enjoy reading ...
"Perempuan laknat!" Pekiknya.Aku terkekeh dengan santainya. Baru kali ini aku merasakan nikmatnya melawan istri sah mantan kekasihku. Semua terasa bagai di atas awan saat dia begitu marah dengan deretan perhatian Affar yang sempat tercurah hanya untukku."Lo lihat ponsel gue?' Aku menunjukkannya. "Ini pemberian Affar seharga 15 juta secara cuma-cuma. Dia bahkan nyuruh gue milih yang lebih mahal tapi gue menolak dengan gaya sok imut. Yaah, biar nggak dikira mantre-matre amat lah.""Dasar perempuan tidak tahu diri!""Hey calm madam. Malu dikit kenapa?"Sebenarnya aku cukup gemetar mengingat pengunjung menatap kami risih. Aku hanya tidak mau
Luka hati karena telah dikhianati Affar jauh lebih menyakitkan dari pada Alex. Bayangan kami akan hidup bahagia setelah banyak kenangan indah nan panas yang kamu lalui, ternyata menguap bagai asap. Lalu terbawa angin dan menghilang.Ada banyak kelebihan Affar yang sanggup membuatku bertekuk walau hanya dengan sekali lirikan. Dia terlalu sempurna dimataku dengan kedewasaannya yang begitu mengayomi bagai sosok papa yang telah lama hilang dalam kehidupanku.Papa meninggalkanku dan mama demi perempuan tidak tahu diri. Dan imbasnya aku tidak mendapat kasih sayang yang seharusnya. Hingga menemukan hal itu dalam diri Affar."Bangsat! Bajingan lo Far!" Aku menangis dengan memukul stir mobil.Lalu
Aku meregangkan otot tubuh dengan segarnya ketika getaran ponsel yang ada di sebelah mengganggu pejaman mataku. Seakan dipaksa kembali ke dunia nyata. Kamar Pak Lio yang... Tunggu! Kamar Pak Lio? Aku mengedarkan pandangan dan benar saja aku tengah dengan nyenyaknya tidur di kamar atasan killer satu itu. Lalu aku menepuk jidat keras ketika melihat jam sudah sangat sore. Itu artinya aku terlelap cukup lama. Segera turun dari ranjang empuknya tidak lupa membetulkan seprei dan mematikan AC kamarnya. Lalu berlari keluar. Tapi, ada yang ketinggalan lagi. "Mejanya." Aku kembali ke dalam rumah untuk mengambil meja dan keluar rumahnya. Meletakkan kunci rumahnya di bawah pot coklat, menutup pagar depan, lalu menginjak pedal gas mobil menuju rumah sakit. "Mampus gue. Nanti Pak Lio pasti ngomel-ngomel." Walau di ponsel tidak ada notifikasi bahwa ia keberatan dengan keterlambatanku, tapi aku yakin ia
"Mbak Audrey?"Aku menoleh karena seseorang memanggil namaku, seseorang yang kukenal tapi bukan sahabat atau teman baik. Melihat dia seperti melihat wujud Affar dalam versi lain.Dia berjalan mendekat lalu sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Bagaimana kabarnya mbak?""Baik.""Ada yang sedang tidak enak badan mbak?""Ada.""Kalau boleh tahu siapa?""Affar Khaleed Dirgantara." Ucapku tegas dan menusuk."Aku ingin sekali memotong adik kecilnya biar tidak seenak jidat mempermainkan hati p
Bayangan ucapan Pak Lio agar tidak membongkar rahasianya yang berstatus duda membuatku berspekulasi bahwa ia tidak mau harga dirinya jatuh. Atau lebih tepatnya pasaran popularitasnya agar tidak turun. Karena tidak banyak perempuan yang mau menerima duda, kecuali dia seorang janda.Tapi dengan wajah tampan, pekerjaan mapan, penampilan yang keren, aku yakin sekali walau Pak Lio berstatus duda, masih ada perempuan single yang mau menerima dia apa adanyaAh, andai Anjar tahu tentang status Pak Lio, apa dia masih ingin meneruskan perasaannya? Membayangkannya aku merasa geli."Kenapa lo Drey senyam senyum? Dapat angpao dari bokap?"Aku meliriknya tajam. "Bokap gue udah ilang dimakan kadal."
"Diam!" ucapnya dengan mata berkilat marah.Dari suaranya saja, aku tahu siapa orang yang kini menggeretku diantara dua mobil. Nafasnya naik turun dengan mencengkeram lenganku sangat kuat."Lepas, Far! Kamu nyakitin aku!"Plak!Satu tamparan itu mendarat dengan begitu mulus di pipi kiriku. Namun efeknya menghancurkan hatiku. Tapi, Affar bagai lelaki kerasukan yang mendadak tidak memiliki rasa belas kasih padaku. Dia seakan-akan lupa jika dulu aku adalah perempuan yang pernah singgah di kehidupannya dan memberinya banyak hal membahagiakan. "Dasar cewek murahan! Bisa diem kalau ditampar!"Baru kemarin kami bertemu dengan saling tidak mengenal, juga dengan aku yang tengah mati-matian menyembuhkan luka di hati. Melupakan janji indahnya yang dulu kerap berucap akan membawaku ke dalam hubungan yang indah setelah dirinya bercerai.Itu semua omong kosong!!!Dan mengapa kini kenapa dia datang lagi. Tuhan, mengapa Engkau seakan-akan tidak membiarkan hidupku tenang barang sepekan saja?Apakah u
"Audrey!!!"Aku menoleh ke sumber suara lalu belari menghampirinya. Bersembunyi di balik tubuh Alfonso demi menghindari Affar. Aku sangat bersyukur ia datang di saat yang sangat tepat sekali.Pipiku terasa panas dan punggungku terasa hampir patah karena siksaan Affar yang tidak berdasar. Andai Alfonso tidak datang mungkin aku akan berakhir menyedihkan.Menuntut Affar pada pihak kepolisian?Itu jalan buntu.Aku tahu dia pria berharta bahkan memiliki pengacara pribadi yang ditugaskan mengurus masalah perceraiannya. Bahkan dia berhasil membungkam penyidik untuk tidak memanggilku lagi saat ada kasus penggelapan material mega proyek yang dilakukan oleh supervisor la
"Audrey, hei.... bangun." Alfonso mengguncang lenganku lembut.Mobil mewah Alfonso yang sangat nyaman mampu meninabobokan ragaku yang teramat lelah. Efek dari capek hati pula.Aku menyesuaikan pandangan dengan keadaan sekitar yang terasa asing bagiku. Ini bukan tempat yang kukenal."Dimana ini Al?" Tanyaku dengan mata menyipit."Rumah Kian."Aku langsung terkejut. "Ki....Kian? Pak Lio maksudnya?"Alfonso mengangguk. "Yap. Kita kesini aja ya? Sekalian ngompres pipi lo."Mobil Pak Lio terparkir di depan garasi rumah, mungkin ia baru pulang setelah mengantar Anjar. Namun kelebat kejadian aku merebut Affar dari istrinya justru menari-nari dalam benakku. Ditambah bayangan wanita pelakor yang merebut papa dari mama. "Nggak Al. Kita balik ke mall aja. Pipi gue nggak apa-apa kok." Ucapku sambil menahan lengannya ketika hendak keluar mobil.Setelah menghancurkan rumah tangga Affar, aku tidak mungkin menghancurkan hubungan Anjar dengan Pak Lio. Bagaimanapun Anjar adalah sahabat baik di kantor d
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi