Sambil menunggu imsak, Zahra meminta Marc untuk gosok gigi. Dia memberikan sikat baru pada Marc. Setelahnya, mereka saling bercengkarama di ruang keluarga sambil sesekali nyemil buah yang sudah dipotong.
“Zahra, besok antar aku khitan, ya?” Zahra tersedak air putih yang sedang dia minum.
***Meyyis***
Marc bangkit akan menolong Zahra. Tapi wanita itu mengangkat tangannya dan menyuruh Marc duduk kembali. Zubaedah tak kalah kagetnya jika Marc belum di sunat. Batin Zubaedah, “apa nggak alot sudah bangkotan?” Dia ingin tertawa tapi merasa kasihan. Tidak tertawa tapi sangat lucu. Akhirnya wanita senja itu hanya menahan tawanya di dada saja, sehingga perutnya terasa sakit. Demikian juga dengan Zahra. Dia kaget sekaligus ingin tertawa. Namun takut Marc tersinggung.
“Ehem, ehem, kau besok ada pertemuan. Sebaiknya ajukan saja pertemuan itu. Setelah itu, baru pergi ke dokter. Habis di sunat itu
Sebelum benar-benar pergi, Marc memandang wajah Zahra intens. Matanya seolah mengatakan bahwa Marc menginginkan Zahra untuk mendampinginya. Tapi entahlah! Pakah Zahra memiliki perasaan yangs ama? Tiba-tiba ada perasaan psimis.“Terima kasih. Aku jalan dulu.” Marc masuk ke dalam mobilnya dan melaju.***Meyyis***Zahra menunggu hingga Marc menghilang ditelan tikungan jalan. Wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia tersenyum menuntaskan rasa gelinya. Bagaimana rasanya sudah besar baru saja disunat. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak. Zahra memilih untuk masuk ke tempat salat kecil yang ada di rumahnya. Beberapa lembar ayat untuk mengisi waktu sampai mentari menyapa dunia.Zahra sudah selesai membaca Al-Qur’an saat Jelita menangis karena kehilangan Marc. Dia berjalan mondar-mandir karena Marc tidak pamit dengannya.“Hai, Cantik! Menangis?” Jelita menggerakkan tangannya untuk bic
“Sudah, Nak. Nanti Uncle datang, Mama belum siap.” Jelita menyelesaikan mandinya. Gadis belia itu keluar dengan handuk yang sudah membalut tubuhnya. Zahra mengajari caranya mengenakan baju. Jelita menurut.***Meyyis***Zahra sudah siap ketika Marc datang. Dia baru saja selesai memakai kerudung setelah memakai gaun warna krem. Marc tersenyum melihat wanita itu keluar dengan gaun mengagumkannya. Jelita yangs ejak tadi bergelayut manja di leher Marc turun. Jelita menggandengan Zahra dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya menggandeng Marc. Kedua orang dewasa itu saling tatap dalam diam, tapi mengisyaratkan suatu bahasa kalbu yang hanya mereka yang mengerti. Jelita mencium pipi Marc juga Zahra secara bergantian. Wanita itu sedikit mendorong keduanya menandakan mengijinkan keduanya untuk pergi.Dari kejauhan Zubaedah datang. Dia tahu kalau anaknya mau pergi kerja. “Kalian hati-hati ya?” Marc meng
“Kau bisa memikirkannya dulu. Kuharap, kamu tidak menggeneralkan seluruh laki-laki pasti brengsek dan mau enaknya saja. Aku ikhlas apa pun nanti yang menjadi keputusanmu. Ijinkan aku untuk tetap dekat dengan Jelita, walau kau mengatakan tidak padaku.” Merc memang sudah sangat mencintai Jelita. Lelaki itu dapat melihat keistimewaan dari belia berumur enam tahun itu. Dia akan tetap menyayanginya, walau cintanya ditolak oleh Zahra. ***Meyyis**** Marc sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia akan libur selama tiga hari untuk melakasnakan niatannya dikhitan. Lelaki keturunan inggris itu akan menyucikan diri dengan melaksanakan khitan itu. Hatinya sudah mantap dengan pilihan ini. Walau akhirnya nanti berjodoh atau tidak dengan Zahra, dia tidak goyah. Senja sudah mulai menguning. Marc sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja dibantu Zahra. Sekarang, Zahra beralih tugas dari hanya penunjuk jalan, menjadi asistennya.kebetulan Zahra tahu tentang pekerja
Marc sesekali mengambilkan menu untuk Zahra. Semakin sudah Zahra bertindak obyektif. Semoga apa pun yang dipilih Zahra, merupakan kebaikan dan yang paling tepat untuk mereka. Marc dan Zahra sudah selesai berbuka. Beberapa makanan tidak habis, maka dibungkus. Tidak lupa, satu pack macaron yang warna-warni untuk Jelita. Hati Zahra menghangat. Setiap hari memang Marc selalu tidak lupa untuk membelikan Jelita oleh-oleh.***MEYYIS***Zahra dan Marc sudah beranjak dari restoran itu. Sebelumnya mereka sudah salat di masjid kecil yang ada di restoran itu. Mereka akan menuju praktek Dokter Reza. Hati Marc sangat dag dig dug. Jantungnya bergetar demikian kencang. Aliran darahnya mengalir lebih cepat. Padahal sudah di pol pendingin ruangan paling kecil temperaturnya. Zahra saja sampai kedinginan. Tapi Marc merasa kegerahan dan keringat membanjiri dahinya.“Marc, kalau kau tidak yakin, tidak usah saja. Besok masih bisa.”
“Maaf, monggo silakan.” Mbok Siti mempersilakan Zahra untuk menikmati hidangan. Zahra terlihat tidak tenang.Mbok Siti adalah pribadi yang santun. Dia juga hangat. Wanita paruh baya itu mencoba menenangkan Zahra. ***Meyyis*** Zahra berbincang dengan Bi Siti. Namun dalam perbincangannya tidak fokus. Sebab sebelum Marc pergi pun lelaki itu terlihat ketakutan. Keringat dingin bercucuran. Ingin rasanya dia menemani. Namun tidak mungkin, bukan mahramnya. “Biasanya berapa lama, Bi.” Tanya Zahra. Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu di tanyakan sebab Bi Ziti juga pasti kurang tahu. “Kalau anak-anak sebentar, Nona. Tapi tidak tahu kalau orang dewasa.” Saliva sudah tertelan. Zahra meremas jari-jarinya untuk menetralkan kegalauannya. Berkali-kali Zahra terlihat melogok ke arah belakang tempat klinik itu berada. Seolah-olah dapat terlihat yang sebenarnya sia-sia saja. “Aaa .... jangan!”
“Sudah, ini ada sisa terus dibungkus.” Zahra meletakkan panganan itu di kulkas. Zahra pamit untuk mandi. Wanita itu meraih handuknya kemudian mengguyur seluruh tubuhnya berharap bayangan Marc juga dapat lenyap dari kepalanya. Tapi ternyata sia-sia saja.***MEYYIS***Marc terbangun dengan kebingungan. Pasalnya, saat memindai ini bukan kamarnya. Lelaki dengan baju warna putih itu mencoba akan bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi. Namun bagian selangkangnya merasa berdenyut. Dia meringis.“Oh, iya, aku baru saja di khitan. Zahra ke mana ya?” Tenggorokan Marc merasa sangat kering. Dia ingin minum air putih. Lelaki itu keluar dari klinik itu dengan tertatih dan memegang bagian kain yang tepat di depan. Rasanya nyeri jika kain itu menyentuh alat vitalnya yang masih basah terluka. Dia membuka pintu. Lelaki itu berjalan ke lorong. Bermaksud mencari Zahra.“Tuan, ada perlu apa? M
Raehan adalah penjahat cinta dalam mata Reza. Bukan hanya sekali. Berkali-kali lelaki itu menyakiti Zahra dan menduakannya. Reza tercenung ketika mengingat hal itu. Termasuk dia memilih tugas di Bali juga karena mendengar Reza pindah ke Bali. Namun ternyata Raehan juga pindah ke Bali hingga Zahra memang selalu berkaitan dengan Raehan. Ah, hidup yang penuh dengan drama rumah tangga.“Dokter, kau baik-baik saja?” Marc mengagetkan Reza ketika lelaki itu masih dalam lamunan.***Meyyis***“Tidak apa-apa, Marc. Aku hanya terpikir sesuatu. Kau sudah lebih baik? Bisa kembali tidur. Panggil aku kalau ada apa-apa.” Marc mengangguk. Lelaki itu melanjytkan tidurnya karena selepas minum obat merasa mengantuk. Sedangkan Reza pergi ke kamarnya kembali. Melam ini berjalan seperti biasa. Tapi saat pukul dua dini hari, obat yang Marc minum tidak bereaksi lagi. Dia menggigil dan sedikit demam. Mungkin disebabkan juga
“Maaf, Marc.” Zahra membantu melepaskan kemeja Marc, sehingga tersisa hanya kaos dalam saja. Jujur saja, hati Zahra sangat lompat-lompat karena hal itu. Namun sekuat tenaga dia menahannya. Tujuannya baik, hanya menolong saja. Marc merasa damai. Seandainya Zahra sudah menjadi istrinya, kali ini dia pasti memeluknya saat merasa kedinginan seperti ini.***MEYYIS***Waktu sahur telah tiba. Zahra berada di samping Marc dan tertidur di kursi dengan posisi kepala ada di tepi ranjang. Marc belum tidur. Dia mengelus puncak kepala Zahra. Reza yang baru banguntidur terkejut saat Zahra ada di ruangan itu. Lelaki itu merasa cemburu dengan keadaan itu. Zahra memiliki kedekatan khusus dengan lelaki bule itu.“Bi, kapan Zahra datang?” tanya Reza pada Bi Siti yang sedang menyiapkan menu makan sahur.“Sekitar jam dua, Tuan. Kayaknya Tuan Marc demam.” Reza mengangguk. Reza menyuruh Bi Siti untuk membangunkan Za
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga