Jeno masih duduk di kursi bar rumahnya, dia baru meminum beberapa gelas wine yang tersedia di atas meja. Sesekali dia tersenyum culas saat mengingat kata-kata Rea tadi di kamar. "Aku memang tidak punya orang terkasih di hidupku. Tidak ada kehangatan yang aku rasakan sejak kecil, sehingga aku menyukai rasa dingin selama bertahun-tahun."Lagi Jeno menuang wine ke dalam gelas berkaki dan menyesapnya dalam sekali teguk, mengingat tatapan Rea akhir-akhir ini padanya begitu berbeda. Mengapa baru saat ini dia menyadari jika tatapan Rea yang dulu begitu berbeda dengan saat ini, mungkin karena itu dia baru bisa memahami jika tatapan wanita itu yang dulu penuh cinta, tapi tatapannya yang saat ini penuh kebencian yang tidak dapat terlukiskan.Haruskah Jeno melepaskan saja wanita itu dan membiarkan Rea pergi mencari bahagianya sendiri? Namun, di dalam hati Jeno sudah tumbuh perasaan rindu, rindu pada tatapan Rea dan sikap hangat wanita itu. Saat Jeno terus minum, Aruna datang ke dapur untuk meng
Jeno baru saja datang ke meja makan dengan pakaian rapi, dia sudah bersiap ke bekerja hari ini. Sesampainya di sana Rea sudah makan lebih dulu, sementara Aruna masih belum makan layaknya seorang istri yang baik dan setia menanti suaminya untuk makan bersama.Aruna tersenyum melihat Jeno yang memperhatikan Rea makan tanpa mempedulikan kehadiran Jeno di sana, wanita itu dengan cekatan menyiapkan roti bakar yang sudah tersedia ke atas piring milik Jeno, lalu dirinya juga mengambil bagian lalu segera makan. Jeno masih memperhatikan istrinya yang makan sarapan tanpa suara, bahkan tidak melirik padanya sama sekali, itu membuat selera makan Jeno hilang sudah. "Sayang, kenapa hanya diam saja? Ayo makan sarapannya, kita ada meeting penting pagi ini, kan?" Aruna memegangi punggung tangan Jeno yang ada di atas meja, lalu tersenyum provokasi ke arah Rea.Rea melirik tangan wanita itu yang berada di atas punggung tangan Jeno, seketika Rea juga berdiri hendak pergi. "Rea!" Panggilan Jeno mengurung
Seorang pelayan menyambut kedatangan Jeno beserta kedua wanita yang berjalan di belakangnya. "Selamat pagi, Tuan Bramantio. Silakan asisstant serta tamu Anda sudah menunggu di ruang VIP." Pelayan mempersilakan Jeno untuk menuju ruangan yang sudah diatur sebelumnya oleh Arya.Jeno mengangguk, lantas berjalan lebih dulu diikuti pelayan, Rea juga Aruna. Sesampainya di depan pintu Pelayan segera membukakan pintu. "Silakan, Tuan, Nyonya," ucapnya mempersilakan untuk ketiga orang itu masuk ke ruang meeting, lantas Pelayan kembali menutup pintu.Saat Jeno masuk ruangan seluruh orang di dalam berdiri serentak dan memberi penghormatan dengan membungkukkan sedikit punggung mereka. "Selamat pagi, Tuan," sapa mereka.Arya lantas segera berjalan ke arah kursi yang sudah disediakan untuk Jeno, dan menariknya seraya mempersilakan, lantas ia juga menarik kursi lain di samping Jeno untuk Rea, tanpa mempedulikan Aruna, wanita itu harus menarik kursinya sendiri untuk duduk di samping Arya."Selamat pagi
Jeno dan Rea berjalan cepat keluar dari restoran menuju parkiran, genggaman tangan Jeno di pergelangan tangannya tak mengendur membuat Rea meringis kesakitan. Setelah dekat dengan mobil barulah Rea menarik tangannya yang kurus, Jeno menoleh ke belakang dan melihat Rea menyentuh pergelangan tangannya yang sedikit merah.Jeno tak sengaja melakukannya, mungkin dirinya ditakdirkan hanya bisa menyakiti Rea, karena meski tanpa bermaksud menyakiti pun wanita itu tetap tersakiti. "Ada apa begitu terburu-buru membawaku pergi? Hingga kamu begitu keras menarikku seperti ini?" Rea bersuara, dan Jeno juga merasa bingung harus menjawab apa.Sebenarnya dia kenapa?Tadi itu di perjamuan banyak mata pria terus memperhatikan istrinya, dan itu membuat Jeno tidak nyaman. Rea tentu saja wanita kelas atas yang terlahir cantik, bermata besar dengan bulu mata lentik yang menaunginya. Wajahnya yang oval dengan dagu yang tidak terlalu runcing, hidung mancung dan berwajah tirus.Rea berawakkan mungil, dan berku
Sebenarnya Jeno tidak ingin bermaksud mengancam atau memberi peringatan keras pada Rea, tapi rupanya citra Jeno di mata Rea sudah tercetak buruk sehingga wanita itu hanya bisa melihat keburukan dan mencurigainya. Meski sejujurnya pada awalnya memang benar, hanya saja akhir-akhir ini Jeno merasakan perasaan yang berbeda, seperti ada kesungguhan.Namun, Rea selalu saja merusak suasana hati Jeno dengan kecurigaannya itu. Memang bukan salah Rea kalau misal wanita itu terus berpikir jelek tentangnya, sikapnya sejak awal sampai akhir memang buruk, tapi Jeno bukan type orang yang rendah hati dia mudah sekali tersulut emosi hingga kadang tidak mau sadar kalau dialah yang salah, tapi malah dia yang ingin dimengerti.Saat ini pun dia marah karena menganggap Rea bodoh, tidak mengerti dirinya. Padahal jika dipikir-pikir Jeno yang bodoh selama 2 Tahun tidak sadar-sadar kalau ada wanita yang tulus mencintainya, tapi malah terus disakiti.Saat keduanya berada dalam ketegangan, pintu tiba-tiba diketu
Mobil mewah Jeno memasuki halaman rumah megah pribadinya, segera pria itu keluar dari mobil dan berjalan cepat ke sisi pintu mobil yang lain. Dia membuka pintu dan memegang pergelangan tangan Rea. "Ayo, keluar!" "Tidak mau! Aku tidak mau masuk ke rumah itu. Aku mau pergi ke rumah papa. Lepaskan aku, Jeno! Aku akan pastikan menceraikanmu secepatnya!" Rea masih berada di dalam mobil mencoba bertahan agar tidak kembali dibawa masuk."Oya? Coba kalau bisa," tantang Jeno, karena Rea sangat keras kepala tidak mau keluar, Jeno pun secara paksa meraih pinggang Rea dan memanggul tubuh wanita itu di atas bahunnya.Rea terus memberontak, kedua tangannya terus memukuli punggung Jeno hingga pria itu berhasil membawa istrinya ke dalam rumah, menaiki anak tangga lantas menuju lantai dua. "Lepaskan aku! Aku tidak mau kamu sentuh! Aku tidak mau--""Diam!" sentak Jeno seraya menjatuhkan tubuh kurus Rea ke atas ranjang.Rea segera bangun dan ingin segera melarikan diri lagi, tapi Jeno kembali meraih pi
Dua hari ini Jeno disibukkan dengan pekerjaan di kantor, dia tidak sama sekali pulang ke rumah tentu saja Aruna juga akan menemaninya selalu, sehingga Rea yang dikurung di kamar selama dua hari tidak makan dan minum dengan benar.Rea meringkuk di atas kasur, tubuh kurusnya begitu sangat menyedihkan. Terakhir Jeno mengurungnya di kamar mandi selama 4 jam, tidak menyangka kali ini lebih lama lagi. 2 Hari Rea hanya minum air keran, jika rasa lapar dia masih bisa bertahan, tapi untuk rasa haus wanita itu benar-benar tidak bisa menahannya.Kedua matanya terpejam, bulu mata lentiknya bergetar menggambarkan kesakitan di dalam tubuh bagian dalamnya. Bagian bawah perut kanannya sakit, seperti diremas-remas membuat perut Rea rasanya mau muntah.Rasa menahan muntah itu begitu menyiksa, wanita itu terpaksa bangun dan berlari ke kamar mandi untuk muntah. Tidak ada makanan yang keluar, hanya air asam warna kuning lama-lama terasa pahit di lidah. Pandangan Rea berputar, perut bagian bawahnya sakit,
Saat Aruna pulang keadaan rumah dalam keadaan sepi, bahkan pintu depan juga dengan keadaan terbuka lebar. Rumah besar ini tidak punya assistant rumah tangga, penjaga rumah atau tukang kebun. Benar-benar semuanya dikerjakan oleh Rea.Aruna sendiri geleng kepala dengan kekuatan wanita lemah itu, sanggup mengurus ini semua sendirian. Entah dapat kekuatan dari mana, tapi sekarang rumah ini terlihat berantakan, dan pula tidak ada Jeno atau pun Rea di rumah.Aruna pun mengambil ponsel dari tasnya untuk menghubungi Jeno, saat ini juga dia pulang malam setelah dari kantor dan pergi ke bar untuk bersenang-senang bersama Alex.Jeno di rumah sakit masih menunggu di depan ruang ICU, meski Rea sudah mendapatkan perawatan dirinya belum bisa menemui istrinya di dalam sebelum Rea dipindahkan ke ruang rawat. Saat dering ponsel terdengar dari saku celana segera ia merogohnya dan melihat kontak siapa yang menelefon.Saat tahu Aruna yang menelefon, mau tidak mau ia mengangkatnya. "Iya, ada apa?" tanyanya
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama