===“Bagaimana In? Kamu lihat haga sebentar, ya?” tanya Mama begitu Ara berlalu.“Saya sebenarnya enggan ke kamar mereka, Ma,” jawabku tetap menjaga nada suara. Khawatir dianggap tidak sopan oleh Mama.“Mama temani, ayo!” usulnya.“Bentar, Ma.”Aku segera merapikan diri. Meraih jilbab panjang, mengenakannya di kepala, dan mematut diri di depan cermin rias.Mas Haga bukan suamiku lagi. Dia adalah orang lain sekarang, meski janin di perutku ini adalah darah dagingnya. Maka aku harus menutup aurat serapat mungkin bila di hadapannya, meskipun kami tinggal di bawah atap yang sama.“Yuk, Ma!” ajakku kemudian.“Ya, Sayang! Kamu cantik sekali!” Mama menatapku kagum.“Ah, Mama. Seperti baru pertama bertemu Indri saja!” Aku tersipu, berjalan sambil memegang lengan wanita paruh baya itu.“Semoga cucu mama juga sama cantiknya seperti kamu, ya, sayang!” doanya sambil berjalan menuju kamar Mas Haga.“Aamiin,” timpalku mengamini.Kamar Mas Haga berada di kamar tamu. Mama yang menempatkan me
****“Ya, kamu salah! Kenapa kamu mau mengikuti ide gila istri kamu?” sesal Mama.“Sebetulnya, Haga memang mau bicara dengan Indri, Ma, kebetulan Ara menawarkan itu, jadi Haga terima saja. Tak paham kalau dia berniat menjebak Indri.” Haga mendongah, menatap tajam ke Ara kini.“Jadi, kamu tidak tahu kalau ini rencana perempuan ini!”Mas Haga menggeleng lemah.“Bisa kamu jelaskan, Ara! Apa rencana kamu sebetulnya dengan menjebak Indri dan Haga di kamar berduan?” Mama mulai menyelidiki.“Tidak ada, Ma,” jawab Ara terlihat kesal.“Kamu jawab jujur! Kamu mau viralkan begitu, seolah-olah mereka selingkuh? Iya, kan?” tuduh Mama. “Enggak, Ma. Cuma iseng aja.” Ara bertahan.“Iseng kamu bilang? Bilang ini idenya siapa!”“Gak ada, Ma. Ini gak serius!”“Ide kamu atau idenya Bella!”“Enggak, Ma!”“Jawab!”Ara bergeming. Kepalanya menunduk menekuri lantai kamar.“Baik, kami akan tetap menyelidiki ini! Tunggu saja! Indri harus berangkat menemui Dokter kandungan hari ini! Jangan sampai karena insi
=====“Udah siap?” Mas Bara membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk. Lalu berjalan menuju mobil itu.Tetapi, langkahku segera terhenti. Kalimat Mas Haga terngiang di telinga. ‘Jangan pergi bareng Mas Bara! Bayi itu bukan benihnya!’Kupikir ada benarnya. Tak pantas rasanya seorang mantan kakak ipar selalu meempel pada mantan istri adiknya. Bukan karena ingin mengindahkan permohonan Mas Haga, tetapi memang hati kecilku yang berbicara. Aku harus bertindak sekarang juga. Bersikap tegas, dan mulai menunjukkan jati diri yang sesungguhnya.Selain itu, aku tak ingin mencari masalah baru. Bella tak akan pernah diam, melihat kekasihnya yang semakin mengacuhkan. Tak ingin menjadi batu sandungan, aku bukan perempuan perusak hubungan orang. Sudah saatnya aku segera menyingkirkan semua onak dan duri yang menghadang. “Maaf, Mas, saya bisa berangkat sendiri!”Kembali aku melangkah menuju kamar utama, itu adalah kamar pribadiku.“Indri? Ada apa?” Mas Bara ternyata mengikutiku.“Stop
****“Betah, lho, Pak. Semewah-mewahnya tinggal di rumah orang, pasti akan lebih enak dan nyaman tinggal di rumah sendiri. Meskipun kecil dan sederhana. Tapi Indri merasa tenang. Tak ada intrik dan kemunafikan di dalamnya.”“Lho, rumah mewah itu kan, milik kamu, Nduk? Sudah dialih nama dengan nama kamu, kan?”“Dialih nama doang, Pak. Tapi buktinya mereka tetap bertahan. Indri juga enggak mau berharap. Bia raja, deh, Pak. Indri mau tinggalkan rumah itu, biar bsa hidup tenang dan nyaman.”“Baiklah, Bapak dan Ibu nanti akan datang. Tetapi, kalau misalnya mertuamu melarang kamu pergi bagaimana, Nduk?"“Bapak pinter-pinterlah ngomongnya, pak! Beri pengertian buat mereka!”“Baiklah, semoga berjalan lancar, ya, Nak, ya! Sekarang kamu di mana ini?”“Mau ke dokter kandungan, Pak. Mau cek up.”“Sama siapa, Nduk?”“Indri sehat, Pak. Jadi, gak masalah meskipun sendiri.”“Kamu sendiri, Sayang?” Kudengar suara Bapak berubah serak. Pasti dia merasa pilu karena putrinya sendirian. Padahal aku
====Dokter itu sudah mengakhiri percakapanya dengan papa mertuaku.Tetapi dia saja masih sibuk mengutak atik ponselnya. Padahal aku masih menunggu di hadapannya. Kalau saja dia bukan dokter pilihan keluarga Wijaya, sudah kuprotes kinerjanya yang sangat mengecewakanku ini.“Ok, Bu Indri. Sudah Beres,” ucapnya seraya mengulas senyum.Aku terpaksa balas tersenyum, meski kesal di dada.“Bu Indri memang menantu idaman, menantu kesayangan keluarga Wijaya,” pjinya tiba-tiba.“Maksud Doker?” Aku melongo. “Ya, keluarga mertua Ibu, begitu menyanyangi Bi Indri. Saya bangga sekali di percaya oleh keluarga nomor satu di kota ini, untuk merawat dan memantau kondisi kehamilan Bu Indri.”“Terima kasih. Dok, saya juga bangga menjadi pasien Dokter. Bagaimana resep Vitaminnya? Udah boleh saya bawa pulang?” tanyaku tetap sopan.“Ini, Bu Indri. Tapi sepertinya Ibu tidak usah bawa pulang, resep ini ,” ucap Dokter itu kembali membuatku melongo. “Lho, maksud Dokter? Saya sedari tadi menunggu
****“Aku hanya mau ingatkan, tolong segera kamu tinggalkan rumah ini! Biarkan aku hidup tenang bersama keluarga suamiku! Inget, kamu itu bukan siapa-siapa di rumah ini! Kamu bukan menantu, hanya mantan! Paham!”Kutepis cengkramannya, lalu tersenyum tipis. Kemudian berlalu.“Hey!”Sepertinya Ara merasa tersinggung karena kuacuhkan. Kembali tangannya mencengkram lenganku. Kali ini aku tak diam, kukibaskan dengan kasar.“Aku malas berurusan dengan kamu! Maaf! Kita gak se-level! Aku dan kamu beda banget! Kamu dengan Bella, tuh, yang sama! Ngobrol sama dia, aja! Sory!” ucapku meninggalkannya.“Oh, gak selevel? Emang iya. Ternyata kamu sadar juga, ya, siapa kamu sebenarnya! Perempuan kampung! Udik! Murahan! Sok polos tapi tebar pesona pada suami orang, juga pada Mas Bara pacar orang!” Ara mengejarku, langsung mendorong tubuhku hingga oleng kehilangan keseimbanagn. Hampir saja aku tejerembab jatuh. Seseorang menangkap tubuhku.“Ara!”Itu suara Mas Bara.Kami tersentak. Ternya
****Bangkit perlahan, kuraih jilbab instan yang tergeletak di sudut bibir ranjang. Kumasukkan ke dalam kepala dengan buru-buru. Lalu memutar anak kunci yang tergantung di pintu kamar.“Tolooooong!”Jeritan Ara semakin membahana. Kubuka dan kudorong daun pintu kamar.“Ara! Ada apa?” Mama ikut berteriak. Berbarengan dengannya, kami berlari menuju kamar tamu, kamar yang Mas Haga dan Ara tempati selama ini.“Mas Haga, Ma! Lihat dia, Ma!” Ara menjerit histeris sambil menunjuk ke lantai kamar.Mas Haga tergeletak di lantai kamar. Cairan seperti muntahan menggenang di lantai, di sekitar kepalanya. Mulutnya mengeluarkan buih dan sisa muntahan. Sebuah botol tergenggam di tangan kanan. Botol bekas obat tidur. Beberapa butir tampak berhamburan di lantai, di sekitar tubuhnya.“Astaga! Haga! Haga …! Kenapa dia, Ara?” Ada apa dengan Haga?” Mama histeris.“Saya gak tahu, Ma. Saya juga baru pulang. Setelah Mas Bara membanting hape saya tadi, saya ke luar, menemui Mbak Bella. Minta ganti
****“Iya, kami keluarganya.” Mas Bara menghampiri, wajahnya semakin tegang, seperti halnya kami semua. Aku dan Mama bangkit, mendekati sang Dokter.“Bagaimana anak saya, Dok?” tanya Mama tak sabaran.“Mohon maaf, Bu, Pak. Korban overdosis obat tidur. Sepertinya kejadiaannya sudah beberapa jam yang lalu, kami tak bisa lagi mengeluarkan racun dari tubuh korban. Sudah menyerang jantung dan aliran darah. Korban tak bisa diselamatkan lagi, kami mohon maaf!”“Haga …! Haga …!” Mama histeris, ambruk dan kemudian pingsan.Untung Mas Bara menangkap tubuh Ibunya. Dokter segera memanggil perawat, memerintahkan agar tubuh mama di bawa ke dalam ruangan. Mas Bara mengendong tubuh Mama ke dalam, lalu keluar lagi menemuiku.Sementara Ara menjerit menerobos masuk ke dalam ruangan, dia ditemani oleh Bella. Aku hanya mematung. Tak tahu harus berbuat apa.Mas Bara memukul dinding rumah sakit itu berulang kali dengan tangan yang mengepal untuk melampiaskan perasaan kalutnya. Tak hanya
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak