Share

27. Ancaman Bella

Author: Helminawati Pandia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

****

“Kamu gak apa-apa, In?” Mama menghampiriku, memijit tengkukku dengan lembut.

“Udah, Ma!” ucapku seraya membersihkan mulut dan wajahku.

“Jadi kamu ke butik kalau lemas begini?” tanay Mama lagi.

“Jadi, Ma. Udah janji sama Bella. Saya ke kamar dulu, nanti langsung berangkat, ya, Ma!” izinku sambil berjalan menuju kamarku.

Sempat kulihat tatapan Mas Haga. Sorot matanya begitu sendu, saat bersetatap denganku. Mungkin dia merasakan sesuatu, yang jelas janin di dalam perutku ini, adalah benihnya. Kuyakin ada ikatan batin di antara mereka. Namun, aku berusaha mengurainya. Tak akan pernah ada tempat bagi laki-laki itu, di sini, di hati ini, meski hanya di sudut terluarnya.

***

“Indri! Kamu udah datang?” Kak Jo berdiri menyabutku, saat aku memasuki ruang kantor di butik itu.

Aku mengangguk, lalu melemparkan senyum seramah mungkin pada Bella yang juga sudah menunggu.

“Kamu telat!” protesnya ketus.

“Maaf, Bel. Ada masalah dikit tadi di rumah,” ucapku dengan nada menyesal.

“Masalah apa?
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   28. Perhatian (Aneh) Mas Bara

    ====“In, kenapa kamu gegabah banget, sih?” Kak Jo terduduk lemas di sofa, di seberang mejaku.Aku hanya membisu. Ada denyut hebat yang menyerang di kepalaku. Bella telah berhasil membuatku badmood.“Kita harus bilang apa pada pelanggan, In? Kita sempat berjanji akan memasarkan produk rancangan Mbak Bella di butik kita. Beberapa bahkan udah take order. Gimana, dong?” keluh Kak Jo memijit pelipisnya. Rupanya dia juga tetiba menderita sakit kepala, seperti halnya aku.“Maaf, Kak Jo. Sebetulnya kalian terlalu gegabah. Kalian berani promosikan produk rancangan Bella, bahkan berani terima orderan, sementara kita belum ada kata sepakat dengan yang bersangkutan,” ucapku mengungkap kecewaku.“Maaf, In. Sebetulnya kami enggak akan berani promo dan terima orderan, kalau belum ada kata sepakat dari Mbak Bella.”“Maksudnya?” Aku tersentak.“Iya, sebelumnya Mbak Bella sudah ok, In. Bahkan udah janji akan memasukkan produk rancangannya untuk tahap pertama.”“Lho? Kapan itu?”“Sehari setelah

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   29. Kedatangan Pria Masa Lalu

    ****Ini luar biasa. Mas Bara tidak membela kekasihnya, justru meminta maaf padaku. Mas Bara memang dewasa banget. Begitu pinter menyikapi segala sesuatunya. Beruntung sekali Bella mempunyai kekasih seperti Mas Bara. Bertolak belakang dengan watak adiknya Mas Haga. Andai saja yang dijodohin ke aku dulu adalah Mas Bara, bukan Mas Haga?Ups!Kenapa aku jadi ngelantur begini?“In! Kamu baik-baik saja?”“Eh, aku enggak apa-apa, Mas. Sudah, ya! Mas Bara pasti sibuk di kantor! Matiin aja telponnya!”“Bentar … bentar! Aku memnag sibuk, tapi, setelah Bella nelpon tadi, aku langsung nelpon Mama, nanayin gimana kondisi kamu tadi pagi sebelum berangkat. Au kepikiran aja. Gak bisa bayangin, kamu yang sedang mabuk begitu, Bella malah buat masalah, Aku khawatir kamu tambah pening.”“Oh, jadi sebetulnya kamu yang nelpon Mama, bukan Mam yang nelpon kamu?” Aku terkesiap. Mas Baar ketahuan berbohong.“Eh, iya, In. Maaf.”“Ya, enggak apa-apa, sih, Mas.”“Hem, aku juga heran, In. Entah kenapa, aku serin

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   30. Janji Mas Bayu

    ==== “Kak Jo, ke ruangan aku bentar, deh!” panggilku pada Kak Johana melalui telepon.“Siap, aku datang, In, segera,” jawabnya langsung mengakhiri panggilan.“Jangan kenalin dengan teman kamu, dong, In! Kenapa, sih, bukan kamu aja yang urus!” protes Mas Bayu menekuk wajahnya yang terlihat begitu bersih. Ya, itulah ciri khas cowok satu ini. Wajah putih bersih, kalah wajah perempuan. Mungkin karena air wudhu tak pernah kering di wajahnya.Salah satu kelemahannya yang paling dominan adalah takut berinteraksi dengan perempuan. Itu sebab dia langsung mengajak aku menikah dulunya, meski kami tak ada hubungan. Baginya perkenalan lebih lanjut itu setelah menikah saja. Menghindari dosa akibat zina hati dan zina pikiran, begitu alasannya.“Nama manager kamu Johana?” tanyanya menyelidik.“Ya, Kak Jo, lengkapnya Johana, kenapa, Mas?”“Gak apa-apa, sih. Biasa aja.”“Gak usah grogi, Mas! Tenang, Mas! Kak Jo gak gigit orang, kok! Makanannya masih nasi, sama kayak kita.”“Bukan masalah itu, In.

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   31. Ara Mata-mata Bella

    ****“Kalau ada yang masih mau dibicarakan, silahkan bicara dengan Johana, manager butik ini, ok! Semoga Anda bisa maklum!” ujar Mas Bara lagi kepada Mas Bayu.“Begitu, ya. Tapi, saya rasa Anda terlalu berlebihan. Anda bukan lagi Abang ipar bagi Indri. Anda hanya mantan, mantan Abang Ipar, itu yang paling tepat, betul bukan?” Mas Bayu tersenyum tipis.“Bagus kalau Anda paham. Anggap saja Anda benar. Saya juga lebih suka dengan istilah Mantan Abang ipar, sehingga tak akan menjadi penghalang bagi saya untuk langkah selanjutnya,” balas Mas Bara juga tersenyum tipis.“Langkah selanjutnya? Maksud Anda?” Mas Bayu menautkan kedua alisnya merasa heran.“Bukan urusan Anda, karena Anda hanya kolega bisnis Indri, mantan adik ipar saya ini. Benar begitu, bukan?” balas Mas Bara dengan lugas.Mas Bayu tercekat.Mas Bara tersenyum lebar.“Indri, ayo! Mama sudah menunggu!” perintahnya sekali lagi.Aku tak berani menolak, entahlah! Kenapa aku tak bisa menolak. Sadar sebetulnya, bahwa dia tak

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   32. Ternyata Ini Jebakan Ara dan Bella

    ===“Bagaimana In? Kamu lihat haga sebentar, ya?” tanya Mama begitu Ara berlalu.“Saya sebenarnya enggan ke kamar mereka, Ma,” jawabku tetap menjaga nada suara. Khawatir dianggap tidak sopan oleh Mama.“Mama temani, ayo!” usulnya.“Bentar, Ma.”Aku segera merapikan diri. Meraih jilbab panjang, mengenakannya di kepala, dan mematut diri di depan cermin rias.Mas Haga bukan suamiku lagi. Dia adalah orang lain sekarang, meski janin di perutku ini adalah darah dagingnya. Maka aku harus menutup aurat serapat mungkin bila di hadapannya, meskipun kami tinggal di bawah atap yang sama.“Yuk, Ma!” ajakku kemudian.“Ya, Sayang! Kamu cantik sekali!” Mama menatapku kagum.“Ah, Mama. Seperti baru pertama bertemu Indri saja!” Aku tersipu, berjalan sambil memegang lengan wanita paruh baya itu.“Semoga cucu mama juga sama cantiknya seperti kamu, ya, sayang!” doanya sambil berjalan menuju kamar Mas Haga.“Aamiin,” timpalku mengamini.Kamar Mas Haga berada di kamar tamu. Mama yang menempatkan me

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   33. Pertengkaran Para Durjana

    ****“Ya, kamu salah! Kenapa kamu mau mengikuti ide gila istri kamu?” sesal Mama.“Sebetulnya, Haga memang mau bicara dengan Indri, Ma, kebetulan Ara menawarkan itu, jadi Haga terima saja. Tak paham kalau dia berniat menjebak Indri.” Haga mendongah, menatap tajam ke Ara kini.“Jadi, kamu tidak tahu kalau ini rencana perempuan ini!”Mas Haga menggeleng lemah.“Bisa kamu jelaskan, Ara! Apa rencana kamu sebetulnya dengan menjebak Indri dan Haga di kamar berduan?” Mama mulai menyelidiki.“Tidak ada, Ma,” jawab Ara terlihat kesal.“Kamu jawab jujur! Kamu mau viralkan begitu, seolah-olah mereka selingkuh? Iya, kan?” tuduh Mama. “Enggak, Ma. Cuma iseng aja.” Ara bertahan.“Iseng kamu bilang? Bilang ini idenya siapa!”“Gak ada, Ma. Ini gak serius!”“Ide kamu atau idenya Bella!”“Enggak, Ma!”“Jawab!”Ara bergeming. Kepalanya menunduk menekuri lantai kamar.“Baik, kami akan tetap menyelidiki ini! Tunggu saja! Indri harus berangkat menemui Dokter kandungan hari ini! Jangan sampai karena insi

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   34. Aku Atau Keluarga Mertuaku Yang Akan Keluar Dari Rumah

    =====“Udah siap?” Mas Bara membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk. Lalu berjalan menuju mobil itu.Tetapi, langkahku segera terhenti. Kalimat Mas Haga terngiang di telinga. ‘Jangan pergi bareng Mas Bara! Bayi itu bukan benihnya!’Kupikir ada benarnya. Tak pantas rasanya seorang mantan kakak ipar selalu meempel pada mantan istri adiknya. Bukan karena ingin mengindahkan permohonan Mas Haga, tetapi memang hati kecilku yang berbicara. Aku harus bertindak sekarang juga. Bersikap tegas, dan mulai menunjukkan jati diri yang sesungguhnya.Selain itu, aku tak ingin mencari masalah baru. Bella tak akan pernah diam, melihat kekasihnya yang semakin mengacuhkan. Tak ingin menjadi batu sandungan, aku bukan perempuan perusak hubungan orang. Sudah saatnya aku segera menyingkirkan semua onak dan duri yang menghadang. “Maaf, Mas, saya bisa berangkat sendiri!”Kembali aku melangkah menuju kamar utama, itu adalah kamar pribadiku.“Indri? Ada apa?” Mas Bara ternyata mengikutiku.“Stop

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   35. Aku Harus Pergi

    ****“Betah, lho, Pak. Semewah-mewahnya tinggal di rumah orang, pasti akan lebih enak dan nyaman tinggal di rumah sendiri. Meskipun kecil dan sederhana. Tapi Indri merasa tenang. Tak ada intrik dan kemunafikan di dalamnya.”“Lho, rumah mewah itu kan, milik kamu, Nduk? Sudah dialih nama dengan nama kamu, kan?”“Dialih nama doang, Pak. Tapi buktinya mereka tetap bertahan. Indri juga enggak mau berharap. Bia raja, deh, Pak. Indri mau tinggalkan rumah itu, biar bsa hidup tenang dan nyaman.”“Baiklah, Bapak dan Ibu nanti akan datang. Tetapi, kalau misalnya mertuamu melarang kamu pergi bagaimana, Nduk?"“Bapak pinter-pinterlah ngomongnya, pak! Beri pengertian buat mereka!”“Baiklah, semoga berjalan lancar, ya, Nak, ya! Sekarang kamu di mana ini?”“Mau ke dokter kandungan, Pak. Mau cek up.”“Sama siapa, Nduk?”“Indri sehat, Pak. Jadi, gak masalah meskipun sendiri.”“Kamu sendiri, Sayang?” Kudengar suara Bapak berubah serak. Pasti dia merasa pilu karena putrinya sendirian. Padahal aku

Latest chapter

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   78. Sepenggal  Asa Buat Indri  Dan Bara  (Tamat)

    POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   77. Ada Johana Pengganti Indri di Hati  Bayu

    “Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   76. Surat Pernyataan Sebelum Perceraian

    Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   75. Bayiku Diambil Keluarga Mantan Suami

    “Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   74. Bayiku Dilarikan Mama Mertua

    “Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   73. Selamat Menjadi Ibu, Juga Menjelang Pengantin Baru

    ====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   72. Bara Dan Bayu Di Rumah Indri

    ======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   71. Siapa Yang Menelepon Mas Arga  Saat Acara Lamaran

    POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   70. Hukuman Ara,  Keputusan Bella Menikah,

    =====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak

DMCA.com Protection Status