Aku berangkat pagi untuk menjajakan cemilan ke sekolah-sekolah. Setelah dari sekolah, aku berkeliling karena daganganku masih lumayan banyak. Hari pertama aku berjualan, aku mendapatkan musibah.
Ada sebuah mobil yang entah disengaja atau tidak, berjalan kencang hingga membuat air yang ada dikubangan mengenaiku dan daganganku.
Aku menangis memunguti dagangan yang bercecer terkena air. Tapi aku tak boleh patah semangat. Mungkin memang Allah tengah mengujiku dengan cara seperti ini.
"Kenapa, Mbak? Mari saya bantu!" ucap laki-laki tampan yang turun dari mobil.
Belum pernah aku menemukan orang yang naik mobil rela menepikan mobilnya untuk menolong orang miskin sepertiku.
"Oh tidak apa-apa, Mas. Itu tadi ada mobil lewat kencang. Jadinya seperti ini," jawabku.
Laki-laki itu membantu memunguti daganganku. Bahkan dia juga membantuku berdiri lagi karena aku kesusahan dengan perut yang membesar.
"Terima kasih, ya, Mas, sudah mau membantuku. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari!" pamitku.
Tapi, laki-laki itu menghalangiku dan memberikanku sejumlah uang yang sangat banyak.
"Apa ini, Mas? Tidak usah, Mas. Terima kasih," tolakku karena takut menerima uang yang tidak sedikit itu.
"Terima saja, ya, Mbak. Mungkin ini rejeki Mbak dan juga calon anak Mbak itu. Gak baik menolak rejeki. Pamali!" ucapnya dengan senyum yang tulus.
"Tapi ini terlalu banyak, Mas." Aku masih mencoba menolak pemberiannya itu.
"Gak apa-apa, Mbak. Tolong diterima, ya!" Dan aku pun menerima pemberian laki-laki itu karena aku melihat keikhlasan dari sorot matany.
"Sekali lagi terima kasih," ucapku. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya.
"Mau saya antar sekalian, Mbak?" tawarnya.
"Oh tidak usah, Mas. Rumah saya tidak jauh dari sini kok," jawabku berbohong.
Aku tak mungkin ikut orang asing. Walaupun dia memberiku uang, tapi aku juga harus waspada. Jangan sampai terjadi apa-apa denganku dan juga calon anakku.
"Baiklah kalau begitu —" Belum selesai laki-laki itu bicara, temannya memanggil-manggil dirinya.
"Raga ... ayo buruan! Kita sudah terlambat ini!" ucap temannya dari dalam mobil.
Oh jadi nama laki-laki ini adalah Raga. Aku berdoa semoga kebaikan Beliau dibalas oleh Allah SWT.
"Iya sebentar!" jawabnya setengah berteriak.
"Benar Mbak gak apa-apa pulang sendirian?" tanyanya memastikan.
"Benar, Mas. Saya sudah biasa jalan di wilayah ini," jawabku. Mas Raga mengangguk tanda paham.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Mbak!" pamitnya sopan. Aku membalasnya dengan senyuman.
Alhamdulillah Ya Allah ....
Ternyata dibalik musibah yang menimpaku, Engkau telah mempersiapkan rejeki lain yang tak terduga.
Aku pun pulang dengan perasaan senang. Walaupun daganganku tak bisa dijual lagi, tapi uang dari Mas Raga lebih dari modal yang aku keluarkan.
Sebelum pulang, aku mampir ke warung untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah habis. Dengan uang yang Mas Arga berikan, aku bisa membeli lebih dari cukup dan masih ada sisa untuk modalku berdagang kembali esok hari.
Karena aku kelelahan, aku memutuskan naik becak untuk pulang. Aku tak henti-hentinya bersyukur atas rejekiku hari ini.
Setelah menyerahkan upah pada tukang becak, aku masuk ke dalam halaman rumah. Tapi, perasaanku mulai tidak enak ketika mendapati pintu rumah dalam keadaan terbuka.
Padahal aku ingat betul kalau sebelum aku berangkat tadi, aku sudah menguncinya. Dan saat aku masuk, betapa terkejutnya aku mendapati rumah dalam kondisi berantakan.
Ya Allah! Apa rumahku kemalingan? Tapi apa yang mau diambil dari rumahku ini? Tak ada benda yang berharga selain ....
Aku teringat sertifikat rumah peninggalan orang tuaku yang ada di dalam lemari. Barang belanjaan aku letakkan disembarang tempat. Dan aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kondisi kamar tidak jauh berbeda dengan ruangan depan. Mataku fokus tertuju pada lemari baju yang sudah terbuka. Aku mendekat dan seketika lututku terasa lemas. Yang aku takutkan terjadi. Sertifikat rumah milikku hilang.Aku menangis sekencang-kencang karena musibah bertubi-tubi datang padaku. Karena tangisanku itu, para tetangga berdatangan untuk melihatku."Astagfirullah al 'adzim, Mbak Nirmala! Ada apa ini?" seru Ibu RT ketika melihat kondisi rumahku yang berantakan."Mbak ... Mbak Nirmala dimana?" Beliau memanggil namaku karena aku berada di dalam kamar.Suaraku tercekat. Bahkan untuk berdiri saja rasanya tidak mampu. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Ibu RT dan juga yang lainnya masuk ke dalam kamarku. Tatapan mereka iba melihat kondisiku."Ada apa, Mbak? Siapa yang melakukannya?" tanya Ibu RT dengan tatapan
Tanpa diduga, Mas Raga berjalan ke arahku. Seperti kemarin, Mas Raga dengan sopan menyapaku yang masih duduk di depan tempatku berjualan."Apa kabar, Mbak?" sapanya terlebih dahulu. Senyum mengembang dari wajah tampannya. Aku yakin perempuan manapun akan tergila-gila pada ketampanan Mas Raga."Alhamdulillah baik. Terima kasih kemarin sudah membantuku, Mas." Aku tak berhenti mengucapkan terima kasih atas kebaikannya."Sama-sama, Mbak. Jualannya sudah habis, Mbak?" tanyanya lagi."Alhamdulillah sudah," jawabku singkat.Kami tak banyak mengobrol karena Mas Raga harus kembali bekerja. Sebelum pergi, Mas Raga meminta nomor kontakku jika sewaktu-waktu dia hendak memesan camilan.Awalnya aku ragu memberikan nomorku padanya. Tapi, karena ini juga berkaitan dengan daganganku, maka aku memberikan Mas Raga nomorku.***Aku pulang ke rumah lebih awal dari hari kemarin. Kesempatan itu aku gunakan untuk memeriksakan kandunganku di bidan di daerah sekitar tempat tinggalku. Selama ini aku baru seka
Terlihat dari cctv rumah Pak Narno kalau ada satu orang yang gelagatnya mencurigakan. Dia mondar-mandir di depan rumah Pak Narno yang juga tepat di depan rumahku. Berulang kali dia menengok ke kanan dan ke kiri. Hingga akhirnya dia mengarah ke rumahku.Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena cctv itu tak bisa menjangkau di halaman rumahku yang agak masuk ke dalam."Mbak, Bapak curiga kalau orang yang mondar-mandir itu yang masuk ke rumah Mbak Nirmala," kata Pak RT dengan wajah serius.Pak RT di tempatku tinggal memang sangat mengayomi warganya. Beliau tak segan-segan membantu warganya yang butuh bantuan. Seperti aku sekarang ini. Padahal aku awalnya sudah putus asa hendak berbuat apa. "Kita laporkan saja ke pihak yang berwajib, ya, Mbak!" Ibu RT mendukung suaminya untuk membuat warga kampung menjadi aman. Beliau juga meyakinkanku untuk mau membuat laporan."Tapi aku takut, Bu. Nanti kalau orangnya macam-macam sama saya gimana, Bu?" ucapku.Memang aku takut jika yang mencuri
Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbak Nurma berjalan seorang diri dengan mengenakan seragam polwan. Aku cukup terkejut ketika melihat Mbak Nurma ternyata seorang polisi wanita. Sebab tampilan Mbak Nurma yang kulihat sebelumnya terlihat biasa saja."Mbak Nurma seorang polisi?" tanyaku sedikit keras. Mbak Nurma tertawa mendengar pertanyaanku."Biasa aja, Mbak. He ... he ... he ..." balasnya. "Iya, Mbak. Ngomong-ngomong, kenapa Mbak Nirmala ada di sini? Ada urusan apa, Mbak?" tanya Mbak Nurma.Kebetulan Mbak Nurma bertanya, jadi aku bisa meminta saran kepadanya. Sebelum bercerita, Mbak Nurma mengajakku mencari tempat ngobrol yang lebih enak. Akhirnya aku menceritakan semua masalah yang menimpaku tempo hari. "Apa ada yang Mbak Nirmala curigai?" Pertanyaan Mbak Nurma membuatku berpikir kembali."Coba Mbak Nirmala ingat-ingat, apa ada orang yang tidak suka dengan Mbak Nirmala?" tanyanya lagi.Deg! Seketika aku teringat akan Cindi dan juga Mas Arga. Tapi, apa mungkin mereka? Apa ini term
Ada secarik kertas yang diletakkan di bawah pintu apartemen. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana. Karena penasaran, aku memungut kertas itu dan membawa isinya. Betapa terkejutnya aku ketika melihat kertas amplop yang di dalamnya ada foto-fotoku bersama dengan beberapa langgananku. "JANGAN MACAM-MACAM KAMU SAMA AKU! KALAU TIDAK ... KAMU AKAN RASAKAN AKIBATNYA ARGA!"Bunyi kalimat dalam kertas itu yang membuat Arga terkejut. Matanya bahkan hampir keluar saat membacanya. Siapa yang berani mengancamku begini? Dan dari mana ia tahu kalau aku di sini sekarang. Mengapa seolah dia tahu aku? Kalau Nirmala jelas gak mungkin! Mana berani perempuan s*alan itu mengancamku?Banyak sekali pertanyaan yang ada diot*kku. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih sekarang ini. Aku kembali lagi masuk ke dalam. Jujur saja, untuk mengabaikan ancaman itu aku tidak bisa. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang.Untuk membuang rasa khawatirku, aku berselancar ke dunia maya. Kebiasa
Sore itu aku ke rumah Tante Ria. Kebetulan anak menantunya ada acara syukuran tujuh bulanan. Anak-anak Tante Ria mengenalku sebagai kolega mamanya. Jadi, tak akan ada uang curiga dengan keberadaan di sana."Kamu mau ikut, Cin?" tawarku pada Cindi yang masih murung di dalam kamar. Dia menggeleng pelan."Benar tidak mau ikut?" tanyaku sekali lagi.Setelah aku desak, akhirnya Cindi mau ikut juga. Bukannya apa-apa, aku takut Cindi akan berbuat yang aneh-aneh saat aku tak di rumah. Jadi, lebih baik dia ikut bersamaku. Lagi pula di sana juga bisa bersenang-senang.Rumah Tante Ria sudah dipadati tamu undangan. Tak tanggung-tanggung, dia mengundang lebih dari seribu orang. Terdiri dari kerabat, teman dan juga kolega-koleganya. Jangan dibayangkan rumah Tante Ria besarnya seperti apa. Yang jelas pintu gerbang menuju pintu utama rumah saja jaraknya lumayan jauh. Tante Ria benar-benar 'crazy rich' kota ini. "Jangan cemberut lagi kayak gitu, ah! Gak enak dilihat orang," tegurku pada Cindi yang m
Aku terkejut ketika melihat Mas Arga ada di acara Mbak Nurma. Sejak kapan Mas Arga kenal Mbak Nurma? Atau dia tamu Mas Raga? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bersamaan ketika Mas Arga mendekat.Aku tak melihat Cindi bersama dengannya kali ini. Dia menghampirku dengan wajah menahan amarah. Ketika dekat, Mas Arga langsung menarikku tanpa mempedulikan keadaanku yang tengah hamil.Kalau bukan karena undangan Mbak Nurma, aku pasti tidak akan datang kemari. Aku dan Mbak Nurma sudah sering berkomunikasi dan berdiskusi soal kehamilan. Dan sejak saat itulah kami menjadi akrab. Hingga saat Mbak Nurma mengadakan acara tujuh bulanan, aku diundang untuk datang.Aku baru tahu kalau mertua Mbak Nurma termasuk jajaran orang kaya di kotaku. Acara tujuh bulanan Mbak Nurma melebihi acara pernikahanku dulu. Acara ini sangatlah mewah dengan hidangan-hidangan mewah pula.Orang tua Mas Raga bernama Tante Ria. Tante Ria ini adalah single mom dengan gaya sosialita yang tinggi. Aku sedikit merasa aneh ketika p
Sepeninggalnya Dokter Zaki, tinggallah kami bertiga. Mas Raga duduk di sofa ruangan itu dan memainkan ponselnya. Sedangkan Mbak Nurma memilih duduk di dekatku dan mengajakku mengobrol."Mbak, aku kok dipilihkan kamar yang bagus seperti ini. Nanti aku gak bisa membayarnya, Mbak." Aku sedikit memprotes keputusan Mbak Nurma memilihkanku kamar kelas nomor satu."Mbak Nirmala gak usah khawatir. Yang penting sekarang Mbak Nirmala dan calon anak Mbak tidak apa-apa. Mbak gak usah memikirkan biayanya, ya!" ucap Mbak Nurma menenangkanku."Ya Allah, Mbak. Kenapa Mbak Nurma begitu baik padaku?" ucapku yang mulai sesenggukan."Eh gak boleh nangis! Ibu hamil itu harus selalu bahagia. Anggap saja ini memang rejeki kamu, Mbak," respon Mbak Nurma. Aku pun mengangguk karena tak tahu harus bilang apa lagi.***Tiga hari setelah dirawat, akhirnya aku bisa pulang juga. Mbak Nurma dan Mas Raga juga yang mengantarku sampai di rumah. Saat sampai di rumah, Mbak Nurma terkejut melihat kaca jendela yang pecah k
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal