"Apa, menikah?" Ratih, ibu Mia terkejut mendengar ucapan pemuda yang baru saja diperkenalkan oleh putrinya.
"Maaf Bu, kami sudah ---" Gilang menunduk takut.
"Ada apa ini, Mia?" Wanita itu menatap putrinya yang malah tersenyum bahagia.
"Aku dan Gilang mau menikah, Bu. Tolong restui saja kami." Mia memohon pada sang ibu yang terlihat kecewa.
Ratih membesarkan Mia seorang diri setelah kepergian suaminya. Dia putri satu-satunya yang menjadi harapan hidupnya, belum juga lulus kuliah dan mendapatkan kerja sekarang malah meminta restu untuk menikah.
Meski penampilan Gilang terlihat baik dan mapan, Ratih ingin putrinya menjadi wanita mandiri. Bukan seperti ini yang ia rencanakan sebelumnya.
Ratih meminta waktu untuk membicarakan hal ini berdua dengan putrinya, dia menyuruh Gilang pulang, dan akan memberi keputusan nanti.
Setelah Gilang pergi, Ratih menatap putrinya dengan lekat, mencoba memahami apa sebenarnya yang dia inginkan.
"Apa yang membuatmu ingin menikah secepat ini, kamu tidak hamil 'kan Mia?" tatapan Ratih penuh selidik, dia memperhatikan perut putrinya yang terlihat rata.
"Ibu, aku hanya ingin hidupku berubah. Gilang anak tunggal dan aku ingin hidup bahagia bersamanya," rengek Mia.
"Mia, apa kamu pikir bahagia itu hanya karena banyak uang?" Ratih terlihat geram.
"Ya, jelas. Ibu menyuruhku kuliah agar aku mendapatkan kerja yang baik demi apa, demi uang 'kan?" Mia menatap ibunya.
"Bukan begitu maksud, Ibu!" Ratih tersinggung dengan ucapan Mia.
Dia geram dengan sikap anaknya yang mata duitan, padahal bukan seperti itu yang Ratih harapkan, dia ingin putrinya menjadi wanita bermartabat mendapatkan harta dari jerih payah sendiri, karena itu lebih menyenangkan dan membanggakan.
"Ibu, Mia lelah hidup begini-begini terus, Mia ingin hidup bahagia," suara Mia memelas.
Mendengar rengekan putrinya, pertahanan Ratih mulai goyah, sekeras apa pun dia melarang tetap saja kebahagiaan Mia yang paling utama.
"Kalau itu sudah menjadi pilihanmu, Ibu bisa apa," sahut Ratih pelan.
"Ibu setuju?" Mia melonjak girang, Ratih mengangguk pelan dengan senyum dipaksakan.
"Ibu, terima kasih. Mia janji akan membahagiakan Ibu setelah aku menikah, nanti kita akan tinggal di rumah mewah. Ibu tidak perlu bersusah payah mencari uang buat Mia."
Gadis itu mulai berkhayal akan impiannya setelah menikah dengan Gilang. Ratih hanya tersenyum kecut mendengarkan putrinya membicarakan impiannya.
***
Setelah mendapat persetujuan dari Ratih, Mia sering mendatangi rumah Gilang. Sore itu dia datang dengan membawa rendang buatan ibunya.
"Sore, Om," sapa Mia saat bertemu Dirga yang baru saja pulang dari kantor.
"Eh ... Mia, baru datang?" balas Dirga ramah.
"Iya, Om." sahut Mia dengan senyum tak kalah ramah.
"Ayo masuk," ajak Dirga diikuti Mia di belakang.
Mia langsung menuju dapur mengambil tempat untuk meletakkan rendang lalu menaruhnya di meja makan.
"Bi, mau bikin apa?" tanya Mia pada pembantu di dapur.
"Kopi buat Tuan, Mbak mau dibuatin kopi apa teh?" tanya pembantu itu dengan sopan.
"Sini biar aku yang buatin, ajarin ya." Mia meraih cangkir dari tangan Bibi.
"Kopinya satu setengah, gulanya satu saja, Mbak," ucap Bibi saat Mia menuang bubuk kopi.
Setelah membuat kopi dan teh kemudian dibawa ke ruang keluarga, di sana Dirga tengah duduk sambil memeriksa pekerjaan melaui ponselnya. Dia terkejut melihat Mia datang dengan membawakan kopi.
"Lo, Bibi mana?" Dirga menoleh kebelakang.
"Bibi sibuk, jadi Mia bantuin buat kopi." Mia duduk setelah meletakkan kopi buatannya di meja.
"Wah ... jadi ngrepotin, bagaimana rencana kalian selanjutnya?" Dirga membahas rencana pernikahan Mia dengan putranya.
"Soal itu, terserah Gilang, Om. Ibu sudah setuju." Mia menunduk malu.
Lelaki tua itu menyeruput kopi dari cangkir dengan pelan, terasa aneh di lidah tak seperti buatan bibi. Mia memperhatikan wajah calon mertuanya sambil meminum teh yang ia buat.
"Kopinya nggak enak ya, Om?" Mia menyadari perubahan ekspresi di wajah pria itu.
"Ini kamu yang buat?" tanya Dirga, Mia mengangguk malu.
"Kamu perlu latihan sama Bibi, biar bisa membuat kopi yang lebih enak lagi," ucap Dirga sambil tertawa.
Mia tersipu malu, tapi juga merasa senang ternyata Dirga lebih mudah bersahabat dari pada Gilang yang kaku. Meski umurnya sudah tua, wajah pria itu juga masih terlihat ganteng dan menawan.
Mereka berdua berbincang santai dan semakin akrab, Dirga lebih banyak bertanya tentang keluarga Mia. Gadis itu menceritakan kalau ayahnya sudah meninggal dan hanya tinggal bersama ibunya.
Mendengar kisah Mia tentang keluarganya hati Dirga yang lembut mulai tersentuh, dia kagum dengan ibu Mia yang membesarkan putrinya seorang diri. Kalau ibunya wanita tangguh pasti anaknya juga memiliki sifat yang sama pikirnya.
Sampai malam Gilang tak kunjung pulang, Dirga mencoba menghubungi anaknya agar cepat pulang, akan tetapi yang ditunggu tak kunjung datang.
"Mia, ayo kita makan duluan, Gilang pasti sudah makan di luar," ajak Dirga.
Mia menemani calon mertuanya makan malam, dia melayani Dirga menyiapkan makan di piring. Dirga semakin kagum pada Mia sudah lama dia tidak dilayani seperti ini, sejak istrinya meninggal dia lebih sering makan sendiri.
"Ini rendang buatan Ibu, Om." Mia menambahkan rendang di piring Dirga.
"Enak, dagingnya lembut, boleh nih sering-sering bawain rendang." Dirga menikmati makan malamnya dengan nikmat.
"Nanti Mia bawain lagi kalau Om suka."
Setelah selesai makan, Mia membawa piring kotor ke dapur membantu bibi membersihkan piring, kemudian dia pamit pulang.
"Kamu naik apa?" tanya Dirga.
"Taksi, Om," jawab Mia.
"Ayo Om antar, sekalian Om mau bertemu dengan ibumu." Dirga mengambil kunci mobil di lemari, Mia melonjak girang akhirnya dia bisa merebut hati pria ini.
Sepanjang jalan mereka berbincang, membicarakan banyak hal, ternyata Mia cukup menyenangkan untuk teman ngobrol. Tiba lah mereka di rumah Mia yang kecil tapi terlihat nyaman.
"Ini rumah Mia, maaf ya Om rumah Mia kecil dan jelek," ucap Mia malu.
Dirga berjalan bersama Mia masuk ke rumah, kemudian Mia memanggil ibunya yang tengah sibuk di dapur menyiapkan bumbu untuk berjualan besok di warung.
"Bu, ada Om Dirga, papanya Gilang." Mia memeluk ibunya dari belakang.
"Hah ... kok kamu gak bilang, aduh gimana ini mana kita nggak ada makanan lagi." Ratih tak enak hati kedatangan calon besan saat tidak ada apa-apa untuk dihidangkan.
Mereka berdua bergegas ke ruang tamu menemui Dirga yang telah duduk di sana menunggu.
"Duh ... maaf Pak, nggak tahu kalau mau kedatangan tamu." Ratih menyalami Dirga.
"Tidak apa-apa, saya antar Mia sekalian mampir, terima kasih rendangnya enak," ucap Dirga ramah.
Mereka bertiga berbincang membicarakan tentang rencana pernikahan, Ratih sudah pasrah dia menyerahkan semua persiapan pada keluarga laki-laki.
Puas berbincang Dirga berpamitan pulang, Mia mengantarkan Dirga sampai ke mobil, sebelum masuk mobil Dirga meraih tangan Mia meletakkan lembaran uang di tangan gadis itu.
"Apa ini, Om?" Mia terkejut melihat lembaran uang berwarna merah di tangannya.
"Buat belanja daging biar kamu rajin ngirimin Om rendang." Dirga tersenyum manis.
"Banyak banget ini, Om." Mata Mia melebar melihat uang banyak di tangannya.
"Lebihnya buat shoping." Dirga terkekeh sambil masuk ke mobil.
Mia senang sekali dia tidak salah pilih sebentar lagi hidupnya benar-benar akan berubah, dapat suami ganteng, kaya plus mertua yang tidak pelit. Dia berlari ke rumah menunjukkan uang itu pada ibunya.
"Bu, lihat. Calon mertuaku baik banget 'kan?" Mia menghitung lembaran uang pemberian Dirga.
Ratih tersenyum melihat putrinya bahagia, Mia membagi uang pemberian Dirga dengan ibunya, meski Ratih menolak dia tetap memaksa dengan meninggalkan sebagian uang di meja.
Masa depan cerah sudah terpampang di depan mata, ternyata lebih mudah meluluhkan hati Dirga dari pada hati Gilang. Mia tak peduli yang penting Dirga baik padanya, soal Gilang itu urusan nanti.
***
*Terima kasih sudah membaca jangan lupa likenya ya***
Hari bahagia itu akhirnya tiba, hari di mana Mia dan Gilang mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Mia lah yang paling berbahagia, impian hidup bergelimang harta sudah menjadi kenyataan, sementara Gilang harus menelan pil pahit yang akan ia jalani seumur hidup.Pesta pernikahan diadakan dengan sangat mewah di salah satu hotel bintang lima, beberapa mahasiswi yang dulu mengidolakan Gilang harus kecewa saat mendengar kabar pernikahan pria yang menjadi idaman mereka.Mereka langsung terbang berbulan madu ke pulau dewata setelah acara resepsi pernikahan selesai. Semua sudah diatur oleh Dirga, Gilang hanya tinggal melaksanakan.Turun dari pesawat, mereka langsung diantar kesebuah villa mewah, Mia sangat bahagia ini kali pertama dalam hidupnya tidur di villa semewah ini. Dia langsung memeriksa ruangan dan sekitar, kamar tidur yang dihias dengan mawar merah berbentuk hati serta sebuah ucapan selamat dari pihak villa, ada juga kolam renang private, Dirga benar-ben
"Mia pulang dulu, Bu," pamit Mia pada sang ibu setelah melepas rindu."Ingat pesan Ibu, jadilah istri yang baik, berbakti pada suami juga mertuamu," pesan Ratih pada putrinya sebelum pergi.Tak lupa Ratih membawakan rendang kesukaan besannya sebagai ucapan terima kasih. Wanita itu juga berpesan pada Gilang agar menjaga putrinya dengan baik."Baik, Bu. Kami pulang dulu," pamit Gilang sambil mencium tangan Ratih sebelum pulang.Tak ada hal yang paling menyenangkan selain melihat putrinya bahagia, meski awalnya dia sempat kecewa dengan keputusan Mia. Kini Ratih merasa lebih tenang, setidaknya apa yang diinginkan oleh Mia sudah menjadi kenyataan.Rupanya Dirga sudah pulang dan sedang bersantai di ruang keluarga saat mereka tiba di rumah. Mia langsung menyapa lalu mencium tangan mertuanya dengan hormat."Dari mana kalian?" tanya Dirga pada putra dan menantunya."Dari rumah Ibu, ini dibawain rendang kesukaan Om sama Ibu." Mia menunjukkan bu
"Gimana Bro, jadi kita mau buka usaha?" tanya Robi saat bertemu Gilang."Ya jadi dong, gue sekarang udah punya istri nanti kukasih makan apa kalau gue nggak punya kerjaan," sahut Gilang."Gue kira lo nggak serius sama, Mia." Robi terkekeh."Awalnya gitu, tapi kulihat dia baik, papaku juga sayang sama dia, ya sudah lah lo tau kan gue pria yang nggak neko-neko kalau soal cewek.""Gue tahu lo dengan baik, Bro. Berapa cewek yang kamu pacarin selama ini, dan gue tahu lo bukan cowok brengsek, meski lo sering diselingkuhin sama cewek lo." Robi kembali tertawa diikuti Gilang.Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP, Robi mengenal baik sahabatnya itu mereka hanya suka mabok tapi tidak pernah bermain perempuan.Awal Gilang mulai mabok gara-gara diselingkuhin sama pacarnya waktu SMA, dia berusaha melupakan wanita itu dengan mabok setiap malam. Ditambah lagi kepergian mamanya yang membuatnya merasa sangat kehilangan.Untuk urusan bercin
Siang itu Gilang menemui papanya di kantor dia mengutarakan niat untuk membuka pub di hotel Grand Hill. Melihat putranya begitu bersemangat, Dirga mendukung rencana Gilang."Jadi butuh biaya berapa, nanti kabari Papa," tukas Dirga, Gilang sangat senang mendapat dukungan dari papanya.Hari-hari Gilang sibuk mempersiapkan usahanya, dia sering keluar membuat Mia merasa kesepian, setiap malam tidur sendirian. Di tambah lagi libidonya yang tinggi sering membuat ia gelisah.Sebagai seorang istri dia ingin merasakan kehangatan dan kebahagia di ranjang. Masa pengantin baru berlalu begitu saja, kadang saat merasa kesepian dia menyentuh, meraba bagian tubuhnya memuaskan hasratnya sendiri.Malam itu dia tak tahan hasratnya terlalu menggebu hingga tak bisa memejamkan mata. Mia keluar dari kamar, pergi ke dapur mengambil minuman dingin di kulkas, lalu duduk di ruang keluarga menonton TV menghibur diri.Dirga yang belum terlelap mendengar lamat-lamat suara TV, p
Setelah memarkir mobil Dirga langsung turun dan bergegas masuk ke rumah, Mia memperhatikan wajah mertuanya yang memerah penuh keringat, pria itu juga terlihat gelisah. "Om, sakit?" Mia mengikuti sampai ke kamar. "Kayaknya masuk angin," sahut Dirga melucuti pakaiannya yang basah dengan keringat. "Mau dikerokin?" tawar Mia cemas, tidak biasanya Dirga seperti itu. "Nggak usah, Om mau istirahat aja." Suara Dirga terdengar berat seperti menahan sesuatu. Mia meninggalkan Dirga, setelah wanita itu pergi ia ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Namun senjata tuanya malah tegang dan berdenyut hebat. Cukup lama berdiri di bawah kucuran air shower, menunggu sampai juniornya kembali tidur, akan tetapi juniornya seolah melawan. Di dalam kamar Mia memakai baju tidur, menyemprot parfum dan body cream ke seluruh tubuh. Bersiap menyambut Gilang pulang agar saat dia mencium aroma wangi tubuhnya selanjutnya --- Mia merinding membayan
Semenjak kejadian itu tanpa sepengetahuan Gilang, Mia setiap malam rutin tidur di kamar papanya, jam dua malam dia baru pindah ke kamar sebelum suaminya pulang. Pasangan beda usia itu menikmati malam-malam penuh dosa selayaknya pasangan muda yang sedang dimabuk cinta. Dirga tak bisa menolak godaan menantunya yang selalu masuk ke kamar dengan pakaian seksi, kadang sengaja tanpa mengenakan dalaman dan langsung menyerang Dirga. Wanita itu selalu ketagihan untuk bercinta dengan Dirga, tak hanya mendapat kepuasan, Dirga juga memanjakan Mia dengan uang. Dia sangat royal sebagai ganti atas pelayanan panas yang ia dapatkan setiap malam. "Sayang, mau dipijitin," rengek Mia manja saat di kamar Dirga. "Dipijitin pakai tangan apa bibir?" goda pria tua itu nakal. "Mau dua-duanya." Mia menarik tali kimononya lalu melepaskan begitu saja. Dia sudah terbiasa tampil polos di depan mertuanya tanpa rasa malu lagi, mata tua itu berbinar melihat pem
Pagi itu, seperti biasa Mia menyiapkan sarapan untuk suami dan mertuanya. Mengambilkan nasi di piring untuk mertuanya, juga buat Gilang suaminya.Menikmati sarapan pagi sambil berbincang hangat, tak ada yang mencurigakan semua terlihat biasa dan normal, akan tetapi di bawah meja, kaki Mia menjelajahi kaki sang mertua."Uhuk!" Pria tua itu terbatuk, tak kuat menahan geli akibat ulah nakal menantunya.Mia dengan sigap mengambilkan minum, Dirga menatap tajam agar tak melakukan itu di depan Gilang, wanita itu malah tersenyum genit."Sayang, nanti makan siang kita ketemu yuk," ujar Gilang sebelum berangkat."Aku capek, emang mau ngapain?" Mia mulai malas bepergian dengan Gilang."Ada deh, aku mau belikan sesuatu buat kamu," jawab Gilang sambil tertawa."Apa sih? Kalau nggak penting aku di rumah aja, capek tahu." Mia tak tertarik dengan tawaran Gilang."Kalau kubilang sekarang bukan surprise dong.""Ih ... kamu pakai acara sur
"Sayang, setelah wisuda, kita program hamil yuk."Gilang sudah sangat merindukan hadirnya seorang anak dalam rumah tangga mereka, akan tetapi Mia sendiri masih enggan untuk memiliki momongan. Dia masih ingin menikmati kebebaaan."Hamil?"Wajah Mia berubah murung, dia belum siap untuk memiliki anak saat ini."Iya, apa kamu belum siap punya anak?""Bu--bukan, tapi ini terlalu cepat buatku. Aku masih ingin menikmati hidupku," keluh Mia.Semenjak berhubungan dengan Dirga, Mia menggunakan KB untuk mencegah kehamilan, kalau sampai hamil dia tidak tahu itu hasil dari hubungan dengan Dirga atau Gilang."Aku anak tunggal, aku ingin kita punya anak yang banyak, biar keluarga kita ramai.""Mmm ... nanti dulu lah, Sayang. Kamu juga baru merintis bisnis untuk anak kita bisa pikirkan nanti," tolak Mia dengan lembut."Baiklah, Sayang. Tapi kamu jangan KB ya!" Gilang memberi peringatan.Sore hari sepulang dari kampus Mia ma
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu."Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia."Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung.""Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia."Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah."
Sebelum memulai percakapan dengan Gilang, Mia menghela napas, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka."Terima kasih atas kedatanganmu, andai Ibu melihat dia pasti sangat senang.""Ibu orang baik, aku tidak bermasalah dengannya, ini sebagai wujud penghormatan terakhirku pada beliau.""Aku ikut senang mendengar kamu sudah menikah, semoga kamu berbahagia." Mia tersenyum."Itu... hanya sebuah kebetulan, tidak ada yang tahu soal itu, bahkan Robi juga tidak tahu." Gilang menghela napas kemudian berjalan ke jendela memandang keluar."Kenapa bisa begitu?" Mia memandang punggung Gilang yang sengaja membelakanginya."Apa dia tidak cerita, pria yang bersamamu waktu itu?""Dia hanya cerita kalau kamu menikahi calon istri yang dijodohkan oleh orang tuanya, hanya itu.""Memang begitu, pengasuh Bintang tiba-tiba pulang, kamu ingat waktu aku menuduhmu membawa Bintang, saat itu Bintang pergi dari rumah mencari pengasuhnya jadi aku
Gilang dan Robi ikut mengiringi mengantar jenazah almarhum Ratih ke pemakaman, mereka mengikuti semua prosesnya karena tak tega melihat Mia yang sangat terguncang. Sepanjang prosesi hanya menangis, bagai robot tak bernyawa tidak tahu harus bagaimana. Usai menabur bunga di pusara sang bunda, Mia kembali meraung memeluk batu nisan, Gilang berjalan mendekati Mia, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria telah lebih dulu merengkuh tubuh Mia dan memeluknya. Pria itu sedari tadi ada di rumah Mia, Gilang tidak kenal dengannya. Melihat pemandangan itu timbul tanya di dalam dada, tapi di saat seperti ini tak mungkin ia mencari tahu siapa dia. Robi menepuk pundak Gilang, dengan isyarat ia bertanya tentang pria itu, Gilang menggelengkan kepala karena tidak tahu siapa pria tampan berbadan tegap yang bersama Mia. "Kamu nggak kenal?" bisik Robi agar tak didengar orang lain. "Lah... elu yang ngobrol sama dia dari tadi, gimana sih?" sahut Gilang sewot, ad
Ratih terjaga karena perutnya sangat sakit, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat putrinya tidur di pangkuan Ali yang juga sama-sama terlelap.Wanita itu tersenyum sambil menahan sakit yang luar biasa, dia tak ingin putrinya tahu kalau dia sedang kesakitan."Tuhan, jika sudah waktuku aku sudah siap, putriku sudah menemukan pria pelindungnya aku titipkan dia padamu," bisik Ratih pelan.Dengan sangat pelan dia mengambil obat yang ada di samping tempat tidur lalu meminumnya, sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara agar putrinya dan Ali tidak terbangun. Untuk beberapa saat sakitnya mulai berkurang, Ratih kembali berbaring sambil menatap putrinya.Hawa dingin datang menusuk tulang suasana kamar menjadi sedingin kulkas, sosok putih lamat-lamat berjalan mendekat seorang pria datang dan duduk di tepi ranjang menatap Ratih sambil tersenyum ramah."A-ayah ...." suara Ratih tercekat melihat sosok pria yang ternyata suaminya.P
Mia melangkah masuk ke rumah sakit beriringan dengan Ali, mereka saling berpegangan tangan sambil berbincang hangat menuju ruang perawatan.Saat masuk ke dalam kamar, nampak sang ibu sedang disuap oleh wanita yang menaninya, melihat putrinya masuk bersama Ali, Ratih tersenyum bahagia."Ibu sudah bangun?" sapa Mia dia pun melepaskan tangan Ali berjalan mendekati sang ibu."Kamu sudah datang, harusnya tadi istirahat aja di rumah, ada Ani yang temani Ibu di sini, kalian pasti capek.""Ah... Nggak kok Bu, justru kasihan kalau Ani jagain Ibu di sini. Namamu Ani, maaf kita belum kenalan, ayo kita makan aku tadi beli rice bowl." Mia mengajak wanita muda yang membantu ibunya makan bersamanya."Tadi ada pesan dari perawat, Mbak Mia disuruh nemuin dokter di ruangannya," ucap Ani menyampaikan pesan yang ia terima."Oh... Baik, kalau begitu kita makan dulu, ayo Mas keluarin makanannya."Ali membuka kantong berisi mak