Sepeninggalnya Dokter Zaki, tinggallah kami bertiga. Mas Raga duduk di sofa ruangan itu dan memainkan ponselnya. Sedangkan Mbak Nurma memilih duduk di dekatku dan mengajakku mengobrol."Mbak, aku kok dipilihkan kamar yang bagus seperti ini. Nanti aku gak bisa membayarnya, Mbak." Aku sedikit memprotes keputusan Mbak Nurma memilihkanku kamar kelas nomor satu."Mbak Nirmala gak usah khawatir. Yang penting sekarang Mbak Nirmala dan calon anak Mbak tidak apa-apa. Mbak gak usah memikirkan biayanya, ya!" ucap Mbak Nurma menenangkanku."Ya Allah, Mbak. Kenapa Mbak Nurma begitu baik padaku?" ucapku yang mulai sesenggukan."Eh gak boleh nangis! Ibu hamil itu harus selalu bahagia. Anggap saja ini memang rejeki kamu, Mbak," respon Mbak Nurma. Aku pun mengangguk karena tak tahu harus bilang apa lagi.***Tiga hari setelah dirawat, akhirnya aku bisa pulang juga. Mbak Nurma dan Mas Raga juga yang mengantarku sampai di rumah. Saat sampai di rumah, Mbak Nurma terkejut melihat kaca jendela yang pecah k
Namaku Cindi Purnamasari. Aku anak tunggal dari orang tua yang sudah tidak lengkap lagi. Ayahku meninggal di saat usiaku masih dua tahun. Jadi, aku tidak pernah merasakan cinta dan kasih sayang seorang ayah.Ibuku bekerja mati-matian demi hidup kami berdua. Hingga akhirnya Ibu bertemu dengan Om Ridwan, ayah Mas Arga. Bersama Om Ridwan, aku merasakan kasih sayang yang sangat aku rindukan. Apalagi Om Ridwan selalu royal kepadaku dan juga Ibuku.Apapun yang aku minta, pasti Om Ridwan akan memberikannya. Hingga saat Ibu meminta izinku untuk menikah dengan Om Ridwan. Tentu saja aku langsung setuju. Selain Om Ridwan baik padaku, aku juga sudah akrab dengan Mas Arga anaknya.Hari bahagia Ibu dan Om Ridwan tinggal menghitung hari. Kami berempat pergi mengendari mobil milik Om Ridwan. Om Ridwan memang terpaksa orang yang berada saat itu.Naas, mobil yang kami tumpangi kecelakaan dan terguling hingga beberapa kali. Aku dan Mas Arga beruntung karena masih selamat. Tapi, orang tua kami meninggal
Perlu diketahui, Mas Arga sebenarnya bekerja sebagai sopir lepas sebuah rental. Tapi, semenjak gaya hidup kami glamor, Mas Arga menjelma menjadi simpanan tante-tante yang rindu akan belaian. Salah satunya adalah Tante Ria.Awalnya aku keberatan dengan pekerjaan Mas Arga itu. Tapi setelah menerima uang yang banyak dari hasil kerjanya itu, aku mendukungnya. Asalkan dia tetap memprioritaskan dirinya untukku.Tak jarang kami juga bermain bertiga dengan temanku yang bernama Eva. Suatu hari, aku mengajak Mas Arga bermain dengan Eva di rumah Mbak Nirmala.Apesnya kami! Saat itu warga menggerebek kami dan juga menginterogasi kami. Mbak Nirmala pun ikut murka pada kami. Hingga akhirnya tragedi pengusiran dari rumah Mbak Nirmala terjadi.***Awalnya aku kira kami akan menjadi gemb*l lagi di jalanan. Tapi ternyata Mas Arga memang cerdas. Mas Arga memanfaatkan Tante Ria agar diberikan tempat tinggal.Benar saja! Kami diberikan kebebasan untuk tinggal di apartemennya yang mewah. Dan Mas Arga selal
Bukan tanpa alasan aku mendesak Mas Arga untuk segera menikahiku. Selain untuk status, aku baru tahu ternyata aku hamil. Memang ini kecerobohanku. Aku lupa meminta pil KB saat aku berhubungan dengan Mas Arga. Tapi, Aku tak mau menanggung aib ini sendirian. Mas Arga harus ikut menanggungnya.Setelah menemukan kertas berisi ancaman itu, aku selalu bertanya pada Mas Arga dari siapa itu. Tapi, Mas Arga pun juga tidak tahu itu dari siapa. Saat ini memang aku belum memberitahu Mas Arga soal kehamilanku ini. Aku masih menunggu waktu yang tepat."Apa itu dari Mbak Nirmala, Mas?" Aku menebak Mbak Nirmala karena dia satu-satunya orang yang aku tahu tengah bermasalah dengan Mas Arga."Gak mungkin lah dia tahu aku sama kamu di sini! Pikir dong!" balas Mas Arga sedikit membentakku.Baru kali ini aku mendapat bentakan dari Mas Arga. Sakit rasanya hatiku saat ini. Aku pun memilih untuk masuk kamar dan menangis seorang diri. Selang sepuluh menit, Mas Arga mengetuk pintu kamarku."Cin ... buka pintuny
"Mas antar ke dokter, yuk!" ajaknya. Lagi, aku menggeleng pelan."Terus kamu kenapa?" Mas Arga memegang dahiku. Mungkin dia ingin memastikan keadaanku."Aku hamil, Mas!" kataku. Mas Arga syok mendengarnya. Dia terduduk di sebelahku. Aku tak tahu apa yang sekarang dia pikirkan setelah aku memberitahunya."Nikahi aku, Mas! Dan ceraikan Mbak Nirmala," kataku lagi.Mas Arga diam saja. Dia seperti tidak mendengarkan permintaanku. Aku pun memegang tangannya dan mengguncangkannya."Mas!" seruku."Ah, iya!" Dia menjawab dengan sedikit terkejut."Mas dengar, gak, sih?!" seruku yang mulai kesal."Iya ... iya! Kamu sabar, ya!" jawab Mas Arga tanpa mau melihatku."Aku mau, besok Mas Arga ke rumah Mbak Nirmala dan menceraikannya! Harus! Kalau tidak, aku akan bun*h d*ri saja!" ancamku."Oh iya, Mas ... ada satu lagi yang belum aku ceritakan padamu," ucapku ketika aku teringat tentang sertifikat itu."Apa?" Mas Arga menoleh dan menatap ke arahku.Aku bangkit dan mengambil sertifikat rumah Mbak Nirm
Aku tidak mau tahu urusan Nirmala. Walaupun aku juga terkejut karena posisi terjatuhnya sangat ngeri menurutku. Saat Nirmala terjatuh, ada menantu Tante Ria dan suaminya yang datang menolong. Sungguh, aku tidak menyangka kalau Nirmala mengenal mereka berdua. Setelah Nirmala dibopong dan mungkin dibawa ke rumah sakit oleh mereka, aku pun bergegas mengajak Cindi pulang."Ayo kita pulang!" seruku sambil menarik tangan Cindi. Tanpa perlawanan, Cindi mengikutiku. Dan kami pun diam sepanjang perjalanan.Setibanya di rumah, aku ingin istirahat. Tapi, Cindi lagi-lagi mengungkit masalah pernikahan. Selain itu, Cindi juga menanyakan soal kertas ancaman yang kemarin aku temukan.Saat Cindi mendesakku, Tante Ria meneleponku. Tentu saja hal itu keuntungan buatku. Aku bisa menghindar dari desakan Cindi yang terus-menerus. Tante Ria memintaku untuk menjemput di dekat rumahnya. Aku langsung saja mengiyakan dan meluncur ke sana."Ada apa, Tan?" tanyaku saat Tante Ria sudah masuk ke dalam mobilku."Su
Sesampainya di kampung Nirmala, aku memelankan laju mobilku. Mataku menyipit kala melihat ada sebuah mobil yang terparkir di halaman Nirmala. Aku pun berinisiatif untuk memarkirkan mobilku agak jauh dari rumah Nirmala. Aku mengendap-endap hendak mengintip siapa orang yang tengah bersama Nirmala. Sayangnya aku tak bisa melihat wajah orang yang bersama dengan Nirmala. Tapi, dari suara yang aku dengar, dia adalah seorang laki-laki.Sebuah ide terlintas dalam pikiranku. Gegas aku pergi dari sana dan mencari tetangga sekitar yang ada di luar."Bu, Pak! Istriku tengah berduaan dengan laki-laki di rumahnya," aduku pada mereka semua. Ada sekitar tiga orang yang di sana.Mereka saling beradu pandang dan seolah mengacuhkanku. Wajar memang karena aku saja ketahuan berbuat yang aneh-aneh di sana. Jadi mereka tak langsung percaya begitu saja."Kamu pikir kami percaya?" kata salah satu dari mereka bertiga."Kalau Ibu gak percaya, ayo aku tunjukkan! Mumpung laki-laki itu ada di sini," tantangku pad
"Maaf, ya, Mas, Mbak! Kalian jadi harus melihat kelakuan suamiku," ucapku sedikit menyesal. Berulang kali aku membungkukkan badan karena benar-benar tidak enak hati."Tidak apa-apa, Mbak." Mbak Nurma menanggapi dengan santai dan masih bisa tersenyum."Jangan panggil aku Mbak, Mbak, karena kalian lebih tua dariku. Panggil Nirmala saja," kataku. Mbak Nurma sudah duduk kembali setelah ibu-ibu yang tadi datang bersama Mas Arga pergi. Aku melihat memang Mas Raga dan juga Mbak Nurma usianya di atasku. Mungkin selisihnya dua tahun sampai empat tahun. Rasanya tidak enak jika aku dipanggil Mbak oleh orang yang lebih tua."Kalian sudah saya anggap saudara, Mbak. Berkali-kali Mbak Nurma dan Mas Raga membantuku. Aku tak bisa membalasnya. Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan juga rejeki yang melimpah untuk kalian berdua," ucapku."Aamiin!" balas mereka serempak."Gimana dengan tawaranku, La? Mas Raga juga tidak keberatan, kan?" Mbak Nurma menoleh ke arah Mas R