"Mas Dewa, Kamu di dalam?" Gedoran pintu yang cukup keras dari Liana menyadarkanku. Sontak aku mendorong dada Mas Dewa yang nyaris menempel denganku, hingga tubuhnya terhempas ke atas tempat tidur. "Zahra ...! Apa-apaan, sih?" umpat Mas Dewa seraya berusaha bangkit dari tempat tidur sambil memegang pinggangnya. Gegas aku membuka pintu hendak keluar sebelum pria di hadapanku ini kembali mendekatiku. "Hei, kamu juga di dalam? Ngapain berduaan sama suamiku?" Aku terlonjak saat membuka pintu, melihat Liana berkacak pinggang berdiri di hadapanku. "Dasar perempuan aneh. Ngakunya pintar, tapi otak sedikit!" gerutuku. "Ngomong apa kamu?" ketusnya lagi dengan bola mata yang hampir saja keluar dari tempatnya. "Pikir dong pakai otak, Mas Dewa itu sampai sekarang masih suami Aku. Kami sah melakukan apa aja. Pastinya tanpa digerebek oleh warga!" tegasku dengan emosi yang meluap-luap. Liana semakin emosi oleh sindiranku. Kilatan amarah jelas terlihat di matanya. "Maaass, kamu jangan diem
Aku dan Mas Dewa keluar dari kamar ibu. Ternyata Liana sudah berdiri di pintu sejak tadi. Tentunya dia mendengat percakapan kami tadi Aku tak menghiraukan istri muda suamiku itu dan terus berjalan melewatinya tanpa menyapa. Ternyata Mas Dewa melakukan hal yang sama. "Mas ... kamu kenapa, sih? Sejak semalam terus menghindar dariku?" "Sudah, aku sedang tak ingin debat. Sudah siang. Mulai hari ini aku minta rawat ibu dengan baik. Aku pergi dulu." Seperti biasa, Liana yang manja itu masuk ke kamar sambil menghentak-hentakkan kakinya dan diakhiri dengan membanting pintu kamar. Hufff ...! Drama lagi! Aku kembali melihat aplikasi taksi onlineku, ternyata taksi yang aku pesan dengan alamat tujuan sesuai yang diberikan Ivan, sudah dekat. Bergegas aku melangkah ke depan gerbang. "Zahra, tunggu! Ayo aku antar. Aku ingin tau di mana kamu kerja." Mas Dewa berlari kecil menghampiriku. Aku menggeleng. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online." Aku pamit tanpa menoleh lagi padanya.
"Selamat Pagi Pak Dewa, perkenalkan karyawan baru kita bernama Mbak Zahra Fatma. Menurut Pak Devan, untuk sementara Mbak Zahra menggantikan Mbak Liana sebagai sekretaris di sini." Mata Mas Dewa membelalak. "Apaa? Zahra?" Spontan Mas Dewa menyebut namaku. "Oh, Pak Dewa sudah kenal?" "B-belum, belum, kok. Mari, silakan duduk!" Mas Dewa gugup, sama sepertilku. Pantas saja aku merasa tidak asing ketika mendengar nama perusahaan Giant House ini. Sepertinya beberapa kali aku pernah membaca tulisan Giant House pada barang milik Mas Dewa. "Silakan, Mbak Zahra. Saya tinggal dulu!" "Baik, Pak." Beruntung aku bisa langsung menyesuaikan diriku dari kegugupan. Dengan menarik napas panjang, berusaha tenang, perlahan duduk pada kursi tepat di hadapan Mas Dewa. "Mimpi apa aku semalam, istriku sendiri menjadi sekretarisku," ucap Mas Dewa dengan seringainya. "Aku harap kita bisa profesional," tegasku. "Zahra ... zahra ... kamu cuma sekretaris di sini. Sedangkan aku manager. Kamu nggak bis
"Sstt .., Frans, Pak Dewa galak, ya?" tanyaku setengah berbisik pada pria yang bernama Frans di sebelahku. Frans menggeleng. "Nggak biasanya Pak Dewa seperti itu." "Owh ..." balasku lagi. Hingga siang aku terus melakukan tugas dari Devan. Beberapa kali aku memergoki Mas dewa memperhatikanku dari ruangannya yang berdinding kaca. Sepertinya Suamiku itu sengaja membuka tirai pada salah satu sisi kaca yang berhadapan langsung denganku. Mungkin dia tak menyangka aku bisa mengerjakan semua ini. Mungkin dia tak menyangka aku bisa diterima di perusahaan ini. Zahra yang selama ini dia anggap sebagai wanita bodoh dan sederhana, hanya mampu mengurus rumah tangga dan tak mengerti apapun tentang pekerjaan kantor. Tanpa sadar aku mengulum senyum. "Ngapain senyum-senyum?" Aku terlonjak saat mendengar suara mas Dewa yang ternyata sudah berada di belakangku. "Apa kamu benar-benar mengerti tentang pekerjaan ini, Zahra?" tanyanya dengan nada meremehkan. Suamiku itu membungkukkan sedikit badan h
POV Dewa Zahra mengizinkan aku menikah lagi asalkan dia diizinkan bekerja. Sebenarnya aku sangat keberatan. Namun, biarlah dia bekerja, dari pada minta cerai. Bagaimanapun juga Zahra adalah istri yang baik. Dia mengurusku dengan baik. Bukan hanya itu, Zahra juga mengurus Ibuku dengan baik. Jika dia aku ceraikan, lalu siapa nanti yang merawat ibu. Liana? Mana mungkin wanita manja itu bisa merawat ibu? Mengurusku saja dia tidak becus. Kalau saja di perutnya itu tidak ada anakku, rasanya aku tidak sudi menikahinya. Liana hanya kesenangan sesaat untukku. Ternyata jika dirumah pun dia tak menarik sama sekali. Apalagi sejak hamil, penampilannya makin memuakkan. Dia hanya menarik jika berdandan tebal dan memakai pakaian seksi. Zahra, sebenarnya istriku itu mau kerja apa sih? Memangnya dia punya pengalaman kerja? Sebagai seorang manager di kantor, aku bisa menilai seseorang dari kesehariannya. Wanita seperti Zahra ini mana bisa kerja di kantoran. Jika diterima pun, cocoknya Zahra itu jadi
POV DewaLagi-lagi aku ternganga ketika melihat Zahra berjalan dengan laki-laki lain. Wanitaku itu melangkah bersisian dengan Pak Devan-CEO perusahaan ini. Kenapa rasanya sangat sakit melihat Zahra dekat dengan pria lain. Terlebih pria itu adalah atasanku. Rasanya dadaku bergemuruh. Dadaku terasa panas membara, aku terbakar api cemburu yang sangat dahsyat. Kedua tanganku mengepal. Andai saja pria itu bukanlah Pak Devan, sudah kuhabisi dia. Lihatlah, semua orang kantor memandang heran pada mereka berdua. Selama ini aku tak pernah melihat Pak Devan sedekat itu dengan wanita. Apalagi dengan karyawan kantor ini. Mereka nampak begitu akrab dan sama sekali tidak canggung. Ada hubungan apa di antara mereka. Lagi-lagi darahku seakan mendidih. Zahra benar-benar menguras emosiku hari ini. Diam-diam aku turun hendak mengikuti mereka. Mungkin saja mereka makan di restorant seberang. Mana mungkin Pak Devan makan di kantin karyawan. Biasanya jika tidak ada meeting di luar, bos aku itu justru hanya
[Ingat Zahra! Kamu masih Istriku!] Aku tersenyum membaca pesan dari Mas Dewa. Pesan yang tersirat penuh penekanan dan emosi yang memuncak. Dari sudut mataku, nampak Mas Dewa mengikuti aku dan Devan hingga ke lobby. Devan membukakan pintu mobil untukku. Kami duduk berdua di kursi belakang. Dari balik kaca mobil ini aku bisa melihat wajah Mas Dewa berubah menjadi merah padam, rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal. Rasanya sangat puas membuat suamiku itu marah. Agar dia tahu seperti apa rasanya dikhianati. Bagaimana rasanya jika disakiti. Aku tak pernah mengatakan padanya seperti apa rasanya. Tapi aku menyampaikannya dengan caraku. "Ada apa, Zahra? Kenapa senyum-senyum?" Spontan aku menoleh pada Devan yang ternyata memperhatikanku sejak tadi. "Eh, tidak, tidak apa-apa. Karyawan di kantormu ramah-ramah," jawabku. Devan terkekeh. Sepertinya dia tahu bahwa itu bukan jawaban sebenarnya. "Bagaiman dengan Dewa? Apa dia memperlakukanmu dengan baik?" "Oh, baik. Baik, kok." "S
Sepanjang jalan pulang ternyata aku tertidur. Betapa malunya aku saat terjaga ternyata posisi kepalaku bersandar pada bahu Devan. "M-maaf, aku nggak sengaja." ucapku gugup dan langsung menggeser tubuhku yang ternyata sejak tadi menempel dengan laki-laki itu "Its oke! Kalau kamu nyaman, nggak masalah dilanjutkan!" sahut Devan dengan wajah serius. "Ah tidak. Tidak usah. Terima kasih," balasku tanpa menoleh padanya. Rasanya ingin keluar saja dari mobil ini, jika tidak ingat saat ini kami berada di tengah jalan tol. Mobil Devan memasuki komplek perumahan tempat aku tinggal. Sesekali Aku memberi petunjuk arah pada pak supir. Akhirnya mobil pajero sport berwarma putih milik Devan berhenti tepat di depan pagar rumahku. Devan hendak turun, namun aku cegah karena aku melihat Liana sedang berada di teras. Tentunya dia akan mengenali Devan. "Dev, terima kasih sudah antar aku sampai rumah. Maaf aku nggak bisa nawarin kamu mampir. Sepertinya suamiku tidak ada di rumah." "Oh, its oke. Lain
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu