Saat aku terbangun di pagi hari, aku melihat Mas Arga masih tertidur disampingku. Aku bangun dengan sangat pelan agar Mas Arga tak terbangun.
Aku masih memikirkan buku harian Cindi yang belum selesai kubaca semalam. Belum lagi dengan kata-kata Mas Arga saat menerima telepon dari temannya.
Arrghhh! Kenapa pikiranku jadi aneh-aneh begini? Aku merutuki diriku sendiri dengan pemikiran-pemikiran yang tak masuk akal itu.
Seperti biasa, setiap pagi aku berbelanja sayuran di tukang sayur yang kebetulan mangkal di gang yang tak jauh dari rumahku.
Sudah banyak ibu-ibu yang berkerubung di sekitar abang-abang sayur. Maklumlah ibu-ibu kalau beli sayur sekalian ngeghibah. He ... he ... he ...
"Eh Mbak Nirmala," sapa Ibu Nuri dengan senyuman yang tak bisa kuartikan.
"Pagi, Bu Nuri. Belanja apa ini, Bu?" tanyaku basa-basi.
Ibu-ibu yang lain tengah sibuk memilih sayuran yang hendak dibeli. Ada juga diantara mereka yang berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan tentang diriku. Yang jelas kalau sudah para ibu-ibu yang berbicara, pasti itu tidak menyenangkan topiknya.
"Eh, Mbak, adik iparmu itu kok lengket banget, sih, sama suamimu?" tanya Ibu Nuri tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.
Benar, kan! Pasti ibu-ibu ini sedang membicarakan tentang aku. Terbukti dengan pertanyaan Ibu Nuri barusan.
"Namanya juga kakak adik, Bu," jawabku sekenanya.
"Kakak adik kok sikapnya kayak gitu. Iya, kan, ibu-ibu?" Ibu Nuri menyindirku dengan tersenyum sinis pada ibu-ibu.
"Iya, lho, Mbak Nirmala. Sekarang kudu hati-hati. Apalagi kemarin pas Mbak Nirmala menikah, kan, keluarga dari Mas Arga gak datang. Jangan-jangan dia bukan adik ipar Mbak Nirmala lagi," sambung ibu-ibu yang lain.
Deg! Jantungku seketika berhenti ketika mendengar ucapan ibu itu. Memang kuakui kalau aku tidak begitu mengenal dekat keluarga Mas Arga.
Mas Arga hanya mengenalkan Cindi sebagai adiknya karena kedua orang tua Mas Arga sudah meninggal. Kata Mas Arga, keluarganya yang lain ada di luar kota dan keadaannya tidak memungkinkan jika mereka datang ke pernikahan kami karena faktor ekonomi.
"Hush! Gak boleh bicara sembarangan ibu-ibu," nasehat Ibu RT yang kebetulan ikut berbelanja di sana.
Aku pun diam tak bisa menjawab apa-apa, karena yang dikatakan ibu-ibu tadi, aku juga merasakannya saat ini. Ada yang aneh dengan hubungan Mas Arga dan Cindi.
"Berapa semuanya, Bang?" tanyaku pada tukang sayur.
"Tiga puluh ribu, Bu," jawabnya.
"Ini, Bang!" Aku memberikan uang pas kepada tukang sayur itu. Aku sudah ingin cepat-cepat pulang demi menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari ibu-ibu.
"Saya permisi dulu, ya, Bu. Mari semuanya," pamitku sopan pada sekumpulan ibu-ibu.
"Ingat kata-kata Ibu, Mbak Nirmala. Kamu harus selidiki suami dan iparmu itu," teriak Ibu Nuri saat aku sudah berjalan menjauh.
***
Selama perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya memikirkan kata ibu-ibu tadi. Bahkan sampai-sampai aku salah memasukkan bumbu ke dalam masakanku.
Duh, aku ini kenapa, sih? Fokus, Nirmala ... fokus! Aku menghela nafas panjang agar dadanya yang sesak agak sedikit lega.
Setelah dirasa baikan, aku melanjutkan membuat sarapan lagi dan memperbaiki rasa masakan yang sebelumnya aku salah memasukkan bumbu.
Selesai memasak, aku belum melihat Mas Arga maupun Cindi keluar dari kamar. Padahal Mas Arga sedang tidak libur kerja. Kalau Cindi gak usah ditanya lagi. Hari-hari sebelumnya memang dia seperti itu.
"Mas! Mas Arga, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh suamiku agar mau membuka matanya.
"Apa, sih, kamu?!" gerutu Mas Arga sambil bergeser tempat karena menghindariku.
"Sudah jam berapa ini, Mas! Nanti kami terlambat ke pabrik," kataku sambil melipat selimut yang kugunakan semalam.
Mas Arga tak merespon perkataanku karena dia memejamkan matanya kembali. Aku yang melihatnya hanya bisa mengelus dada.
"Jangan salahkan Nirmala kalau sampai Mas terlambat! Nirmala juga harus berangkat kerja ke tempat Bu Tuti lebih awal, Mas." Aku tak berhebti bicara agar Mas Arga mau bangun.
Ya, karena hari ini kerjaan di laundry Ibu Tuti agak banyak, jadi aku harus berangkat lebih awal agar semua bisa selesai tepat waktu sesuai jadwal.
"Punya istri, kok, sukanya ganggu suami sedang istirahat!" gerutu Mas Arga sambil beranjak dari tempat tidur.
"Mending istrinya cantik dan sexy. Lha ini? Kayak gajah bengkak!" sambungnya lagi.
Ya Allah ... astagfirullah! Sabar Nirmala, sabar! Aku menguatkan diri sendiri sambil beberes kamar tidur.
Setelah selesai, aku berniat untuk mandi. Tapi pemandangan apa yang aku lihat? Mas Arga kembali tidur di sofa tempat tidur. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh.
Tak kuhiraukan lagi suamiku itu. Aku harus berangkat jam setengah delapan pagi. Lebih baik aku bersiap saja daripada ikutan emosi karena kelakuan Mas Arga.
Sampai aku selesai mandi dan sarapan, Mas Arga belum juga bangun dari tidurnya. Aku pun juga sudah tak peduli dan memilih untuk berangkat kerja.
Ibu Tuti, pemilik laundry tempatku bekerja ini hanyalah pendatang di kampungku. Dia menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari rumahku.
Jika dibilang pekerjaanku berat, ya memang berat. Dari pagi sampai sore aku harus menyetrika berkilo-kilo pakaian. Posisiku kalau setrika harus berdiri karena setrikanya saja berat. Kalau duduk, maka hasilnya tidak akan maksimal.
Tapi Alhamdulillah Ibu Tuti juga mempekerjakan satu lagi karyawan. Sehingga aku tidak keteteran dan bisa pulang tidak terlalu sore. Apalagi sekarang aku sedang hamil.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Bu," ucapku pada Bu Tuti yang memberikan kami para karyawan sembako.
"Iya, sama-sama. Ini rejeki kalian. Saya juga terima kasih karena kalian sudah membantu usaha saya," jawab Bu Tuti.
Tentu saja ini menambah semangat untukku. Mendapatkan bos yang super baik kepada karyawannya. Kalaupun kami melakukan kesalahan, Ibu Tuti selalu menasehati kami dengan sabar dan lemah lembut.
Kerja di laundry ini bayarannya per kilo baju yang kusetrika. Rata-rata dibayar seribu dua ratus sampai seribu lima ratus rupiah setiap kilonya.
Kalau sehari aku bisa menyelesaikan minimal tiga puluh kilo, maka tiap minggu aku bisa mendapat uang dua ratus sampai tiga ratus ribu rupiah. Dan dari uang itu aku sisihkan seratus ribu untuk biaya persalinan serta kebutuhan anakku kelak.
Tapi, kalau aku sedang capek, dua puluh kilo yang bisa kukerjakan saja aku sudah bersyukur. Mengingat keadaanku yang tengah berbadan dua.
Ketika aku tengah asyik membungkus pakaian konsumen, ada yang memanggilku dari luar. Suaranya kencang dan juga terdengar panik.
Ibu Tuti dan aku pun bergegas keluar. Ternyata Ibu Nuri yang tengah meneriakiku. Wajah Ibu Nuri tegang dan seperti ketakutan.
"La! Nirmala! Ayo buruan kamu pulang!" ajak Ibu Nuri sembari menarik tanganku.
"Ada apa, Bu? Nirmala sedang kerja, Bu," jawabku. Ibu Nuri terlihat menghentikan langkahnya ketika aku menjawab. Lalu, Ibu Nuri mendekati Ibu Tuti.
"Bu ... izinkan Nirmala pulang sekarang juga, ya? Ada hal yang sangat penting yang harus Nirmala selesaikan," kata Ibu Nuri memintakan izin pada Ibu Tuti.
Sekilas Ibu Tuti memandangku dan kembali lagi memandang Ibu Nuri.
"Tolong, Bu ... ini penting!" Ibu Nuri menangkupkan kedua tangannya di depan Ibu Tuti.
Aku yang melihatnya pun tak bisa berkata-kata karena memang tidak tahu Ibu Nuri hendak membawaku kemana.
"Baiklah. Aku izinkan Nirmala pulang sekarang juga," jawab Ibu Tuti yang pasrah karena melihat wajah memelas Ibu Nuri.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih," ucap Ibu Nuri sambil menjabat tangan Ibu Tuti.
"Ayo, La! Ibu Tuti sudah mengizinkan," ajaknya lagi.
"Sebentar, Bu ... Nirmala mau ambil dompet dulu di dalam." Ibu Nuri mengangguk dan menungguku di luar.
Sebenarnya diperjalanan pulang aku hendak bertanya pada Ibu Nuri. Tapi melihatnya sedang buru-buru, aku urungkan niatku itu.
Saat sudah dekat dengan rumahku, aku melihat rumahku sudah dikerubungi banyak orang. Ibu-ibu, bapak-bapak dan juga anak-anak semua ada di sana.
"Ada apa ini?" seruku. Ibu Nuri hanya menolehku tanpa mau menjawab pertanyaanku.
Aku pun mempercepat langkah agar bisa segera sampai di rumah. Dan ketika aku sampai di halaman, banyak pasang mata yang menatapku sendu. Hatiku semakin tidak enak dibuatnya.
Dan ketika aku masuk ke dalam rumah, betapa terkejutnya aku ketika ....
"Astagfirullah, Mas Arga!" pekik Nirmala saat dia baru saja memasuki rumah."Si*lan!" umpatku dalam hati.Ya ... saat ini aku tengah diadili oleh warga kampung tempat tinggal istriku. Karena kecerobohanku, aku dan juga Cindi serta Eva digerebek oleh warga.Sebenarnya kami bertiga jarang sekali main di rumah. Hanya saja hari ini aku memang sedang malas keluar rumah. Dan ini adalah idenya Cindi. Jadilah aku sekarang seperti ini. Malunya bukan main. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur ketahuan.Aku dan Cindi sebenarnya bukan saudara kandung. Kami dipertemukan saat orang tua dari kami hendak menikah. Namun naas, beberapa hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan, orang tua kami terlibat kecelakaan dan meninggal di tempat.Dan sejak saat itu, Cindi ikut denganku dan menjadi tanggung jawabku. Aku dan Cindi memutuskan untuk pindah dari kampung halamanku. Kami tidak mau ada orang yang tahu masa lalu kami, karena kami mengaku sebagai kakak adik kandung.Nirmala, istriku pun tidak tahu m
"Mas Arga bagaimana, sih, istri lgi hamil bukannya di manja tapi malah diselingkuhi?" sindir Ibu Nuri sembari menatapku tajam. Ibu Nuri ini memang salah satu ibu-ibu yang suka ceplas-ceplos di kampung istriku. Maka dari itu, aku selalu menghindar ketika lewat depan kumpulan ibu-ibu yang tengah merumpi."Hamil juga bukan anakku ini," celetukku pelan. Tapi sepertinya Nirmala mendengarku. Dia menatapku penuh dengan amarah dan juga tangannya mengepal kuat."Apa kamu bilang, Mas? Astagfirullah! Jadi selama ini kamu tidak peduli saat aku hamil karena mengira ini bukan anakmu, begitu?" tanya Nirmala padaku. Suara tercekat seperti orang menahan tangis."Memang nyatanya begitu. Cindi saja sering lihat kamu bersama dengan laki-laki," jawabku sewot. Jelas aku tak mau kalah dengannya. Tentu saja aku lebih mempercayai perkataan Cindi daripada Nirmala. "Allahu Akbar! Tega kamu, ya, Mas! Kalau memang begitu, mana buktinya?" Nirmala berkata setengah berteriak di depan wajahku. Ketika mata kami ber
Duniaku seakan runtuh ketika mendapati suamiku, Mas Arga digerebek oleh warga. Menurut Pak RT, Mas Arga, Cindi dan satu temannya hendak berbuat m*sum.Sudah jatuh tertimpa tangga. Ibarat itulah yang kini cocok disematkan padaku. Bagaimana tidak, ternyata Cindi yang selama ini aku anggap sebagai adik iparku tak lebih dari parasit dalam rumah tanggaku.Aku baru tahu kalau ternyata Cindi bukan adik kandung dari Mas Arga. Bahkan mereka tak ada hubungan darah sedikitpun. Pantas saja aku merasakan keanehan saat mereka berdekatan.Amarahku kembali meledak ketika Mas Arga menuduhku kalau aku hamil bukan dengannya. Entah s*tan apa yang merasuki pikiran suamiku itu. Malam itu perdebatan panjang antara kami terjadi, ditambah lagi dengan warga yang sudah tidak mau menerima kehadiran mereka di kampung ini. "Ceraikan aku sekarang juga, Mas! Tak sudi aku hidup dengan laki-laki penipu kayak kamu!" bentakku tepat dihadapan Mas Arga.Aku sempat menjambak rambut Cindi karena marah dia telah menuduhku
Aku berangkat pagi untuk menjajakan cemilan ke sekolah-sekolah. Setelah dari sekolah, aku berkeliling karena daganganku masih lumayan banyak. Hari pertama aku berjualan, aku mendapatkan musibah. Ada sebuah mobil yang entah disengaja atau tidak, berjalan kencang hingga membuat air yang ada dikubangan mengenaiku dan daganganku. Aku menangis memunguti dagangan yang bercecer terkena air. Tapi aku tak boleh patah semangat. Mungkin memang Allah tengah mengujiku dengan cara seperti ini."Kenapa, Mbak? Mari saya bantu!" ucap laki-laki tampan yang turun dari mobil.Belum pernah aku menemukan orang yang naik mobil rela menepikan mobilnya untuk menolong orang miskin sepertiku."Oh tidak apa-apa, Mas. Itu tadi ada mobil lewat kencang. Jadinya seperti ini," jawabku.Laki-laki itu membantu memunguti daganganku. Bahkan dia juga membantuku berdiri lagi karena aku kesusahan dengan perut yang membesar."Terima kasih, ya, Mas, sudah mau membantuku. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari!" pamitku.Tapi,
Aku teringat sertifikat rumah peninggalan orang tuaku yang ada di dalam lemari. Barang belanjaan aku letakkan disembarang tempat. Dan aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kondisi kamar tidak jauh berbeda dengan ruangan depan. Mataku fokus tertuju pada lemari baju yang sudah terbuka. Aku mendekat dan seketika lututku terasa lemas. Yang aku takutkan terjadi. Sertifikat rumah milikku hilang.Aku menangis sekencang-kencang karena musibah bertubi-tubi datang padaku. Karena tangisanku itu, para tetangga berdatangan untuk melihatku."Astagfirullah al 'adzim, Mbak Nirmala! Ada apa ini?" seru Ibu RT ketika melihat kondisi rumahku yang berantakan."Mbak ... Mbak Nirmala dimana?" Beliau memanggil namaku karena aku berada di dalam kamar.Suaraku tercekat. Bahkan untuk berdiri saja rasanya tidak mampu. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Ibu RT dan juga yang lainnya masuk ke dalam kamarku. Tatapan mereka iba melihat kondisiku."Ada apa, Mbak? Siapa yang melakukannya?" tanya Ibu RT dengan tatapan
Tanpa diduga, Mas Raga berjalan ke arahku. Seperti kemarin, Mas Raga dengan sopan menyapaku yang masih duduk di depan tempatku berjualan."Apa kabar, Mbak?" sapanya terlebih dahulu. Senyum mengembang dari wajah tampannya. Aku yakin perempuan manapun akan tergila-gila pada ketampanan Mas Raga."Alhamdulillah baik. Terima kasih kemarin sudah membantuku, Mas." Aku tak berhenti mengucapkan terima kasih atas kebaikannya."Sama-sama, Mbak. Jualannya sudah habis, Mbak?" tanyanya lagi."Alhamdulillah sudah," jawabku singkat.Kami tak banyak mengobrol karena Mas Raga harus kembali bekerja. Sebelum pergi, Mas Raga meminta nomor kontakku jika sewaktu-waktu dia hendak memesan camilan.Awalnya aku ragu memberikan nomorku padanya. Tapi, karena ini juga berkaitan dengan daganganku, maka aku memberikan Mas Raga nomorku.***Aku pulang ke rumah lebih awal dari hari kemarin. Kesempatan itu aku gunakan untuk memeriksakan kandunganku di bidan di daerah sekitar tempat tinggalku. Selama ini aku baru seka
Terlihat dari cctv rumah Pak Narno kalau ada satu orang yang gelagatnya mencurigakan. Dia mondar-mandir di depan rumah Pak Narno yang juga tepat di depan rumahku. Berulang kali dia menengok ke kanan dan ke kiri. Hingga akhirnya dia mengarah ke rumahku.Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena cctv itu tak bisa menjangkau di halaman rumahku yang agak masuk ke dalam."Mbak, Bapak curiga kalau orang yang mondar-mandir itu yang masuk ke rumah Mbak Nirmala," kata Pak RT dengan wajah serius.Pak RT di tempatku tinggal memang sangat mengayomi warganya. Beliau tak segan-segan membantu warganya yang butuh bantuan. Seperti aku sekarang ini. Padahal aku awalnya sudah putus asa hendak berbuat apa. "Kita laporkan saja ke pihak yang berwajib, ya, Mbak!" Ibu RT mendukung suaminya untuk membuat warga kampung menjadi aman. Beliau juga meyakinkanku untuk mau membuat laporan."Tapi aku takut, Bu. Nanti kalau orangnya macam-macam sama saya gimana, Bu?" ucapku.Memang aku takut jika yang mencuri
Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbak Nurma berjalan seorang diri dengan mengenakan seragam polwan. Aku cukup terkejut ketika melihat Mbak Nurma ternyata seorang polisi wanita. Sebab tampilan Mbak Nurma yang kulihat sebelumnya terlihat biasa saja."Mbak Nurma seorang polisi?" tanyaku sedikit keras. Mbak Nurma tertawa mendengar pertanyaanku."Biasa aja, Mbak. He ... he ... he ..." balasnya. "Iya, Mbak. Ngomong-ngomong, kenapa Mbak Nirmala ada di sini? Ada urusan apa, Mbak?" tanya Mbak Nurma.Kebetulan Mbak Nurma bertanya, jadi aku bisa meminta saran kepadanya. Sebelum bercerita, Mbak Nurma mengajakku mencari tempat ngobrol yang lebih enak. Akhirnya aku menceritakan semua masalah yang menimpaku tempo hari. "Apa ada yang Mbak Nirmala curigai?" Pertanyaan Mbak Nurma membuatku berpikir kembali."Coba Mbak Nirmala ingat-ingat, apa ada orang yang tidak suka dengan Mbak Nirmala?" tanyanya lagi.Deg! Seketika aku teringat akan Cindi dan juga Mas Arga. Tapi, apa mungkin mereka? Apa ini term
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal