Semenjak itu, gerak gerik Mas Arga dan Cindi semakin mencurigakan. Sebelumnya aku tak pernah berpikiran aneh tentang mereka berdua. Tapi, semakin lama kedekatan Mas Arga dan Cindi tak selayaknya kakak adik.
Cindi kerap kali bermanja dengan Mas Arga. Begitu pula sebaliknya. Aku yang jelas-jelas istri sahnya saja tidak pernah diperlakukan seperti oleh Mas Arga.
Suatu malam ketika Mas Arga tidur lagi bersamaku, aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
"Mas ..." panggilku pada Ms Arga yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Hem," jawabnya singkat.
Aku melihat Mas Arga sudah berganti baju dengan kaos oblong dan celana jeans rapi. Tak lupa Mas Arga menyemprotkan parfum kesukaannya di beberapa titik tubuhnya. Aku mengernyitkan kening dan melirik ke jam dinding yang tergantung di atas meja rias. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam.
"Rapi amat, Mas? Mau kemana?" Kuberanikan diri untuk bertanya.
"Mau pesta ulangtahun sama teman-temanku," jawab Mas Arga agak ketus.
"Aku ikut, ya, Mas!" Aku beranjak dari ranjang dan saat hendak membuka lemari, tangan Mas Arga mencekal kuat tanganku.
"Auw ... sakit, Mas!" pekikku karena cekalan tangan Mas Arga yang begitu kuat.
"Mau apa kamu? Siapa yang mengajakmu ikut? Malu aku ngajak kamu. Apa kata teman-temanku nanti jika aku mengajak kamu?" bentak Mas Arga.
"Kamu gak ngaca, Hah? Badan lebar begitu kok kepedean mau ikut acaraku segala. Gak mau aku! Aku mau ajak Cindi aja," lanjut Mas Arga.
"Cindi lagi Cindi lagi! Apa-apa selalu sama Cindi. Yang jadi istrimu ini aku atau Cindi, sih?" gerutuku sambil memukul-mukul lengan suamiku.
Mas Arga menepis keras tanganku. Karena kuatnya tepisan tangannya, aku hampir saja terjatuh. Beruntung aku masih bisa menyeimbangkan tubuhku. Jika aku terjatuh, entah apa yang akan terjadi dengan kandunganku.
Mas Arga pergi begitu saja meninggalkanku yang masih syok. Aku bisa mendengar suara Mas Arga memanggil adik iparku. Ternyata Mas Arga benar-benar mengajak Cindi untuk ikut serta dengannya.
Aku mengintip dari balik jendela ketika motor Mas Arga sudah dinyalakan. Dapat kulihat dengan jelas pemandangan yang tak pernah kusangka selama ini.
Cindi begitu mesranya memeluk Mas Arga dari belakang. Dan perasaanku tambah yakin kalau Mas Arga dengan Cindi ada sesuatu. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua?
****
Sepanjang malam aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Sampai pukul sebelas malam, Mas Arga dan juga Cindi belum juga pulang. Aku pun berinisiatif untuk menghubungi mereka berdua. Namun, sudah berulang kali kucoba menghubungi keduanya, tak ada satupun dari mereka yang mau menjawab teleponku.
Kemana lagi mereka ini? Hidup sama suami kok kayak gak punya suami! Tak henti-hentinya aku mengumpat karena kesal pada Mas Arga. Bisa-bisanya meninggalkan aku yang tengah mengandung sampai larut malam begini hanya untuk pesta saja.
Sembari menunggu mereka berdua pulang, aku bermain sosial media di ponsel untuk menghilangkan kebosenan.
Mataku terpaku pada satu video yang dibagikan di salah satu platform media sosial berwarna biru. Dalam video itu ada seorang istri yang tengah melabrak suaminya karena ketahuan tengah berduaan dengan perempuan cantik di dalam mobil.
Astagfirullah! Ya Allah ... ada-ada saja jaman sekarang. Perempuannya juga mau-mau saja sama laki-laki yang sudah beristri. Miris sekali!
Aku tak henti-hentinya bergumam sambil berdoa dalam hati agar selalu menjaga pernikahan yang saat ini tengah kujalani.
Pikiranku berhenti sejenak. Entah mengapa aku jadi memikirkan sikap Mas Arga pada Cindi belakangan ini. Sikap mereka yang menurutku aneh. Apa jangan-jangan?
Aah gak mungkin itu! Mas Arga dan Cindi, kan, kakak dan adik. Masak mereka ada main? Ada-ada saja aku ini. Tenang, La ... tenang! Aku berusaha menghibur diri sendiri. Walaupun perasaanku mengatakan yang berlawanan.
Satu jam sudah aku bermain ponsel. Mata ini belum juga mau terpejam. Apalagi Mas Arga dan Cindi belum pulang juga. Rasa penasaran yang tinggi menuntunku untuk memeriksa kamar Cindi.
Aku masuk ke kamar Cindi dengan sangat hati-hati. Beruntung kamarnya tidak dikunci. Biasanya memang Cindi selalu mengunci kamarnya kalau sedang keluar. Mungkin saja tadi Cindi buru-buru jadi tidak sempat menguncinya.
Kamar Cindi ini dulu adalah kamarku sewaktu orang tuaku masih hidup. Kamar ini pula yang dulunya jadi saksi bisu suka dukaku. Tak banyak yang berubah dari kamar ini. Hanya saja sekarang jadi lebih berantakan.
Cindi tak bisa merawat kamarnya dengan baik. Walaupun dia perempuan, tapi tak pernah mau membereskan kamarnya. Banyak sekali baju-baju kotor yang berserakan di dalam kamar.
Aku pun sampai heran dengan kelakuan adik iparku itu. Apa jadinya besok kalau dia punya suami?
Mataku menyisir setiap sudut kamar Cindi ini. Tak ada yang aneh bagiku. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju meja rias yang terletak di sisi ranjang.
Ternyata kosmetik milik Cindi sangatlah mahal. Pantas saja uang suamiku habis karenanya. Hanya demi menuruti gengsinya, Mas Arga rela mengesampingkan kebutuhanku dan calon anaknya.
Entah apa yang sedang aku cari, akupun tak tahu. Tapi, ada dorongan besar yang menyuruhku untuk mengeledah meja rias itu.
Satu demi satu aku buka laci yang ada di sana. Hanya ada beberapa alat kosmetik dan juga rambut palsu milik Cindi. Lama sudah aku menggeledah kamar itu. Hingga akhirnya aku putus asa dan memutuskan untuk menyudahi mencarikan yang entah apa itu.
Mungkin memang hanya perasaanku saja yang terlalu berpikiran negatif pada mereka berdua. Aku harusnya lebih bisa memahami sikap mereka berdua.
Huh ... baiklah, mulai saat ini aku harus membuang jauh perasaan-perasaan negatifku pada mereka. Sebelum Cindi dan Mas Arga pulang, aku harus membereskan semua kekacauan yang kubuat ini.
Satu demi satu, barang-barang Cindi kutata seperti semula, khususnya yang ada di meja rias. Ada beberapa buku juga di meja Cindi. Dan saat aku hendak berbalik, tidak sengaja aku menjatuhkan tumpukan buku-buku itu. Terlihat beberapa buku berserakan di lantai.
Tapi, ada satu buku yang membuat pandanganku tak berkedip. Buku itu berwarna merah muda dan seperti buku harian modelnya.
Kupungkut buku itu dan membaca sampul bukunya. Tertulis 'Untukmu Sang Pujaan Hatiku' pada sampul buku itu. Aku mengambil nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
Kutata hatiku sedemikian rupa untuk membuka lembaran pertama buku itu. Memang tak sepantasnya aku membuka buku milik Cindi tanpa izinnya. Tapi, rasa penasaran yang besar tentang hubungan suamiku dan adik iparku melebihi rasa takutku.
Bismillahirrahmanirrahim! Aku membuka lembar pertama buku itu. Di lembar pertamanya, tertulis tahun 2015, dimana tahun itu adalah tahun pertemuanku pertama kali dengan Mas Arga.
Lembaran pertama tak ada kata-kata ataupun kalimat yang mengarah pada kecurigaanku. Aku bahkan bisa tersenyum kala isi curahan hati Cindi terdengar lucu. Ternyata anak itu ada juga sisi polosnya.
Lembaran demi lembaran aku buka. Hingga sampai aku membaca laki-laki idaman Cindi. Dalam buku itu, Cindi menuliskan sosok laki-laki yang kelak ingin dia jadikan pendamping adalah seperti Mas Arga. Kata Cindi, Mas Arga lebih dari kata sempurna dalam hidupnya.
Terdengar suara motor Mas Arga masuk ke halaman. Bergegas aku menutup buku harian Cindi dan langsung meletakkannya di tempat semula.
Buru-buru aku keluar dari kamar Cindi dan masuk ke dalam kamarku sendiri. Aku pura-pura sudah terlelap ketika tawa mereka terdengar memasuki rumah.
Benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan mereka berdua. Mereka bersenang-senang bahkan ketika aku harus mati-matian bekerja untuk menutupi kebutuhan rumah ini.
"Iya kamu tenang aja. Sudah sana istirahat. Mas juga mau istirahat. Besok pagi Mas ada rapat penting di kantor." Sayup-sayup kudengar Mas Arga berbicara dengan Cindi.
Rapat di kantor? Bukannya Mas Arga hanya karyawan biasa, ya? Memangnya kalau karyawan biasa sekelas Mas Arga kadang juga melakukan rapat?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalaku. Dan kesemuanya itu tak bisa kutanyakan langsung pada suamiku. Aku harus cari tahu semuanya! Ya, harus!
Suara pintu kamar dibuka bisa dengan jelas kudengar. Mas Arga rupanya sudah masuk ke dalam kamar. Dia mengambil pakaian yang ada di lemari, lalu keluar lagi dari kamar.
Kubuka mataku pelan. Kulihat disekeliling guna memastikan keberadaan Mas Arga. Rupanya Mas Arga hendak mandi. Malam-malam begini kenapa harus mandi segala?
Aku mendekat ke arah pintu kamar, ketika sayup-sayup kudengar Mas Arga tengah berbicara dengan seseorang.
"Jelas, dong! Santai saja. Besok kapan-kapan aku ajak istriku lagi." Ternyata Mas Arga tengah menerima telepon dari temannya.
Deg! Tapi ucapan Mas Arga menjadi tanda tanya besar bagiku. Istriku lagi? Sejak kapan Mas Arga mengajakku bertemu dengan temannya?
Saat aku terbangun di pagi hari, aku melihat Mas Arga masih tertidur disampingku. Aku bangun dengan sangat pelan agar Mas Arga tak terbangun. Aku masih memikirkan buku harian Cindi yang belum selesai kubaca semalam. Belum lagi dengan kata-kata Mas Arga saat menerima telepon dari temannya.Arrghhh! Kenapa pikiranku jadi aneh-aneh begini? Aku merutuki diriku sendiri dengan pemikiran-pemikiran yang tak masuk akal itu.Seperti biasa, setiap pagi aku berbelanja sayuran di tukang sayur yang kebetulan mangkal di gang yang tak jauh dari rumahku.Sudah banyak ibu-ibu yang berkerubung di sekitar abang-abang sayur. Maklumlah ibu-ibu kalau beli sayur sekalian ngeghibah. He ... he ... he ..."Eh Mbak Nirmala," sapa Ibu Nuri dengan senyuman yang tak bisa kuartikan."Pagi, Bu Nuri. Belanja apa ini, Bu?" tanyaku basa-basi. Ibu-ibu yang lain tengah sibuk memilih sayuran yang hendak dibeli. Ada juga diantara mereka yang berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan t
"Astagfirullah, Mas Arga!" pekik Nirmala saat dia baru saja memasuki rumah."Si*lan!" umpatku dalam hati.Ya ... saat ini aku tengah diadili oleh warga kampung tempat tinggal istriku. Karena kecerobohanku, aku dan juga Cindi serta Eva digerebek oleh warga.Sebenarnya kami bertiga jarang sekali main di rumah. Hanya saja hari ini aku memang sedang malas keluar rumah. Dan ini adalah idenya Cindi. Jadilah aku sekarang seperti ini. Malunya bukan main. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur ketahuan.Aku dan Cindi sebenarnya bukan saudara kandung. Kami dipertemukan saat orang tua dari kami hendak menikah. Namun naas, beberapa hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan, orang tua kami terlibat kecelakaan dan meninggal di tempat.Dan sejak saat itu, Cindi ikut denganku dan menjadi tanggung jawabku. Aku dan Cindi memutuskan untuk pindah dari kampung halamanku. Kami tidak mau ada orang yang tahu masa lalu kami, karena kami mengaku sebagai kakak adik kandung.Nirmala, istriku pun tidak tahu m
"Mas Arga bagaimana, sih, istri lgi hamil bukannya di manja tapi malah diselingkuhi?" sindir Ibu Nuri sembari menatapku tajam. Ibu Nuri ini memang salah satu ibu-ibu yang suka ceplas-ceplos di kampung istriku. Maka dari itu, aku selalu menghindar ketika lewat depan kumpulan ibu-ibu yang tengah merumpi."Hamil juga bukan anakku ini," celetukku pelan. Tapi sepertinya Nirmala mendengarku. Dia menatapku penuh dengan amarah dan juga tangannya mengepal kuat."Apa kamu bilang, Mas? Astagfirullah! Jadi selama ini kamu tidak peduli saat aku hamil karena mengira ini bukan anakmu, begitu?" tanya Nirmala padaku. Suara tercekat seperti orang menahan tangis."Memang nyatanya begitu. Cindi saja sering lihat kamu bersama dengan laki-laki," jawabku sewot. Jelas aku tak mau kalah dengannya. Tentu saja aku lebih mempercayai perkataan Cindi daripada Nirmala. "Allahu Akbar! Tega kamu, ya, Mas! Kalau memang begitu, mana buktinya?" Nirmala berkata setengah berteriak di depan wajahku. Ketika mata kami ber
Duniaku seakan runtuh ketika mendapati suamiku, Mas Arga digerebek oleh warga. Menurut Pak RT, Mas Arga, Cindi dan satu temannya hendak berbuat m*sum.Sudah jatuh tertimpa tangga. Ibarat itulah yang kini cocok disematkan padaku. Bagaimana tidak, ternyata Cindi yang selama ini aku anggap sebagai adik iparku tak lebih dari parasit dalam rumah tanggaku.Aku baru tahu kalau ternyata Cindi bukan adik kandung dari Mas Arga. Bahkan mereka tak ada hubungan darah sedikitpun. Pantas saja aku merasakan keanehan saat mereka berdekatan.Amarahku kembali meledak ketika Mas Arga menuduhku kalau aku hamil bukan dengannya. Entah s*tan apa yang merasuki pikiran suamiku itu. Malam itu perdebatan panjang antara kami terjadi, ditambah lagi dengan warga yang sudah tidak mau menerima kehadiran mereka di kampung ini. "Ceraikan aku sekarang juga, Mas! Tak sudi aku hidup dengan laki-laki penipu kayak kamu!" bentakku tepat dihadapan Mas Arga.Aku sempat menjambak rambut Cindi karena marah dia telah menuduhku
Aku berangkat pagi untuk menjajakan cemilan ke sekolah-sekolah. Setelah dari sekolah, aku berkeliling karena daganganku masih lumayan banyak. Hari pertama aku berjualan, aku mendapatkan musibah. Ada sebuah mobil yang entah disengaja atau tidak, berjalan kencang hingga membuat air yang ada dikubangan mengenaiku dan daganganku. Aku menangis memunguti dagangan yang bercecer terkena air. Tapi aku tak boleh patah semangat. Mungkin memang Allah tengah mengujiku dengan cara seperti ini."Kenapa, Mbak? Mari saya bantu!" ucap laki-laki tampan yang turun dari mobil.Belum pernah aku menemukan orang yang naik mobil rela menepikan mobilnya untuk menolong orang miskin sepertiku."Oh tidak apa-apa, Mas. Itu tadi ada mobil lewat kencang. Jadinya seperti ini," jawabku.Laki-laki itu membantu memunguti daganganku. Bahkan dia juga membantuku berdiri lagi karena aku kesusahan dengan perut yang membesar."Terima kasih, ya, Mas, sudah mau membantuku. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari!" pamitku.Tapi,
Aku teringat sertifikat rumah peninggalan orang tuaku yang ada di dalam lemari. Barang belanjaan aku letakkan disembarang tempat. Dan aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kondisi kamar tidak jauh berbeda dengan ruangan depan. Mataku fokus tertuju pada lemari baju yang sudah terbuka. Aku mendekat dan seketika lututku terasa lemas. Yang aku takutkan terjadi. Sertifikat rumah milikku hilang.Aku menangis sekencang-kencang karena musibah bertubi-tubi datang padaku. Karena tangisanku itu, para tetangga berdatangan untuk melihatku."Astagfirullah al 'adzim, Mbak Nirmala! Ada apa ini?" seru Ibu RT ketika melihat kondisi rumahku yang berantakan."Mbak ... Mbak Nirmala dimana?" Beliau memanggil namaku karena aku berada di dalam kamar.Suaraku tercekat. Bahkan untuk berdiri saja rasanya tidak mampu. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Ibu RT dan juga yang lainnya masuk ke dalam kamarku. Tatapan mereka iba melihat kondisiku."Ada apa, Mbak? Siapa yang melakukannya?" tanya Ibu RT dengan tatapan
Tanpa diduga, Mas Raga berjalan ke arahku. Seperti kemarin, Mas Raga dengan sopan menyapaku yang masih duduk di depan tempatku berjualan."Apa kabar, Mbak?" sapanya terlebih dahulu. Senyum mengembang dari wajah tampannya. Aku yakin perempuan manapun akan tergila-gila pada ketampanan Mas Raga."Alhamdulillah baik. Terima kasih kemarin sudah membantuku, Mas." Aku tak berhenti mengucapkan terima kasih atas kebaikannya."Sama-sama, Mbak. Jualannya sudah habis, Mbak?" tanyanya lagi."Alhamdulillah sudah," jawabku singkat.Kami tak banyak mengobrol karena Mas Raga harus kembali bekerja. Sebelum pergi, Mas Raga meminta nomor kontakku jika sewaktu-waktu dia hendak memesan camilan.Awalnya aku ragu memberikan nomorku padanya. Tapi, karena ini juga berkaitan dengan daganganku, maka aku memberikan Mas Raga nomorku.***Aku pulang ke rumah lebih awal dari hari kemarin. Kesempatan itu aku gunakan untuk memeriksakan kandunganku di bidan di daerah sekitar tempat tinggalku. Selama ini aku baru seka
Terlihat dari cctv rumah Pak Narno kalau ada satu orang yang gelagatnya mencurigakan. Dia mondar-mandir di depan rumah Pak Narno yang juga tepat di depan rumahku. Berulang kali dia menengok ke kanan dan ke kiri. Hingga akhirnya dia mengarah ke rumahku.Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena cctv itu tak bisa menjangkau di halaman rumahku yang agak masuk ke dalam."Mbak, Bapak curiga kalau orang yang mondar-mandir itu yang masuk ke rumah Mbak Nirmala," kata Pak RT dengan wajah serius.Pak RT di tempatku tinggal memang sangat mengayomi warganya. Beliau tak segan-segan membantu warganya yang butuh bantuan. Seperti aku sekarang ini. Padahal aku awalnya sudah putus asa hendak berbuat apa. "Kita laporkan saja ke pihak yang berwajib, ya, Mbak!" Ibu RT mendukung suaminya untuk membuat warga kampung menjadi aman. Beliau juga meyakinkanku untuk mau membuat laporan."Tapi aku takut, Bu. Nanti kalau orangnya macam-macam sama saya gimana, Bu?" ucapku.Memang aku takut jika yang mencuri
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal