Entah siapa yang bisa disalahkan dalam situasi ini. Prihatin sudah pasti, sedih, juga merasa bersalah tiba-tiba menyelimuti diri. Entah kenapa aku merasa ikut andil saat mendengar keterangan dari Mama bahwa Mas Ali tak pulang ke rumah sejak sepuluh hari lalu. Tepatnya setelah pertengkaran kami di Lumajang hari itu.Selama sepuluh hari Farah hanya tinggal bersama Hafiz, karena asisten rumah tangganya ada keperluan mendadak dan meminta cuti. Selama lebih dari seminggu adik kandung Mas Fariz itu bungkam dari orang tuanya tentang keberadaan sang suami yang entah di mana rimbanya. Sampai dini hari tadi, dia mengeluh nyeri dan mulas, bersamaan dengan itu air ketubannya pecah. Farah tergelincir air ketubannya sendiri dan jatuh dari tangga lantai dua.Hasil USG mengatakan bahwa bayi di kandungannya mengalami gegar otak, kemungkinan untuk selamat kecil. Hingga harapan seorang Ibu yang menanti kehadiran sang buah hati selama sembilan bulan lamanya benar-benar pupus, saat prosedur operasi caesar
Ada apa dengan tujuh tahun lalu?Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalaku. Bahkan setelah lelaki itu pergi beberapa saat lalu, aku masih terjaga dengan berbagai perasaan yang berkecamuk menjadi satu. "Suci!" Suara lembut itu menyentak lamunanku.Sebelum sempat aku berbalik, Mama sudah lebih dulu duduk di sampingku."Fariz udah pergi?" Beliau bertanya sembari meletakkan tangan di atas jemariku, lalu meremasnya pelan.Aku mengangguk."Terakhir kali kita liat Fariz kayak gitu sekitar dua atau tiga tahun lalu. Dia berantem sama Papa terus nggak pulang hampir dua minggu." Aku menoleh ke arah Mama, lalu tertegun dibuatnya. "Temperamennya masih belum berubah, tapi Mama tahu dia pasti punya alasan dibalik semua itu." Kini giliran Mama yang menatapku."Kasih dia waktu buat nenangin diri ya, Ci. Fariz pasti pulang. Jangan banyak pikiran, inget janin di perutmu!" Mama mengusap perutku yang sejauh ini masih tampak datar, mungkin beberapa bulan lagi baru terlihat perubahannya."Iya, M
Pesan yang dikirim Sherly sukses membuatku terjaga semalaman hingga berpikir berlebihan. Setelah menghubungi beberapa sumber terpercaya dan menyelidiki sampai akar-akarnya, akhirnya aku tahu di mana bisa menemukan wanita itu.Aku tak mau melihatnya dari satu sisi, kemudian langsung menyimpulkan hal yang belum tentu benar. Kalau pun memang semalam Mas Fariz singgah ke tempat wanita itu, suamiku belum tentu macam-macam. Jadi, aku harus memastikannya sendiri.Setelah pamit pada Mama, Papa, dan ... lelaki yang membuat Farah menangis semalaman. Aku berakhir di sini. Di depan sebuah kafe yang terletak di sekitar pusat perbelanjaan Ibukota. Butuh sekitar empat puluh lima menit perjalanan menggunakan taksi sebelum sampai di sini.Menurut keterangan Bang Bobby, Sherly adalah owner di Kafe Ngabret ini.Terkadang dia juga ikut serta melayani sebagai seorang Barista yang berdiri di balik mesin espresso.Seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Kebanyakan pelayan yang singgah adalah anak-anak motor b
Semua berawal saat dia datang ke Lumajang. Mengusik ketenangan yang sempat kami rasakan selama lebih dari dua belas pekan, mengungkit kembali apa yang pernah terjadi di masa lampau, berharap perasaan yang nyaris hilang itu masih tertinggal.Semua berawal saat panggilan telepon dari Bobby datang. Meninggalkan kesan-kesan berharga kebersamaan selama beberapa pekan yang kami lalui di Lumajang.Semua berawal dari ponsel yang sengaja dia tinggalkan, menguak kembali tabir masa lalu yang sebenarnya tak ingin lagi kukenang. Ferry sudah kukhlaskan, tapi kalau cara dia pergi disebabkan seseorang, haruskah aku tetap tinggal diam?Masa lalu memang selalu punya cara untuk memberikan pelajaran, tapi tak semua hal yang dilaluinya perlu dikenang, beberapa kasus bahkan meninggalkan memori yang amat menyakitkan, hingga beberapa orang lebih memilih menguburnya dalam-dalam.Sejauh ini, selama tiga bulan kebersamaan. Kupikir hanya aku yang memiliki rahasia kelam. Kupikir hanya aibku yang harus rapat disem
Tiba rumah, aku sudah mendapati dua mobil terparkir di pelataran. Sepertinya mereka sudah membawa Farah pulang bersama dengan suaminya.Entah apa yang terjadi di antara mereka setelah kutinggal malam itu. Yang pasti Farah kembali luluh dan dia bersedia menerima maaf Mas Ali.Sejujurnya kalau aku yang ada di posisi itu sudah pasti akan langsung menendangnya pergi. Namun, sekali lagi aku memang tak memiliki hati bidadari seperti Farah yang bersedia memberi lebih dari dua kali kesempatan, meski sudah disakiti berkali-kali."Fariz masih belum ada kabar, Ci?" Pertanyaan Mama menghentikan langkahku sebelum mencapai undakkan tangga pertama. Aku menoleh, menatap mereka yang berkumpul di ruang tamu sembari memerhatikan Hafiz yang tengah bermain dengan tabletnya."Belum, Ma. Mas Fariz emang udah izin nggak akan pulang dalam beberapa hari."Mama mangut-mangut. Giliran Papa yang bicara."Tapi, nggak ada apa-apa, kan, Ci?"Aku terdiam sejenak. Sebelum pergi Mas Fariz memang sempat berpesan agar a
Malam beranjak. Ponsel yang sejak tadi kukenggam masih belum dilepaskan. Ini adalah hari kedua di mana tidur tak cukup mampu untuk membawa ketenangan. Aku terjaga, di atas balkon kamar. Menatap malam yang seolah menertawakan seorang insan yang menunggu pagi datang tanpa perlu melewati malam yang panjang.Aku benci menunggu dalam ketidakpastian. Aku tak mau apa yang pernah terjadi tujuh tahun lalu kembali terulang. Ketika penantian berujung dengan tragedi yang tak akan pernah bisa kulupakan.Di mana kamu, Mas?Sudah dua hari sejak kamu pamit pergi sebentar.Tak ada petunjuk, tak ada orang yang bisa kuhubungi. Bobby bahkan mengatakan bahwa dia tak melihat Mas Fariz sejak semalam.Ke mana aku harus pergi? Ke mana aku harus mencari jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggelayuti pikiran?Di tengah kekalutan pikiran tiba-tiba ponsel di genggaman tanganku bergetar. Nama lelaki yang menjadi penyebab segala keresahan tertera di layar."Halo, Mas! Kamu di--""Malam, Bu. Apa benar ini deng
Lima belas tahun lalu ...."Mal, lulus nanti lu mau lanjut ke mana?" Bobby bersedekap di atas bangku Fariz, saat pemuda tujuh belas tahun itu baru saja selesai merapikan barang.Mereka baru saja selesai menjalani serangkaian kegiatan ujian nasional selama empat hari yang di akhiri oleh mata pelajaran Kejuruan hari ini."UI, kalau enggak ke UNPAD. Masuk teknik. Motivasi gue jelas dari dulu. Kalau nggak jadi teknisi, ya jadi pengusaha onderdil," jawab pemuda berambut cepak itu.Dua karib itu sudah berteman sejak mereka pertama kali mendaftar di SMK Harum Jaya dengan jurusan Teknik Otomotif. Pemuda yang sama-sama berasal dari keluarga berada itu selalu terlihat bersama kapan pun ada kesempatan.Bobby mangut-mangut, sebelum melanjutjan obrolan. "Gue kira lo mau ngambil akuntan, terus nerusin bisnis Sawit Pak Jamal. Biasanya, kan begitu.""Nggak, kerjaan kayak begitu bukan passion gue, Met. Duduk lama depan komputer, berkutat sama angka-angka, cuma bikin pantat kapalan. Liat bokap gue, bad
Tutorial menghilang dari bumiCara guna-guna orang tua sendiri?Tutorial menjadi gembel?Apakah hidup di jalanan menyenangkan?Berapa penghasilan pengamen dan tukang minta-minta?"Aaargh!" Di dalam kamar bernuansa biru dongker dengan beberapa poster Bob Marley, Slank, dan The Beatles itu, Fariz meradang. Sudah lebih dari tiga jam dia berkutat dengan komputer tabung, berselancang di internet mencari solusi yang mungkin bisa membatunya keluar dari permasalahan ini.Beberapa hari sudah berlalu sejak kelulusan diumumkan. Hari perpisahan juga esok akan datang. Namun, keputusannya untuk mengikuti keinginan papanya masih belum benar-benar bisa dia ikhlaskan.Rencana masa depan yang sudah dia rancang sejak lama harus berakhir berantakan saat orang tuanya mengambil sebuah langkah besar dengan memasukkannya ke sebuah pesantren kecil di daerah Lumajang, Jawa Timur. Sebuah alternatif lain yang bahkan tak pernah terbersit dalam benaknya sedikit pun.Setelah beberapa kali membenturkan kepala ke me
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"