Pagi itu saat mau bangun kepala Mia terasa sangat berat tak seperti biasanya, tubuhnya juga lemas.
"Aku pusing," keluh Mia, Gilang langsung memijit keningnya.
"Kamu kelelahan kali, istirahat aja nggak usah masak." Gilang mengambil minyak gosok lalu menggosokkan minyak ke pelipis dan tengkuk istrinya
"Perutku mual." Mia berlari ke kamar mandi karena tak tahan pengin muntah.
Gilang mengikuti Mia memijit tengkuknya, wanita muntah-muntah di wastafel. Gilang menunggui sampai istrinya selasai muntah.
"Kuantar ke dokter, ya," tawar Gilang.
"Nggak usah, aku mau tidur aja, mungkin ini masuk angin," tolak Mia.
"Jangan sakit, Sayang. Aku sedih kalau kamu sakit dan aku harus kerja." Gilang memeluk mesra istrinya.
"Nggak apa-apa, mandilah hari sudah siang." Mia menyuruh suaminya bergegas.
Setelah memastikan Mia tidak muntah lagi, Gilang langsung mandi dan bersiap sarapan bersama papanya.
"Sarapannya mau dibawa ke kamar, Sayang
Setelah tahu kalau Mia hamil, Dirga sering pulang malam. Dia sengaja menghindari wanita itu, memberi kesempatan agar Mia lebih dekat dengan Gilang.Mia terpaksa menggoda Gilang untuk melakukan hubungan suami istri, meski sebenarnya dia sangat malas, akan tetapi hanya itu satu-satunya cara agar suaminya tidak curiga."Papa, belum pulang?" Gilang tak melihat mobil papanya di luar."Mungkin ada urusan," jawab Mia asal."Kamu sudah sehat, Sayang?" Gilang memperhatikan wajah Mia."Sudah," sahut Mia agar suaminya tidak cemas.Dua minggu telah berlalu, Mia sengaja membeli alat tes kehamilan lalu meletakkan di kamar mandi setelah ia gunakan agar ditemukan oleh Gilang.Saat Gilang selesai mandi, dia tak sengaja melihat alat itu di samping wash tafel lalu membaca tulisan di bungkusnya."Sayang, ini apa?" Gilang menunjukkan alat itu."Mmm ... kamu menemukannya. Itu ... alat tes urine, aku terlambat jadi coba kutes pakai itu."
Kebiasaan baru sebelum tidur, Gilang mengelus perut Mia mengajak bicara mahluk yang kini bersemayam di dalam sana. Dia begitu bahagia tak sabar menunggu kelahiran buah hatinya.Mia menghalau tangan Gilang dari perutnya, ia bangkit lalu berjalan ke kamar mandi untuk buang air kecil, belum sempat jongkok di kloset ia terkejut saat melihat bercak merah di celana dalamnya."Gilang!" teriak Mia.Sontak Gilang meloncat dari ranjang melihat istrinya di kamar mandi, Mia tengah terduduk di kloset duduk termangu menatap celana dalamnya."Ada apa?" Gilang gugup, Mia menunjuk bercak itu."Loh, i-ini darah?" Gilang mulai panik, dia berlari keluar mencari papanya.Namun saat itu Dirga belum pulang ke rumah, Gilang kembali ke kamar mengambil ponsel untuk menghubungi papanya."Pa, Mia ngeluarin darah!""Hah, kok bisa?" Dirga ikut panik."Nggak tahu, Sayang kamu sakit nggak?" tanya Gilang pada Mia yang masih duduk di kloset, wanita itu m
Kehamilan Mia semakin membesar, kakinya mulai bengkak dan gampang lelah, berat badan juga naik drastis. Mendapat perhatian dari dua orang pria yang sama-sama menyayanginya membuat manjanya semakin menjadi."Pa, nanti malam antar Mia ke dokter kandungan, ya. Aku ada pertemuan mendadak," pinta Gilang melalui sambungan telepon."Baik lah." Dirga sangat antusias saat putranya meminta tolong mengantar Mia ke dokter.Demikian juga dengan Mia, dia lebih senang saat periksa kandungan bersama Dirga, sang ayah dari bayi yang ia kandung."Anda sangat beruntung memiliki mertua yang sayang sama anda," ujar sang dokter."Kalau suami sibuk, terpaksa diantarin sama mertua, maklum cucu pertama," kilah Mia sambil tersenyum pada Dirga.Selesai periksa mereka langsung pulang, menurut dokter perkiraan lahir sekitar dua minggu lagi. Mia merasa mudah lelah, saat berjalan rasanya kepala bayi mengganjal di antara dua kakinya seolah mau keluar."Istirahat, ya,
Siang itu, Mia sedang bersantai di kamar, tiba-tiba celana dalamnya terasa basah, kemudian ia ke toilet untuk memeriksa, ternyata ia mengeluarkan cairan yang tidak biasa."Jangan-jangan aku mau melahirkan, duh ... gimana ini?" Mia mengambil ponsel menghubungi Dirga karena panik."Om, aku sudah ngeluarin cairan, dan sangat banyak," adu Mia gugup."Hah ... apa kamu sudah pecah ketuban?" Dirga ikut panik mendengar cerita Mia."Nggak tahu, Om.""Kalau gitu cepat ke rumah sakit sekarang, biar Om nyusul!" pinta Dirga.Mia langsung memesan taksi online untuk pergi ke rumah sakit, dia tidak merasakan mulas seperti orang yang mau melahirkan, akan tetapi cairan yang keluar lumayan banyak, hingga ia harus menggunakan pembalut agar tidak rembes keluar.Sementara itu Dirga menghentikan rapatnya dan bergegas ke rumah sakit, saat akan masuk ke dalam mobil tiba-tiba dadanya kembali nyeri kali ini lebih panas dari biasanya. Dia berhenti sejenak menari
Ponsel Gilang bergetar, sebuah pesan masuk dari Mia memintanya datang menemaninya di ruang operasi. Namun Gilang tak menjawab, pikirannya kacau menghadapi kepergian papanya ditambah lagi dengan ucapannya sebelum meninggal."Om, temani aku di ruang operasi. Gilang nggak tahu ada di mana, aku takut Om." Mia juga mengirim pesan pada ponsel Dirga dan dibaca oleh Gilang."Sebentar." Gilang membalas pesan Mia di ponsel papanya."Terima kasih, Sayang." Balasan Mia membuat Gilang membelalakkan mata."Sayang, Mia memanggil Papaku Sayang?" Perasaan Gilang berubah menjadi curiga.Akhirnya Gilang memeriksa ponsel Dirga, jantungnya seakan berhenti berdetak membaca deretan percakapan romantis antara Papa dan istrinya."Mia, Papa --- kalian ---"Gilang baru sadar arti ucapan papanya sebelum pergi, rupanya ini yang telah mereka lakukan selama ini di belakangnya. Mereka telah menjalin kasih terlarang, pria itu kembali menangis tersedu, buk
Gilang terbangun saat mendengar panggilan Bibi di luar kamar, dia menggeliat hingga tulang di tubuhnya berbunyi, tidur sambil duduk membuat badannya terasa sakit semua. Ia berdiri lalu berjalan membuka pintu."Ada Mas Robi di bawah," ucap Bibi saat Gilang membuka pintu."Terima kasih, Bi. Aku mau mandi dulu." Gilang berlalu ke kamarnya sendiri sambil menguap.Tidur semalam benar-benar tidak bisa menggantikan rasa lelahnya, bukan hanya tubuh tapi batin yang lebih lelah dari raganya.Hari ini dia akan ke rumah sakit membawa pulang bayi itu juga mengakhiri hubungannya dengan Mia. Kalau tidak ingat dosa ingin rasanya Gilang mencekik wanita itu biar ikut mati bersama kekasihnya, akan tetapi dia akan membalas perbuatan Mia dengan memisahkan dia dari putranya.Kamu mengkhianati ku sekian tahun, aku akan menyiksamu seumur hidup! geram suara hati Gilang dipenuhi rasa dendam.Setelah berpakaian rapi Gilang turun menemui Robi yang sudah menunggu di rua
Bukan hal mudah bagi seorang pria merawat bayi meskipun ada suster dan pembantu di rumah. Apa lagi ia sangat membenci bayi itu, Gilang tak pernah mau melihat bayi itu sejak dibawa pulang ke rumah."Suster bawa ke belakang kalau dia nangis!" teriak Gilang saat mendengar bayi itu menangis."Baik, Pak." Suster berlari ke belakang lalu menutup pintu agar tangis bayi itu tak terdengar oleh Gilang.Sejak ada bayi di rumah Gilang sering pulang larut malam, dia sengaja menghindar agar bertemu dengan bayi itu. Emosinya meluap saat melihat atau mendengar suaranya.Sedangkan Mia sendiri tak kalah terpuruk, setiap hari dia menangis tak keluar dari kamar meratapi putranya. Ditambah lagi saat air susunya keluar dia merasa benar-benar tersiksa.Beberapa kali Ratih mencoba mendatangi rumah Gilang, memohon agar bisa melihat cucunya, tetapi penjaga rumah tidak pernah mengizinkannya masuk."Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan perintah," ucap penjaga untuk kesekia
Usia bayi Mia sudah tiga bulan, sampai sekarang Gilang belum memberi nama bayi itu. Dia bahkan belum menggendong bayi itu sejak berada di rumah.Jangankan menggendong melihat saja dia malas, ia sengaja menghindar karena takut khilaf dan berbuat hal gila lalu mencelakai bayi itu."Maaf, Mas. Dedek sudah tiga bulan, Mas Gilang belum memberi nama, jadi siapa namanya?" Bibi memberanikan diri menanyakan nama untuk bayi itu."Terserah Bibi, mau kasih dia nama apa!" sahut Gilang ketus."Lo, kok terserah Bibi, Mas Gilang 'kan ayahnya!""Dia bukan anakku!" Gilang membelalakkan mata."Astagfirullah, Mas. Jangan begitu, kasihan anaknya." Bibi mengelus dada.Gilang meninggalkan Bibi, ia enggan membahas bayi itu. Surat kelahiran juga tidak diurus, Bibi diam-diam mengadukan itu pada Mia."Biar aku yang urus, Bi. Terima kasih, nanti kukirim ke rumah kalau sudah jadi suratnya." Mia membalas pesan Bibi padanya.Mia langsung mengurus akta
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu."Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia."Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung.""Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia."Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah."
Sebelum memulai percakapan dengan Gilang, Mia menghela napas, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka."Terima kasih atas kedatanganmu, andai Ibu melihat dia pasti sangat senang.""Ibu orang baik, aku tidak bermasalah dengannya, ini sebagai wujud penghormatan terakhirku pada beliau.""Aku ikut senang mendengar kamu sudah menikah, semoga kamu berbahagia." Mia tersenyum."Itu... hanya sebuah kebetulan, tidak ada yang tahu soal itu, bahkan Robi juga tidak tahu." Gilang menghela napas kemudian berjalan ke jendela memandang keluar."Kenapa bisa begitu?" Mia memandang punggung Gilang yang sengaja membelakanginya."Apa dia tidak cerita, pria yang bersamamu waktu itu?""Dia hanya cerita kalau kamu menikahi calon istri yang dijodohkan oleh orang tuanya, hanya itu.""Memang begitu, pengasuh Bintang tiba-tiba pulang, kamu ingat waktu aku menuduhmu membawa Bintang, saat itu Bintang pergi dari rumah mencari pengasuhnya jadi aku
Gilang dan Robi ikut mengiringi mengantar jenazah almarhum Ratih ke pemakaman, mereka mengikuti semua prosesnya karena tak tega melihat Mia yang sangat terguncang. Sepanjang prosesi hanya menangis, bagai robot tak bernyawa tidak tahu harus bagaimana. Usai menabur bunga di pusara sang bunda, Mia kembali meraung memeluk batu nisan, Gilang berjalan mendekati Mia, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria telah lebih dulu merengkuh tubuh Mia dan memeluknya. Pria itu sedari tadi ada di rumah Mia, Gilang tidak kenal dengannya. Melihat pemandangan itu timbul tanya di dalam dada, tapi di saat seperti ini tak mungkin ia mencari tahu siapa dia. Robi menepuk pundak Gilang, dengan isyarat ia bertanya tentang pria itu, Gilang menggelengkan kepala karena tidak tahu siapa pria tampan berbadan tegap yang bersama Mia. "Kamu nggak kenal?" bisik Robi agar tak didengar orang lain. "Lah... elu yang ngobrol sama dia dari tadi, gimana sih?" sahut Gilang sewot, ad
Ratih terjaga karena perutnya sangat sakit, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat putrinya tidur di pangkuan Ali yang juga sama-sama terlelap.Wanita itu tersenyum sambil menahan sakit yang luar biasa, dia tak ingin putrinya tahu kalau dia sedang kesakitan."Tuhan, jika sudah waktuku aku sudah siap, putriku sudah menemukan pria pelindungnya aku titipkan dia padamu," bisik Ratih pelan.Dengan sangat pelan dia mengambil obat yang ada di samping tempat tidur lalu meminumnya, sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara agar putrinya dan Ali tidak terbangun. Untuk beberapa saat sakitnya mulai berkurang, Ratih kembali berbaring sambil menatap putrinya.Hawa dingin datang menusuk tulang suasana kamar menjadi sedingin kulkas, sosok putih lamat-lamat berjalan mendekat seorang pria datang dan duduk di tepi ranjang menatap Ratih sambil tersenyum ramah."A-ayah ...." suara Ratih tercekat melihat sosok pria yang ternyata suaminya.P
Mia melangkah masuk ke rumah sakit beriringan dengan Ali, mereka saling berpegangan tangan sambil berbincang hangat menuju ruang perawatan.Saat masuk ke dalam kamar, nampak sang ibu sedang disuap oleh wanita yang menaninya, melihat putrinya masuk bersama Ali, Ratih tersenyum bahagia."Ibu sudah bangun?" sapa Mia dia pun melepaskan tangan Ali berjalan mendekati sang ibu."Kamu sudah datang, harusnya tadi istirahat aja di rumah, ada Ani yang temani Ibu di sini, kalian pasti capek.""Ah... Nggak kok Bu, justru kasihan kalau Ani jagain Ibu di sini. Namamu Ani, maaf kita belum kenalan, ayo kita makan aku tadi beli rice bowl." Mia mengajak wanita muda yang membantu ibunya makan bersamanya."Tadi ada pesan dari perawat, Mbak Mia disuruh nemuin dokter di ruangannya," ucap Ani menyampaikan pesan yang ia terima."Oh... Baik, kalau begitu kita makan dulu, ayo Mas keluarin makanannya."Ali membuka kantong berisi mak