Maria masih mencoba mengatur deru napas dan detak jantungnya yang berdegup sangat keras, William sudah pergi beberapa menit lalu, namun kengerian yang diciptakan pria itu masih mengental di ruang tamu miliknya ini.Maria bangkit dan berpindah tempat duduk, wanita itu menenggelamkan diri pada sofa tunggal yang empuk. Lalu memijit pelipisnya yang berdenyut, tidak menduga akan mengalami hal mengerikan seperti itu. Ini pertama kalinya Maria melihat sebuah pistol di todongkan langsung tepat di depan wajahnya.Suara luncuran peluru yang memekakkan telinga itu masih terngiang di dalam kepala. Seluruh tubuh Maria merinding ketika mengingatnya. Maria sangat tidak menyangka tuan Hanum akan seberani itu untuk mengunci gerakannya. Bahkan mengancam dengan mengirimkan pria mengerikan itu. Siapa dia? Pembunuhan bayaran?Pertanyaan-pertanyaan itu mencucuk dalam kepala Maria, lalu dia teringat dengan amplop coklat susu yang disebut sebagai hadiah dari William. Maria meraihnya dan memandang cukup lama
Pria berusia dua puluh tiga tahun itu tampak sedang memperhatikan gadis berwajah muram yang di duduk di tepi ranjang. Saga lekas mendekat untuk mendudukkan dirinya di samping Sahara, membuat sang gadis sedikit tersentak ketika mendapati suaminya itu sudah ada di sampingnya.Melihat wajah muram itu, Saga lekas mengerti bahwa istrinya itu masih membayangi penculikan yang terjadi seharian ini. Membuatnya semakin dirundung perasaan bersalah.“Mikirin apa?” Saga bertanya pelan seraya menyelipkan helaian rambut yang menjuntai menyentuh pipi istrinya yang putih.Manik hitam pria itu menyorot lembut, membuat sang gadis merasa seolah jiwanya ditarik dan di tenggelamkan dalam gelapnya malam. Sahara memindai wajah lelaki di depannya, wajah yang dulu selalu menatapnya sinis dan dingin, sekarang hanya ada wajah yang selalu menatapnya dengan wajah melembut dan sorot khawatir.“Masih memikirkan kejadian tadi, hm?” Saga kembali bertanya ketika gadis itu hanya membisu dan menatap wajahnya lekat.“Apa
(Warning 21+)“Jangan terus menatap itu.” Sahara menegur suaminya yang terpana dengan pandangan tertuju pada dadanya yang masih terbalut bra, semua pakaian luarnya sudah tertanggal hanya menyisakan pakaian dalamnya saja. Wajah gadis itu tampak bersemu menahan malu.“Kenapa?” tanya Saga tersenyum, lalu terkekeh ketika melihat wajah istrinya semakin memerah. “Ini, terlihat cantik. Boleh aku menyentuhnya?”Tangan Sahara mengepal dan memukul pelan dada pria yang sedang mengungkung tubuhnya, matanya melirik jengkel, “Kenapa kau banyak tanya? Kenapa harus bertanya dulu? Kan aku jadi malu!”“Oh, jadi kau lebih suka langsung, ya?” Saga semakin melebarkan senyumnya hingga menampakkan gigi, sangat senang menggoda istrinya yang sudah tidak ada bedanya lagi dengan kepiting rebus.“Kakak!” seru gadis itu semakin malu, membuat Saga mengeraskan tawanya.Kemudian pria itu membuka kaosnya dan menampakkan dada bidang dan perutnya yang berotot. Ini bukan pertama kalinya Sahara melihat tubuh itu, namun t
“Mama dan Papa akan berkunjung kemari besok.”Sahara ingat betul apa yang dikatakan oleh suaminya semalam. Sebelum mereka tertidur, Papa Hanum mengirimi putranya itu pesan. Bahwa hari ini mertuanya itu akan berkunjung untuk mengatakan sesuatu.Gadis itu meletakan sisirnya, mematut wajah di depan cermin rias. Hari ini dia mengenakan baju rajut berkerah tinggi, agar bisa menutupi bercak merah buatan Saga yang menghiasi leher mulusnya. Mengingat kembali apa yang dilakukan mereka semalaman membuat Sahara melengkungkan bibirnya dengan manis, bersamaan dengan itu semburat merah mulai muncul dikedua pipinya.“Meski percobaan kedua juga gagal, tetap saja membuatku terkesan.”Sahara bergumam sendiri sembari terkikik, dia merasa geli ketika mengingat wajah kesal Saga yang belum berhasil membobol dirinya. Sahara merasa lega sekaligus senang, itu artinya dia memang masih perawan. Penculik itu tidak melakukan apapun padanya, walau pun begitu dia tetap penasaran mengapa tubuhnya tanpa busana.“Sepe
“Sebenarnya aku masuk ke kamar untuk memanggilmu. Mama dan Papa sudah tiba sejak tadi.” jawab Saga dengan cengiran lebar, dia merapikan helaian rambut gadis itu yang sedikit berantakan.“Kau!” Sahara memukul pelan bahu Saga dengan tinjuannya, raut wajahnya agak sedikit sebal, “Kenapa tidak bilang dari tadi?”“Lupa,” pria itu terkekeh geli dan mencubit pipi Sahara yang menggembung cemberut, “Habisnya melihat kau tersipu-sipu di depan cermin membuatku gemas! Jangan salahkan aku, salah sendiri, kenapa kau semenggemaskan ini.”“Gombal!” pungkasnya mencebikkan bibir pura-pura jengkel, padahal hatinya sangat berbunga, gadis itu bergegas turun dari pangkuan suaminya seraya menahan senyum.Kemudian Sahara berdiri di belakang Saga untuk mematut diri di depan cermin. Rambut sebahunya kembali mengembang berantakan, setelah menggeleng samar, dia lekas meraih sisir. Namun Saga meraih lebih cepat benda itu dan menarik istrinya untuk kembali duduk sedangkan dia berdiri di belakangnya.“Biar aku yang
Saga berjalan dibelakang sang Ayah, terus mengikuti Ayahnya itu menuju ruang gym miliknya berada, dengan secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di masing-masing tangan mereka. Setelah pembicaraan di ruang tamu selesai, Hanum memberikan tanda pada putranya itu bahwa ada yang harus di bicarakan secara empat mata.“Bagaimana pekerjaanmu?” Hanum akhirnya membuka suara setelah hening beberapa menit.Mereka sedang menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi kota, dari balik dinding kaca. Ruangan olahraga itu selalu di sinari cahaya matahari yang hangat, seolah Saga sudah memesan khusus untuk mendapatkannya.Berdiri bersisian dengan pria tua itu membuat Saga menolehkan wajahnya ke samping, dengan alis mengernyit. Berpikir sejenak, untuk apa Ayahnya itu perlu berbicara diruang tertutup seperti ini kalau hanya menanyakan soal pekerjaan. Walau begitu, Saga tetap menjawabnya.“Kurasa Papa sudah tahu jawabannya. Bukankah, beberapa hari belakangan Papa selalu mengaw
Setelah membuatkan kopi dan memberikannya pada sang suami juga mertuanya, Sahara lekas kembali menuju dapur. Membantu Viona yang sedang memotong-motong bahan masakan untuk memasak menu makan siang.“Mama, boleh aku bertanya?” Gadis itu mengatakannya sedikit ragu di sela-sela memotong buncis, dan memandang Viona yang mengenakan celemek hitam milik Saga, terlihat sangat keibuan. Mengingatkannya pada Liana, rasanya dia merindukan sang Mami.“Ya, tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?” jawab wanita itu menganggukkan kepalanya, lalu balas memandang menantunya dan tersenyum.“Soal penculikan itu, Mama sungguh mengetahuinya?” tanya Sahara dengan suara pelan. Viona menghentikan gerakan memotong-motong sayur lalu memutuskan untuk mencuci kedua tangannya di wastafel, sebelum mendekat pada menantunya itu.“Mama tahu.” jawabnya mengakui, kemudian mengusap lembut lengan gadis itu. “Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Apa kejadian itu membuatmu tidak nyaman?”“Oh, bukan begitu...” Sahara buru-b
Awan putih membentang indah di langit biru yang menandakan musim panas telah tiba. Suhu rata-rata Tokyo di musim ini adalah sekitar 31,5°C pada siang hari dan 24°C di pagi hari. Beruntungnya Saga dan Sahara berkunjung disaat musim panas, sebab musim panas selalu dinanti banyak orang, dimana akan ada banyak festival dan kembang api di nyalakan. Orang-orang akan turun ke jalanan mengenakan pakaian tradisional Yukata dan memegang kibasan dari uchiwa. Di setiap malam perayaan festival, orang-orang akan menggantungkan dekorasi potongan kertas yang bertuliskan permohonan di sebatang bambu.Sahara, gadis itu begitu sumringah menyaksikan festival musim panas sebagai salah satu budaya Jepang ini. Walaupun bukan warga lokal, dia ikut menggantungkan kertas yang berisi permohonannya, berharap suatu hari nanti akan terwujud.“Apa yang kau tulis?” Saga bertanya penasaran, sesekali mengusap keringat yang keluar dari pori-pori kulit.“Harapan!” sahutnya pendek.“Kau berharap apa?”“Berharap kita ak
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu