"Aku juga anakmu, darah dagingmu. Seharusnya jika aku terluka kamu juga sama merasakannya."
Aira-
***
Ridwan membawaku ke toilet dekat gudang yang ibu maksud. Di sini sangat sepi bahkan kotor sekali. Tapi dengan terpaksa aku harus rela membersihkan toilet ini.
Ridwan juga seperti tidak enak hati telah menyuruhku membersihkan toilet rusak ini. Tapi karena suruhan ibu dia terpaksa harus menurut.
"Kamu bersihkan yang ini. Nanti saya kembali, kalo ada apa-apa teriak aja," peringat dia.
Aku memandang keadaan toilet. "Kak Ridwan serius suruh aku bersihin ini?" tanyaku sendu.
"Sebenarnya saya tidak mau menghukum kamu dengan cara ini. Tapi bu Adila yang menyuruh saya," jawabnya.
"Bu Adila pembina osis yang perintahnya harus saya turuti sebagai ketua osis di sini," lanjut Ridwan sambil tersenyum kecut.
Aku ikut tersenyum kecut melihat Ridwan sudah meninggalkan aku sendirian di sini. Hukuman ini memang pantas karena aku sendiri yang sudah membolos.
Dengan perasaan sesak aku mulai melangkah ke dalam untuk segera membersihkan kotoran yang sudah melekat itu.
"Aira. Ayah janji gak akan bikin Aira nangis!"
"Ibu sayang banget sama Aira. Ibu ingin melihat Aira tersenyum setiap saat."
"Aira juga janji bakalan bikin ayah sama ibu bahagia."
"Aira. Kak Ayu juga janji bakalan jagain kamu dari cowok buaya di luar sana."
"Kak Andi juga janji bakalan sayang sama Aira. Gak akan berpaling pokoknya."
"Aira juga janji akan selalu sayang sama kak Ayu dan kak Andi."
Air mataku mengalir deras saat mengingat masa kecil yang begitu manis. Setiap hari semua orang rumah akan memperlakukan aku bak ratu. Jika tangis kecil memenuhi isi rumah, mereka juga ikut panik.
Tapi semuanya hilang saat mereka tau bahwa aku tumbuh menjadi orang yang tak pandai. Hanya kak Andika yang masih peduli padaku, berbeda dengan kak Ayunda yang sama acuh seperti ayah dan ibu.
Dari saat itu aku tak lagi tersenyum lepas hanya senyum kecut yang menjadi penghias hari-hariku.
Aku menangis dalam diam di toilet ini. Tangan memang menyiram untuk membersihkan kotoran, namun pikiranku berkelena memikirkan segala hal yang sudah terjadi.
"Mengapa aku dibedakan?" lirihku pilu.
***
Hujan turun deras membasahi kota Cianjur. Suasana pun berubah menjadi sepi. Para pengendara berbondong-bondong berlindung di tempat teduh.
Pejalan kaki berlarian ke halte bis. Aku ikut di antara mereka. Ibu pulang lebih awal dan meninggalkan aku yang masih membersihkan toilet.
Mungkin jika tadi pulang bersama ibu naik mobil, tidak akan kehujanan seperti sekarang.
Kapan, ya, aku kembali menjadi ratu ayah dan ibu? Ingin sekali rasanya hal itu kembali. Namun sepertinya mustahil karena penyebabnya ada pada diriku yang bodoh.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.36. Itu tandanya ini sudah sore. Lalu aku pulang ke rumah bagaimana? Tak mungkin menerobos hujan deras ini.
Tidak ada transportasi umum yang lewat di sini. Padahal banyak orang tengah menunggu kedatangan bis. Aku takut ayah marah jika pulang larut.
Tapi jika menerobos hujan ... mustahil, pasti aku akan sakit. Kenapa hidup ini begitu serba salah!
Waktu semakin berjalan cepat hingga tak sadar sudah pukul 17.15 tapi hujan masih belum reda.
Tidak ada pilihan lain. Dari pada ayah marah, lebih baik aku pulang dengan menerobos hujan. Urusan nanti jika sakit mungkin aku bisa istirahat cukup dan tidak selalu berkutat dengan rumus yang tak aku pahami.
Akhirnya aku benar-benar berlari menerobos hujan. Perjalanan dari halte dekat sekolah ke rumah lumayan jauh dan akan memakan waktu lama.
Wajah serta mata terasa perih karena air hujan. Bukannya reda, hujan malah semakin deras. Langit juga semakin mendung.
Perjalanan masih jauh dan aku sudah lelah. Di tengah jalan raya yang sepi aku berdiri sendirian sambil menangis.
Aku lemas, dari pagi belum makan. Tapi apa boleh buat ibu melarang aku makan tadi siang karena hukuman darinya belum selesai.
Jika aku hanya beban untuk mereka,
Mengapa Tuhan menakdirkan aku hidup bersama mereka?Aku juga ingin terbang bebas seperti anak pada umumnya. Tapi tidak bisa.
Aku tetap terkurung di ruang hampa para manusia ambisius.
Yang lebih mementingkan konsisten pada waktu dibandingkan peduli pada jiwa yang semakin tersiksa.
Akhirnya aku sampai tepat pukul 19.00. Hujan juga susah reda. Langkah semakin goyah akibat badanku sudah menggigil.
Saat membuka pintu, aku sudah disuguhi ayah dan ibu yang sedang duduk dengan wajah datar. Sebentar lagi rumah ini kembali menjadi saksi atas tangisku.
Aku hanya mampu menunduk saat tatapan ayah dan ibu seolah sedang mengintimidasi. "Maaf! Aira pulang terlambat, karena tadi hujannya gak reda-reda-"
"Alasan aja kamu!" sergah ayah sambil membanting buku.
"Makanya jadi anak itu jangan nakal. Tadi kalo kamu gak dihukum sudah pulang, kan, bersama Ibu." Ibu ikut menimpali ucapan ayah.
Kini mereka sudah berdiri di depanku. Aku terisak kecil yang membuat mereka semakin kesal.
"Mau jadi apa, sih, kamu Aira? Setiap hari cuma bikin ayah sama ibu marah!" bentak ayah.
Aku semakin terisak mendengar perkataan ayah. "Maaf!" Hanya itu yang mampu aku katakan.
"Berapa kali Ibu bilang sama kamu? Contoh kedua kakakmu. Mereka memang selalu pulang larut karena belajar. Sedangkan kamu telat pulang karena dihukum," ujar ibu.
Ayah menunjuk wajahku. "Ibu bilang tadi kamu bolos saat MOS! Kamu ini kenapa Aira? Kamu itu bodoh, otakmu kecil untuk berpikir. Ditambah kamu yang selalu mengeluh saat belajar. Ayah rugi punya kamu!" ujar ayah sedikit meninggikan suara.
Aku perlahan mengangkat wajah. Perkataan ayah barusan membuat hati ini kembali sakit. Aku memang bodoh, otaknya kecil, selalu mengeluh saat belajar, lebih suka mengurung diri, lebih suka membuat puisi dibandingkan belajar matematika, fisika dan kimia. Aku berbeda dari kak Ayu dan kak Andi.
"Kenapa menangis? Kamu memang hanya mampu menyusahkan kami Aira!" bentak ayah.
"Aira juga gak mau jadi orang bodoh dan selalu menyusahkan Ayah sama Ibu," ucapku sendu yang membuat ayah dan ibu semakin memandangku tajam.
"Apa kamu bilang?" Ayah mencekal daguku kuat.
"Ternyata sekarang kamu sudah pintar melawan, ya! Mau jadi apa kamu?" bentak ayah sambil mengempaskanku begitu saja.
Aku menggeleng sambil terisak. "Semakin besar bukannya lebih baik tapi kamu malah lebih buruk, Aira," ucap ibu.
Aku memberanikan diri untuk menoleh kembali pada ayah dan ibu. "Aira tersiksa dengan aturan kalian!" lirihku.
Mata ayah semakin menajam. "Jadi ... kamu gak mau Ayah sama ibu atur? Hah!!" bentak ayah bahkan ingin menamparku.
"Aaa!!" Aku menjerit sambil memalingkan wajah.
Setelah beberapa detik tangan ayah tak kunjung mendarat di pipiku. Perlahan aku menoleh ke arahnya. Ternyata tangan ayah masih menggantung di udara.
"Aira! Kamu sudah keterlaluan!" bentak ibu.
Sedangkan ayah menarik kembali tangannya dan kembali menunjuk wajahku. "Ingat Aira! Jika kamu masih ingin menjadi anak Ayah berarti kamu harus siap dengan aturan Ayah," peringat ayah padaku.
Ayah menunjuk kepala sebelah kiriku. "Otak kecilmu butuh didikkan yang keras." Ayah dan ibu langsung pergi meninggalkan.
Aku hanya mampu memandang kepergian mereka sambil menangis. "Aira sayang sama kalian!" teriakku yang membuat langkah mereka berhenti.
Aku langsung berbalik badan dan berlari ke arah kamar. Aku membuka pintu lalu menutupnya sedikit kasar.
Tubuhku bersandar ke pintu dan perlahan merosot. "Kenapa, sih, aku selalu salah di mata mereka?" Aku menangis pilu.
Aku memeluk kedua lutut berharap dingin yang terasa mereda. Terisak di antara kegelapan malam yang pilu.
Otakku memang tak pandai;
Otakku memang tak pintar;Tapi hatiku tetap sama memiliki nurani;Tetap sama memiliki kelembutan;Ragaku tetap ingin dipeluk;
Jiwaku tetap ingin disayang;Walau semua disayangkan sebab;Kebodohan yang aku miliki."Ayah-ibu. Mengapa aku dibedakan?"
***
Tbc...
"Aku rela memisahkan diri. Dari pada bersama namun terluka."Aira —***Jam beker berbunyi nyaring membangunkanku tepat di pukul 04.00. Walau masih mengantuk tetap terpaksa bangun sebab hari ini jadwalnya aku mencuci baju. Aku duduk di tepi ranjang. Rasanya kepala ini pusing dan badan terasa dingin. Apa karena kemarin sore aku menerobos hujan? Sudahlah! Dari pada kena marah ayah
"Elusan lembutmu dulu, masih membekas di benak. Seakan memberitahukan bahwa kau masih menyayangiku sebagai seorang anak." Aira— *** Upacara bendera siang tengah dilaksanakan untuk penutupan kegiatan M
"Jika malam adalah ketenangan. Biarkan aku menikmatinyadua puluh empat jam penuh tanpa kendala."Aira—***Tepat sasaran. Ayah dan ibu sudah bersidekap di kursi ruang tamu. Memandang tajam ke arahku yang baru saja membuka pintu. Bahkan ayah membanting buku ke meja lalu berdiri. "Kenapa pulang terlambat lag
"Anak adalah harta yang paling berharga bagi orang tua yang baik."Aira—***Ketika membuka mata yang terlihat hanya silau lampu. Yang terdengar suara tetes demi tetes cairan, bahkan saat tangan kiri diangkat rasanya ngilu. Saat mata sempurna terbuka barulah aku tau ini di mana. Rumah sakit. Apa ini nyata? Selama ini jika sakit mana ada aku dibawa ke rumah sakit.
"Saat air mataku jatuh karena kalian, hatiku sama sekali tak punya dendam."Aira—***Aku tersenyum kecut melihat kedatangan ayah dan ibu. Bukan keinginan mereka melainkan atas permintaan kak Andi yang memaksa. Mereka juga membawa buah tangan untukku. Tapi tatapan mereka seolah-olah tak ingin berada di sini. Kak Andi juga seperti mengerti, namun
"Karena kebodohanku orang yang menganggap pun perlahan mulai merenggang."Aira—***Tertutup sejadah dan terlipatnya mukena putih, adalah saksi di setiap aku meminta kepada sang kuasa. Setelah sholat isya ku rebahkan tubuh lemah ini. Menatap langit kamar. Di sana ada bayangan indah masa kecil dan bayangan pahit masa depan. Terdengar riuh di ruang keluarga. Canda tawa atas kerind
"Sesingkat jam yang bergerak dari angka ke angka. Itulah pertemanan kita."Aira—***Setelah mencuci pakaian aku langsung menyapu rumah dan halaman. Saat menyapu rumah kebetulan bersamaan dengan bangunnya anggota keluarga 5A.Mereka sudah berpakaian rapi ala rumahan. Berbeda dengan aku yang masih memakai piyama lusuh dan bau keringat.
"Ternyata perihal dicintai adalah hal langka bagiku."Aira—Mendengar suara itu aku langsung berlari menghampiri. Sebab, yang berada di dapur adalah kak Andi. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Saat sampai betapa terkejutnya, aku melihat piring yang pecah berserakan di bawah bersama nasi. Sedangkan kak Andi malah terdiam dan memandanginya."Kakak gak pa-pa?" Aku langsung melihat tangan kak Andi, yang ternyata telapak tang
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann