Lima belas tahun lalu ...."Mal, lulus nanti lu mau lanjut ke mana?" Bobby bersedekap di atas bangku Fariz, saat pemuda tujuh belas tahun itu baru saja selesai merapikan barang.Mereka baru saja selesai menjalani serangkaian kegiatan ujian nasional selama empat hari yang di akhiri oleh mata pelajaran Kejuruan hari ini."UI, kalau enggak ke UNPAD. Masuk teknik. Motivasi gue jelas dari dulu. Kalau nggak jadi teknisi, ya jadi pengusaha onderdil," jawab pemuda berambut cepak itu.Dua karib itu sudah berteman sejak mereka pertama kali mendaftar di SMK Harum Jaya dengan jurusan Teknik Otomotif. Pemuda yang sama-sama berasal dari keluarga berada itu selalu terlihat bersama kapan pun ada kesempatan.Bobby mangut-mangut, sebelum melanjutjan obrolan. "Gue kira lo mau ngambil akuntan, terus nerusin bisnis Sawit Pak Jamal. Biasanya, kan begitu.""Nggak, kerjaan kayak begitu bukan passion gue, Met. Duduk lama depan komputer, berkutat sama angka-angka, cuma bikin pantat kapalan. Liat bokap gue, bad
Tutorial menghilang dari bumiCara guna-guna orang tua sendiri?Tutorial menjadi gembel?Apakah hidup di jalanan menyenangkan?Berapa penghasilan pengamen dan tukang minta-minta?"Aaargh!" Di dalam kamar bernuansa biru dongker dengan beberapa poster Bob Marley, Slank, dan The Beatles itu, Fariz meradang. Sudah lebih dari tiga jam dia berkutat dengan komputer tabung, berselancang di internet mencari solusi yang mungkin bisa membatunya keluar dari permasalahan ini.Beberapa hari sudah berlalu sejak kelulusan diumumkan. Hari perpisahan juga esok akan datang. Namun, keputusannya untuk mengikuti keinginan papanya masih belum benar-benar bisa dia ikhlaskan.Rencana masa depan yang sudah dia rancang sejak lama harus berakhir berantakan saat orang tuanya mengambil sebuah langkah besar dengan memasukkannya ke sebuah pesantren kecil di daerah Lumajang, Jawa Timur. Sebuah alternatif lain yang bahkan tak pernah terbersit dalam benaknya sedikit pun.Setelah beberapa kali membenturkan kepala ke me
Sepanjang perjalanan menuju Pesantren Al-Huda ditemani Pak Ahmad Nabawi, Bapaknya Suci. Fariz merenung sembari memikirkan kejadian yang sudah beberapa jam lalu terjadi.Siraman segayung air, juga tatapan tajam yang dilayangkan gadis berusia tiga belas tahun itu entah kenapa membuat pemuda itu tak bisa berhenti memikirkannya.Respon tak biasa dari gadis yang luar biasa. Hal itu jelas membuatnya heran. Tidak ada teriakan atau caci-maki yang Kaum Hawa biasa lontarkan. Hanya dua kata saja sudah mampu membuat harga dirinya dipertaruhkan, seolah apa yang dia lakukan mencerminkan sosok lelaki kurang ajar. Padahal seumur hidupnya, selain orang tua, makhluk yang paling dia hargai itu adalah perempuan."Nggak sopan katanya?""Apa-apaan tatapan ngeselin kek tadi?""Mana habis itu dia pura-pura nggak terjadi apa-apa lagi. Ya Allah ... kenapa malah gue yang malu.""Kenapa, Nak Fariz?" tanya Pak Ahmad yang terlihat kebingungan karena sepanjang perjalanan Fariz hanya bergumam sendiri.Pemuda itu ter
"Siapa saja tolong tuliskan ayat Al-Qur'an yang membahas tentang kewajiban berzakat, juga jenis-jenisnya!"Di dalam kelas, saat pelajaran tentang ilmu fiqih dimulai. Ustaz Sulton, biasa para santri memanggil, mulai melempar topik pada anak didiknya yang berjumlah dua puluh orang di dalam kelas.Ruangan kelas hening sejenak. Sampai saat Ali mengangkat tangan, kemudian maju ke depan."Ayat yang membahas tentang kewajiban berzakat ada di Qur'an surah At-Taubah ayat 103, yang bunyinya: ("Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka.")" Sembari menerangkan Ali juga menulis ayat yang bersangkutan di atas papan tulis dengan baik dan benar. "Ada dua jenis zakat yang perlu dilakukan semua umat muslim dan muslimah dari yang wajib sampai yang sudah mampu. Yang pertama adalah Zakat Fitrah, zakat yang diwajibkan bagi semua umat muslim dan muslimah , baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa dia hidup pada malam hari ra
"Riz, menurut lo sejauh ini kehidupan sebagai santri itu gimana?" Husein menumpukkan dagu di antara kedua tangan yang menyanggahnya, sembari menatap Fariz yang tengah mengecek catatan yang baru mereka pelajari tadi. Dua pekan sudah berlalu sejak Fariz menjalani kehidupan sebagai santri di pesantren ini."Nggak seburuk yang gue bayangin. Ustaz sama ustadzah-nya juga ngajarinnya masih lebih ramah dibandingin bokap gue."Husein terkekeh. "Iya juga, sih. Lo, kan pernah cerita kalau dari kecil dah dicekokkin ilmu agama tanpa perlu masuk MI atau Mts. Nggak heran pas masuk pesantren bacaan Qur'an lo udah lancar, hapalan lo bahkan lebih banyak dari gue yang udah setahun di sini. Jadi, malu gue. Muka Arab, tapi kelakuan Jahiliyah. Masuk sini aja gue diseret bokap udah kayak Kamping yang mau dikurbanin, karena kecanduaan maen game. Lo, mah cuma motor-motoran doang.""Setiap orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya, Sen. Begitu juga dengan bokap-nyokap kita. Dah, dinikmatin aja! Lagian mere
Hari demi hari Fariz jalani kehidupan sebagai santri. Seperti yang sudah dia katakan pada Husein bahkan didikkan di sini tak lebih keras dari didikkan yang Papanya lakukan sejak dia kecil. Pak Jamal yang memang anak didik langsung Kyai Aziz yang seangkatan dengan Ustaz Sulton, dan Pak Ahmad seolah sudah ditatar untuk menerapkan pola ajar yang sama pada generasi penerus mereka. Sedari dini mereka, sudah menuntut anak-anaknya untuk sempurna. Khususnya dalam ilmu agama.Tak terasa, ini adalah hari ke dua puluh delapan Fariz tinggal di Pesantren Al-Huda. Pemuda itu bahkan sudah cukup mampu untuk mengimbangi Ali yang sudah lebih dulu menjalani pendidikan agama mendalam sejak satu setengah tahun lalu."Riz!" Di tengah malam buta, Husein tiba-tiba membangunkan Fariz yang baru saja terpejam.Pemuda itu mengucek mata, lalu pelan-pelan membuka mata."Anter gue ke warnet bentar, yuk, Riz?"Fariz mengernyitkan dahi."Warnet?"Husein mengangguk mantap."Please, Riz. Sekali aja. Besok kita libur, k
Tiga tahun kemudian ...."Pa, katanya Suci mau bicara." Bu Nurul menuntun tangan putri semata wayangnya untuk menghadap suaminya yang tengah membaca koran di ruang tamu.Pria berwajah teduh itu mengalihkan pandangannya. Menatap putri satu-satunya yang tertunduk di samping ibunya."Duduk sini, Nduk!" Dia menepuk kursi di sampingnya. "Bapak nggak akan tanya dua kali, jadi langsung bilang aja dengan tegas apa mau kamu?!"Perlahan Suci mengangkat kepalanya, lalu menatap bapak yang selama enam belas tahun ini begitu dia segani, sampai-sampai tak berani menentangnya sama sekali."Sejauh ini Suci udah nurutin segala kemauan Bapak, Suci bahkan nggak pernah membatah satu pun perintah Bapak. Suci juga udah kenyang dengan semua ilmu agama yang Bapak cekokkan sedari dini. Jadi, Suci cuma minta, untuk kali ini aja tolong, Pak! Jangan masukin Suci ke pesantren, Suci pengen nyoba masuk SMA."Pak Ahmad terdiam lama. Dia tatap lekat putri semata wayangnya."Nduk, kamu tahu, kan bapak ngelakuin semua i
Enam bulan kemudian ....Di sebuah tempat terpencil nan jauh dari hiruk-pikuk pusat kota dan keramaian. Terlihat mobil-mobil mewah dan motor-motor elite sudah berjejer memadati halaman tempat hiburan yang tersembunyi di balik sisi kelam kota metropolitan. Klub yang biasa beroperasi dari mulai pukul 22.00 sampai menjelang subuh tersebut sudah berjubel oleh orang-orang membutuhkan hiburan setelah penatnya bekerja seharian.Suara musik berdentum keras menyambut mereka. Orang-orang yang terlihat melepas penat dengan berjoget serampangan nampak berdempetan dan saling menyerobot satu sama lain, di lantai dansa.Para wanita penghibur yang siap menunggu bakal calon pelanggannya terlihat mulai mendekati pria-pria dengan setelan necis yang baru saja masuk. Mereka seolah dipersiapkan untuk memenuhi kesenangan para pria hidung belang yang sudah disibukkan dengan penatnya pekerjaan di siang hari."Mal, Genk Ferry yang ikut touring dari Surabaya, katanya baru sampe di Jakarta. Si Didip bilang kalau
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"