"Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.
Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh."Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang, terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. "Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. "Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. "Kenapa harus disini? Apa tidak ada rumah yang lain?" tanya Rindi dengan ketus, yang tidak setuju jika harus dipersatukan satu rumah dengan sang madu. "Aku dan kamu sekarang sama-sama istri Mas Arfaaz, Mbak. Kamu tinggal disini, aku pun sama. Semua harus adil," jawab Naina dengan lantang dan berani. "Oh begitu? Baiklah," jawab Arindi dengan enteng seolah tanpa bebanNaina melipat tanganya di dada. Belum ada sehari ia menginjakan kaki disini, tingkahnya sudah seperti nyonya besar.Sementara Kenandra masih cemberut. Ia terduduk di sofa."Keen, salim dulu yuk," ajak Arfaaz. "Siapa?" tanya Keenandra dengan ketus."Ehm dia namanya Tante Naina.""Kenapa tinggal disini?"Arfaaz sejenak diam. Ia bingung bagaimana menjelaskanya. Ia tidak pandai merangkai kata-kata. "Mulai sekarang, Tante Naina menjadi adik Mama. Salim dulu dong, nak," perintah Arindi dengan lembut. Arfaaz pun tersenyum bahagia dengan segala kebesaran hati Arindi. "Bi.. Bibi," teriak Naina yang melengang masuk begitu saja ke dalam ruang tengah. "Nan, kecilkan volume suaramu itu. Aku tidak suka," tegur Arfaaz. Naina hanya menoleh dengan muka masam."Aku kerepotan dengan bawaannya, Mas. Wajar dong aku teriak memanggil. Bi.. Bibi," jawab Naina terus saja memanggil."Nan, berhenti. Tidak ada bibi ataupun ART," ucap Arfaaz dengan lantang. Naina kaget. Membulatkan mata dengan sempurna. Namun sejenak kemudian, ia tertawa sumbang."Kamu bercanda kan, Mas? Mana mungkin istana sebesar ini tidak ada ART? Bagaimana pula membersihkanya? Ah tidak mungkin," jawab Naina tak percaya. "Memang itu kenyataanya. Apa gunanya istri punya tangan kalau tidak bisa membersihkan rumah. Aku tidak suka dengan wanita manja Nan." "Mas, tapi rumah ini besar mas. Mana mungkin selesai?""Jadi maumu bagaimana? Tinggal di rumah petak kecil begitukah? Agar mudah membersihkanya?" tanya Arfaaz. Naina mendengkus kesal. "Jadi sebenarnya aku ini menikah dengan bos atau bawahan bos?" gertaknya lalu berlalu pergi menuju kamar.Arindi hanya tertawa miris melihatnya. Sudah menjadi hal biasa. Bahkan baginya bisa ditebak sedari awal. Mengapa wanita secantik Naina mau dijadikan yang kedua kalau bukan karena harta."Tidak usah seperti anak kecil," kata Arfaaz setelah menyusul Naina ke kamar.Naina yang masih cemberut menoleh tajam ke arah suami yang berdiri dengan dinginya."Mas, kita menikah belum ada satu minggu. Kenapa sifat kamu seketus itu kepadaku? Kenapa tidak seperti layaknya pengantin baru?" ttanya Naina. "Bagiku pengantin baru atau lama itu tida ada bedanya. Aku tidak ada maksut ketus kepada mu, Nan. Tetapi memang kamu yang tidak bisa menerima kenyataan bukan?"'Ekspetasiku tinggi namun realitanya terhempas begitu saja,' batin Naina dalam hati.*"Apa tidak ada yang lain selain seafood, Mbak? Aku alergi, " tanya Naina di makan malam ini. Ia bergidik. Hatinya memang masih kesal. Tetapi perutnya tidak bisa di ajak berkompromi. Di meja makan tersedia udang asam manis beserta sayur sop. Semua tampak makan dengan lahap. Kecuali Naina. "Ma'af aku memang sengaja tidak menyajikan ini untukmu. Urusan kamu alergi, itu bukan urusanku. Kalau kamu tidak berselera silahkan memasak sendiri. Punya tangan kan?" perintah ketus Arindi. Naina bingung. Sebelumnya tangan mulus itu tak pernah memasak. Ia selalu membeli makanan matang. Namun gengsinya seolah turun jika ia menunjukanya kelemahanya di depan sang madu. "Tidak ada ayam, Mbak?" tanya Naina saat membuka kulkas."Kalau disitu tidak ada, tidak perlu kamu tanyakan. Sudah pasti jawabanku juga tidak ada. Aku juga tidak akan menyembunyikan ayam di kamar tidur,"Naina mendengkus kesal. Konglomerat dengan kulkas empat pintu tapi isinya hanya air, tahu dan sayuran. Apa an sih? Srenggg...Naina melangkah mundur dari penggorengan. Tahu di penggorenganya kini meletup-letup. Arindi bangkit, lalu mengecilkan api."Kalau masak tahu jangan besar-besar apinya," tegur Arindi. "Biar cepat matang,""Tahu itu mengandung air yang tidak bisa akur dengan minyak. Lagipula kalau terlalu besar, luarnya saja yang matang. Dalamnya tidak. Belajarlah masak. Aku tidak ada waktu untuk mengajarimu,"Naina hanya melengos dengan bibir mencibir."Tadi kamu beri bumbu apa?" tanya Arindi. Naina menggeleng. "Terus kamu mau rasa tahu yang bagaimana? Hambar? Duh. Mas Arfaaz, kini kamu tau kan maksutku? Dunia ini terlalu keras jika hanya mengandalkan paras,"Naina menoleh tajam ke arah Arindi."Maksut Mbak Rindi apa? Kalau iri bilang mbak. Kalah saing denganku ya?"Naina tidak terima dengan sindiran Arindi."Aku iri denganmu? Tidak salah. Sedikitpun aku tidak respect dengan wanita yang hanya mengandalkan paras tanpa memikiki etika," balas Rindi tak kalah ketus. Brakk… Semua tersentak. Arfaaz menatap mereka berdua dengan melotot tajam."Aku tau, kalian semua punya mulut. Tetapi tidak perlu kalian gunakan untuk saling serang begini." murka Arfaaz. Tok.. Tok.. Tok… Arindi segera berlalu dari hadapan mereka saat terdengar suara ketukan pintu."Mama," serunya. Tami berdiri dengan wajah ketus saat melihat Arindi yang membukakan pintu."Menantuku mana?""Menantuku ya cuma satu. Naina. Karena aku merestui pernikahan mereka." jawan dingin Tami langsung menyelonong masuk begitu saja menyenggol lengan Arindi. Arindi menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menguatkan hati. "Mama. Kenapa tidak bilang kalau kesini, kalau begitu bisa Arfaaz jemput, Ma." panggil Arfaaz saat tau keberadaan Tami yang telah berdiri di rumahnya."Mama mau kesini karena Naina yang juga tinggal di rumah ini, "Naina melangkah mendekati mertuanya. "Ya iya lah ma. Ini rumah Mas Arfaaz jadi Naina juga berhak tinggal disini. Bukan hanya Mbak Rindi saja," kata Naina sekaligus menyindir Arindi. "Tetapi rumah ini dibangun juga dengan uangku. Bukan hanya uang Mas Arfaaz saja..Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina. Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua. "Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin. Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil."Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api. Tiba-tiba Tami tertawa sumbang. "Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas. Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun. "Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan. "Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang
Arindi gusar masuk ke dalam rumah. Ia merasa dirinya sudah tidak aman lagi. Apa jadinya andaikan Arfaaz tau? Herman sang Abdi Negara kembali menemuinya dengan Pangkat Kapolsa bintang dua. Ah andai berpangkat Jendral maupun berpangkat Kapolri sekalipun sejujurnya tidak akan membutnya silau. Hanya ia sangat menyayangkan mengapa ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat ia sudah bersuami. Disaat cintanya sudah terkubur rapat. Apa maksutnya? Dia boleh berdinas di kota ini lagi. Namun untuk menemui Arindi, rasanya tidak etis sekali. "Siapa sih? Berisik banget. Pakai membunyikan suara sirine segala." gerutu Naina yang menuruni anak tangga dengan masih menggunakan baju tidur sembari sesekali masih menguap. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Arindi memiih bungkam dan meneruskan kembali aktifitasnya. "Mbak, sekalian bersihkan kamarku ya. Kotor banget," ucap Naina dengan entengnya."Bagaimana? Apa aku tidak salah mendengar?""Kamu tidak tuli kan Mbak?""Kamu jug
"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant
"Kamu ini buat malu saja sih Nan. Ahh."Arfaaz bersungut marah. Sesekali tanganya memukul setir bundar di depanya. Naina hanya bergetar di tempat duduknya. "Ku kira kamu adalah sosok sosialita yang bisa bersosialisasi dengan baik disana," lanjut Arfaaz."Mas, aku sudah berusaha menjadi baik. Namun mereka yang tidak mau menerima hadirku. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan Arindi!" balas Naina tak kalah marahnya. Arfaaz tertawa kecil. "Kenapa Arindi? Justru ia membuatku bangga. Walaupun ia tidak hadir, tapi ia tau bagaimana menghormati dan menghargai yang punya acara. Kamu itu istri dari Arfaaz Khairul Hartanto. Memberi kado kok bed cover murahan. Ya Tuhan. Seperti tidak punya muka aku dihadapan keluarga Tante Riana. Masih untung tertolong dengan Arindi yang memberi hadiah Nessa berupa kalung berlian.""Berhenti kamu membandingkan aku dengan istri pertamamu itu mas. Aku tidak suka,""Kalau kamu tidak suka, semestinya kamu juga tau diri bagaimana bersikap di depan keluarga besarku,
Pertahanan Pak Asmat sedikit mulai goyah dengan apa yang disampaikan Herman barusan. Ia pun tida habis fikir, mengapa ia sebegitu mudahnya mempercayai lelaki yang juga sempat membuat putrinya hancur tersebut. Namun siapa kiranya ayah yang akan baik-baik saja jika mendengar sang menantu telah menduakan putri yang dijaga serta dikasihinya sedari kecil tersebut. Juga tak terbayang bagaimana hancurnya perasaan Arindi waktu itu. Meskipun itu belum tentu menjadi kebenaranya."Pak tenanglah Pak," ujar Herman menenangkan Pak Asmat. Pak Asmat tampak sempoyonyan sembari memegangi dadanya. Sang istri juga tampak berlarian dari dalam menemui suaminya yang terlihat lemas. Namun Herman telah berhasil mendudukan Pak Asmat di kursi terlebih dahulu. "Ayah, kenapa?" tanya Bu Asih panik. Herman tidak berani menjawab. Pun tidak berani untuk berucap kalimat yang sama. Nafas Pak Asmat tampak naik turun. Ia seperti kesusahan untuk mengatur nafas. "Ayah, kita ke Rumah Sakit sekarang ya," pinta Bu Asih
"Kenapa hanya segini mas?" tanya Naina dengan ketus yang mengagetkan Arfaaz yang telah termenung di sofa sepeninggal Arindi ke kamar. Arfaaz menoleh dengan malas. Perdebatanya dengan Arindi seolah sudah membuat otak mendidih. Kini ditambah lagi dengan Naina yang datang dengan wajah masamnya. "Memangnya maumu berapa?" Naina menghela nafas pelan. Ia yang masih berdiri di anak tangga lalu turun mendekat kepada suaminya. "Mas, aku ini istri bos. Istri konglomerat. Yang kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya dalam negeri. Apa tidak salah kamu hanya memberiku sejumlah ini? Apa aku masih dalam masa training menjadi istrimu? Tidak kan?" tanya Naina dengan berapi-api. "Tidak ada yang salah Nan. Aku pun memberi Arindi senilai nominal yang sama. Jadi letak salahnya dimana?" Naina tertawa kecil. "Letak salahnya ada pada nominal Mas. Apa cukup dengan uang dua juta bertahan hidup selama sebulan? Uang segitu hanya cukup untuk perawatanku saja. Ahh," gerutu Naina. Arfaaz bangkit. Nafasny
Netra Arfaaz langsung menoleg menatap Arindi. Namun Arindi tetap pada pendirianya, i tak gentar sedikitpun walau di tatap Arfaaz penuh tatapan tidak suka. Tak setuju dengan kalimat yang dilontarkan istrinya."Mau dengan siapapun suamimu menduakanmu Rind. Mau kamu merasa lebih hebat dari madumu. Tapi nyatanya kamu diduakan Rin. Dan itu sama saja menampar harga diri Ayah," jawab Pak Asmat.Arfaaz masih saja tertunduk. "Faaz, kamu boleh kaya. Boleh mempunyai segalanya. Tapi anakku tidak akan silau dnegn hartamu. Tak menjadi istrimu pun, ibu yakin bahwa Arindi masih bisa hidup kecukupan," tambah Bu Asih. "Saya tau, Bu. Siapa Arindi. Dan bagaimana karirnya. Saya tidak meragukan kemampuanya Bu. Tapi saya membutuhkan Arindi sebagai teman hidup saya," jawab Arfaaz. "Ayah ibu, sudahlah. Arindi tidak apa-apa. Arindi kuat. Andai Arindi menyerah tentu sudah sedari dulu," ucap Arindi meyakinkanMata Bu Asih berkaca-kaca. Siapa yang sanggup membayangkan bagaimana sakitnya dimadu. Dan kini terja
"Hallo sayang, bagaimana kabarnya? Duh Mama kangen sekali," ucap Tami saat melihat Naina. Perlakuan yang jauh berbeda dengan apa yang dilakukanya kepada Arindi. Membuat Naina seakan besar kepala dibuatnya. Dan Arfaaz tidak bisa mencegah perlakuan berbeda dari Mamanya. Tapi mental Arindi memang sekuat itu. Ia tidak iri, tidak goyah sedikitpun. Hanya saja ia sadar diri dan ia berlalu pergi begitu saja dari hadapan mereka yang tak mampu menghargainya. Naina tersenyum penuh kemenangan.'Ini baru awal. Lihat apa yang aku lakukan setelah ini. Aku jamin kamu akan nangis darah melihatnya Rind,' gumam Naina dalam hati dengan senyum menyeringai."Oh iya, Mama punya oleh-oleh buat menantu kesayangan Mama," kata Tami sembari membuka tasnya. "Wah oleh-oleh buat aku Ma?" balas Naina dengan nada suara yang sengaja ia tinggikan. Agar Arindi mendengar. Dan ia cemburu juga sakit hati. Arindi yang mengerti betul apa maksud Naina hanya tersenyum simpul. Sedikitpun ia tidak merasa iri ataupun silau
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora