Bab 6 Persaingan Dimulai
"Udah, jangan nangis lagi. Sekarang waktunya kamu berjuang," papar Rika.
"Iya, makasih, ya."
Sebelum pulang, aku dan Rika kembali membahas bagaimana kedepannya aku akan menjalankan usaha ku ini. Karena bagaimanapun aku tetap harus bekerja di warung mie ayam milik Bu Ria. Sedangkan, untuk juru masak di warung ku sendiri aku belum mendapatkannya.
Di tengah-tengah kebingungan yang sedang melanda, tiba-tiba Rika bersuara.
"Tetep kamu yang masak, Na. Kan, untuk ayamnya gak tiap hari masak, to? Jadi kedepannya bisa lah diakalin. Dan untuk pelayannya nanti biar aku minta dua pekerja ku bantu di sini. Lagian kan sekarang kita parnert kerja," kata Rika lalu menyunggingkan senyuman.
Mendengar apa yang dikatakan teman baik ku itu, sontak membuat semangat ku kembali terbakar. Aku kembali bersemangat untuk bisa membangun usaha ku kali ini.
Sampai akhirnya Aku dan Rika mengurungkan niat kami untuk pulang. Kami memutuskan untuk pergi ke pasar guna membeli kebutuhan bahan dagangan, karena esok harinya kami berencana untuk memulai usaha kami.
Selain membuat persiapan untuk hari pertama buka, Rika juga berinisiatif untuk menyebar waktu launching kami lewat media sosial. Tentu saja untuk sepekan depan, akan ada diskon lima puluh persen untuk semua item.
Cara ini jugalah yang kemudian aku berikan pada Ayuk. Yap, aku meminta gadis itu untuk membagikan di media sosialnya supaya lebih banyak yang tahu kalau akan ada warung mie ayam baru.
***
"Ayo, Rik, keburu siang," ajak ku pada Rika yang masih sibuk berdandan.
Benar, selama tiga hari ke depan aku akan menginap di rumah Rika. Karena tak memungkinkan kalau aku harus pulang ke rumah ibuku sendiri yang mana terletak di kampung.
Aku dan Rika, dengan semangat yang membara siap memulai semuanya hari ini.
Mobil Rika terus melaju hingga akhirnya kami sampai di warung mie ayam milik ku. Saksi bisu yang akan menjadi sejarah dalam hidupku itu, ku beri nama "Warung Mie Ayam dan Bakso Nana".
Aku memang sengaja menyematkan namaku sendiri, selain ada harapan untukku, aku juga ingin melihat reaksi keluarga Mas Indra, terlebih ibu mertuaku, jika mengetahui ada nama yang sama dengan nama menantunya yang menjadi saingan usahanya.
Tak lama setelah membuka warung, tiba-tiba datang dua wanita yang berboncengan mengendarai sepeda motor matik berhenti di depan warung. Dan aku yakin dua wanita itu pasti yang dimaksud Rika sebelumnya. Para pekerja yang diminta Rika untuk membantuku di warung ini.
"Assalamualaikum," ucap salah seorang.
"Wa'alaikumussalam. Kalian Sari dan Lia, kan?" tebak ku.
Mereka mengangguk dan mengiyakan. Lalu tiba-tiba Rika muncul dari dalam.
"Oh, syukurlah sudah datang. Na, mereka yang akan bantu usaha kita. Lia, Sari, kenalkan, dia ini bos kalian juga. Panggil aja Mbak Nana," ucap Rika dengan wajah berseri.
"Salam kenal, ya. Semoga kalian betah bekerja sama dengan saya," kata ku menyambut baik kehadiran dua wanita berhijab tersebut.
"Salam kenal juga, Mbak. Terima kasih sudah mau menerima kami," balas Sari yang juga mewakili wanita di sampingnya, Lia.
"Udah ... jangan formal-formal amat. Nana orangnya santai, kok. Kalian boleh bersikap sama seperti kalian ke aku gitu gak pa-pa. Dia gak baperan kok orangnya," sahut Rika. Menoleh ke arahku sejenak.
"Iya. Lagian kan kita sekarang satu tim, jadi biasa aja, ya," timpal ku sambil tersenyum.
"Udah yak kenalannya. Sekarang waktunya kita bersiap. Kan, setengah jam lagi mau launching warungnya," ujar Rika yang tampak lebih bersemangat. Lalu mengajak dua rekannya itu bersiap.
Setelah setengah jam berlalu, aku menatap bangga apa yang ada di hadapanku sekarang. Gerobak mie ayam dan bakso yang terlihat rapi dan estetik, meja pelanggan dari yang di dalam hingga di luar yang tak kalah bersih, sampai mangkuk-mangkuk bergambar ayam jago yang sudah tertata rapi pun menyita perhatianku kali ini.
Dan tepat pukul sembilan pagi, warung ku akan siap di buka. Dan di momen itu juga bertepatan dengan bukanya warung mie ayam milik Bu Ria.
Aku dan Rika sengaja memilih waktu yang sama dengan tujuan, tentunya untuk membuat panas ibu mertuaku itu. Sekaligus, secara tidak langsung aku telah memulai peperangan ini.
Dan benar saja, dari dalam warung, aku melihat Bu Ria yang sedang membuka warung miliknya. Raut wajah sinis langsung ia perlihatkan ke arah di mana warung ku berada.
"Selamat datang, Bu. Sekarang saingan usahamu telah hadir," batinku seraya menatap ke arah warung ibu mertuaku itu.
Bu Ria kemudian masuk ke dalam warungnya, namun tak lama setelah itu, wanita bertubuh gemuk itu lantas keluar lagi dengan membawa tempat sampah. Jelas terlihat ibu mertuaku itu tampak kesal sembari membuang yang aku yakini sisa bahan-bahan dagangannya kemarin.
Dan setelah membuang sampah-sampah tersebut, tampak jelas kalau Bu Ria sesekali menatap sinis ke arah warung ku. Aku percaya, ia pasti merasa dongkol lantaran ada warung baru yang menyerupai dari usahanya.
"Hei!"
Pukulan kecil mendarat di bahuku yang membuat aku tersentak. Aku menoleh ke arah Rika yang tiba-tiba muncul.
"Kamu jangan keluar-keluar ya, Na. Pokoknya kamu ngurusin di dalem aja. Biar posisi mu tetep aman," pesan Rika padaku.
Bibirku melengkung membentuk senyuman. "Iya, beres," balasku sambil mengacungkan dua jempol ke teman baikku itu.
Lalu kembali mengalihkan pandanganku ke arah depan. Di mana baru saja aku melihat kedatangan Mas Indra yang berboncengan dengan istri barunya menuju salon milik Tiyem.
Di momen itu, mendadak amarahku kembali tersulut. Menatap penuh kebenc*n terhadap dua manusia lic*k di depan sana. Ditambah, ada adegan di mana Tiyem mencium takzim tangan Mas Indra. Lalu dilanjutkan dengan Mas Indra yang mengecup kening wanita berpakaian kurang bahan tersebut dan kemudian pergi.
Ingatan di mana kejadian yang barusan aku lihat itu, adalah suatu kebiasaan yang dulu aku dan Mas Indra lakukan. Dan sekarang, semua hanya tinggal kenangan.
"Akan ku buat kalian membayar ini semua!" ucapku dalam hati seraya tak melepas pandanganku.
Sampai tahu-tahu sebuah mobil berwarna putih melipir ke depan warung ku. Melihat hal itu membuat amarahku sedikit menurun.
"Sudah, ya? Saatnya kita bekerja," kata Rika.
Aku menoleh ke arah wanita seumuran ku itu dan berusaha mengulas senyum. "Iya," jawabku lirih.
Huh, kenapa rasanya begitu berat berada di posisi ini ya Allah ...?
"Pelanggan pertama guys ... yokk, semangat!" cetus Rika, membuat Sari dan Lia kompak mengalihkan pandangan mereka ke arah bosnya itu.
"Siap, Mbak," balas Sari dan Lia bersamaan. Lalu melihat ke arah depan warung seakan penasaran dengan pelanggan pertama kami.
Sementara aku, merasa mood-ku mulai kembali setelah mendengar semangat yang disebarkan oleh teman baikku itu. Lalu bersiap di depan gerobak untuk meracik pesanan dari pelanggan pertama.
Dari depan tungku, netra ku terus saja memperhatikan mobil yang baru saja terparkir. Dan setelah pemilik mobilnya itu turun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa orang tersebut. Dia adalah ....
Bab 7 Kedatangan Bu Ria Di Warung Nana Sementara aku, merasa mood-ku mulai kembali setelah mendengar semangat yang disebarkan oleh teman baikku itu. Lalu bersiap di depan gerobak untuk meracik pesanan dari pelanggan pertama. Dari depan tungku, netra ku terus saja memperhatikan mobil yang baru saja terparkir. Dan setelah pemilik mobilnya itu turun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa orang tersebut. Dia adalah ... Bu Intan. Aku benar-benar tak menyangka kalau pelanggan pertamaku adalah Bu Intan. Tentu saja mendapati hal demikian, aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk wanita yang sudah membantuku itu. Bu Intan berjalan dengan elegan memasuki warung. "Assalamualaikum, Nana," sapa Bu Intan sambil tersenyum. "Wa'alaikumsalam, Bu Intan ...," balasku ramah seraya mengulas senyum manis ke arah wanita yang cukup berjasa untuk ku itu. "Tolong buatin dua puluh porsi mie ayam bakso, ya," pesan Bu Intan. Kedua mataku terbuka lebar seketika. "Du-dua puluh, Bu?" balasku
Bab 8 Diminta PulangDengan memasang wajah tegap, Rika berkata, "memangnya ada urusan apa sampai mencari pemilik warung ini? Ada masalah kah?" Rika menatap tajam ke arah Bu Ria.Setelah mendapat balasan demikian, aku pikir ibu mertuaku itu akan menciut nyalinya. Tapi ternyata aku salah. Malah, Bu Ria bertindak di luar sangkaan ku yang membuatku tercengang. "Awas kamu!!" peringat Bu Ria dengan dua bola matanya yang hampir keluar. Lalu, meludah di depan Rika dan pergi dengan angkuhnya.Di momen itu, aku melihat sahabatku itu hanya bergeming sambil menatap dua wanita set*n itu pergi. Mungkin Rika terlalu syok lantaran baru kali ini ada orang yang meludah di depannya, yang mana hal itu bukanlah tindakan yang baik."Astaghfirullah ... ternyata sejahat itu ibu mertuaku," ucapku melihat sikap kasar dari Bu Ria.Aku tak pernah menyangka kalau wanita yang telah melahirkan suamiku itu rupanya bisa sekasar itu pada orang lain. Sekarang, aku sadar bahwa Bu Ria bukan hanya orang yang jahat, namun
Bab 9 Menjalankan Perintah dari Ibu Mertua "Halah! Kamu tuh tau apa soal usaha. Ibu itu minta kamu pulang buat ngerjain sesuatu. Bukan nasehatin Ibu!" balas Bu Ria ketus. "Ngelakuin sesuatu? Apa, Bu?" jawab ku yang sedikit terkejut sekaligus penasaran. Jangan-jangan, ibu mertuaku itu meminta ku untuk .... "Jangan bilang Ibu mau Nana pergi ke warung baru itu terus taruh kecoa mati lagi," tebak ku. "Hus! Ngawur kamu!" tegur Bu Ria tak terima. Aku terheran, ternyata tebakan ku salah. Lantas, apa yang dimaksud ibu mertuaku itu? "Ibu itu cuma minta Mbak Nana buat pergi ke warung baru itu!" timpal Jamilah dengan muka sinis nya. Hah? Aku tercengang mendengar perkataan adik iparku barusan. Apa aku tak salah dengar? Ya kali wanita tua itu memintaku pulang hanya untuk mendatangi warung baru yang katanya adalah saingan bisnisnya itu. Lagipu
Bab 10 Nana Mau Jujur?"Lagian, tumben kamu di sini, Mas? bukannya ini masih jam kerja, ya?" tanyaku. Mencoba mengalihkan pembicaraan sekaligus mencari jawaban atas rasa penasaranku.Mendengar pertanyaan yang aku ajukan barusan, membuat perubahan raut wajah Mas Indra terlihat jelas. Suamiku itu tampak gugup seolah bingung memberikan jawaban yang tepat. Tentu karena hal tersebutlah yang membuatku merasa curiga kalau pasti ada yang sedang disembunyikan dari pria yang menikahi ku beberapa tahun silam itu."Kenapa, Mas? sakit? apa dipecat?" tanyaku lagi.
Bab 11 Usulan Tidak Masuk AkalBu Ria terdiam. Sorot matanya tampak jelas berbeda dari sebelumnya, yang mana kini terlihat nyalinya sedikit menciut setelah mendengar perkataan ku barusan.Tak lama setelah itu, Mas Indra juga keluar dari dapur. Ia berdiri tepat di belakangku."Udah, ya, Bu ... Nana mau jujur," ucapku sambil sedikit melirik ke arah Mas Indra.Saat itu, dengan sengaja aku tak langsung melanjutkan ucapanku, sehingga membuat situasi terasa amat menegangkan. Dan betul saja, sekilas aku melihat raut wajah dari suamiku yang tampak gelisah.Entah, entah apa yang ada dipikiran Mas Indra kala it
Bab 12 Lebih Dari Yang DikiraSengaja. Benar, aku sengaja mengeluarkan kata-kata barusan. Toh, pada kenyataannya memang benar kan kalau Tiyem tidak hanya seperti keluarga sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari keluarga Mas Indra.Bu Ria dan Mas Indra pun terdiam satu sama lain. Tampak jelas raut wajah mereka berdua mendadak berubah grogi. Yang mana aku yakin, dua orang di dekat ku itu pasti merasa tersentil dengan ucapanku barusan."Udah ah, usulan kamu tuh gak masuk akal," ucap Bu Ria seraya kembali masuk ke dalam warung. Diikuti oleh anak lelakinya yang nampaknya juga mulai jengkel dengan sikapku.Aku pun hanya tertawa kecil melihat tingkah dua manusia itu. Hampir saja mereka terbod*hi olehku.***Malamnya di saat aku tengah tertidur, tiba-tiba aku terbangun karena mer
Bab 13 Menjual Sawah?"Mas, kalau aku mimpi buruk lagi kayak gitu, terus aku gila, usaha ibu bisa jadi bangkrut karena gak ada yang masak seenak masakan ku. Mau kayak gitu?" ancam ku.Akhirnya, dengan sangat terpaksa Mas Indra pun mengiyakan pengusiran yang aku lakukan itu. Apalagi, tindakan ini didukung langsung oleh Bu Ria yang khawatir kalau usahanya akan bangkrut beneran.***Pagi harinya, ketika matahari belum memunculkan sinarnya, aku yang sudah rapi hendak pamit pada Mas Indra yang masih tertidur di sofa ruang tengah. Karena kejadi
Bab 14 Ada Pengkhianat? Meski merasa terheran-heran, karena tak ingin mempedulikan hal tersebut aku pun segera pamit untuk pergi. "Loh, uangnya kan belom ada. Ngapain pergi sekarang?" tanya Bu Ria. "Nana kan mau nyerahin dokumennya dulu ke Emak. Nanti biar segera diurus," jawabku berbohong. "Oo, yaudah. Cepet balik, ya! warung Ibu masih harus buka hari ini," ujar Bu Ria. "Iya, Buuu," balas ku. ***Tepat ketika aku bersiap untuk meninggalkan rumah Bu Ria, aku melihat kembali ke sekeliling. Memastikan kalau tak ada anggota rumah yang melihat ku menyebrang ke ruko tempat usahaku. "Aman." Aku pun melajukan sepeda motorku menuju ruko. Sesampainya di ruko aku bergegas memasukkan sepeda motorku ke dalam supaya tak terlihat oleh orang terutama keluarga Mas Indra. Lalu aku pun berkutat di dapur guna menyiapkan segala sesuatu untuk penjualan mie ayam dan bakso ku beberapa hari kedepan. Singkat cerita persiapan jualan hari ini kelar. Ternyata tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul se
Part 20 TAMAT"Aku gak mau basa-basa, to the poin aja, mau apa kamu ke sini?" tanya ku pada Mas Indra. "Na, Mas ke sini mau bilang—""Bilang apa? cepetan, aku gak ada waktu!"tukas ku masih tetap memasang wajah cuek. "Mas minta maaf ya sama kamu."Aku tertawa kecil seraya menatap tajam sebentar ke arah Mas Indra. "Gak usah minta maaf—""Tapi, Na," tukas Mas Indra yang membuat ku menoleh ke arahnya. "Mas banyak salah sama kamu. Jadi sudah seharusnya Mas minta maaf ke kamu."Aku menghela napas kasar. "Udah ya, Mas, Nana capek sama semua drama ini.""Drama? maksud kamu?" timpal Mas Indra. Kamu menatap serius ke arah pria di hadapan mu itu. "Mas, aku udah tau ya hubungan kamu sama Tiyem itu gimana."Mas Indra terkejut mendengar ucapan ku barusan. Ekspresinya yang tadi tampak melas pun mendadak berubah gelisah disertai keringat yang mulai membasahi wajahnya. "Kalian udah nikah, kan?""Na, Mas minta maaf ya," ucap Mas Indra cepat. "Aku bilang Mas gak perlu minta maaf!""Nana ...."Aku
Bab 19 Mulai terang-terangan "Mulai sekarang kamu bukan menantuku lagi!" Seketika aku menoleh ke arah Bu Ria dan Mas Indra yang menatapku dari teras rumah. "Aku juga udah gak sudi punya mertua kayak kamu!" balasku, lalu melajukan sepeda motorku. Karena sudah terlanjur diusir, kini tak ada lagi yang perlu aku tutup-tutupi perihal usahaku. Benar, setelah diusir dari rumah mertua ja*ha*nam itu, aku melajukan sepeda motorku ke arah ruko tempat aku jualan. Tentu saja tanpa memedulikan Bu Ria ataupun Mas Indra yang masih memperhatikanku dari teras rumah mereka. "Mbak Nana!" seru Lia yang melihatku tiba-tibadatang dengan membawa banyak barang. Mendengar seruan dari Lia barusan, membuat sahabatku Rika juga muncul dari dalam ruko. Ria berjalan menghampiriku dengan raut wajah terheran-heran sekaligus tak menyangka. "Kamu diusir, Na?" tanya Rika. Entahlah, sudah jelas aku membawa koper dan juga banyak barang, kenapa masih ada pertanyaan seperti itu. Aelah Rika. "Tolong bantuin dong,"
Bab 18 Di UsirMendapati hal tersebut aku hanya tersenyum senang. Benar-benar merasa di atas angin lantaran pihak musuh yang akhirnya membutuhkanku. Sampai tiba-tiba panggilan telepon dari Mas Indra kembali masuk. Karena penasaran dengan apa yang ingin dikatakan suamiku itu, aku pun mengangkat panggilannya tersebut."PULANG!!!" bentak Mas Indra tepat setelah aku menerima panggilannya.Terkejut. Jelas aku terkejut karena dari satu kata yang keluar dari mulut pria jelek itu membuatku langsung naik pitam. Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan sehingga membentakku seperti itu? mungkinkah karena aku pergi tanpa pamit?"Gak usah teriak, Mas, aku gak budeg!" balasku. Enak saja mau marah-marah tak jelas."Alah udah lah! mending kamu pulang sekarang atau kamu bakal menyesal." Tanpa menunggu respon dari ku, Mas Indra malah mematikan hp nya begitu saja."Dasar mokondo! awas aja ya lu!" gerutuku."Kenapa, Na?" tanya Rika.Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Menghela napas sejenak lalu menjelaska
Bab 17 Pergi Tanpa Pamit"Udah lah, Na, jangan marah terus," ujar Mas Indra. "Aku ke sini mau tanya sesuatu ke kamu."Aku tersenyum kecut. Dugaanku benar rupanya. Mas Indra mendatangiku bukan untukku melainkan karena hal lain. Dasar laki-laki kampret!Tapi ... kira-kira hal apa ya yang ingin ditanyakan suamiku itu?"Udah lah, Mas, kamu ngapain ke sini?" tanyaku ketus.Mas Indra tak langsung menjawab. Ia malah tampak ragu namun pada akhirnya berucap juga."Ibu ... nanyain soal sawah kamu gimana?""Ha?!" aku terkejut. Baru saja mengomeliku dan sekarang sudah menanyakan soal sawah. Betul-betul mertua mata duitan!"Emang kenapa sawahnya? lupa ya tadi abis marahin aku?""Udah dong, Na ... maafin ibu, ya? ibu tadi cuma gak pengen kamu berantem sama Tiyem.""Terus kenapa yang dibela Tiyem? bukannya aku? aku masih menantunya, kan?" tukasku.Mas Indra menelan ludahnya mendengar ucapanku barusan. Dari ekspresinya aku bisa menebak kalau ia mulai tak nyaman dengan sikapku. Biarlah, lagian siapa s
Bab 16 Si Pengkhianat Itu ..."Emang sepenting apa, sih?" tanya Tiyem dengan nada meremehkan.Aku menatap secara bergantian tiga orang di hadapanku ini. Lalu mulai bersuara untuk menjelaskan maksud dari perkataanku sebelumnya. Namun sebelum itu, aku mengajukan syarat kepada Bu Ria untuk menelepon Mas Indra agar secepatnya pulang."Kenapa harus ada Indra?" tanya Bu Ria."Gak usah banyak tanya, tinggal mau gak Buuu?" balasku.Dengan menghela napas kesal akhirnya Bu Ria menuruti kemauanku. Ia menelepon anaknya untuk segera pulang.Dan benar saja, kurang dari dua puluh menit setelah Bu Ria menghubungi anak lelakinya itu, Mas Indra sudah srumah. Tentu saja hal itu semakin memperkuat dugaanku kalau suamiku itu pasti sudah tidak bekerja lagi. Sebab, normalnya jarak tempuh yang dilalui Mas Indra dari rumah ke tempat kerjanya itu bisa sampai tiga puluh hingga empat puluh menit."Ada apa, Bu? kok mendadak minta Indra pulang?" tanya Mas Indra sesaat setelah ia sampai."Loh, ada Tiyem juga to?" M
Bab 15 Nana KetahuanBelum sempat aku membalas perkataan Bu Ria, tiba-tiba adik iparku si Jamilah datang dengan hebohnya."Ibuuuu!!!" teriak Jamilah."Kenapa sih kamu?" tanya Bu Ria."Ibu harus liat ini. Ternyata ada pengkhianat di warung kita, Bu," ucap Jamilah cepat.Mendengar kata pengkhianat, spontan aku sadar diri. Jangan-jangan Jamilah ....Aku semakin deg-degan ketika Jamilah menunjukkan layar hp nya ke hadapan ibunya. Saat itu aku teringat dengan postinganku yang ada di facebook mengenai promosi yang aku lakukan untuk usahaku.Dan benar saja, Bu Mirna langsung membelalakkan kedua matanya ketika melihat apa yang ada di layar ponsel Jamilah. Dengan raut wajah yang siap menerkam, ibu mertuaku itu lantas menghampiriku yang berada tak jauh darinya.Plakk!!Dengan keras Bu Ria melayangkan tangannya ke pipiku yang membuatku tertegun seketika.Perang antara mertua dan menantu kembali dimulai!"Mantu kurang aj*r kamu, ya! bisa-bisanya nusuk ibu mertuamu sendiri!" sergah Bu Ria sambil
Bab 14 Ada Pengkhianat? Meski merasa terheran-heran, karena tak ingin mempedulikan hal tersebut aku pun segera pamit untuk pergi. "Loh, uangnya kan belom ada. Ngapain pergi sekarang?" tanya Bu Ria. "Nana kan mau nyerahin dokumennya dulu ke Emak. Nanti biar segera diurus," jawabku berbohong. "Oo, yaudah. Cepet balik, ya! warung Ibu masih harus buka hari ini," ujar Bu Ria. "Iya, Buuu," balas ku. ***Tepat ketika aku bersiap untuk meninggalkan rumah Bu Ria, aku melihat kembali ke sekeliling. Memastikan kalau tak ada anggota rumah yang melihat ku menyebrang ke ruko tempat usahaku. "Aman." Aku pun melajukan sepeda motorku menuju ruko. Sesampainya di ruko aku bergegas memasukkan sepeda motorku ke dalam supaya tak terlihat oleh orang terutama keluarga Mas Indra. Lalu aku pun berkutat di dapur guna menyiapkan segala sesuatu untuk penjualan mie ayam dan bakso ku beberapa hari kedepan. Singkat cerita persiapan jualan hari ini kelar. Ternyata tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul se
Bab 13 Menjual Sawah?"Mas, kalau aku mimpi buruk lagi kayak gitu, terus aku gila, usaha ibu bisa jadi bangkrut karena gak ada yang masak seenak masakan ku. Mau kayak gitu?" ancam ku.Akhirnya, dengan sangat terpaksa Mas Indra pun mengiyakan pengusiran yang aku lakukan itu. Apalagi, tindakan ini didukung langsung oleh Bu Ria yang khawatir kalau usahanya akan bangkrut beneran.***Pagi harinya, ketika matahari belum memunculkan sinarnya, aku yang sudah rapi hendak pamit pada Mas Indra yang masih tertidur di sofa ruang tengah. Karena kejadi
Bab 12 Lebih Dari Yang DikiraSengaja. Benar, aku sengaja mengeluarkan kata-kata barusan. Toh, pada kenyataannya memang benar kan kalau Tiyem tidak hanya seperti keluarga sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari keluarga Mas Indra.Bu Ria dan Mas Indra pun terdiam satu sama lain. Tampak jelas raut wajah mereka berdua mendadak berubah grogi. Yang mana aku yakin, dua orang di dekat ku itu pasti merasa tersentil dengan ucapanku barusan."Udah ah, usulan kamu tuh gak masuk akal," ucap Bu Ria seraya kembali masuk ke dalam warung. Diikuti oleh anak lelakinya yang nampaknya juga mulai jengkel dengan sikapku.Aku pun hanya tertawa kecil melihat tingkah dua manusia itu. Hampir saja mereka terbod*hi olehku.***Malamnya di saat aku tengah tertidur, tiba-tiba aku terbangun karena mer