Home / Fiksi Remaja / Aira's / 02.Aira's

Share

02.Aira's

Author: Siskayan
last update Last Updated: 2021-09-16 12:53:07

"Bukan orang lain saja yang bisa dibanggakan, aku juga."

Aira

***

SMA Nusa Bakti. Dikenal dengan pendidikannya yang bagus dan pengajaran yang sangat extra. Tak heran alumni sekolah ini banyak yang menyandang gelar sarjana dengan beasiswa kuliah di luar kota bahkan negeri.

Penghuni SMA ini adalah manusia pintar dan jenius nan ambisius. Walau ambis, tapi tidak memiliki suasana tegang. Mereka tetap sama seperti anak sekolah pada umumnya. Bermain saat jam istirahat, jajan, bahkan bersikap konyol. 

Aku sendiri bingung dengan suasana sekolah ini. Pasalnya mereka semua anak-anak pintar sedangkan aku bodoh.

Lalu siapa yang harus ku ajak kenalan lebih dulu. "Bingung!"

Masa orientasi sekolah ini seperti penjara bagiku. Semuanya serba diatur osis, bahkan makan, jajan, dan bersikap pun mereka atur sedemikian rupa. Makanya tak aneh jika anak-anak di sini memiliki jiwa konsisten yang tinggi.

Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan tersenyum simpul ke arah dia. "Indro!" Dia sahabatku sejak kecil dengan sikap dan otak yang jauh berbeda.

Indro itu gendut, berkacamata, perutnya buncit. Tapi tampan menurut aku.

"Kenapa dilihat doang? Gak diajak kenalan?" tanya Indro heran.

Aku mengangkat bahu acuh. "Aku takut gak bisa beradaptasi sama mereka. Kamu juga tau aku ini bodoh dalam hal apapun," ucapku sambil duduk di bangku sekolah.

Indro ikut duduk bersama. "Kata siapa kamu bodoh? Kamu itu pintar cuma … pasion kamu belum ketemu," ucap Indro yang tidak akan jauh dari perkataan sebelumnya.

"Kenapa kamu selalu ngomong gitu?"

Indro malah mengangkat bahu acuh. "Gak tau? Tapi menurut aku kamu memang belum menemukan jati diri kamu sendiri. Kamu masih mengikuti apa kata orang lain," katanya.

Aku menatap Indro. "Selama ini aku selalu mengikuti apa kata ayah sama ibu. Mereka, kan, bukan orang lain?" Kalian, kan, tau aku ini telat dalam berpikir. Makanya saat Indro berbicara seperti itu otak ini malah beku.

Indro memejamkan matanya sebentar. "Mereka jelas bukan orang lain. Tapi maksud aku itu … kamu harus ikuti apa kata hati kamu sendiri bukan orang tua apalagi orang lain." Aku baru mengerti sekarang.

Aku memandang ke arah lain. "Dari dulu kamu, kan, tau. Ayah sama ibu selalu memaksa aku untuk jadi anak pintar seperti kak Ayu dan kak Andi. Tapi aku tetap gak bisa, In," ucapku sendu.

Ekspresi wajah Indro seperti tau apa yang sedang aku rasakan. "Tapi apa kamu bahagia?" tanya Indro.

Aku spontan menoleh dan menggeleng lirih. "Siapa yang akan bahagia jika setiap hari selalu dibandingkan dengan kakak sendiri, In!"

Indro menepuk bahuku. "Sebenarnya orang tua kamu terlalu ambis. Ditambah dengan profesi mereka yang selalu dituntut konsisten dalam hal belajar," jelas Indro.

"Setiap orang menurut aku punya bakatnya masing-masing, Ra. Mungkin aku pintar di bidang akademik. Tapi aku bodoh dalam bidang non akademik, Ra. Kesimpulannya setiap orang itu punya pasionnya masing-masing."

Aku masih tak habis pikir pada Indro. Mengapa dia selalu menyangkal bahwa aku ini bukan bodoh, hanya saja aku belum menemukan jati diri.

Apa mungkin itu memang benar?

Hampir setiap hari aku selalu mendengar kata 'bodoh' terlontar lancar dari mulut ayah dan ibu. Mereka seakan menganggap aku ini salah satu baterai yang habis di antara empat baterai yang masih memiliki daya maksimal. Jika satu jari terputus keindahan itu akan hilang.

Indro pun hanya mampu tersenyum simpul saat melihat aku meneteskan air mata. Aku ini hidup di lingkungan bebas namun terperangkap di dalam ruang hampa tak terlihat.

"Aira! Aku permisi ke toilet dulu, ya," pamit Indro lantas aku mengangguk.

Indro pergi aku berdiri. Aku berjalan menyusuri ruang hampa ini. Tetesan air mata membasahi setiap langkahku.

"Kapan aku akan menjadi ratu ayah dan ibu?" Lantas lidah ini berucap saat melihat ibu lebih banyak menebar senyum manisnya pada orang lain dibandingkan aku.

Aku melihat name tag ruangan yang baru saja memperlihatkan ibu dan satu orang siswa— ketua osis.

Ruang lab.

Samar-samar percakapan mereka terdengar. "Ridwan! Untuk latihan soal hari ini sudah cukup. Ibu lanjut besok dengan soal yang mungkin lebih banyak keluar di olimpiade bulan depan." Jadi ibu sedang membimbing dia rupanya.

Tapi mengapa saat di rumah, ibu hanya memberi aku soal tanpa memberitahukan maksud dari semua itu.

Aku tersenyum kecut. Aku menunduk lemah-semuanya hampa. Aku tidak punya kebahagiaan sama sekali, bahkan jika belum menyelesaikan soal dari ayah dan ibu belum diperbolehkan untuk makan.

Aku melihat ibu pergi meninggalkan Ridwan. Aku tetap berdiri di tempat sambil memperhatikan mereka. Tak lama kemudian Ridwan melihat keberadaan aku. Dia terkejut bahkan langsung menatap seperti orang yang bersalah.

Kepalaku mengangguk pada Ridwan untuk sekedar menghormati sebagai— ketua osis dan kakak kelas.

Aku melewati Ridwan begitu saja. Hati ini sangat sakit melihat orang lain lebih akrab dengan orang yang seharusnya lebih akrab denganku.

"Sebenarnya aku anak siapa? Berbeda sendiri bahkan selalu dibedakan." Bibir keluh ini terus bergumam sepanjang langkah.

Saat pulang sekolah aku diberi jatah makan sedikit, setelah itu harus mengerjakan soal latihan dari ayah dan ibu. Setelah selesai baru jatah makan kembali normal.

Normal ketika aku berhasil mendapatkan nilai 10. Jika kurang jatah makan juga ikut kurang.

Sepertinya jalan hidupku diatur oleh nilai ulangan, bukan keinginan.

Langkahku berbelok ke dalam perpustakaan. Aku mungkin bisa lebih tenang di tempat hening itu. Hari ini aku ingin membolos, tidak mengikuti kegiatan MOS lagi.

Capek? Iya capek! Aku ingin berhenti berlari dan dikejar. Aku ingin beristirahat dan berjalan sesuai keinginan sendiri.

Mungkin jika aku pintar ayah dan ibu akan memberikan ruang kebebasan sama halnya seperti kak Ayunda dan kak Andika.

Di perpustakaan ini sepi sekali. Hanya ada lima orang termasuk aku. Menyusuri rak-rak buku yang berderet rapi.

Tidak ada buku yang aku sukai. Semua tentang rumus yang tidak aku mengerti. Akhirnya aku hanya bisa berjalan sambil menunduk sampai tragedi pun terjadi.

Aku menabrak seorang siswi— kakak kelas. Terkejut? Pasti! Aku juga langsung mengambil buku yang sudah berjatuhan itu.

"Ya ampun, Kak! Maaf! Saya gak sengaja," pintaku.

Dia malah tersenyum dan mengambil bukunya. "Gak pa-pa, kok. Kamu emang lagi cari buku apa?"

Aku menggeleng. "Enggak, kok. Aku cuma gak tau harus ngapain?" jelasku.

Dia menatap penampilanku dari atas sampai bawah. "Kamu peserta MOS?"

Aku mengangguk ragu dan dia terlihat heran. "Bukannya MOS udah dimulai lagi dari tadi. Tapi kamu masih di sini," ujarnya.

Aku gelagapan dan bingung harus beralasan apa. "Anu … aku gak tau, Kak. Kalo gitu aku permisi." Lebih baik berlari untuk menghindari pertanyaan selanjutnya.

Sudah sedikit lega, namun kembali merasa sesak dari sebelumnya. Saat ingin keluar pintu aku menabrak ibu yang hendak masuk.

Kami saling memandang. "Jadi kamu di sini?" tanya ibu ketus.

"Maaf, Bu!" lirihku sambil menunduk.

Ibu langsung membawa aku ke tempat yang lebih sepi. Ibu mengempaskan tanganku kuat. "Mau jadi apa kamu, Aira?" desis ibu.

Aku tetap menunduk sambil menahan isak tangis.

"Acara MOS belum dimulai karena kamu belum datang. Kamu mau mempermalukan ibu di sini? Hah! Ibu sekolahin kamu di sini supaya otak kamu pintar dan gak bodoh selamanya," ucap ibu sedikit merendahkan nada suaranya.

Akhirnya aku terisak. "Aira cuma pengen istirahat, Bu," jawabku.

Ibu melotot. "Istirahat? Kalo memang kamu ingin istirahat ubah otak kamu jadi pintar." Ibu langsung membawa aku.

"Ikut!" Ibu terus menarik pergelangan tanganku.

"Bu sakit!" ringisku.

"Diam!" Ternyata ibu membawa aku ke tengah lapangan, berdiri di antara peserta MOS dan para Osis.

"Ridwan hukum anak ini! Dia nakal," ucap ibu pada Ridwan— ketua osis.

Ridwan seperti ragu, namun karena ibu ini pembina Osis terpaksa Ridwan menurut. "Baik, Bu!"

Aku menggeleng sambil menangis. "Bu … Aira minta maaf," lirihku.

Ibu malah menghiraukanku. "Ridwan! Wc dekat gudang sudah lama tak dibersihkan. Jadi biar Aira bersihkan sebagai hukuman," perintah ibu yang membuat Ridwan dan anggota Osis lainnya terkejut.

"Tapi Bu … wc itu, kan sudah rusak," ucap Ridwan.

"Rusak karena tak terawat." Aku pasrah, semuanya memang harus seperti ini selamanya.

Ridwan mengangguk sambil melihat aku yang menangis. Aku memalingkan wajah tepat ke arah Indro. Indro menangis melihatku, namun berusaha tersenyum menguatkan.

Mengapa aku dibedakan?

***

Tbc

Related chapters

  • Aira's    03. Aira's

    "Aku juga anakmu, darah dagingmu. Seharusnya jika aku terluka kamu juga sama merasakannya."Aira-***Ridwan membawaku ke toilet dekat gudang yang ibu maksud. Di sini sangat sepi bahkan kotor sekali. Tapi dengan terpaksa aku harus rela membersihkan toilet ini. Ridwan juga seperti tidak enak hati telah menyuruhku membersihkan toilet rusak ini. Tapi kar

    Last Updated : 2021-09-16
  • Aira's    04. Aira's

    "Aku rela memisahkan diri. Dari pada bersama namun terluka."Aira —***Jam beker berbunyi nyaring membangunkanku tepat di pukul 04.00. Walau masih mengantuk tetap terpaksa bangun sebab hari ini jadwalnya aku mencuci baju. Aku duduk di tepi ranjang. Rasanya kepala ini pusing dan badan terasa dingin. Apa karena kemarin sore aku menerobos hujan? Sudahlah! Dari pada kena marah ayah

    Last Updated : 2021-09-16
  • Aira's    05. Aira's

    "Elusan lembutmu dulu, masih membekas di benak. Seakan memberitahukan bahwa kau masih menyayangiku sebagai seorang anak." Aira— *** Upacara bendera siang tengah dilaksanakan untuk penutupan kegiatan M

    Last Updated : 2021-09-19
  • Aira's    06. Aira's

    "Jika malam adalah ketenangan. Biarkan aku menikmatinyadua puluh empat jam penuh tanpa kendala."Aira—***Tepat sasaran. Ayah dan ibu sudah bersidekap di kursi ruang tamu. Memandang tajam ke arahku yang baru saja membuka pintu. Bahkan ayah membanting buku ke meja lalu berdiri. "Kenapa pulang terlambat lag

    Last Updated : 2021-09-21
  • Aira's    07. Aira's

    "Anak adalah harta yang paling berharga bagi orang tua yang baik."Aira—***Ketika membuka mata yang terlihat hanya silau lampu. Yang terdengar suara tetes demi tetes cairan, bahkan saat tangan kiri diangkat rasanya ngilu. Saat mata sempurna terbuka barulah aku tau ini di mana. Rumah sakit. Apa ini nyata? Selama ini jika sakit mana ada aku dibawa ke rumah sakit.

    Last Updated : 2021-09-23
  • Aira's    08. Aira's

    "Saat air mataku jatuh karena kalian, hatiku sama sekali tak punya dendam."Aira—***Aku tersenyum kecut melihat kedatangan ayah dan ibu. Bukan keinginan mereka melainkan atas permintaan kak Andi yang memaksa. Mereka juga membawa buah tangan untukku. Tapi tatapan mereka seolah-olah tak ingin berada di sini. Kak Andi juga seperti mengerti, namun

    Last Updated : 2021-09-26
  • Aira's    09. Aira's

    "Karena kebodohanku orang yang menganggap pun perlahan mulai merenggang."Aira—***Tertutup sejadah dan terlipatnya mukena putih, adalah saksi di setiap aku meminta kepada sang kuasa. Setelah sholat isya ku rebahkan tubuh lemah ini. Menatap langit kamar. Di sana ada bayangan indah masa kecil dan bayangan pahit masa depan. Terdengar riuh di ruang keluarga. Canda tawa atas kerind

    Last Updated : 2021-09-28
  • Aira's    10. Aira's

    "Sesingkat jam yang bergerak dari angka ke angka. Itulah pertemanan kita."Aira—***Setelah mencuci pakaian aku langsung menyapu rumah dan halaman. Saat menyapu rumah kebetulan bersamaan dengan bangunnya anggota keluarga 5A.Mereka sudah berpakaian rapi ala rumahan. Berbeda dengan aku yang masih memakai piyama lusuh dan bau keringat.

    Last Updated : 2021-10-09

Latest chapter

  • Aira's    71. Aira's (Ending)

    Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d

  • Aira's    70. Aira's

    Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu

  • Aira's    69. Aira's

    “Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit

  • Aira's    68. Aira's

    Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam

  • Aira's    67. Aira's

    “Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad

  • Aira's    66. Aira's

    “Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?

  • Aira's    65. Aira's

    “Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang

  • Aira's    64.Aira's

    “Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb

  • Aira's    63.Aira's

    “Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann

DMCA.com Protection Status