“Maaf, Marc.” Zahra membantu melepaskan kemeja Marc, sehingga tersisa hanya kaos dalam saja. Jujur saja, hati Zahra sangat lompat-lompat karena hal itu. Namun sekuat tenaga dia menahannya. Tujuannya baik, hanya menolong saja. Marc merasa damai. Seandainya Zahra sudah menjadi istrinya, kali ini dia pasti memeluknya saat merasa kedinginan seperti ini.
***MEYYIS***
Waktu sahur telah tiba. Zahra berada di samping Marc dan tertidur di kursi dengan posisi kepala ada di tepi ranjang. Marc belum tidur. Dia mengelus puncak kepala Zahra. Reza yang baru banguntidur terkejut saat Zahra ada di ruangan itu. Lelaki itu merasa cemburu dengan keadaan itu. Zahra memiliki kedekatan khusus dengan lelaki bule itu.
“Bi, kapan Zahra datang?” tanya Reza pada Bi Siti yang sedang menyiapkan menu makan sahur.
“Sekitar jam dua, Tuan. Kayaknya Tuan Marc demam.” Reza mengangguk. Reza menyuruh Bi Siti untuk membangunkan Za
Zahra memapah tubuh besar Marc. Reza sengaja tidak membantu untuk mengentahui perasaan Zahra kepada lelaki itu. Reza menarik napas pasrah ketika dia sampai pada satu kesimpulan bahwa Zahra memang benar-benar mencintai lelaki itu.“Zahra, jika lelaki itu memang baik untukmu dan Jelita, aku ikhlas.” Reza bebalik badan dan masuk ke rumah.***Meyyis***Marc duduk di samping Zahra. Kali ini wanita cantik itu yang menyetir. Marc hanya menyenderkan tubuhnya di jok mobil. Tidak terbayang sakitnya. Perih, nyeri, kepala pusing karena tambah demam. Mungkin juga karena dia sangat lelah jadi kuman mudah menyerang daya tahan tubuhnya.“Marc mau ke rumah sakit saja?” tawar Zahra. Marc menggeleng. Zahra lebih cepat melajukan mobilnya supaya sampai lebih dini. Mereka sampai juga di tempat parkir apartemen itu. Zahra dengan terpaksa memapah Marc yang keusahan berjalan. Mungkin bagian yang baru disunat bengkak. Perkiraan Z
“Marc, jangan tidur dulu, ya? Minimal nunggu zuhur.” Marc mengangguk. Untuk mengusir jenuh, dia main games di ponselnya. Zahra membantu beres-beres. Dasar cowok, selalu saja berantakan tidak teratur.***MEYYIS***Zahra memasak untuk Marc. Lelaki itu hanya mencuri pandang saja melihatnya. Siang sudah menjelang. Kantuk mulai meratapi mata Marc. Lelaki tinggi seratus delapan puluh itu merebahkan diri di sofa tersebut. Lama kelamaan terlelap. Karena suhu ruangan sangat panas, Zahra menyetel pendingin ruangan lebih rendah suhunya. Dia tersenyum melihat kedamaian dari wajah lelaki itu.Dia seperti bayi yang damai. Tidak ada raut khawatir terlihat. Tidak seperti beberapa saat lalu ketika dia merasa sangat gusar karena bagian yang disunat terasa sangat sakit. Zahra sudah selesai beres-beres. Dia menelepon ibunya untuk mengabarkan bahwa dirinya bersama Marc.“Iya, Nak. Bagaimana dia? Pasti sangat sa
Reza setengah berlari untuk sampai ke hunian milik Marc. Dia menekan bel. Di dalam, Zahra buru-buru mebuka pintu melihat Marc yang sudah kesakitan. “Tolong, Za. Aku memang lalai menjaganya. Tadi tertidur di sofa saat kejadian itu.” Reza menelan ludahnya sangat susah. Dia belum pernah melihat Zahra sepanik itu. ***Meyyis*** Sepersekian detik, Reza terpaku. Zahra menyadari ada yang berbeda dari sahabatnya itu. “Ada apa?” tanya Zahra. “Tidak ada. Di mana Marc?” tanya Reza. “Ada di kamarnya.” Reza mengangguk. Entah untuk alasan apa? Lelaki itu selalu menurut pada Zahra yang jelas-jelas tidak menanggapi perasaannya. Ada perasaan bersalah jika wanita itu menunggunya, atau tidak mengindahkan permintaannya. Tidak pernah ada kemarahan dalam hatinya, walau kenyataanya cintanya bertepuk sebelah tangan. “Marc, bagaimana ceritanya? Kau bisa jatuh?” tanya Reza sambil menilik burung beo Marc yang sepertinya sudah
Lelaki itu bukan manusia halal yang bisa dia khawatirkan. Zahra mencoba membuang pikirannya. Semakin mencobanya, perasaan itu semakin nyata membelenggu jiwanya. Mungkin harus berkompromi dengan hatinya. ***MEYYIS*** Marc bangun tidur pada sore hari. Zahra mengelap tubuhnya saja. Jangan bertanya perasaan mereka. Zahra merasakan dadanya mau meledak. Perasaan apa ini? Apalagi saat iris mata hitam arang Zahra menyapa iris mata coklat Marc. Keduanya tidak dapat menahan sehingga benda kenyal itu tanpa ragu mendekati dosa. Sepersekian menit mereka menikmatinya. Hingga Zahra sadar dan mendorong tubuh Marc. Zahra keluar dari kamar Marc untuk menetralkan perasaannya. “Ya Tuhanku, apa yang aku lakukan? Kenapa tidak bisa mengendalikan diri?” Marc menyesali yang dia lakukan. Dia menepuk keningnya berkali-kali dengan tinjunya. Penyesalan mungkin tidak berarti. Nyatanya, dia sudah melakukannya. Semua sudah terjadi tanpa bisa dihindari. Tidak be
“Boleh aku berpikir dulu, Marc. Ada banyak hal yang tidak kau tahu tentang diriku, selain maslaah Jelita.” Marc melepaskan cekalannya. Zahra memilih pergi dari kamar itu untuk memasak. Senja sudah hampir tiba. Bahkan sebentar lagi buka puasa menjelang.***Meyyis***Sore sudah menjelang. Zahra membantu Mrac untuk bangkit. Selain Zahra harus berbuka, sekalian Marc juga harus makan dan minum obat. Mereka makan dalam diam. Baik Zahra dan Marc tidak ada yang buka suara. Sampai selesai makan pun tetap diam. Jujur saja, Marc merasa tersiksa. Dia merasa sangat bersalah. Sudah mencium Zahra tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Jika waktu bisa diulang kembali, dia akan lebih menahan hasratnya.Marc bangkit dan berjalan hati-hati menuju kamarnya. Zahra mengikutinya bermaksud untuk mengambil obat agar Marc meminumnya lalu tidur. Zahra kebingungan. Obat Marc tidak ada di mana pun.“Kau mencari apa, Zah?”
Mimpi itu mengusik pikirannya. Marc dengan tertatih mengambilkan air putih di meja yang agak jauh dari Zahra. Wanita itu menenggaknya sampai tandas. Zahra mengembuskan napas perlahan untuk mengingat kembali beberapa detik lalu dalam mimpinya.“Apa yang terjadi? Pertanda apa mimpi itu?” Wanita itu memejamkan matanya. Dia memandang Marc dengan lekat. Ada keraguan membayangi.***MEYYIS***“Zahra, bangun! Ada apa?” tanya Marc saat Zahra sudah siuman dari tidurnya.“Aku mimpi buruk, Marc.” Zahra terlihat ngos-ngosan. Marc berjalan sedikit tertatih karena bagian yang di sunat masih terasa perih. Lelaki itu mengambilkan air yang ada di nakas kecil.“Minumlah!” Marc memberikan segelas air itu kepada Zahra sedangkan wanita itu menenggaknya sambil tandas.“Kau belum tidur?” Zahra duduk dan bersandar di head board. Marc den
Rembulan menjadi condong dengan semburat yang memandikan bumi bersama meteor yang meresahkan jiwa. Rasa yang merangkak naik bersama bulir-bulir keringat yang menjadi makna dari keinginan yang tidak tersalurkan.***Meyyis***Hari-hari dilalui Zahra dan Marc dengan kebersamaan. Zahra dengan telaten merawat Marc. Hingga setelah kurang-lebih seminggu Marc sudah siap untuk melakukan aktivitas. Siang ini lelaki itu akan bertemu dengan klien lagi. Tentu masih dengan Zahra di sampingnya.“Za, Jelita mau dibelikan oleh-oleh apa?” Mereka sudah sampai di sebuah pusat perbelanjaan sekarang. Pertemuan memang di pusat perbelanjaan itu karena yang mereka temui adalah direktur pemasaran dari sebuah mall.“Marc, kita pikirkan pekerjaan kamu dulu. Lagi pula, jangan memanjakan Jelita.” Zahra protes dengan yang dilakukan Marc. Setiap kali pergi, maka pulang membawa oleh-oleh. Kalau bukan makanan, maka dia memb
“Zahra!” Marc bingung antara mengikuti tubuh Zahra yang berada di atas bangsal itu, atau mencari jawab dari dokter.“Tenang anak muda!” Dokter itu memegang pundah Marc. Lelaki dengan mata bulat itu mulai tenang.***Meyyis***“Bagaimana, Dokter?” tanya Marc.“Kami sudah mengambil proyektilnya. Sebaiknya Anda melapor ke kantor polisi.” Marc mengangguk dia segera beranjak untuk pergi ke kantor polisi terdekat. Kali ini Marc sedikit santai. Dia akan melaporkan kejadian yang baru saja dialaminya.“Saya mau membuat laporan,” ucap Marc.“Silakan!” Marc menceritakan kejadian itu. Laporan Marc sudah di proses. Dalam prosesnya, ada kejadian yang membuat dirinya naik pitam.“Ini kalau mau cepat diprose ya harus ada pelicinnya, ini.” Seorang polisi tambun yang melayaninya menggosok
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga