"Mia pulang dulu, Bu," pamit Mia pada sang ibu setelah melepas rindu.
"Ingat pesan Ibu, jadilah istri yang baik, berbakti pada suami juga mertuamu," pesan Ratih pada putrinya sebelum pergi.
Tak lupa Ratih membawakan rendang kesukaan besannya sebagai ucapan terima kasih. Wanita itu juga berpesan pada Gilang agar menjaga putrinya dengan baik.
"Baik, Bu. Kami pulang dulu," pamit Gilang sambil mencium tangan Ratih sebelum pulang.
Tak ada hal yang paling menyenangkan selain melihat putrinya bahagia, meski awalnya dia sempat kecewa dengan keputusan Mia. Kini Ratih merasa lebih tenang, setidaknya apa yang diinginkan oleh Mia sudah menjadi kenyataan.
Rupanya Dirga sudah pulang dan sedang bersantai di ruang keluarga saat mereka tiba di rumah. Mia langsung menyapa lalu mencium tangan mertuanya dengan hormat.
"Dari mana kalian?" tanya Dirga pada putra dan menantunya.
"Dari rumah Ibu, ini dibawain rendang kesukaan Om sama Ibu." Mia menunjukkan bungkusan yang ia bawa.
"Wah, bakalan makan banyak nih, sampaikan terima kasihku pada ibumu," ujar Dirga sambil tersenyum.
Mia melangkah ke dapur menyiapkan rendang untuk makan malam, sedangkan Gilang lanjut berbincang bersama papanya.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Dirga pada putra semata wayangnya.
"Gilang mau buka usaha, Pa."
"Kenapa kamu nggak bekerja di kantor Papa saja?" tawar Dirga.
"Gilang mau mencoba merintis usaha sendiri, Pa." Gilang berusaha meyakinkan papanya.
"Baiklah, kalau kamu perlu bantuan nanti bilang sama, Papa." Dirga meninggalkan Gilang dan berlalu ke kamar.
Gilang juga masuk ke kamar mendapati Mia sedang sibuk membongkar koper lalu menyusun baju di lemari, memilah baju yang kotor untuk di cuci.
"Aku nyuci baju dulu, ya," pamit Mia membawa baju kotor ke belakang.
Dia memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci, lalu kembali lagi ke kamar. Gilang tengah berbaring di ranjang asyik dengan ponselnya, dia sedang mencari ruko untuk tempat usaha yang akan dia rintis.
"Sayang, ini oleh-oleh buat Papamu, kamu yang kasih, ya." Mia menunjuk kantong di meja berisi pakaian untuk mertuanya.
"Kamu aja, 'kan kamu yang beliin, udah sana antar ke kamar Papa, dia pasti senang dibeliin sama menantunya."
Mia bergegas ke kamar mertuanya membawa oleh-oleh yang dia beli dari Bali.
"Ya?" sahut Dirga saat mendengar pintu diketuk.
"Ini Mia, Om." Mia membuka gagang pintu yang tidak terkunci, Dirga mengernyitkan kening melihat menantunya masuk ke kamarnya.
"Om ini ada oleh-oleh, Mia nggak tahu apa warna kesukaan Om, semoga suka." Mia memberikan kantung belanjaan itu pada mertuanya.
Dirga mengambil kantung dari tangan Mia lalu melihat isinya, ada beberapa kemeja dan dasi. Pria itu tersenyum senang mendapat hadiah dari menantunya.
"Terima kasih, ya." Dirga tersenyum bahagia.
"Coba dong, Om. Pengin lihat cakep nggak?" goda Mia.
"Om emang sudah cakep dari dulu, pakai baju apa pun pasti cakep." Pria itu tertawa renyah.
Akhirnya dia mencoba baju pemberian menantunya satu persatu, Mia ikut membantu memasangkan dasi.
"Wah ... emang top deh mertuaku, ganteng banget," puji Mia membuat hati Dirga berbunga-bunga.
Mungkin begini rasanya kalau punya anak cewek perhatian sama bapaknya, beda banget dengan anak cowok yang selalu cuek. Dirga merasa beruntung punya menantu yang pengertian.
"Kamu ini pinter merayu ya, terima kasih. Apa uangmu masih ada?" tanya Dirga sebelum Mia keluar.
"Ah, apa sih Om." Mia merasa tak enak ditanya soal uang.
"Tunggu, ini buat kamu." Dirga mengambil dompet mengeluarkan uang lalu memberikan pada menantunya.
"Jangan, Om. Nggak usah," tolak Mia malu-malu.
Dirga meraih tangan Mia lalu meletakkan uang itu di tangannya agar mau menerimanya, mata wanita itu berbinar bahagia melihat lembaran uang berwarna merah.
"Suamimu belum bekerja, jadi untuk sementara kamu menjadi tanggunganku, kamu kan anakku juga."
Mia sangat senang dia langsung memeluk mertuanya saking bahagianya, Dirga memang sosok ayah yang penyayang. Mia seperti menemukan kembali kasih sayang seorang ayah yang sudah lama tidak ia rasakan.
Wanita itu melenggang kembali ke kamar, kemudian menunjukkan uang pemberian mertuanya pada suaminya, sambil mengibas-ngibaskan uang itu di depan Gilang.
"Dikasih, Papa?" tanya Gilang, Mia mengangguk dia berbaring sambil menghitung uang di tangannya.
"Mia, aku mungkin belum bisa bahagiain kamu, kamu tahu 'kan saat ini aku belum bekerja. Aku baru mau mulai merintis usaha kuharap kamu sabar, ya," ucap Gilang menatap istrinya yang masih bermain dengan uang pemberian Dirga.
"Tidak apa-apa, Sayang. I Love you!" Mia mengecup kening suaminya kemudian menyimpan uangnya di laci.
"Terima kasih," balas Gilang senang.
Ponsel Gilang berdering, setelah menerima panggilan pria itu mengganti bajunya dan bersiap pergi.
"Kamu mau pergi?" Mia melihat suaminya sudah berpakaian rapi.
"Iya, ini mau lihat tempat buat usahaku, kamu nanti temani papa makan malam, ya. Nggak usah nunggu aku pulang." Gilang mengecup kening Mia sebelum beranjak pergi.
Setelah suaminya pergi Mia bergegas mandi biar segar, dia memakai baju yang baru dibeli di Bali. Membiarkan rambutnya tergerai, memakai serum wajah dan lip gloss tak lupa parfum biar wangi.
Dia bergegas ke dapur membantu bibi menyiapkan makan malam, setelah makan malam siap Mia mengajak mertuanya untuk makan bersama.
"Gilang mana?" tanya Dirga melihat Mia sendiri di ruang makan.
"Keluar Om, katanya mau lihat lokasi buat bisnis barunya." Mia sambil mengambilkan nasi buat Dirga.
Mereka berbincang sangat akrab seperti ayah dan anak, Mia menceritakan pengalamannya selama di Bali.
"Om senang, kalian menikmati bulan madu kalian di Bali. Om harap kamu cepat hamil, agar rumah ini ramai sama cucu-cucu Om." Dirga tertawa membayangkan rumahnya ramai dengan tingkah cucunya.
"Baru juga seminggu kami nikah, nunggu kami lulus kuliah dulu Om, nggak apa-apa 'kan?" Mia memohon.
"Nggak apa-apa, Om nggak minta kamu langsung hamil. Om cuma ingin punya cucu yang banyak biar rumah ini nggak sepi."
Makan malam selesai, mereka kemudian berbincang di ruang keluarga. Dirga biasanya menonton berita setelah makan malam, Mia ikut menonton bersama mertuanya.
Dirga semakin takjub ternyata Mia cukup menyenangkan diajak berdiskusi tentang banyak hal, sejak istrinya meninggal tak ada lagi temannya berdiskusi di rumah. Dirga semakin menyayangi Mia seperti dia menyayangi Gilang.
"Kalau ada masalah dengan Gilang, kamu cerita sama Om, biar Om yang menasehati dia."
"Terima kasih Om, di sini Mia sangat bahagia. Om sudah seperti ayah Mia." Mata wanita itu berkaca-kaca teringat kenangan bersama ayahnya kala masih hidup.
"Anggap saja aku ayahmu, Om juga nggak punya anak cewek, dengan adanya kamu di sini rumah ini terasa hangat tak lagi sepi."
Malam terus merayap, Dirga dan Mia masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Gilang baru pulang ke rumah jam dua malam, dengan pelan masuk ke kamar agar Mia tak terbangun, setelah membersihkan diri dan berganti baju, dia berbaring di samping istrinya yang terlelap.
***
"Gimana Bro, jadi kita mau buka usaha?" tanya Robi saat bertemu Gilang."Ya jadi dong, gue sekarang udah punya istri nanti kukasih makan apa kalau gue nggak punya kerjaan," sahut Gilang."Gue kira lo nggak serius sama, Mia." Robi terkekeh."Awalnya gitu, tapi kulihat dia baik, papaku juga sayang sama dia, ya sudah lah lo tau kan gue pria yang nggak neko-neko kalau soal cewek.""Gue tahu lo dengan baik, Bro. Berapa cewek yang kamu pacarin selama ini, dan gue tahu lo bukan cowok brengsek, meski lo sering diselingkuhin sama cewek lo." Robi kembali tertawa diikuti Gilang.Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP, Robi mengenal baik sahabatnya itu mereka hanya suka mabok tapi tidak pernah bermain perempuan.Awal Gilang mulai mabok gara-gara diselingkuhin sama pacarnya waktu SMA, dia berusaha melupakan wanita itu dengan mabok setiap malam. Ditambah lagi kepergian mamanya yang membuatnya merasa sangat kehilangan.Untuk urusan bercin
Siang itu Gilang menemui papanya di kantor dia mengutarakan niat untuk membuka pub di hotel Grand Hill. Melihat putranya begitu bersemangat, Dirga mendukung rencana Gilang."Jadi butuh biaya berapa, nanti kabari Papa," tukas Dirga, Gilang sangat senang mendapat dukungan dari papanya.Hari-hari Gilang sibuk mempersiapkan usahanya, dia sering keluar membuat Mia merasa kesepian, setiap malam tidur sendirian. Di tambah lagi libidonya yang tinggi sering membuat ia gelisah.Sebagai seorang istri dia ingin merasakan kehangatan dan kebahagia di ranjang. Masa pengantin baru berlalu begitu saja, kadang saat merasa kesepian dia menyentuh, meraba bagian tubuhnya memuaskan hasratnya sendiri.Malam itu dia tak tahan hasratnya terlalu menggebu hingga tak bisa memejamkan mata. Mia keluar dari kamar, pergi ke dapur mengambil minuman dingin di kulkas, lalu duduk di ruang keluarga menonton TV menghibur diri.Dirga yang belum terlelap mendengar lamat-lamat suara TV, p
Setelah memarkir mobil Dirga langsung turun dan bergegas masuk ke rumah, Mia memperhatikan wajah mertuanya yang memerah penuh keringat, pria itu juga terlihat gelisah. "Om, sakit?" Mia mengikuti sampai ke kamar. "Kayaknya masuk angin," sahut Dirga melucuti pakaiannya yang basah dengan keringat. "Mau dikerokin?" tawar Mia cemas, tidak biasanya Dirga seperti itu. "Nggak usah, Om mau istirahat aja." Suara Dirga terdengar berat seperti menahan sesuatu. Mia meninggalkan Dirga, setelah wanita itu pergi ia ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Namun senjata tuanya malah tegang dan berdenyut hebat. Cukup lama berdiri di bawah kucuran air shower, menunggu sampai juniornya kembali tidur, akan tetapi juniornya seolah melawan. Di dalam kamar Mia memakai baju tidur, menyemprot parfum dan body cream ke seluruh tubuh. Bersiap menyambut Gilang pulang agar saat dia mencium aroma wangi tubuhnya selanjutnya --- Mia merinding membayan
Semenjak kejadian itu tanpa sepengetahuan Gilang, Mia setiap malam rutin tidur di kamar papanya, jam dua malam dia baru pindah ke kamar sebelum suaminya pulang. Pasangan beda usia itu menikmati malam-malam penuh dosa selayaknya pasangan muda yang sedang dimabuk cinta. Dirga tak bisa menolak godaan menantunya yang selalu masuk ke kamar dengan pakaian seksi, kadang sengaja tanpa mengenakan dalaman dan langsung menyerang Dirga. Wanita itu selalu ketagihan untuk bercinta dengan Dirga, tak hanya mendapat kepuasan, Dirga juga memanjakan Mia dengan uang. Dia sangat royal sebagai ganti atas pelayanan panas yang ia dapatkan setiap malam. "Sayang, mau dipijitin," rengek Mia manja saat di kamar Dirga. "Dipijitin pakai tangan apa bibir?" goda pria tua itu nakal. "Mau dua-duanya." Mia menarik tali kimononya lalu melepaskan begitu saja. Dia sudah terbiasa tampil polos di depan mertuanya tanpa rasa malu lagi, mata tua itu berbinar melihat pem
Pagi itu, seperti biasa Mia menyiapkan sarapan untuk suami dan mertuanya. Mengambilkan nasi di piring untuk mertuanya, juga buat Gilang suaminya.Menikmati sarapan pagi sambil berbincang hangat, tak ada yang mencurigakan semua terlihat biasa dan normal, akan tetapi di bawah meja, kaki Mia menjelajahi kaki sang mertua."Uhuk!" Pria tua itu terbatuk, tak kuat menahan geli akibat ulah nakal menantunya.Mia dengan sigap mengambilkan minum, Dirga menatap tajam agar tak melakukan itu di depan Gilang, wanita itu malah tersenyum genit."Sayang, nanti makan siang kita ketemu yuk," ujar Gilang sebelum berangkat."Aku capek, emang mau ngapain?" Mia mulai malas bepergian dengan Gilang."Ada deh, aku mau belikan sesuatu buat kamu," jawab Gilang sambil tertawa."Apa sih? Kalau nggak penting aku di rumah aja, capek tahu." Mia tak tertarik dengan tawaran Gilang."Kalau kubilang sekarang bukan surprise dong.""Ih ... kamu pakai acara sur
"Sayang, setelah wisuda, kita program hamil yuk."Gilang sudah sangat merindukan hadirnya seorang anak dalam rumah tangga mereka, akan tetapi Mia sendiri masih enggan untuk memiliki momongan. Dia masih ingin menikmati kebebaaan."Hamil?"Wajah Mia berubah murung, dia belum siap untuk memiliki anak saat ini."Iya, apa kamu belum siap punya anak?""Bu--bukan, tapi ini terlalu cepat buatku. Aku masih ingin menikmati hidupku," keluh Mia.Semenjak berhubungan dengan Dirga, Mia menggunakan KB untuk mencegah kehamilan, kalau sampai hamil dia tidak tahu itu hasil dari hubungan dengan Dirga atau Gilang."Aku anak tunggal, aku ingin kita punya anak yang banyak, biar keluarga kita ramai.""Mmm ... nanti dulu lah, Sayang. Kamu juga baru merintis bisnis untuk anak kita bisa pikirkan nanti," tolak Mia dengan lembut."Baiklah, Sayang. Tapi kamu jangan KB ya!" Gilang memberi peringatan.Sore hari sepulang dari kampus Mia ma
Setelah melalui sidang skripsi dan dinyatakan lulus, akhirnya hari wisuda yang ditunggu pun tiba, bagi sebagian mahasiswa ini adalah saat paling membahagiakan setelah empat tahun bergelut dengan dunia perkuliahan.Namun bagi Mia hari itu bukan hal yang istimewa, gelar yang ia idam-idamkan sudah tidak berarti lagi. Karena apa yang dia inginkan sudah terpenuhi tanpa perlu berlelah-lelah mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Dia tinggal berbisik manja di telinga Dirga atau Gilang, semua dengan mudah ia dapatkan.Ratih meneteskan air mata haru, bangga campur aduk menjadi satu saat putrinya berada di atas podium, dia bangga berhasil menguliahkan putrinya meski seorang diri.Ratih duduk di kursi tamu berdampingan dengan Dirga yang juga menghadiri kelulusan putranya. Mata tua itu menatap putra dan menantunya yang berada di atas podium, bibirnya tersungging senyum kebahagiaan."Alhamdulillah anak-anak kita sudah lulus ya, Pak," ucap Ratih, Dirga menoleh pada be
Semenjak memiliki keinginan untuk bercerai, Mia semakin berulah. Dia dengan sengaja membuat Gilang marah agar membenci dirinya. Ada saja yang sengaja dia lakukan agar Gilang gerah.Sore itu Gilang baru pulang dari kantor, Mia pergi tanpa pamit. Dia juga tak mau mengangkat telepon dari suaminya."Mia ke mana?" Dirga memperhatikan Gilang yang sedang kebingungan."Nggak tahu, Pa. Kutelepon juga nggak diangkat, ke mana anak itu?" gumam Gilang galau memikirkan istrinya."Mungkin di rumah ibunya?"Gilang langsung pergi ke rumah mertuanya, memastikan Mia ada di sana, dan akan membujuknya pulang ke rumah.Dirga juga mencoba menghubungi Mia dari kamar, dia terus menelpon hingga menantunya itu mau mengangkat telepon darinya."Apa?" sapa Mia kasar."Kamu di mana, Gilang bingung nyariin kamu?" Dirga mencoba membujuk menantunya agar pulang."Di hotel, refreshing!" jawabnya ketus."Bilang dong, kalau kamu lagi di hotel, biar Gi
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu."Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia."Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung.""Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia."Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah."
Sebelum memulai percakapan dengan Gilang, Mia menghela napas, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka."Terima kasih atas kedatanganmu, andai Ibu melihat dia pasti sangat senang.""Ibu orang baik, aku tidak bermasalah dengannya, ini sebagai wujud penghormatan terakhirku pada beliau.""Aku ikut senang mendengar kamu sudah menikah, semoga kamu berbahagia." Mia tersenyum."Itu... hanya sebuah kebetulan, tidak ada yang tahu soal itu, bahkan Robi juga tidak tahu." Gilang menghela napas kemudian berjalan ke jendela memandang keluar."Kenapa bisa begitu?" Mia memandang punggung Gilang yang sengaja membelakanginya."Apa dia tidak cerita, pria yang bersamamu waktu itu?""Dia hanya cerita kalau kamu menikahi calon istri yang dijodohkan oleh orang tuanya, hanya itu.""Memang begitu, pengasuh Bintang tiba-tiba pulang, kamu ingat waktu aku menuduhmu membawa Bintang, saat itu Bintang pergi dari rumah mencari pengasuhnya jadi aku
Gilang dan Robi ikut mengiringi mengantar jenazah almarhum Ratih ke pemakaman, mereka mengikuti semua prosesnya karena tak tega melihat Mia yang sangat terguncang. Sepanjang prosesi hanya menangis, bagai robot tak bernyawa tidak tahu harus bagaimana. Usai menabur bunga di pusara sang bunda, Mia kembali meraung memeluk batu nisan, Gilang berjalan mendekati Mia, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria telah lebih dulu merengkuh tubuh Mia dan memeluknya. Pria itu sedari tadi ada di rumah Mia, Gilang tidak kenal dengannya. Melihat pemandangan itu timbul tanya di dalam dada, tapi di saat seperti ini tak mungkin ia mencari tahu siapa dia. Robi menepuk pundak Gilang, dengan isyarat ia bertanya tentang pria itu, Gilang menggelengkan kepala karena tidak tahu siapa pria tampan berbadan tegap yang bersama Mia. "Kamu nggak kenal?" bisik Robi agar tak didengar orang lain. "Lah... elu yang ngobrol sama dia dari tadi, gimana sih?" sahut Gilang sewot, ad
Ratih terjaga karena perutnya sangat sakit, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat putrinya tidur di pangkuan Ali yang juga sama-sama terlelap.Wanita itu tersenyum sambil menahan sakit yang luar biasa, dia tak ingin putrinya tahu kalau dia sedang kesakitan."Tuhan, jika sudah waktuku aku sudah siap, putriku sudah menemukan pria pelindungnya aku titipkan dia padamu," bisik Ratih pelan.Dengan sangat pelan dia mengambil obat yang ada di samping tempat tidur lalu meminumnya, sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara agar putrinya dan Ali tidak terbangun. Untuk beberapa saat sakitnya mulai berkurang, Ratih kembali berbaring sambil menatap putrinya.Hawa dingin datang menusuk tulang suasana kamar menjadi sedingin kulkas, sosok putih lamat-lamat berjalan mendekat seorang pria datang dan duduk di tepi ranjang menatap Ratih sambil tersenyum ramah."A-ayah ...." suara Ratih tercekat melihat sosok pria yang ternyata suaminya.P
Mia melangkah masuk ke rumah sakit beriringan dengan Ali, mereka saling berpegangan tangan sambil berbincang hangat menuju ruang perawatan.Saat masuk ke dalam kamar, nampak sang ibu sedang disuap oleh wanita yang menaninya, melihat putrinya masuk bersama Ali, Ratih tersenyum bahagia."Ibu sudah bangun?" sapa Mia dia pun melepaskan tangan Ali berjalan mendekati sang ibu."Kamu sudah datang, harusnya tadi istirahat aja di rumah, ada Ani yang temani Ibu di sini, kalian pasti capek.""Ah... Nggak kok Bu, justru kasihan kalau Ani jagain Ibu di sini. Namamu Ani, maaf kita belum kenalan, ayo kita makan aku tadi beli rice bowl." Mia mengajak wanita muda yang membantu ibunya makan bersamanya."Tadi ada pesan dari perawat, Mbak Mia disuruh nemuin dokter di ruangannya," ucap Ani menyampaikan pesan yang ia terima."Oh... Baik, kalau begitu kita makan dulu, ayo Mas keluarin makanannya."Ali membuka kantong berisi mak