"Aku rela memisahkan diri. Dari pada bersama namun terluka."
Aira —
***
Jam beker berbunyi nyaring membangunkanku tepat di pukul 04.00. Walau masih mengantuk tetap terpaksa bangun sebab hari ini jadwalnya aku mencuci baju.
Aku duduk di tepi ranjang. Rasanya kepala ini pusing dan badan terasa dingin. Apa karena kemarin sore aku menerobos hujan? Sudahlah! Dari pada kena marah ayah lagi mending aku mencuci baju sekarang.
Aku mulai mengumpulkan pakaian kotor yang berserakan di kamar. Selanjutnya aku berjalan menuju kamar ayah dan ibu. Di luar kamar sudah ada satu keranjang pakaian kotor milik mereka.
Aku membawa semua pakaian kotor ke belakang. Mencuci pun ibu melarang menggunakan mesin. Kata dia, "Jangan pake mesin cuci biaya listrik mahal. Ini dipake kalo Ayu sama Andi ada." Pasti semuanya tentang mereka berdua, anak kebanggaan ibu dan ayah.
Sebelum mencuci aku terlebih dahulu mencuci wajah agar tak merasa ngantuk. Sebenarnya badan terasa remuk tapi apa boleh buat pekerjaan rumah sangat menumpuk.
Mengembuskan napas panjang lalu duduk sambil memandang cucian yang sangat banyak. Aku harap sebelum jam enam semuanya sudah selesai.
Sambil mengucek pakaian otakku tak berhenti mengkhayal. Menerawang masa depan yang selalu membuatku meringis takut.
Kata ayah orang bodoh adalah kehadiran buruk;
Jika di antara lima jemari tangan ada yang putus maka keindahannya akan hilang;Jadi jika keluarga 5A memiliki anggota yang bodoh seperti Aira, berarti 5A tak memiliki keindahan khas-nya.Tak terasa aku sudah selesai mencuci tepat pukul 05.06. Langsung saja aku jemur. Setelah selesai buru-buru aku sholat subuh.
Setiap sujud terakhir selalu ada permintaan pada sang kuasa. Permintaan ini selalu dibarengi tangisan, berharap semua terkabulkan.
Selesai sholat aku langsung bergegas ke dapur untuk memasak sarapan sederhana. Nasi goreng adalah andalannya. Saat berkutat di dapur aku sudah melihat ibu dan ayah mengenakan pakaian kerja mereka.
Lalu aku masih memakai baju tidur yang telah lusuh. Sekarang sudah pukul enam. Mereka biasa berangkat pukul 07.00. Masih ada waktu untuk aku mandi dan berangkat bersama.
Ibu dan ayah sudah duduk di meja makan menunggu sarapan. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tak lama aku selesai dan membawa tiga piring nasi goreng lalu diletakkan di depan mereka masing-masing.
Tak ada percakapan untuk pembuka pagi ini. Kami hanyut dalam keheningan dan menikmati nasi goreng tanpa pujian.
Aku mendengus. Mungkin selamanya akan seperti ini, berbeda jika kak Ayu dan kak Andi yang memasak mereka pasti terus memuji tak henti.
Ayah sepertinya masih marah, terlihat dari sorotan mata tajamnya. Bahkan aku takut untuk sekedar menatap sekilas, dan aku hanya mampu melihat dari ujung mata.
Nasi goreng milikku lebih dulu habis. Hendak pergi namun ibu malah memanggil. "Aira!"
Aku kembali duduk dan mengangguk. Ibu menoleh malas. "Kamu jangan berangkat sekolah sama ibu lagi," ucapnya yang membuat aku menatap heran.
"Kenapa?"
"Anggap saja sebagai hukuman atas perbuatan kamu tadi malam," jelas ibu yang diangguki ayah.
Hati ini kembali sakit. Banyak hukuman mengintai dalam hidupku. Atas kesalahan sederhana yang seharusnya tak dipermasalahkan.
Dengan tatapan sendu aku mengangguk patuh. "Baik, Bu, Yah!"
"Satu lagi! Kamu pulang cepat nanti, karena kamu harus bantu Ibu masak. Sore ini Andi pulang, kamu juga harus pindah kamar ke kamar dekat dapur."
Satu kali lagi hati ini kembali sakit. Ini memang sudah menjadi tradisi. Saat dua anak kesayangan ayah dan ibu pulang aku harus pindah ke kamar dekat dapur.
Karena jika hanya kak Andi yang pulang pun aku tidak diperbolehkan tidur di kamar kak Ayu, karena dulu tak sengaja aku menjatuhkan satu piala milik kak Ayu. Jadi sampai sekarang ayah dan ibu melarang.
Dengan hati terpaksa pula aku mengangguk patuh. "Baik! Nanti Aira beresin barang-barangnya pulang sekolah."
Ayah dan ibu mengangguk dan langsung meninggalkan aku sendirian. Setelah mereka pergi barulah air mata ini dapat luruh.
Tanganku mengepal kuat untuk menahan isak tangis serta sesak di hati. "Mengapa aku selalu kalian sakiti?" lirihku.
***
Ini hari terakhir Mos. Dari jadwal yang ku baca banyak sekali kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi aku sama sekali tak punya semangat untuk melakukan aktivitas tersebut.
Aku tengah duduk di bangku tepi lapangan sendirian. Tak enak badan, pagi-pagi sudah dibuat menangis, dan sekarang tidak ada teman untuk bertukar cerita.
Indro? Aku tidak tau di mana anak itu. Mungkin belum datang atau … sedang mengobrol dengan teman-teman barunya.
Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu sendiri. Hanya kak Andi yang mampu menerima aku apa adanya. Tapi ayah dan ibu selalu melarang kedekatan kami, dengan alasan, "Aira bodoh mana mungkin akan nyambung sama kamu yang pintar."
Aku kembali tersenyum kecut. Dulu diperlakukan bak ratu, namun sekarang seperti pembantu. Di usia remaja yang seharusnya terbang bebas tapi aku berbeda. Selalu dituntut untuk menjadi orang pintar oleh ayah dan ibu dan bukan kemauanku.
Melayang aku
Kau buat kuterbang tinggi di awanTerhanyut akuSetiap kudengar syair cintamuNyatakah semua
Yang terjadi pada setiap harikuKuterhanyut saat kau berjanjiDan kau wujudkan mimpi yang terindah
Di setiap malam agar aku tersenyumTerjaga dari tidurkuDan kau jadikanku ratu di kerajaan cintamuAgar aku pun bahagiaHidup berdua denganmu selamanyaNyatakah semua
Yang terjadi pada setiap harikuKuterhanyut saat kau berjanjiDan kau wujudkan mimpi yang terindah
Di setiap malam agar aku tersenyumTerjaga dari tidurkuDan kau jadikanku ratu di kerajaan cintamuAgar aku pun bahagiaHidup berdua denganmu selamanyaSelamanya kau rasakan indah harimu
Dengar kasihku, selalu tersenyum dirimu oh kasihDenganku selalu selamanyaDan ku wujudkan mimpi yang terindah
Di setiap malam agar kau tersenyumTerjaga dari tidurmuDan ku jadikan kau ratu di kerajaan cintakuAgar kau pun bahagiaHidup berdua dengankuSelamanyaLagu yang baru saja aku nyanyikan sedang tranding. Aku suka mendengarnya, rasanya bisa meneduhkan hati yang selalu gundah.
Walau tak nyata terjadi, aku berharap suatu saat nanti semuanya kembali seperti dulu. Ayah dan ibu yang tak pernah marah, kak Ayu yang tak pernah membentak, dan kak Andi yang tak akan meninggalkan aku sendirian.
Janji mereka masih terpatri dalam hatiku. Walau semuanya berakhir ketika …
"Aira berbeda dengan Ayu dan Andi Pak Adam."
"Maksudnya Bu?"
"Ayu dan Andi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Berbeda dengan Aira! Nilai akademiknya sangat rendah bahkan di bawah KKM."
"Tapi Aira selalu aktif di rumah."
"Apa Aira di rumah selalu belajar?"
Ayah menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi dia sering membaca."
Kulihat lapangan yang terbentang luas. "Mengapa aku dibedakan?"
***
Tbc…
"Elusan lembutmu dulu, masih membekas di benak. Seakan memberitahukan bahwa kau masih menyayangiku sebagai seorang anak." Aira— *** Upacara bendera siang tengah dilaksanakan untuk penutupan kegiatan M
"Jika malam adalah ketenangan. Biarkan aku menikmatinyadua puluh empat jam penuh tanpa kendala."Aira—***Tepat sasaran. Ayah dan ibu sudah bersidekap di kursi ruang tamu. Memandang tajam ke arahku yang baru saja membuka pintu. Bahkan ayah membanting buku ke meja lalu berdiri. "Kenapa pulang terlambat lag
"Anak adalah harta yang paling berharga bagi orang tua yang baik."Aira—***Ketika membuka mata yang terlihat hanya silau lampu. Yang terdengar suara tetes demi tetes cairan, bahkan saat tangan kiri diangkat rasanya ngilu. Saat mata sempurna terbuka barulah aku tau ini di mana. Rumah sakit. Apa ini nyata? Selama ini jika sakit mana ada aku dibawa ke rumah sakit.
"Saat air mataku jatuh karena kalian, hatiku sama sekali tak punya dendam."Aira—***Aku tersenyum kecut melihat kedatangan ayah dan ibu. Bukan keinginan mereka melainkan atas permintaan kak Andi yang memaksa. Mereka juga membawa buah tangan untukku. Tapi tatapan mereka seolah-olah tak ingin berada di sini. Kak Andi juga seperti mengerti, namun
"Karena kebodohanku orang yang menganggap pun perlahan mulai merenggang."Aira—***Tertutup sejadah dan terlipatnya mukena putih, adalah saksi di setiap aku meminta kepada sang kuasa. Setelah sholat isya ku rebahkan tubuh lemah ini. Menatap langit kamar. Di sana ada bayangan indah masa kecil dan bayangan pahit masa depan. Terdengar riuh di ruang keluarga. Canda tawa atas kerind
"Sesingkat jam yang bergerak dari angka ke angka. Itulah pertemanan kita."Aira—***Setelah mencuci pakaian aku langsung menyapu rumah dan halaman. Saat menyapu rumah kebetulan bersamaan dengan bangunnya anggota keluarga 5A.Mereka sudah berpakaian rapi ala rumahan. Berbeda dengan aku yang masih memakai piyama lusuh dan bau keringat.
"Ternyata perihal dicintai adalah hal langka bagiku."Aira—Mendengar suara itu aku langsung berlari menghampiri. Sebab, yang berada di dapur adalah kak Andi. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Saat sampai betapa terkejutnya, aku melihat piring yang pecah berserakan di bawah bersama nasi. Sedangkan kak Andi malah terdiam dan memandanginya."Kakak gak pa-pa?" Aku langsung melihat tangan kak Andi, yang ternyata telapak tang
"Sebenarnya aku masih bimbang mengapa aku selalu dibedakan?" Aira—***Kak Andi sangat berani menatap ayah sekarang. "Apa pendidikan tinggi menandakan bahwa etika seseorang itu baik? Apakah pendidikan tinggi itu menandakan bahwa dia jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan?" cercah kak Andi naas membuat napas ayah memburu.Ayah menunjuk dada kak Andi. "Kamu tau apa tentang cara me
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann