Zahra menggelengkan kepalanya. Tingkahnya yang jahil memang selalu membuatnya tidak berhenti merinsukannya. Zahra berjalan ke arah lemari. Marc memiliki banyak baju di kamar itu, walau jarang ditinggali. Kaos warna krem berkrah dengan celana warna hitam pendek jadi pilihan. Dia meletakkannya di atas ranjang.
***Meyyis***
Marc keluar dari kamar mandi. Dia masih basah oleh air sisa mandi. Menetes dari rambutnya mengalir membasahi dada. Dia hanya mengenakan handuk yang menutupi pinggang sampai ke bawah saja. Marc melihat sang istri sedang berada di depan meja rias.
“Sayang, kau nampak menggoda malam ini?” Dia masih berbalut handuk dengan rambut basahnya.
“Biasanya enggakkah? Ganti baju nanti masuk angin,” ujar Zahra.
“Tiap malam gak pernah pakai baju juga nggak masuk angin, ‘kan kamu bajunya?” rayu Marc.
&ldq
“Zahra! Aku sungguh menyesal. Beri aku satu kesempatan sekali lagi. Zahra!” Air mata tak kuasa membanjiri wajahnya sebagai manifestasi akan hatinya yang perih. Seperti ini ternyata rasanya cemburu dan sakit hati. bertahun-tahun berarti Zahra merasakannya. ***MEYYIS***Siang ini Zahra dan Marc sudah siap membawa Jelita untuk ke rumah sakit. Dokter Kim sudah menunggu mereka. Tadi, dia sudah menghubungi Marc via seluler. Marc memboong sang putri kemudian memb
Jelita masih terlalu kecil untuk merasakan sakit akibat pembedahan. Namun demi bisa bicara, maka harus dilakukan. Hatinya menciut saat sampai di depan ruang operasi. Mereka berhenti sebentar, karena memang tida diperkenankan orang lain masuk ruangan itu. Mungkin saja, ada pesan dari orang tua pasien,***Meyyis***Siang ini Zahra dan Marc sudah siap membawa Jelita untuk ke rumah sakit. Dokter Kim sudah menunggu mereka. Tadi, dia sudah menghubungi Marc via seluler. Marc memboong sang putri kemudian membuka pintu mobil dengan tangan nananya. Dia meletakkan tubuh itu di kursi khusus anak-anak dan menunduk untuk memakaikan sabuk pengaman. Setelah itu berputar masuk ke ruang kemudi. Sedangkan Zahra sudah stand bay duduk di kursi sebelahnya.“Kita berdoa sebelum berangkat!” Marc menengadahkan tangan, didikuti dengan Zahra dan Jelita sebagai pemimpin doa naik kendaraan. Maka mereka siap melaju
Dada Zahra tidak berhenti berdegup. Rasanya sangat menakutkan. Jelita masih terlalu kecil untuk merasakan sakit akibat pembedahan. Namun demi bisa bicara, maka harus dilakukan. Hatinya menciut saat sampai di depan ruang operasi. Mereka berhenti sebentar, karena memang tida diperkenankan orang lain masuk ruangan itu. Mungkin saja, ada pesan dari orang tua pasien,***MEYYIS***Melihat ruang operasi lampiunya mulai menyala, hati Zahra dan Marc mulai bergetar hebat. Marc sebagai laki-laki lebih bisa meredam gejolak. Tapi tidak dengan Zahra. Wanita itu berkali-kali pergi ke toilet karena merasa ingin buang air tapi ternyata tidak. Tangan Zahra terasa dingin sehingga Marc menghangatkannya dengan menggenggamnya.Zikir tidak putus mereka panjatkan. Zahra bahkan membuka Al-Qur’an digital yang ada di ponselnya, tapi tetap saja tidak bisa tenang. Keringat dingin membanjiri keningnya, mengalir melewati dalam baju. Marc men
“Kau begitu mencintainya? Aku selalu trenyuh dengan laki-laki gentle yang mencintai keluarganya sangat hebat seperti itu. pertanyaannya, kenapa baru sekarang kamu bawa? Mungkin kalau dari usia dini sua tahun atau tiga tahun, tidak perlu melakukan operasi untuk mereposisi pita suara,” ujar Kim. Marc bingung harus menjelaskan dari mana? Apakah etis menceritakan keluarganya pada kawan lama yang bahkan baru dia temui setelah puluhan tahun tidak bertemu?***Meyyis***“Ada banyak cerita yang terlewat Kim. Aku menikah dengan Zahwa statusnya janda. Jadi Jelita anak sambung,” tukas Marc kemudian. Dia bangkit kemudian melihat ke arah jendela luar yang terlihat gedung tinggi lain di seberang. Dia memegang pinggiran jendela kaca tersebut. Memandang gedung yang berbaris, terasa panas dan tidak suka. Atau hatinya yang memang tidak dalam keadaan baik-baik saja.“Oke, aku mengerti. Satu yang har
“Oh, tapi ... baiklah.” Akhirnya Zahra mau setelah pertimbangan. Marc menggandeng tubuh Zahra dan membantunya berdiri. Selain itu, dia menggandengnya, karena mungkin sang istri terlalu lelah dan capek. Mereka akhirnya keluar dari ruangan itu.***MEYYIS***Marc mengajak Zahra makan di depan rumah sakit. Tempatnya nyamand an masakan Indonesia. Yang terpenting ada logo halal terpampang jelas dari nama restoran itu bersebelahan dengan nama restoran tersebut. “Duduklah, Sayang. Aku akan memesan. Mungkin khas Jawa ada di sini?” Marc menuju ke layanan pemesanan. Memang interaksi dengan pelanggan dibatasi hanya mungkin saat memberikan layanan antar saja.Marc terlihat memasuki loket pesanan dengan menekan tombol yang tersedia. Pemesanan memang sudah menggunakan peralatan canggih. Setelah pesanan selesai, Marc duduk kembali. Zahra masih mematung saja tanpa suara. Sebagai lelakinya, tentu dirinya tahu bagaimana perasaan
“Enggak, sepertinya akan ada kejutan. Nanti kamu akan tahu,” ujar Marc sambil memeluk tubuh sang istri erat sengaja memancing kemarahan Raehan. Dia sudah punya rencana agar nanti Raehan kepergok saat mendekati Zahra.***Meyyis***Marc melenggang sambil menggenggam tangan sang istri. Dia langsung mengajaknya ke ruangan Kim, sebab tadi muntah-muntah. Sebelumnya, dia mengetuk pintu dahulu, kemudian mendorongnya saat Kim bersuara untuk mempersilakan masuk.“Kim,” panggil Marc.“Ada apa, Marc? Apa anakmu sudah bangun?” tanya Kim. Dia memang sudah bebas sampai lepas pulang. jadwal prakteknya dikurangi saat ini sebab baru saja melakukan operasi tersebut.“Bukan Jelita, tapi istriku. Dia sepertinya sakit. Tadi muntah-muntah,” tukas Marc.“Oke, berbaringlah!” Marc mengerutkan keningnya.&
“Mohon maaf, Dok. Kami belum mengerti.” Doter Erlida mungkin termasuk dokter yang sedikit memiliki selera humor tinggi. Dia malah mengambil sebuah kotak yang ada di laci kemudian memasukan alat tersebut ke dalamnya.“Berikan pada sahabatmu Kim, apa reaksi dia?” Marc dan Zahra semakin tidak mengerti, tapi keduanya menuruti yang dikatakan oleh Dokter Erlida.***MEYYIS***Sudah pukul empat ketika Zahra dan Marc keluar dari ruangan Dokter wanita tersebut. Dia seperti sapi yang dicucuk hidungnya. Mereka masuk ke ruangan Kim yang sudah memakai jaketnya, karena akan kembali ke rumah. “Kamu sudah selesai, Kim?” Kim mengangguk.“Iya, sepertinya anak kalian akan diperikas temanku nanti,”ujar Kim.“Ini, Dokter memberikan ini untuk kamu baca katanya.”“Itu apa?” Marc hanya mengedikkan bahu. Kim membuka bungkusan i
“Mari kita bicara. Tujuan aku ke mari juga ingin bicara, bukan bertengkar lagi,” ucap Raehan.“Aku akan bicara jika suamiku mengijinkan.” Zahra sengaja menekankan kata “suamiku” dengan nada yang sedikit sarkas.***Meyyis***Marc sudah ada di luar ketika Zahra bicara seperti itu. Marc segera masuk ke ruangan itu. sebab dia tahu jika Jelita sangat ketakutan. Maka dari itu Marc langsung membuka pintu dan mengucapkan salam.“Ada tamu rupanya? Sudah dari tadi, Rey. Sayang, sudah salim sama Papa?” tanya Marc. Jelita menggeleng. Dia terlihat sangat ketakutan dalam pelukan Zahra. “Lebih baik kalian bicara dan selesaikan masalah kalian dengan baik. Sayang, saat ini kamu sedang mengandung. Tidak baik marah-marah. Jaga emosimu, oke? Rey, aku mengijinkan istriku untuk bicara denganmu.” Zahra memndang Marc agar diselamatkan tidak harus bicara dengan Raeh
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga