"Hati-hati jalannya Pak Restu. Di sana ada tanjakan," Keira yang sedari tadi menunggu-nunggu kepulangan ayah Restu, langsung bersujud syukur. Akhirnya hari yang ia tunggu-tunggu tiba juga. Rasa haru menyesakkan dadanya, saat kembali bisa melihat ayah Restu setelah sebulan lebih ayah Restu ada dibalik jeruji besi. Hanya saja ia sedikit heran saat melihat ayah Restu keluar dari mobil Rasya, dan bukan mobil Om Bima. Rasya jugalah yang memapah ayah Restu. Mengapa Rasya ada di antara ayah Restu dan Om Bima? Padahal pengacara ayah Restu kan Om Bima.
"Iya, saya tahu. Saya ini cuma stroke, Anak Muda, bukan buta." Keira menangis lega saat mendengar omelan ayah Restu pada Rasya. Kalau ayah Restu sudah bisa mengomeli orang seperti ini, itu artinya keadaannya baik-baik saja. Walaupun cara berbicara ayah Restu agak aneh karena strokenya, namun masih dapat dimengerti. Alhamdullilah.
"Selamat siang, Yah. Ah, akhirnya Ayah pulan
"Ini, kamu pelajari dulu duplik kita untuk menjawab replik dari Panji senin mendatang," Keira menerima berkas yang diangsurkan Rasya. Saat ini ia sedang mengisi perutnya di kantin rumah sakit. Saking buru-burunya berangkat, ia tadi sampai melupakan bekalnya. "Saya boleh duduk di sini kan?" tanya Rasya seraya menarik sebuah kursi di depannya."Tentu saja boleh. Kantin ini kan bukan milik saya," sahut Keira datar. Ia memang bersikap pura-pura acuh. Padahal sebenarnya jantungnya tengah Senam Kesegaran Jasmani saking girangnya."Iya saya tahu. Kantin ini memang bukan milik kamu. Saya lah yang milik kamu. Permanen dan tetap. Alias tidak biaa diganggu gugat," balas Rasya tak kalah datar. Namun ada tawa jahil di bola mata hitamnya. Kantin memang sedikit ramai. Pa
Dan di sinilah sekarang ia berada. Duduk bersila di atas tikar, berbaur dengan keluarga para pengunjung tahanan yang ingin menjenguk orang-orang terkasihnya. Dari supermarket tadi ia memang langsung ke LP. Ia sudah tidak sabar untuk mengorek keterangan dari mulut Keisha. Demi Tuhan, adik kembarnya ternyata sanggup penyimpan rahasia sebesar itu. Ia melirik pergelangan tangannya. Lima belas menit telah berlalu. Namun batang hidung Keisha belum juga terlihat. Padahal sekitar satu jam lagi, waktu berkunjung akan habis. Keira semakin gelisah. Berbagai macam dugaan singgah di kepalanya. Apakah adik kembarnya itu sakit? Atau Keisha memang sengaja tidak ingin menemuinya? Jangan-jangan Pandu sudah terlebih dahulu memperingatkan adik kembarnya ini untuk menghindarinya. Ya siapa tahu bukan?Demi membunuh waktu, Keira memilih untuk berseluncur di dunia maya. Keningnya berkerut saat melihat postingan IG Rasya sekitar satu jam lalu. Rasya memposting photo siluet dirinya
"Gu-gue balik dulu ya, Sa. Ntar kalo ada waktu luang gue ke sini lagi. Gue ada bawa minyak gosok untuk lo. Tapi gue titip ke petugas karena harus diperiksa dulu," tanpa menunggu jawaban dari Keisha, Keira buru-buru beringsut dari tikar. Ia harus memburu waktu. Dhira dalam bahaya."Ada apaan, Ra? Mbak Ani bilang apa? Kok lo tiba-tiba ketakutan gitu?" Keisha ikut berdiri. "Apa terjadi sesuatu sama ayah? Atau ibu?" Kecemasan kini membayangi raut wajah Keisha.Keisha sebaiknya tidak perlu tahu. Ia sedang sakit dan sudah punya banyak sekali masalah."Nggak apa-apa," Keira menggelengkan kepalanya. "Susu Dhira habis. Gue cabut dulu.""Ya udah. Ehm, kalo lo sempet, sekali-sekali bawa Praja ke sini. Gue... gue... kangen. Satu hal lagi, gue harap lo bisa merahasiakan soal Pandu dan Praja. Gue kepengen menjelaskan sendiri masalah gue pada semuanya saat gue bebas nanti," Keira hanya mengangguk dan bu
Keira mencari-cari nomor apartemen yang sesuai dengan SMS Keisha. 2120, 2121, 2122 dan 2123! Ini dia, apartemen Pandu. Sebenarnya ia ogah harus mendatangi apartemen seorang laki-laki seperti ini. Tetapi ia harus! Ia akan memenangkan pertempuran ini dengan caranya sendiri. Win win solution. Ia mendapatkan Dhira dan Pandu mendapatkan Praja. Ia punya tawaran menarik untuk kakak iparnya ini. Satu hal yang membuatnya merasa di atas angin adalah ia sudah mengantongi kartu AS Pandu. Semua rahasia kakak iparnya itu kini ada di tangannya. Setelah memastikan bahwa nomor itu cocok dengan nomor yang dicarinya, Keira menekan bell. Pintu terbuka. Wajah seperti tidak percaya Pandu lah yang menyambut kehadirannya."Selamat sore Mas Pandu," sapa Keira kalem."So--sore, Ra. Dari mana kamu tahu kalau saya ada di sini?" tanya Pandu gugup. Ekspresi wajahnya tegang dan cara berdirinya juga tidak tenang. Pandu bahkan langsung merapatkan daun pintu di be
Rasya merasa aneh saat ada satu chat masuk ke ponsel pribadinya. Aneh karena identitas chat itu tidak ada dalam daftar kontaknya. Hanya berupa nomor asing. Ia selalu memisahkan antara masalah pekerjaan dengan kehidupan pribadinya. Makanya ia menggunakan dua ponsel. Satu ponsel yang ia sebut dengan ponsel umum, dan yang satunya lagi ponsel pribadi. Ia tidak heran apabila ponsel umumnya dikirimi chat macam-macam dari seribu satu manusia. Sudah bukan hal aneh lagi jikalau ponsel umumnya sering dibanjiri dengan berbagai macam pesan. Mulai dari masalah pekerjaan resmi, teror-teror bernada ancaman, para komunitas penggalangan dana, bahkan sampai chat sex pun hampir setiap hari ia terima.Biasanya ia santai saja membaca segala pesan-pesan yang masuk tiada hentinya itu. Ia sadar, setelah nomor ponselnya go public, itu artinya ia juga sudah menjadi milik public. Jadi ia harus siap dengan segala konsekue
Suara-suara berisik dari arah ruang tamu, seketika membuat Rasya waspada. Sepertinya Keira sudah tiba dan mengalami sedikit insiden di luar sana. Refleks, ia bangkit. Bermaksud menyusul keluar. Hanya saja gelengan kepala Om Raga membuatnya terpaksa mengurungkan niatnya. Bagaimana pun ia hanyalah tamu di rumah ini. Lagi pula ia sadar, tidak mungkin Om Raga diam saja kalau Keira sampai kenapa-kenapa. Keira 'kan putri kandungnya. Ia tahu, pasti Om Raga punya rencana lain. Si Om ini memang suka memberi kejutan. Diam namun memperhatikan. Orang yang seperti inilah sesungguhnya yang berbahaya daripada orang yang banyak omongnya. Karena dalam diamnya sesorang, biasanya mereka sedang menyiapkan strategi. Sebaiknya ia ikuti saja permainan Om Raga ini."Kamu tidak usah mengkhawatirkan Keira, Sya. Percayalah, ia mampu membela dirinya sendiri," Rasya melihat Om Raga meraih remote dan menekan-nekan beberapa nomor. Sampai akhirnya si om menghentikannya pada layar yang ia
"Sebaiknya kita pindah ke ruang kerja saya saja, Rasya, Keira." Raga merasa tidak akan mudah bagi mereka berdua untuk memperoleh jawaban dari Keira. Pembicaraan mereka pasti akan berlangsung alot mengingat betapa kerasnya sifat Keira. Tanpa banyak bicara Keira dan Rasya mengekori langkah Raga. Ketika tiba di dalam ruang kerjanya, seperti biasa Raga menempati kursi kebesarannya. Sementara Rasya dan Keira lebih memilih duduk di sofa dalam posisi saling berhadap-hadapan. Keira jadi merasa seolah-olah sedang menjalani persidangan sungguhan. Ia terdakwanya, Rasya jaksanya dan papanya hakimnya."Baiklah. Saya sederhanakan saja pertanyaan saya. Ada keperluan apa kamu di apartemen, Pandu?" Rasya mengeja kalimatnya lamat-lamat. Tatapannya sengaja ia fokuskan pada kedua mata indah yang kini terlihat gelisah. Keira menatap ke segala arah, kecuali padanya."Apakah jawabannya ada di plafon rumah dan lukisan kuda yang sedari tadi kamu pandangi, Ra?" sar
Semalaman Keira tidak bisa memejamkan matanya sepicing pun. Benaknya dipenuhi dengan potongan adegan demi adegan perselisihannya dengan Rasya. Setelah cukup dekat dengan Rasya, ini adalah kali pertama mereka berselisih paham. Dan ternyata rasanya begitu tidak nyaman. Mirip dengan rasa gatal yang tidak bisa ia garuk. Intinya sangat menyiksa! Suara tangisan lirih yang kian lama kian melengking mengalihkan perhatiannya. Dhira sudah bangun rupanya. Keriuhan yang disebabkan terbangunnya malaikat kecilnya ini menyita seluruh perhatiannya. Ia jadi bisa sedikit melupakan kegundahan hatinya."Wah, anak Bunda sudah bangun rupanya. Bangun-bangun kok malah nangis? Mau mimik susu ya?" Keira mengajak Dhira mengobrol. Dan pertanyaannya hanya dijawab dengan suara ocehan khas bayi berusia tiga bulan. Sepertinya Dhira haus dan meminta jatah ASInya. Keira melirik jam dinding. Pukul enam lewat lima menit. Ini memang j