Pagi hari, terlihat Rea menuruni anak tangga, dia menoleh ke arah pintu keluar saat mendengar suara pintu depan tertutup. Aruna baru saja mengantar kepergian Jeno yang akan lari pagi, wanita itu tampak tersenyum saat berbalik badan. Rea juga terlihat biasa dan lanjut menuruni anak tangga ingin menuju dapur, tapi saat dia sampai lantai dasar Aruna menyapanya."Selamat pagi, Rea? Apakah semalam kamu bisa tidur nyenyak?" tanyanya dengan senyum cerah di bibirnya.Rea menatap Aruna dengan ekspresi dingin, lantas menjawabnya datar. "Tentu saja."Aruna menggerakkan tangan dan membetulkan rambut panjangnya yang lurus, menyingkap satu sisi hingga memperlihatkan bagian lehernya. Pandangan Rea langsung tertohok pada satu bekas merah di permukaan kulit leher Aruna yang putih, seperti bekas cakaran kuku. Pikiran Rea langsung traveling dan mengumpati Jeno. "Dasar menjijikan!" batinnya lalu membuang wajah.Aruna tahu jika Rea sudah melihat tanda cakaran di lehernya yang dia buat sendiri, wanita itu
Di tengah pembicaraan serius Jeno dan Aruna, suara langkah kaki menuruni anak tangga terdengar sehingga mengalihkan perhatian Jeno dan menatap ke arah sumber suara. Rea sangat anggun dengan dress putih yang panjang di bawah lutut, platshoes, tas sampai jepit rambutnya berwarna senada.Wanita itu sangat cantik dihiasi senyum yang menawan, kenapa Jeno baru sadar sekarang bahwa wanita yang dia nikahi selama 2 Tahun ini begitu mempesona. Namun, sikap Rea sekarang tak sehangat dulu, tatapannya tak sesendu dulu saat berhadapan dengannya.Kini ucapan wanita itu terkesan kasar dan selalu terselip sindiran, tatapannya dingin tak bersahabat, Jeno seperti kehilangan Rea yang 2 Tahun lalu mencintainya dengan segenap jiwa dan raga. Tentu saja, Rea masih muda, usianya masih 25 Tahun, mengapa harus menyia-nyiakan dirinya bertahan dengannya?Jika saja Jeno tidak mengancam berbuat sesuatu pada papanya, Rea sudah pasti melarikan diri dari genggaman Jeno. Namun, Rea sendiri belum yakin pada perasaannya,
Lokasi apartemen Alex tidaklah jauh, cukup 20 Menit saja taksi yang membawa Aruna sampai di lokasi. Wanita itu segera keluar dari mobil dan masuk ke gedung bertingkat tersebut, naik lift dan mencari pintu kamar Alex yang berada di lantai 6 lantas menekan tombol di pintu itu. Pintu terbuka seketika, Aruna langsung ditarik ke dalam dan menerima sambutan hangat dari Alex.Beberapa menit keduanya berciuman sebelum Aruna melepas paksa. "Ah, sudahlah, Lex. Aku ke sini hanya ingin mengatakan tugas apa untukmu," kata Aruna seraya menyeka bibirnya yang sedikit basah akibat kelakukan Alex yang selalu saja brutal dalam bermain bibir.Alex terkekeh, dan bertolak pinggang, pria itu masih belum memakai pakaiannya sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang cukup seksi. "Terburu-buru sekali, baru juga ketemu sikapmu sangat dingin begini padaku. Ayolah, Aruna ... kita bersenang-senang sebentar. Aku merindukanmu, Sayang." Alex merangkul dan memeluk Aruna, bibirnya pun mengecup pipi wanita itu meski
Seperti yang sudah dijanjikan kemarin, Arya datang ke rumah Jeno untuk membawakan foto pernikahan yang dicetak ulang dan dibingkai di figura yang baru. Arya mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada yang membukakannya.Pada akhirnya pria itu memutuskan menghubungi Jeno, sementara itu Jeno yang masih menemani Rea berkunjung di rumah Surya pun menerima panggilan telefon, pria itu bergegas merogoh saku celananya dan melihat kontak si penelefon. "Maafkan aku, aku harus menjawab telefon lebih dulu," pamit Jeno.Surya mengangguk dan tersenyum. "Silakan," jawabnya ramah.Jeno segera melangkah pergi menjauh dari Surya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu, sementara Rea sedang berada di dapur untuk mengambil sesuatu. "Hallo, Arya. Ada apa kamu menelefonku?" tanya Jeno saat ia telah menerima panggilan."Maaf, Tuan. Saya berada di rumah Anda, sesuai pesanan Anda saya sekarang membawa foto pernikahan Anda yang sudah dicetak ulang.""Bukankah di rumah ada Aruna? Kamu bisa langsung turunk
Rea melambaikan tangan pada papanya saat ia akan masuk mobil, dan Surya juga tersenyum membalas lambaian tangan putri manjanya. Bagi Surya, seberapa dewasanya Rea, wanita itu tetaplah putri kecil tercintanya. Putrinya yang manja, dan penuh lemah lembut. Tanpa dia tahu putri manja dan rapuh itu sudah mengalami kekerasan fisik dan batin selama 2 Tahun pernikahan, ternyata dia mampu bertahan.Terkadang karena cinta memang membuat orang jadi kuat dan sedikit bodoh, bayangkan saja wanita yang dianggap makhluk lemah mampu menanggung segala beban di dalam kehidupan rumah tangganya. Tidak semua manusia mendapatkan ujian yang sama di dalam hidup setelah pernikahan, di antara mereka juga ada yang memutuskan menyerah ada juga yang memilih bertahan, tapi keduanya tetaplah pemenang pada akhirnya.Rea masih terisak saat Jeno masuk mobil, biasanya pria itu sangat jengah melihat orang cengeng. Namun, perasaan Jeno saat ini sedikit melembut, dia memahami sedikit perasaan Rea. Hanya saja dia tidak mau
Jeno masih duduk di kursi bar rumahnya, dia baru meminum beberapa gelas wine yang tersedia di atas meja. Sesekali dia tersenyum culas saat mengingat kata-kata Rea tadi di kamar. "Aku memang tidak punya orang terkasih di hidupku. Tidak ada kehangatan yang aku rasakan sejak kecil, sehingga aku menyukai rasa dingin selama bertahun-tahun."Lagi Jeno menuang wine ke dalam gelas berkaki dan menyesapnya dalam sekali teguk, mengingat tatapan Rea akhir-akhir ini padanya begitu berbeda. Mengapa baru saat ini dia menyadari jika tatapan Rea yang dulu begitu berbeda dengan saat ini, mungkin karena itu dia baru bisa memahami jika tatapan wanita itu yang dulu penuh cinta, tapi tatapannya yang saat ini penuh kebencian yang tidak dapat terlukiskan.Haruskah Jeno melepaskan saja wanita itu dan membiarkan Rea pergi mencari bahagianya sendiri? Namun, di dalam hati Jeno sudah tumbuh perasaan rindu, rindu pada tatapan Rea dan sikap hangat wanita itu. Saat Jeno terus minum, Aruna datang ke dapur untuk meng
Jeno baru saja datang ke meja makan dengan pakaian rapi, dia sudah bersiap ke bekerja hari ini. Sesampainya di sana Rea sudah makan lebih dulu, sementara Aruna masih belum makan layaknya seorang istri yang baik dan setia menanti suaminya untuk makan bersama.Aruna tersenyum melihat Jeno yang memperhatikan Rea makan tanpa mempedulikan kehadiran Jeno di sana, wanita itu dengan cekatan menyiapkan roti bakar yang sudah tersedia ke atas piring milik Jeno, lalu dirinya juga mengambil bagian lalu segera makan. Jeno masih memperhatikan istrinya yang makan sarapan tanpa suara, bahkan tidak melirik padanya sama sekali, itu membuat selera makan Jeno hilang sudah. "Sayang, kenapa hanya diam saja? Ayo makan sarapannya, kita ada meeting penting pagi ini, kan?" Aruna memegangi punggung tangan Jeno yang ada di atas meja, lalu tersenyum provokasi ke arah Rea.Rea melirik tangan wanita itu yang berada di atas punggung tangan Jeno, seketika Rea juga berdiri hendak pergi. "Rea!" Panggilan Jeno mengurung
Seorang pelayan menyambut kedatangan Jeno beserta kedua wanita yang berjalan di belakangnya. "Selamat pagi, Tuan Bramantio. Silakan asisstant serta tamu Anda sudah menunggu di ruang VIP." Pelayan mempersilakan Jeno untuk menuju ruangan yang sudah diatur sebelumnya oleh Arya.Jeno mengangguk, lantas berjalan lebih dulu diikuti pelayan, Rea juga Aruna. Sesampainya di depan pintu Pelayan segera membukakan pintu. "Silakan, Tuan, Nyonya," ucapnya mempersilakan untuk ketiga orang itu masuk ke ruang meeting, lantas Pelayan kembali menutup pintu.Saat Jeno masuk ruangan seluruh orang di dalam berdiri serentak dan memberi penghormatan dengan membungkukkan sedikit punggung mereka. "Selamat pagi, Tuan," sapa mereka.Arya lantas segera berjalan ke arah kursi yang sudah disediakan untuk Jeno, dan menariknya seraya mempersilakan, lantas ia juga menarik kursi lain di samping Jeno untuk Rea, tanpa mempedulikan Aruna, wanita itu harus menarik kursinya sendiri untuk duduk di samping Arya."Selamat pagi
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama