Suasana rumah Mama Zoya sangat sepi. Duka masih menyelimuti rumah itu. Semenjak pemakaman Ibu Ratih selesai kemarin, baik Mama Zoya maupun Zaki tidak ada yang mau keluar kamar. Bahkan hanya untuk sekedar makan ataupun minum. Berulang kali Nirmala membujuk keduanya untuk makan, tapi selalu ditolak. "Mas, aku tahu ini berat buat kamu dan mama. Tapi, hidup itu terus berlanjut, Mas. Kalau kamu seperti ini terus, kasihan ibu kamu dan mama juga. Ayo bangkit, Mas!" ucap Nirmala. "Kamu sudah sejauh ini, Mas. Sudah banyak ujian demi ujian yang kamu lalui. Lalu, haruskah kamu menyerah hanya sampai di sini, Mas?" sambungnya. Nirmala tak menyerah. Dia terus menyemangati Zaki agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Jika Zaki bangkit, Nirmala yakin Mama Zoya juga akan mau bangkit. Tak ada tanggapan dari Zaki, Nirmala beralih ke kamar mertuanya. Tak lupa dia membawakan makanan dan minuman. "Ma ..." ucap Nirmala saat memasuki kamar Mama Zoya. Dia meletakkan nampan yang berisi makanan dan mi
"Baik. Nanti saya akan ke sana. Terima kasih." Mama Zoya meletakkan kembali ponselnya dan kembali melanjutkan makan. Sebenarnya jika bukan dari rumah sakit jiwa, Mama Zoya enggan mengangkatnya. Rasanya tak elok jika sedang makan tapi malah menjawab telepon. "Dari siapa, Ma?" tanya Zaki. Dia baru saja selesai makan. "Dari rumah sakit, Ki. Kata perawatnya, mama diminta mengambil barang-barang ibumu," jawab Mama Zoya. "Biar nanti Zaki sama Nirmala aja yang ambil, Ma, sekalian keluarnya," kata Zaki. "Ya sudah kalau begitu. Mama juga masih mau istirahat dulu."Selesai membereskan piring ke dapur, Nirmala menghampiri Zaki yang sudah menunggunya. Setelah berpamitan dengan Mama Zoya, keduanya berangkat naik mobil. Zaki begitu fokus mengemudi dan Nirmala pun tak mau mengganggu. Selama perjalanan, Nirmala sibuk dengan ponselnya karena ada beberapa pesan dari karyawannya. Tanpa sadar, mobil Zaki sudah sampai ditujuan. Nirmala pun ikut turun bersama Zaki dan mengurus semua yang mesti diuru
Dalam kotak itu ada sebuah foto yang sudah tampak usang. Foto yang berisi sepasang muda-mudi yang tengah dimabuk asmara. Yap! Itu adalah foto Ibu Ratih bersama kekasihnya dulu. Mama Zoya sama sekali tidak mengenali laki-laki yang menjadi pacar adiknya itu. Tapi, saat Mama Zoya membalik fotonya, ada sebuah keterangan di sana. "Untuk kamu yang selalu ada di hatiku. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Ratih. Dari kekasihmu, Burhan."Selain foto, ada sebuah amplop surat yang berwarna putih bersih di sana. Tertulis 'untuk kakakku Zoya.'"Ratih ..." lirih Mama Zoya. "Ada apa, Ma?" tanya Zaki yang mendengar suara lirih Mama Zoya. "Foto siapa itu, Ma?" Zaki kembali bertanya saat Mama Zoya menunjukkan foto itu padanya. Mama Zoya menggeleng. Zaki menerima foto itu dan melihatnya dengan seksama. Seketika senyum terbit dari bibir Zaki karena ternyata foto Ibu Ratih saat masih muda sangat cantik. Dan ketika Zaki melihat foto laki-laki yang ada di samping Ibu Ratih, matanya tampak menyip
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan