"Gimana Bro, jadi kita mau buka usaha?" tanya Robi saat bertemu Gilang.
"Ya jadi dong, gue sekarang udah punya istri nanti kukasih makan apa kalau gue nggak punya kerjaan," sahut Gilang.
"Gue kira lo nggak serius sama, Mia." Robi terkekeh.
"Awalnya gitu, tapi kulihat dia baik, papaku juga sayang sama dia, ya sudah lah lo tau kan gue pria yang nggak neko-neko kalau soal cewek."
"Gue tahu lo dengan baik, Bro. Berapa cewek yang kamu pacarin selama ini, dan gue tahu lo bukan cowok brengsek, meski lo sering diselingkuhin sama cewek lo." Robi kembali tertawa diikuti Gilang.
Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP, Robi mengenal baik sahabatnya itu mereka hanya suka mabok tapi tidak pernah bermain perempuan.
Awal Gilang mulai mabok gara-gara diselingkuhin sama pacarnya waktu SMA, dia berusaha melupakan wanita itu dengan mabok setiap malam. Ditambah lagi kepergian mamanya yang membuatnya merasa sangat kehilangan.
Untuk urusan bercinta Gilang memang tak selalu beruntung, dua kali pacaran dua kali juga diselingkuhi oleh pacarnya. Karena hal itu dia mulai bersikap dingin pada wanita, meski anak orang kaya, memiliki wajah lumayan tampan ternyata tak menjadi jaminan beruntung dalam percintaan.
Sebulan setelah menikah, Gilang disibukkan dengan mencari lokasi untuk tempat usaha, setiap malam dia pergi dengan Robi. Siang hari berangkat kuliah bersama Mia, pulangnya Mia punya agenda sendiri, kadang shopping, ke salon atau pergi menemui ibunya.
Meski Gilang belum bekerja, Mia tak pernah kehabisan uang. Dirga selalu memberi jatah uang seminggu sekali, dia juga sangat manja pada mertuanya.
"Gilang pergi lagi?" tanya Dirga saat makan malam cuma berdua dengan Mia.
Mia tak pernah mempermasalahkan meski Gilang sering keluar dan pulang saat larut malam, dia tak mau mengekang suaminya. Mendapat tempat yang layak serta tak pernah kekurangan uang buat Mia sudah sangat menyenangkan.
Hanya satu yang kurang, sampai hari ini Gilang belum meniduri dirinya. Padahal Mia sangat ingin merasakan kehangatan hubungan suami istri, ajan tetapi hal itu belum terjadi.
***
"Gilang, gimana kalau kita buka pub aja." Robi memberi masukan pada sahabatnya yang mulai bimbang karena tak kunjung mendapatkan tempat dan ide usaha.
"Pub?" Gilang mengernyitkan kening.
"Grand hill kan baru buka tuh, nah kita buka pub di situ, dari pada pusing-pusing," lanjut Robi.
"Boleh juga tuh, tapi coba tanya dulu mereka ada rencana buka sendiri nggak?" sambung Gilang, wajahnya berubah ceria mendengar saran sahabatnya.
"Kamu tenang aja, pemilik hotel itu temen bokap, biar bokapku nanti yang urus soal itu."
"Wah ... bagus tuh, kalau gitu aku bilang sama papaku, kita join 'kan?" tanya Gilang lagi.
"Jadi dong, gue juga pingin mandiri sebelum gue merid."
Gilang mengutarakan rencananya pada papanya, demikian juga Robi. Atas bantuan papa Robi akhirnya pemilik hotel Grand Hill memberi izin mereka untuk membuka pub di hotel mereka.
Malam itu mereka mengadakan perttemuan dengan pemilik hotel untuk membahas dan membuat perjanjian.
"Silahkan buka pub di sini, saya harap dengan adanya pub bisa membuat hotel kami ramai pengunjung," ucap pemilik hotel.
Gilang dan Robi sangat senang, malam itu mereka merayakan kabar bahagia dengan berpesta di pub biasa mereka datangi, dan baru pulang saat menjelang pagi.
Seperti biasa saat tiba di rumah, Gilang mengendap agar Mia tak terbangun. Setelah membersihkan diri, pria itu berbaring di samping istrinya, sambil mengecup kening Mia yang tengah tertidur dengan pulas.
"Sebentar lagi, aku bisa membahagiakanmu," bisik Gilang, memeluk tubuh istrinya kemudian terlelap.
Mentari pagi menelusup melalui sela-sela tirai yang menutup jendela kamar, Mia mengerjapkan mata mendapati Gilang tengah memeluk tubuhnya erat.
Dia tersenyum lalu mendaratkan ciuman pada wajah suaminya, pria itu menggeliat membunyikan tulang di tubuhnya, matanya sayu menatap wanita yang tak henti menciumi wajahnya.
"Ada apa, Sayang?" Gilang tak mengerti isyarat istrinya yang menginginkan kehangatan, matanya terlalu berat untuk membalas ciuman wanita itu.
Tak mendapat balasan Mia akhirnya memilih bangun lalu pergi ke kamar mandi, sementara Gilang kembali terlelap dalam tidurnya. Mia lanjut ke dapur membantu bibi menyiapkan sarapan pagi.
"Bi, aku aja yang masak. Bibi bersihin rumah aja, ya." Mia memang suka memasak, akan tetapi paling malas kalau harus membersihkan rumah.
Sejak ada Mia di rumah ini pekerjaan bibi juga menjadi lebih ringan, hampir setiap hari urusan memasak dihandle oleh Mia. Menjadi menantu orang kaya tak berarti dia nggak mau mengerjakan pekerjaan rumah, ini juga yang membuat Dirga menyayanginya. Tak hanya cantik tapi Mia juga pandai memasak.
Dua cangkir kopi dan segelas teh sudah tersaji di meja makan, pagi ini Mia memasak sup buntut. Dirga sudah berdandan rapi lalu keluar menuju meja makan.
"Wah, sedap banget aromanya sampai satu rumah," puji pria itu saat Mia datang membawa sup untuk dihidangkan.
"Mia, bikin sup buntut, semoga Om suka." Mia mengambilkan makan buat mertuanya.
"Terima kasih, sejak ada kamu lihat ni tubuh Om semakin bengkak." Pria itu tertawa senang.
Dirga makan dengan sangat lahap, dia tak mau menantunya kecewa kalau dia tak menghabiskan makanannya. Mia senang karena mertuanya selalu menyukai apa pun yang dia masak.
"Gilang belum bangun?" Dirga menanyakan putranya yang jarang ikut sarapan.
"Masih tidur, sepertinya dia pulang pagi lagi, Om," jawab Mia.
"Bagaimana bisnisnya, apa sudah ada kabar?" tanya Dirga lagi.
"Mia nggak tahu, Om. Nanti coba Om tanya sendiri sama Gilang." Mia mengemasi piring kotor ke dapur.
"Non, baju tuan sudah siap digosok." Bibi menunjukkan keranjang baju milik Dirga.
Setelah mencuci piring, Mia mengangkat keranjang baju Dirga ke kamar, menyusunnya di lemari. Dia juga memeriksa kamar mandi mertuanya mengambil pakaian kotor yang teronggok di sana untuk di cuci.
"Om belum pergi?" Mia terkejut saat keluar dari kamar mandi rupanya Dirga masih di kamar.
"Kamu lagi ngapain?" Dirga juga terkejut, Mia menunjukkan baju kotor di tangannya.
"Mia, kamu itu menantuku bukan pembantu."
Dirga berusaha mengambil baju kotor dari tangan Mia, tapi wanita itu mengelak bukannya dapat baju malah memeluk tubuh menantunya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam sambil berpelukan, terasa begitu hangat. Mia menjatuhkan baju kotor ke lantai, tangannya meraba lengan berbulu yang memeluknya.
Semerbak wangi parfum Dirga begitu mempesona, pria ini tak hanya tampan tubuhnya yang kekar begitu menggoda. Mia membalik badan kini mereka saling berhadapan, Dirga sadar lalu melepaskan pelukan.
"Om, apa sih? Ini kan kerjaan ringan." Mia memunguti baju kotor di lantai memasukkan ke dalam keranjang lalu bergegas ke belakang.
Baju kotor itu dimasukkan ke dalam mesin cuci, kemudian ia terduduk di kursi, jantungnya masih berdetak kencang setelah apa yang dialami di kamar sang mertua.
Mia, Mia ..., apaan sih buang jauh-jauh pikiran kotormu, gerutunya dalam hati. Tadi da sempat menginginkan hal lebih saat bersama dengan Dirga.
Mia menepuk kepalanya sendiri, agar pikiran kotor itu menghilang, masa iya dia pengin bermesraan dengan mertuanya sendiri.
***
Siang itu Gilang menemui papanya di kantor dia mengutarakan niat untuk membuka pub di hotel Grand Hill. Melihat putranya begitu bersemangat, Dirga mendukung rencana Gilang."Jadi butuh biaya berapa, nanti kabari Papa," tukas Dirga, Gilang sangat senang mendapat dukungan dari papanya.Hari-hari Gilang sibuk mempersiapkan usahanya, dia sering keluar membuat Mia merasa kesepian, setiap malam tidur sendirian. Di tambah lagi libidonya yang tinggi sering membuat ia gelisah.Sebagai seorang istri dia ingin merasakan kehangatan dan kebahagia di ranjang. Masa pengantin baru berlalu begitu saja, kadang saat merasa kesepian dia menyentuh, meraba bagian tubuhnya memuaskan hasratnya sendiri.Malam itu dia tak tahan hasratnya terlalu menggebu hingga tak bisa memejamkan mata. Mia keluar dari kamar, pergi ke dapur mengambil minuman dingin di kulkas, lalu duduk di ruang keluarga menonton TV menghibur diri.Dirga yang belum terlelap mendengar lamat-lamat suara TV, p
Setelah memarkir mobil Dirga langsung turun dan bergegas masuk ke rumah, Mia memperhatikan wajah mertuanya yang memerah penuh keringat, pria itu juga terlihat gelisah. "Om, sakit?" Mia mengikuti sampai ke kamar. "Kayaknya masuk angin," sahut Dirga melucuti pakaiannya yang basah dengan keringat. "Mau dikerokin?" tawar Mia cemas, tidak biasanya Dirga seperti itu. "Nggak usah, Om mau istirahat aja." Suara Dirga terdengar berat seperti menahan sesuatu. Mia meninggalkan Dirga, setelah wanita itu pergi ia ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Namun senjata tuanya malah tegang dan berdenyut hebat. Cukup lama berdiri di bawah kucuran air shower, menunggu sampai juniornya kembali tidur, akan tetapi juniornya seolah melawan. Di dalam kamar Mia memakai baju tidur, menyemprot parfum dan body cream ke seluruh tubuh. Bersiap menyambut Gilang pulang agar saat dia mencium aroma wangi tubuhnya selanjutnya --- Mia merinding membayan
Semenjak kejadian itu tanpa sepengetahuan Gilang, Mia setiap malam rutin tidur di kamar papanya, jam dua malam dia baru pindah ke kamar sebelum suaminya pulang. Pasangan beda usia itu menikmati malam-malam penuh dosa selayaknya pasangan muda yang sedang dimabuk cinta. Dirga tak bisa menolak godaan menantunya yang selalu masuk ke kamar dengan pakaian seksi, kadang sengaja tanpa mengenakan dalaman dan langsung menyerang Dirga. Wanita itu selalu ketagihan untuk bercinta dengan Dirga, tak hanya mendapat kepuasan, Dirga juga memanjakan Mia dengan uang. Dia sangat royal sebagai ganti atas pelayanan panas yang ia dapatkan setiap malam. "Sayang, mau dipijitin," rengek Mia manja saat di kamar Dirga. "Dipijitin pakai tangan apa bibir?" goda pria tua itu nakal. "Mau dua-duanya." Mia menarik tali kimononya lalu melepaskan begitu saja. Dia sudah terbiasa tampil polos di depan mertuanya tanpa rasa malu lagi, mata tua itu berbinar melihat pem
Pagi itu, seperti biasa Mia menyiapkan sarapan untuk suami dan mertuanya. Mengambilkan nasi di piring untuk mertuanya, juga buat Gilang suaminya.Menikmati sarapan pagi sambil berbincang hangat, tak ada yang mencurigakan semua terlihat biasa dan normal, akan tetapi di bawah meja, kaki Mia menjelajahi kaki sang mertua."Uhuk!" Pria tua itu terbatuk, tak kuat menahan geli akibat ulah nakal menantunya.Mia dengan sigap mengambilkan minum, Dirga menatap tajam agar tak melakukan itu di depan Gilang, wanita itu malah tersenyum genit."Sayang, nanti makan siang kita ketemu yuk," ujar Gilang sebelum berangkat."Aku capek, emang mau ngapain?" Mia mulai malas bepergian dengan Gilang."Ada deh, aku mau belikan sesuatu buat kamu," jawab Gilang sambil tertawa."Apa sih? Kalau nggak penting aku di rumah aja, capek tahu." Mia tak tertarik dengan tawaran Gilang."Kalau kubilang sekarang bukan surprise dong.""Ih ... kamu pakai acara sur
"Sayang, setelah wisuda, kita program hamil yuk."Gilang sudah sangat merindukan hadirnya seorang anak dalam rumah tangga mereka, akan tetapi Mia sendiri masih enggan untuk memiliki momongan. Dia masih ingin menikmati kebebaaan."Hamil?"Wajah Mia berubah murung, dia belum siap untuk memiliki anak saat ini."Iya, apa kamu belum siap punya anak?""Bu--bukan, tapi ini terlalu cepat buatku. Aku masih ingin menikmati hidupku," keluh Mia.Semenjak berhubungan dengan Dirga, Mia menggunakan KB untuk mencegah kehamilan, kalau sampai hamil dia tidak tahu itu hasil dari hubungan dengan Dirga atau Gilang."Aku anak tunggal, aku ingin kita punya anak yang banyak, biar keluarga kita ramai.""Mmm ... nanti dulu lah, Sayang. Kamu juga baru merintis bisnis untuk anak kita bisa pikirkan nanti," tolak Mia dengan lembut."Baiklah, Sayang. Tapi kamu jangan KB ya!" Gilang memberi peringatan.Sore hari sepulang dari kampus Mia ma
Setelah melalui sidang skripsi dan dinyatakan lulus, akhirnya hari wisuda yang ditunggu pun tiba, bagi sebagian mahasiswa ini adalah saat paling membahagiakan setelah empat tahun bergelut dengan dunia perkuliahan.Namun bagi Mia hari itu bukan hal yang istimewa, gelar yang ia idam-idamkan sudah tidak berarti lagi. Karena apa yang dia inginkan sudah terpenuhi tanpa perlu berlelah-lelah mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Dia tinggal berbisik manja di telinga Dirga atau Gilang, semua dengan mudah ia dapatkan.Ratih meneteskan air mata haru, bangga campur aduk menjadi satu saat putrinya berada di atas podium, dia bangga berhasil menguliahkan putrinya meski seorang diri.Ratih duduk di kursi tamu berdampingan dengan Dirga yang juga menghadiri kelulusan putranya. Mata tua itu menatap putra dan menantunya yang berada di atas podium, bibirnya tersungging senyum kebahagiaan."Alhamdulillah anak-anak kita sudah lulus ya, Pak," ucap Ratih, Dirga menoleh pada be
Semenjak memiliki keinginan untuk bercerai, Mia semakin berulah. Dia dengan sengaja membuat Gilang marah agar membenci dirinya. Ada saja yang sengaja dia lakukan agar Gilang gerah.Sore itu Gilang baru pulang dari kantor, Mia pergi tanpa pamit. Dia juga tak mau mengangkat telepon dari suaminya."Mia ke mana?" Dirga memperhatikan Gilang yang sedang kebingungan."Nggak tahu, Pa. Kutelepon juga nggak diangkat, ke mana anak itu?" gumam Gilang galau memikirkan istrinya."Mungkin di rumah ibunya?"Gilang langsung pergi ke rumah mertuanya, memastikan Mia ada di sana, dan akan membujuknya pulang ke rumah.Dirga juga mencoba menghubungi Mia dari kamar, dia terus menelpon hingga menantunya itu mau mengangkat telepon darinya."Apa?" sapa Mia kasar."Kamu di mana, Gilang bingung nyariin kamu?" Dirga mencoba membujuk menantunya agar pulang."Di hotel, refreshing!" jawabnya ketus."Bilang dong, kalau kamu lagi di hotel, biar Gi
Demi melancarkan agenda pertemuannya dengan Dirga, Mia minta dibelikan apartemen yang akan digunakan sebagai tempat khusus untuk mereka bertemu.Gilang sendiri mulai mengembangkan usahanya dengan membuka cabang baru, setiap kali merintis bisnis baru dia selalu fokus dengan usahanya. Pulang malam kadang pagi adalah hal biasa, ditambah lagi Mia tidak pernah protes meski ia jarang ditemani.Mereka juga sudah lama tidak pernah berhubungan badan, Gilang terlalu lelah karena selalu pulang malam, sedangkan Mia sudah mendapatkan kesenangan dari orang lain.Siang itu Dirga mengajak putranya bertemu sambil makan siang sambil membahas banyak hal, terutama tentang bisnis baru Gilang."Bagaimana hubunganmu dengan, Mia?" pancing Dirga, dia ingin mendengar kondisi rumah tangga putranya apakah baik-baik saja."Biasa aja, Papa tahu 'kan Mia itu yang penting rekeningnya ada duit dia sudah bahagia," sahut Gilang.Selama ini tiap istrinya marah obatnya hanya du
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu."Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia."Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung.""Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia."Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah."
Sebelum memulai percakapan dengan Gilang, Mia menghela napas, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka."Terima kasih atas kedatanganmu, andai Ibu melihat dia pasti sangat senang.""Ibu orang baik, aku tidak bermasalah dengannya, ini sebagai wujud penghormatan terakhirku pada beliau.""Aku ikut senang mendengar kamu sudah menikah, semoga kamu berbahagia." Mia tersenyum."Itu... hanya sebuah kebetulan, tidak ada yang tahu soal itu, bahkan Robi juga tidak tahu." Gilang menghela napas kemudian berjalan ke jendela memandang keluar."Kenapa bisa begitu?" Mia memandang punggung Gilang yang sengaja membelakanginya."Apa dia tidak cerita, pria yang bersamamu waktu itu?""Dia hanya cerita kalau kamu menikahi calon istri yang dijodohkan oleh orang tuanya, hanya itu.""Memang begitu, pengasuh Bintang tiba-tiba pulang, kamu ingat waktu aku menuduhmu membawa Bintang, saat itu Bintang pergi dari rumah mencari pengasuhnya jadi aku
Gilang dan Robi ikut mengiringi mengantar jenazah almarhum Ratih ke pemakaman, mereka mengikuti semua prosesnya karena tak tega melihat Mia yang sangat terguncang. Sepanjang prosesi hanya menangis, bagai robot tak bernyawa tidak tahu harus bagaimana. Usai menabur bunga di pusara sang bunda, Mia kembali meraung memeluk batu nisan, Gilang berjalan mendekati Mia, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria telah lebih dulu merengkuh tubuh Mia dan memeluknya. Pria itu sedari tadi ada di rumah Mia, Gilang tidak kenal dengannya. Melihat pemandangan itu timbul tanya di dalam dada, tapi di saat seperti ini tak mungkin ia mencari tahu siapa dia. Robi menepuk pundak Gilang, dengan isyarat ia bertanya tentang pria itu, Gilang menggelengkan kepala karena tidak tahu siapa pria tampan berbadan tegap yang bersama Mia. "Kamu nggak kenal?" bisik Robi agar tak didengar orang lain. "Lah... elu yang ngobrol sama dia dari tadi, gimana sih?" sahut Gilang sewot, ad
Ratih terjaga karena perutnya sangat sakit, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat putrinya tidur di pangkuan Ali yang juga sama-sama terlelap.Wanita itu tersenyum sambil menahan sakit yang luar biasa, dia tak ingin putrinya tahu kalau dia sedang kesakitan."Tuhan, jika sudah waktuku aku sudah siap, putriku sudah menemukan pria pelindungnya aku titipkan dia padamu," bisik Ratih pelan.Dengan sangat pelan dia mengambil obat yang ada di samping tempat tidur lalu meminumnya, sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara agar putrinya dan Ali tidak terbangun. Untuk beberapa saat sakitnya mulai berkurang, Ratih kembali berbaring sambil menatap putrinya.Hawa dingin datang menusuk tulang suasana kamar menjadi sedingin kulkas, sosok putih lamat-lamat berjalan mendekat seorang pria datang dan duduk di tepi ranjang menatap Ratih sambil tersenyum ramah."A-ayah ...." suara Ratih tercekat melihat sosok pria yang ternyata suaminya.P
Mia melangkah masuk ke rumah sakit beriringan dengan Ali, mereka saling berpegangan tangan sambil berbincang hangat menuju ruang perawatan.Saat masuk ke dalam kamar, nampak sang ibu sedang disuap oleh wanita yang menaninya, melihat putrinya masuk bersama Ali, Ratih tersenyum bahagia."Ibu sudah bangun?" sapa Mia dia pun melepaskan tangan Ali berjalan mendekati sang ibu."Kamu sudah datang, harusnya tadi istirahat aja di rumah, ada Ani yang temani Ibu di sini, kalian pasti capek.""Ah... Nggak kok Bu, justru kasihan kalau Ani jagain Ibu di sini. Namamu Ani, maaf kita belum kenalan, ayo kita makan aku tadi beli rice bowl." Mia mengajak wanita muda yang membantu ibunya makan bersamanya."Tadi ada pesan dari perawat, Mbak Mia disuruh nemuin dokter di ruangannya," ucap Ani menyampaikan pesan yang ia terima."Oh... Baik, kalau begitu kita makan dulu, ayo Mas keluarin makanannya."Ali membuka kantong berisi mak