"Jika malam adalah ketenangan. Biarkan aku menikmatinya dua puluh empat jam penuh tanpa kendala."
Aira—
***
Tepat sasaran. Ayah dan ibu sudah bersidekap di kursi ruang tamu. Memandang tajam ke arahku yang baru saja membuka pintu.
Bahkan ayah membanting buku ke meja lalu berdiri. "Kenapa pulang terlambat lagi?" tanya ayah dingin.
Aku menunduk takut. "Maaf!"
Giliran ibu yang berdiri. "Kamu lupa pesan ibu tadi pagi, hah?!" bentak ibu.
Aku menggeleng cepat. "Tadi gak ada angkot, Yah-Bu," jawabku pelan.
"Alasan terus! Sampai kapan kamu akan jadi orang disiplin waktu, dan konsisten dalam belajar Aira. Hal kecil saja kamu tidak bisa melakukan dengan benar. Apalagi hal yang memiliki tanggung jawab besar seperti yang dijalankan Ayu dan Andi," ujar ayah kembali membedakanku.
"Siapa suruh kemarin hujan-hujanan. Sekali gak enak badan sedikit kamu lebay! Pingsan sampai berjam-jam," timbrung ibu.
Aku menangis tanpa isakan. Semua yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.
"Ayah pusing menyikapi anak seperti kamu. Cengeng! Sedikit dibentak nangis. Kapan kamu bisa gigih Aira? Contoh Ayunda. Satu kali kalah olimpiade dia terus belajar dan di olimpiade selanjutnya sampai seterusnya dia juara. Kamu apa Aira? Cuma baca buku yang tak ada manfaatnya!" bentak ayah.
"Ibu malu Aira! Dulu saat Ayunda dan Andi sekolah semua orang selalu memuji Ibu sebagai orang tuanya. Sekarang berbeda saat tau kamu bodoh mereka malah bilang Ibu gak bisa mendidik anak bungsunya." Ibu menunjuk wajahku.
Deg
Kalimat ibu dan ayah benar-benar membuat hati ini tersayat. Perkataan ini sudah berulang kali terucap. Bahkan dadaku sangat sesak sekarang.
Tetesan air mata dengan percayanya jatuh ke lantai. Menjadi saksi bisu hari ini.
"Kamu itu selalu menjadi biang masalah keluarga Aira!" bentak ayah.
Aku terkejut dan malah terisak keras. "Aira sakit!" lirihku.
Ayah mengangkat wajahku secara paksa. "Sakit? Kamu pikir Ayah sama Ibu peduli?!" Ayah mengempaskan wajahku begitu saja.
"Akibat kamu pulang telat. Ibu belanja sendiri, bahkan masak berdua sama ayah yang seharusnya sama kamu," ucap ibu tanpa peduli aku yang tersungkur.
"Kamu tau? Satu jam lagi Andi datang sedangkan kamu belum memindahkan semua barang-barang tak berguna itu dari kamar Andi." Ibu menunjukku.
"Aira pindahkan sekarang," lirihku.
"Dasar bodoh! Memang, ya, kamu penghambat semua hal," gumam ayah.
Ayah menarik tanganku paksa agar berdiri. "Ingat Aira! Saat ada Andi jangan pernah kamu ngobrol sama anak kebanggaan ayah. Kamu bodoh hanya akan memberikan efek tidak bagus," ucap ayah menekan.
Aku membisu sambil menatap manik mata ayah. Dengan tangan gemetar aku sentuh kepala yang ayah bilang bodoh.
"Kenapa Aira? Kamu sadar kamu bodoh? Bagus!" ujar ibu dari sampingku.
Bahkan bibir ini kelu untuk berkata. Hanya mampu menangis tanpa dipedulikan siapapun. Bahkan ayah yang seharusnya melindungi kini mungkin berpindah peran menjadi seseorang yang akan selalu menyakiti hati putrinya sendiri.
"Otakmu itu lambat Aira, sedangkan Andi sangatlah berbeda dari kamu. Jadi jangan pernah memberikan pengaruh buruk pada anak kebanggaan ayah." Ayah kembali mengempaskan tanganku.
Tanpa melirik lagi ke belakang, aku berjalan lemas menuju kamar dan segera memindahkan semua barang yang ayah bilang tak berguna.
Kepalaku pusing, tenggorokan sakit, tubuh lemas serta keringat dingin terus mengucur. Aku tidak peduli lebih tepatnya pura-pura baik-baik saja demi tak dimarahi ayah dan ibu.
Berada di kamar luas ini pun adalah permintaan kak Andi pada ayah dan ibu secara paksa. Awalnya ayah dan ibu enggan mengizinkan karena takut aku menghancurkan barang-barang milik ka Andi.
Tapi kak Andi kekeh supaya aku menempati kamarnya dengan alasan supaya kamarnya tak terasa sepi akibat dia tinggalkan.
Siapa yang akan menolak permintaan anak kebanggaan sendiri. Akhirnya lumayan memakan waktu lama ayah dan ibu menyetujui dengan syarat jangan terlalu banyak menyimpan barang di kamar kak Andi.
Aku menurut saja apa kata mereka. Lagian aku ini seperti robot yang akan berjalan jika diperintahkan. Hebat! Emang hebat.
Tak lama semuanya selesai aku bereskan. Kamar kak Andi sudah kembali seperti semula. Kamar dapur pun kembali menjadi kamarku.
Saat aku ingin duduk di ranjang suara mobil terdengar di depan rumah. Bersamaan dengan itu pun riuh bahagia ayah dan ibu terdengar.
Suara yang aku rindukan pun ikut terdengar. "Kak Andi!" gumamku hendak berdiri dan ikut menyambut kedatangannya.
Namun benak ini kembali mengingat perkataan ayah tadi. Langkah kakiku kembali berhenti dan mundur.
Semuanya adalah kehidupan semu dan pilu. Mengukung kebahagiaan yang seharusnya aku dapatkan.
Daripada kemarahan ayah berlanjut lebih baik aku duduk di meja belajar bukan untuk belajar melainkan membuat kata perkata untuk menghilangkan pelipur lara ini.
S elembut sutra mengelus
E nggan hilang walau hal sepeleM emberi kenyamanan di kegelapan malamU niknya semua tak nyata, hanya sebuah halu penghias tidurku.Aku tersenyum kecut melihat puisi akrostik yang baru saja kubuat. Puisi ini baru ku pelajari tadi malam. Lumayan susah, tapi saat hati gundah puisi ini sangatlah mudah dibuat.
"Aira!" Aku membisu saat mendengar suara itu.
Tubuh pun seakan mati rasa. Sebenarnya kerinduan ini sangat besar, namun ucapan ayah seakan menjadi penghalang semuanya.
Bahkan sekedar melirik pun enggan. Mungkin akan timbul banyak pertanyaan di benak kak Andi. Mengapa aku tak menyambut?
Derap langkah kak Andi semakin dekat dengan posisiku. "Aira?" panggil kak Andi kembali.
Aku tetap diam dan berpura-pura sibuk. "Aira! Kak Andi pulang." Tangan kak Andi sudah ada di pundakku.
Aku semakin tegang. Namun berusaha untuk tidak menoleh dan mangacuhkan kak Andi.
"Aira!" Kak Andi menarik aku untuk berdiri.
Kami saling berhadapan sekarang. Kak Andi terus menatapku heran, sedangkan aku menunduk tak mau menatapnya.
"Kamu kenapa gak nyambut kedatangan Kakak? Bahkan Kakak panggil kamu malah acuh. Kenapa juga kamu balik ke kamar ini?" cerca kak Andi.
Aku tetap diam dan menunduk.
"Aira kamu bisu?" bentak kak Andi mengguncang pundakku.
Perlahan ku angkat kepala. Air mata pun luruh begitu saja. "Ai-ra bi-su Kak!" lirihku.
Kak Andi terkejut dengan responku. "Kamu kenapa Aira?" tanya kak Andi sambil menggeleng.
Aku menggelengkan kepala cepat. "Aira gak pa-pa!"
"Jangan pura-pura, Ra!" sergah kak Andi.
"Aira biasa diginiin, kan, Kak?" tanyaku pilu.
"Apa karena ayah sama ibu lagi?"
"Bukan salah mereka. Tapi salah Aira kenapa harus hidup ke dunia?!"
Kak Andi menggeleng. "Jangan pernah ngomong yang nggak-nggak, Ra!"
Kepalaku semakin pusing. "Aira butuh waktu sendiri!"
"Gak selamanya kamu memendam semua sendirian, Ra," ujar kak Andi.
"Lalu siapa yang mau aku ajak cerita, Kak?" tanyaku pilu.
Kak Andi menunjuk dirinya sendiri. "Lalu peran aku sebagai kakak apa? Bukannya aku harus lindungi kamu karena kamu adik aku!"
"Tapi kita beda, Kak," ucapku yang dibalas gelengan kak Andi.
"Kita sama anak ayah dan ibu."
"Status kita sama! Tapi kata ayah dan ibu aku sama kak Andi beda," ucapku mengakhiri.
Kak Andi terdiam sejenak. Matanya terlihat berkaca-kaca. Kak Andi memang sangat menyayangiku dari kecil. Tak pernah membedakan seperti halnya ibu dan ayah serta kak Ayu.
"Kakak sayang sama kamu, Ra!" Kak Andi memelukku.
Pelukkan hangat kak Andi 'lah sumber penenang saat aku merasa sedih. Namun, semua tak bisa kulakukan secara bebas, karena larangan ayah serta ibu.
Sebenarnya aku sudah lemas berbicara. Sudah ku jelaskan, kan, bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.
Akh! Mungkin sekarang kondisinya semakin parah hingga aku tak mampu lagi menjawab perkataan kak Andi.
"Ra! Kita itu sodara kandung. Kamu sakit Kakak juga ikut sakit." Tak ada lagi perkataan setelahnya.
Ku tebak kak Andi tengah heran mengapa tak ada pergerakan dalam pelukkannya. Kalian tau … aku mimisan. Entahlah mungkin karena demam tinggi?
Aku masih memiliki kesadaran walau tak sepenuhnya. Kak Andi menguraikan pelukkan dan terkejut melihat kondisiku.
"Ra! Kamu sakit?" Kak Andi menyentuh keningku.
"Astaga! Badan kamu panas, Ra!" teriak kak Andi panik.
Setelah itu aku tidak tau apa yang terjadi. Semua hilang dari pandangan mata. Semua hilang dari ingatan … aku pingsan.
Semuanya berbeda. Saat kak Ayu atau kak Andi sakit, ayah dan ibu akan panik tak karuan. Tapi jika aku sakit ayah dan ibu sama sekali tidak peduli. Hanya sekedar berkata, "Istirahat aja nanti juga sembuh." Ya! Istirahat. Tapi kapan?
"Mengapa aku dibedakan?"
***
"Anak adalah harta yang paling berharga bagi orang tua yang baik."Aira—***Ketika membuka mata yang terlihat hanya silau lampu. Yang terdengar suara tetes demi tetes cairan, bahkan saat tangan kiri diangkat rasanya ngilu. Saat mata sempurna terbuka barulah aku tau ini di mana. Rumah sakit. Apa ini nyata? Selama ini jika sakit mana ada aku dibawa ke rumah sakit.
"Saat air mataku jatuh karena kalian, hatiku sama sekali tak punya dendam."Aira—***Aku tersenyum kecut melihat kedatangan ayah dan ibu. Bukan keinginan mereka melainkan atas permintaan kak Andi yang memaksa. Mereka juga membawa buah tangan untukku. Tapi tatapan mereka seolah-olah tak ingin berada di sini. Kak Andi juga seperti mengerti, namun
"Karena kebodohanku orang yang menganggap pun perlahan mulai merenggang."Aira—***Tertutup sejadah dan terlipatnya mukena putih, adalah saksi di setiap aku meminta kepada sang kuasa. Setelah sholat isya ku rebahkan tubuh lemah ini. Menatap langit kamar. Di sana ada bayangan indah masa kecil dan bayangan pahit masa depan. Terdengar riuh di ruang keluarga. Canda tawa atas kerind
"Sesingkat jam yang bergerak dari angka ke angka. Itulah pertemanan kita."Aira—***Setelah mencuci pakaian aku langsung menyapu rumah dan halaman. Saat menyapu rumah kebetulan bersamaan dengan bangunnya anggota keluarga 5A.Mereka sudah berpakaian rapi ala rumahan. Berbeda dengan aku yang masih memakai piyama lusuh dan bau keringat.
"Ternyata perihal dicintai adalah hal langka bagiku."Aira—Mendengar suara itu aku langsung berlari menghampiri. Sebab, yang berada di dapur adalah kak Andi. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Saat sampai betapa terkejutnya, aku melihat piring yang pecah berserakan di bawah bersama nasi. Sedangkan kak Andi malah terdiam dan memandanginya."Kakak gak pa-pa?" Aku langsung melihat tangan kak Andi, yang ternyata telapak tang
"Sebenarnya aku masih bimbang mengapa aku selalu dibedakan?" Aira—***Kak Andi sangat berani menatap ayah sekarang. "Apa pendidikan tinggi menandakan bahwa etika seseorang itu baik? Apakah pendidikan tinggi itu menandakan bahwa dia jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan?" cercah kak Andi naas membuat napas ayah memburu.Ayah menunjuk dada kak Andi. "Kamu tau apa tentang cara me
"Sebenarnya tidak perlu menjadi pintar untuk bisa jadi orang baik."Andika—***<POV 3>°°°°Malam ini rasanya menjadi malam paling kelam. Hari minggu yang seharusnya menjadi kegembiraan bagi Aira, malah menjadi mala petaka. &
"Sembilu yang tak nyata menyayat qalbu tanpa iba."Aira—***Tepat jam enam pagi suara kunci kamar dibuka. Aira yang sudah siap siaga menerima kelamnya pagi ini. Bahkan deheman ayah telah membuat darah-darah Aira berdasir hebat serta jantungnya berpacu kencang. Menghela napas panjang sambil membawa setumpuk buku dari ayah malam tadi. Seharian penuh Aira menahan lapar dan haus, semalaman pun tak mampu mengerjakan
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann