekarang kamu bukan menantuku lagi!" Seketika aku menoleh ke arah Bu Ria dan Mas Indra yang menatapku dari teras rumah. "Aku juga udah gak sudi punya mertua kayak kamu!" balasku, lalu melajukan sepeda motorku. Karena sudah terlanjur diusir, kini tak ada lagi yang perlu aku tutup-tutupi perihal usahaku. Benar, setelah diusir dari rumah mertua ja*ha*nam itu, aku melajukan sepeda motorku ke arah ruko tempat aku jualan. Tentu saja tanpa memedulikan Bu Ria ataupun Mas Indra yang masih memperhatikanku dari teras rumah mereka. "Mbak Nana!" seru Lia yang melihatku tiba-tibadatang dengan membawa banyak barang. Mendengar seruan dari Lia barusan, membuat sahabatku Rika juga muncul dari dalam ruko. Ria berjalan menghampiriku dengan raut wajah terheran-heran sekaligus tak menyangka. "Kamu diusir, Na?" tanya Rika. Entahlah, sudah jelas aku membawa koper dan juga banyak barang, kenapa masih ada pertanyaan seperti itu. Aelah Rika. "Tolong bantuin dong,"
Bab 18 Di UsirMendapati hal tersebut aku hanya tersenyum senang. Benar-benar merasa di atas angin lantaran pihak musuh yang akhirnya membutuhkanku. Sampai tiba-tiba panggilan telepon dari Mas Indra kembali masuk. Karena penasaran dengan apa yang ingin dikatakan suamiku itu, aku pun mengangkat panggilannya tersebut."PULANG!!!" bentak Mas Indra tepat setelah aku menerima panggilannya.Terkejut. Jelas aku terkejut karena dari satu kata yang keluar dari mulut pria jelek itu membuatku langsung naik pitam. Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan sehingga membentakku seperti itu? mungkinkah karena aku pergi tanpa pamit?"Gak usah teriak, Mas, aku gak budeg!" balasku. Enak saja mau marah-marah tak jelas."Alah udah lah! mending kamu pulang sekarang atau kamu bakal menyesal." Tanpa menunggu respon dari ku, Mas Indra malah mematikan hp nya begitu saja."Dasar mokondo! awas aja ya lu!" gerutuku."Kenapa, Na?" tanya Rika.Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Menghela napas sejenak lalu menjelaska
Bab 17 Pergi Tanpa Pamit"Udah lah, Na, jangan marah terus," ujar Mas Indra. "Aku ke sini mau tanya sesuatu ke kamu."Aku tersenyum kecut. Dugaanku benar rupanya. Mas Indra mendatangiku bukan untukku melainkan karena hal lain. Dasar laki-laki kampret!Tapi ... kira-kira hal apa ya yang ingin ditanyakan suamiku itu?"Udah lah, Mas, kamu ngapain ke sini?" tanyaku ketus.Mas Indra tak langsung menjawab. Ia malah tampak ragu namun pada akhirnya berucap juga."Ibu ... nanyain soal sawah kamu gimana?""Ha?!" aku terkejut. Baru saja mengomeliku dan sekarang sudah menanyakan soal sawah. Betul-betul mertua mata duitan!"Emang kenapa sawahnya? lupa ya tadi abis marahin aku?""Udah dong, Na ... maafin ibu, ya? ibu tadi cuma gak pengen kamu berantem sama Tiyem.""Terus kenapa yang dibela Tiyem? bukannya aku? aku masih menantunya, kan?" tukasku.Mas Indra menelan ludahnya mendengar ucapanku barusan. Dari ekspresinya aku bisa menebak kalau ia mulai tak nyaman dengan sikapku. Biarlah, lagian siapa s
Bab 16 Si Pengkhianat Itu ..."Emang sepenting apa, sih?" tanya Tiyem dengan nada meremehkan.Aku menatap secara bergantian tiga orang di hadapanku ini. Lalu mulai bersuara untuk menjelaskan maksud dari perkataanku sebelumnya. Namun sebelum itu, aku mengajukan syarat kepada Bu Ria untuk menelepon Mas Indra agar secepatnya pulang."Kenapa harus ada Indra?" tanya Bu Ria."Gak usah banyak tanya, tinggal mau gak Buuu?" balasku.Dengan menghela napas kesal akhirnya Bu Ria menuruti kemauanku. Ia menelepon anaknya untuk segera pulang.Dan benar saja, kurang dari dua puluh menit setelah Bu Ria menghubungi anak lelakinya itu, Mas Indra sudah srumah. Tentu saja hal itu semakin memperkuat dugaanku kalau suamiku itu pasti sudah tidak bekerja lagi. Sebab, normalnya jarak tempuh yang dilalui Mas Indra dari rumah ke tempat kerjanya itu bisa sampai tiga puluh hingga empat puluh menit."Ada apa, Bu? kok mendadak minta Indra pulang?" tanya Mas Indra sesaat setelah ia sampai."Loh, ada Tiyem juga to?" M
Bab 15 Nana KetahuanBelum sempat aku membalas perkataan Bu Ria, tiba-tiba adik iparku si Jamilah datang dengan hebohnya."Ibuuuu!!!" teriak Jamilah."Kenapa sih kamu?" tanya Bu Ria."Ibu harus liat ini. Ternyata ada pengkhianat di warung kita, Bu," ucap Jamilah cepat.Mendengar kata pengkhianat, spontan aku sadar diri. Jangan-jangan Jamilah ....Aku semakin deg-degan ketika Jamilah menunjukkan layar hp nya ke hadapan ibunya. Saat itu aku teringat dengan postinganku yang ada di facebook mengenai promosi yang aku lakukan untuk usahaku.Dan benar saja, Bu Mirna langsung membelalakkan kedua matanya ketika melihat apa yang ada di layar ponsel Jamilah. Dengan raut wajah yang siap menerkam, ibu mertuaku itu lantas menghampiriku yang berada tak jauh darinya.Plakk!!Dengan keras Bu Ria melayangkan tangannya ke pipiku yang membuatku tertegun seketika.Perang antara mertua dan menantu kembali dimulai!"Mantu kurang aj*r kamu, ya! bisa-bisanya nusuk ibu mertuamu sendiri!" sergah Bu Ria sambil
Bab 14 Ada Pengkhianat? Meski merasa terheran-heran, karena tak ingin mempedulikan hal tersebut aku pun segera pamit untuk pergi. "Loh, uangnya kan belom ada. Ngapain pergi sekarang?" tanya Bu Ria. "Nana kan mau nyerahin dokumennya dulu ke Emak. Nanti biar segera diurus," jawabku berbohong. "Oo, yaudah. Cepet balik, ya! warung Ibu masih harus buka hari ini," ujar Bu Ria. "Iya, Buuu," balas ku. ***Tepat ketika aku bersiap untuk meninggalkan rumah Bu Ria, aku melihat kembali ke sekeliling. Memastikan kalau tak ada anggota rumah yang melihat ku menyebrang ke ruko tempat usahaku. "Aman." Aku pun melajukan sepeda motorku menuju ruko. Sesampainya di ruko aku bergegas memasukkan sepeda motorku ke dalam supaya tak terlihat oleh orang terutama keluarga Mas Indra. Lalu aku pun berkutat di dapur guna menyiapkan segala sesuatu untuk penjualan mie ayam dan bakso ku beberapa hari kedepan. Singkat cerita persiapan jualan hari ini kelar. Ternyata tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul se
Bab 13 Menjual Sawah?"Mas, kalau aku mimpi buruk lagi kayak gitu, terus aku gila, usaha ibu bisa jadi bangkrut karena gak ada yang masak seenak masakan ku. Mau kayak gitu?" ancam ku.Akhirnya, dengan sangat terpaksa Mas Indra pun mengiyakan pengusiran yang aku lakukan itu. Apalagi, tindakan ini didukung langsung oleh Bu Ria yang khawatir kalau usahanya akan bangkrut beneran.***Pagi harinya, ketika matahari belum memunculkan sinarnya, aku yang sudah rapi hendak pamit pada Mas Indra yang masih tertidur di sofa ruang tengah. Karena kejadi
Bab 12 Lebih Dari Yang DikiraSengaja. Benar, aku sengaja mengeluarkan kata-kata barusan. Toh, pada kenyataannya memang benar kan kalau Tiyem tidak hanya seperti keluarga sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari keluarga Mas Indra.Bu Ria dan Mas Indra pun terdiam satu sama lain. Tampak jelas raut wajah mereka berdua mendadak berubah grogi. Yang mana aku yakin, dua orang di dekat ku itu pasti merasa tersentil dengan ucapanku barusan."Udah ah, usulan kamu tuh gak masuk akal," ucap Bu Ria seraya kembali masuk ke dalam warung. Diikuti oleh anak lelakinya yang nampaknya juga mulai jengkel dengan sikapku.Aku pun hanya tertawa kecil melihat tingkah dua manusia itu. Hampir saja mereka terbod*hi olehku.***Malamnya di saat aku tengah tertidur, tiba-tiba aku terbangun karena mer