"Maaf Tuan Clarke, saya tidak bisa menemani Anda. Tapi saya akan bayar gantinya nanti. Anda bisa mengatakan apa yang harus saya lakukan untuk membayarnya."
Rania bukan bermaksud ingin menantang.
Tapi memang dia tak ada pilihan lain kecuali bernegosiasi dan segera keluar setelah mobil berhenti di depan SSG.
Rania berlari sangat cepat sambil menangis sudah tak memedulikan lagi apa yang akan dikatakan Reza. Tujuannya adalah gerbang SSG dan mencari kendaraan.
“Marsha!”
Selama ini hidup Rania sudah tidak lagi didedikasikan untuk dirinya sendiri.
Semua untuk Marsha. Semua untuk putrinya sejak dia mengandung anak itu dan terpaksa harus keluar dari rumahnya. Harapan Rania adalah Marsha.
Apa jadin
"Tu-Tuan Clarke?""Hah!"Reza yang kini sedang berdiri dengan kedua tangannya melipat di depan dadanya, dia membuang wajahnya saat mendengar namanya disebut oleh Rania. Tampak tak suka."Ehm, maafkan saya. Tapi saya akan ganti kerja di hari lain, Tuan Clarke. Tidak bisa hari ini."Rania tidak tahu kenapa pria itu bisa ada di hadapannya dan pikirannya jadi ngejelimet sendiri.Belum lagi Rania menghapus air mata di wajahnya, dia juga masih memikirkan apa yang diinginkan Reza? Bukankah seharusnya dia masih ada jadwal?Apa mau bosnya itu?"Kau pikir aku ke sini untuk menagihmu mengganti jam kerja?"Kan Rania juga tidak tahu dan dia tadi menjawab seperti itu asal saja keluar dari bibirnya. Tapi memang lirikan mata Reza sudah membuatnya takut.Reza sangat mengintimidasinya."David apa semua sudah selesai?" apalagi Reza sudah bertanya pada asisten pribadinya yang kini juga sudah mendekat dan menjawab."Sudah, Tuan Clarke. Tinggal pemindahan Marsha dari ruangan ini dan untuk mempersingkat wak
Suara napasnya sendiri terdengar, suara detakan jantung juga mulai dirasakan tubuhnya di saat wanita itu kembali pada kesadarannya.Mata itu memang masih belum terbuka tapi sedikit demi sedikit otaknya me-refresh kembali semua ingatannya.Meski memang tidak cepat tapi dia pun sadar kalau ada sesuatu yang tak beres dengan tubuhnya.Jarum infusan? terheran dia di hatinya.Rania memang langsung memindai tangan kirinya karena sesuatu di punggung tangan kirinya itu seakan-akan terlalu berat dan mengganggunya.Matanya pun mengarah ke tiang infusan.Agak bingung juga Rania kenapa dirinya harus diinfus?"Selamat malam Nyonya. Anda sudah sadar?"Sapaan itu membuatnya bingung. Tapi dia belum bisa mengatakan apapun saat menatap ke arah perawat.Perasaan dirinya tidak sakit. Rania baik-baik saja dan bahkan saat merefresh pikirannya, dia tahu kalau memang terakhir kali di rumah sakit itu dia tidak kenapa-napa."Putriku!"Justru ada seseorang yang dikawatirkannya, karena Rania ingat yang menimpa pu
"Reza, apa salahku sampai kau membuat hidupku sesulit ini?"Rania sudah tidak lagi bisa menahan diri."Aku yang mengandungnya. Aku yang membesarkannya sendiri dan aku yang menanggung semua beban membesarkannya. Kenapa kau masih ingin memisahkanku dengan putriku?"Makanya Rania menumpahkan semua perasaan di dalam hatinyaNamun sayang Reza tidak merespon."Tidak bisakah sedikit saja kau bisa merasa kasihan padaku?"Itulah kenapa Rania yang sudah berkaca-kaca matanya, lagi-lagi memelas.Tapi apakah Reza mau berbelas kasih sedikit saja padanya?"Kasihan kau bilang?"Pria itu malah menyunggingkan senyumnya dan sedetik kemudian wajah iblis itu kembali terlihat di mimik wajah Reza."Aku harus kasihan pada seseorang yang mencuri milikku dan ingin menjadikan orang lain diakui sebagai papanya?"Kapan Rania mengambil milik Reza? Dan ini kasar sekali. Dia dibilang pencuri.Bukankah dirinya yang dibuang dan Rania sudah memohon-mohon tapi pria itu tetap pergi meninggalkannya?Tak mengerti Rania jal
"Re-Reza!""Satu!"Tak peduli dengan wajah Rania yang terlihat penuh harap sekali ingin memohon padanya agar ditemukan dengan putrinya, Reza dengan wajah dinginnya sudah lanjut menghitung."Dua!"Dia juga tak peduli melihat Rania yang kebingungan sudah kembali menghitung angka selanjutnya. Seakan tak ada belas kasihan untuk wanita di hadapannya dan ingin sekali dia menumpahkan kemarahannya. Rania juga tidak tahu Apa alasan yang membuat pria itu sangat membencinya."Tiga!"Siapa yang tidak panik mendengar hitungan yang terus berlangsung?Rania itu bukan tipe wanita koleris yang semakin ditantang akan semakin berani. Hidup Rania sudah penuh dengan ketakutan sejak dirinya kecil. Penuh dengan tekanan dari orang tuanya dan penuh dengan tuntutan. Ini membuat dirinya sulit untuk mengungkapkan sesuatu dan memang bukan pemberani.Bisa mempertahankan Marsha tetap di dalam kandungannya itu su
"Aku mengerti, Maaf Reza."Rania hanya menebak saja apa panggilan yang diinginkan oleh Reza.Seseorang yang fisiknya tidak berani ditatap Rania.Dia memilih tetap memejamkan matanya, berusaha untuk terlelap supaya tidak harus lagi mendapatkan omelan Reza.Tapi apakah Rania berhasil?"Tidak bisa tidur?""Hmm!"Rania berkata jujur tanpa membuka mata. Untuk terlelap sepertinya sulit sekali. 'Mau apa dia?'Rania tidak tahu, tapi dia terpaksa membuka matanya lagi saat Reza mengangkat kepalanya dan memindahkan ke atas pangkuan kaki kirinya.Pria itu juga menggeser sedikit tubuh Rania agak ke tengah sehingga bisa duduk di samping Rania dan membuat posisi tubuh Rania berubah. Sayangnya, posisi itu membuat hatinya bergetar.'Ini posisiku dulu kalau aku sedang ingin bermanja padanya, tapi dia sibuk. Makanya aku akan menjadikan kakinya ini seperti guling. Dan aku akan memeluk pahanya,
Se-sembuh?Celetukan Marsha yang ingin membuat Rania mencubit putrinya sendiri. Bukankah selama ini putrinya yang sakit?Lalu kenapa dirinya yang dibilang sudah sembuh? Dan ada satu kata lagi yang membuat Rania seakan tergelitikPapa? Ish, lelucon apa ini? Rania gemas!Dia tahu putrinya itu seperti apa. Dan Marsha, bukan anak yang mudah untuk dipengaruhi. Marsha bukan bocah yang gampang percaya dengan orang lain tapi sekarang apa yang Rania lihat?"Marsha, belum bisa minta gendong sama mama ya, Marsha sama Papa dulu dan makannya juga kayak biasa, disuapin sama Papa. Biar mama enggak keberatan gendong Marsha dan bisa istirahat. Marsha mau kan mama cepat sembuh?""Iya mau! Malsha ma Papa aja!"
"Lakukanlah kalau kau memang tak tahu malu!"Rania sedang marah.Emosinya tidak stabil. Makanya dia menjawab sekenanya saja."Begitu maumu?""Apa penting apa mauku? Keputusan di tempat ini semuanya berdasarkan keputusanmu. Bukan aku."Namanya juga sedang emosi, Rania hanya menitikberatkan pada amarahnya saja saat menjawab."Kalau itu maumu baiklah! Kita lakukan di sini."Tapi entah apa jalan pikiran Reza, dia malah mendekat pada Rania dan menarik selimut itu.Aku memang tak ada lagi harganya. Hany
"Kau sangat kejam sekali padaku!" Rania berbisik penuh penekanan dengan air matanya yang hampir tumpah. Tapi tak sama sekali dilirik oleh Reza. "Permisi, Tuan Clarke!" Siapa lagi ini ya? Rania mendengar suara perempuan yang membuat dirinya sedikit penasaran. Ini berbeda dengan suara dokter yang biasa merawatnya. Cuma Rania malas untuk mengubah posisi tubuhnya karena badannya merentek dan sakit semua. Apalagi dia juga merasa perih di sekitaran bukitnya sebelah kiri yang kemarin dicengkram begitu kuat. Bahkan bagian bawahnya setiap kali dia ingin mengangkat kakinya untuk mengubah posisi juga terasa sakit. Rania mager, tak acuh dia membiarkan perempuan itu mendekat pada Reza yang baru saja menutup bukunya. "Halo, kemarin aku mengujinya sekali." "Apa ada rasa tak nyaman Tuan Clarke?" tanyanya lagi. Rania masih tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi saat ini dia berusaha tak peduli dengan mereka, lagian dia juga tidak disapa. "Tidak ada. Cuma rasanya berbeda saja." "Nah berbe
Delima: Mana ku tahu. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu. Mungkin dia ingin memberikan surprise padamu.Shaun, dia menempuh kuliah S1 dan S2-nya di Jepang dan semuanya mendapat beasiswa. Hari ini kepulangannya dan Alila sungguh tak percaya kalau temannya itu sudah datang tanpa meneleponnya.Alila: Berikan teleponnya padanya.Shaun: Hai Alila.Delima pun menurut. Dan kini suara seseorang sudah membuat Alila begitu murka padanyaAlila: Kau. Sahabat macam apa kau pulang tidak bilang-bilang padaku?Shaun: Dengar dulu, aku-Alila: Tak mau. Aku lagi marah padamu Shaun.Yah, sudah terbayang memang bagaimana kesalnya Alila karena tidak diberitahukan tentang kedatangan pria itu. Padahal selama ini komunikasi mereka cukup lancar. Tapi kenapa dia harus tahu dari orang lain tentang kedatangan Shaun?Shaun: Baiklah, aku minta maaf, aku ingin kasih kejutan padamu.Alila: Maafmu tidak diterima. Cepat temui aku di plaza dan bantu aku mengurus empat monster kecil ini. Bawa juga Delima. Dia yang pa
"Alila, kau dengar aku tidaaaak?""Dengaaaar, sabarlah Darwin, kan aku masih berpikir!"Entah kenapa Alila jadi mengingat ini. Sampai dia diam beberapa detik dan Darwin mengomel.Bayangan tentang Arthur memang tidak bisa dilupakannya dengan mudah. Ini yang membuatnya kembali menunjuk pekerjaan pada Darwin."Jangan bilang kau akan menunda lagi. Atau jangan-jangan kau menunda terus supaya aku berpaling dari Delima padamu.""Dih, kau pikir aku menyukaimu Darwin? Ish.""Habis, lama sekali sih. Aku sudah tidak sabar. Apa kau tidak mendukungku bersama dengannya dan hanya menipuku selama ini?"Darwin memang tidak sabaran. Delima memang sangat cantik sekali dan Darwin menyukainya sejak pandangan pertama. Alila jadi terkekeh lagi melihat bagaimana kesalnya Darwin padanya.Hubungannya dengan Darwin tidak se-kaku hubungan antara Reza dengan David. Mereka tak pakai panggilan resmi. Di tempat kerja, panggilan nama seperti ini juga tak masalah. Tak jarang mereka juga ribut satu sama lain di depan k
"Amar, Caca akan melahirkan!"Cuma sebelum siapapun merespon, Alila sadar duluan. Darah segar pun mengalir begitu saja yang membuat Amar cemas, Alila memekik."Kenapa kau diam saja? Cepat bawa istrimu ke dalam!"Reza juga panik. Dia segera mungkin membuka ruangan dan memanggil dokter untuk mempersiapkan operasi kedua yang jaraknya bahkan tak lebih dari seperempat jam dari Rania yang baru selesai.Caca tidak bisa diminta lahiran normal karena masalah di kepalanya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya.Sekarang saja masalah di otaknya belum sembuh betul. Ya memang kondisinya sudah lebih baik. Caca bisa bertahan mengingat seseorang lebih dari seperempat jam. Bahkan rekor, pernah setengah jam dia tak bertanya dan bisa fokus ke obrolan tanpa gangguan. Tapi tetap saja, lahiran normal ini resiko berat."Papa. Amar. Bisa tidak sih kalian tidak bolak-balik? Mengganggu penglihatanku saja!"Tadi saat Rania melahirkan, Reza masih bisa tenang hanya menggenggam tangan Alila dan merangkul putri
"Aku tidak jadi bicara denganmu. Akan kupikirkan lagi bagaimana aku harus menyingkirkanmu!"Lagi-lagi jawaban yang membuat kepala David pening."Reza kau ingin aku mengundurkan diri kah?"Amar tak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan tapi sepertinya dia melihat sisi positif dari sikap David yang menekan Reza ini."Kau tidak perlu mengundurkan diri kalau Reza memang membenciku, David. Dia masih berpikir kalau aku ingin merebut Rania-""BUKAN HANYA RANIA!" Reza memekik."Kau pikir masalahku denganmu hanya karena itu? Aku membencimu karena kau selalu mengganggu hidupku, selalu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."Bingung juga Amar mencernanya. Karena dia merasa tidak mengambil apapun dan bahkan dia sudah mengembalikan Rania kepada Reza.Dia tidak mengganggu hubungan mereka selama mereka bersama, dia tidak datang kecuali dia ingin mengecek DNA Caca barulah dia muncul."Sudah Amar, tidak perlu dipikirkan. Reza hanya cemburu tentang Marsha. Kau bersama dengan Marsha dari d
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi