"Kenapa hanya segini mas?" tanya Naina dengan ketus yang mengagetkan Arfaaz yang telah termenung di sofa sepeninggal Arindi ke kamar. Arfaaz menoleh dengan malas. Perdebatanya dengan Arindi seolah sudah membuat otak mendidih. Kini ditambah lagi dengan Naina yang datang dengan wajah masamnya. "Memangnya maumu berapa?" Naina menghela nafas pelan. Ia yang masih berdiri di anak tangga lalu turun mendekat kepada suaminya. "Mas, aku ini istri bos. Istri konglomerat. Yang kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya dalam negeri. Apa tidak salah kamu hanya memberiku sejumlah ini? Apa aku masih dalam masa training menjadi istrimu? Tidak kan?" tanya Naina dengan berapi-api. "Tidak ada yang salah Nan. Aku pun memberi Arindi senilai nominal yang sama. Jadi letak salahnya dimana?" Naina tertawa kecil. "Letak salahnya ada pada nominal Mas. Apa cukup dengan uang dua juta bertahan hidup selama sebulan? Uang segitu hanya cukup untuk perawatanku saja. Ahh," gerutu Naina. Arfaaz bangkit. Nafasny
Netra Arfaaz langsung menoleg menatap Arindi. Namun Arindi tetap pada pendirianya, i tak gentar sedikitpun walau di tatap Arfaaz penuh tatapan tidak suka. Tak setuju dengan kalimat yang dilontarkan istrinya."Mau dengan siapapun suamimu menduakanmu Rind. Mau kamu merasa lebih hebat dari madumu. Tapi nyatanya kamu diduakan Rin. Dan itu sama saja menampar harga diri Ayah," jawab Pak Asmat.Arfaaz masih saja tertunduk. "Faaz, kamu boleh kaya. Boleh mempunyai segalanya. Tapi anakku tidak akan silau dnegn hartamu. Tak menjadi istrimu pun, ibu yakin bahwa Arindi masih bisa hidup kecukupan," tambah Bu Asih. "Saya tau, Bu. Siapa Arindi. Dan bagaimana karirnya. Saya tidak meragukan kemampuanya Bu. Tapi saya membutuhkan Arindi sebagai teman hidup saya," jawab Arfaaz. "Ayah ibu, sudahlah. Arindi tidak apa-apa. Arindi kuat. Andai Arindi menyerah tentu sudah sedari dulu," ucap Arindi meyakinkanMata Bu Asih berkaca-kaca. Siapa yang sanggup membayangkan bagaimana sakitnya dimadu. Dan kini terja
"Hallo sayang, bagaimana kabarnya? Duh Mama kangen sekali," ucap Tami saat melihat Naina. Perlakuan yang jauh berbeda dengan apa yang dilakukanya kepada Arindi. Membuat Naina seakan besar kepala dibuatnya. Dan Arfaaz tidak bisa mencegah perlakuan berbeda dari Mamanya. Tapi mental Arindi memang sekuat itu. Ia tidak iri, tidak goyah sedikitpun. Hanya saja ia sadar diri dan ia berlalu pergi begitu saja dari hadapan mereka yang tak mampu menghargainya. Naina tersenyum penuh kemenangan.'Ini baru awal. Lihat apa yang aku lakukan setelah ini. Aku jamin kamu akan nangis darah melihatnya Rind,' gumam Naina dalam hati dengan senyum menyeringai."Oh iya, Mama punya oleh-oleh buat menantu kesayangan Mama," kata Tami sembari membuka tasnya. "Wah oleh-oleh buat aku Ma?" balas Naina dengan nada suara yang sengaja ia tinggikan. Agar Arindi mendengar. Dan ia cemburu juga sakit hati. Arindi yang mengerti betul apa maksud Naina hanya tersenyum simpul. Sedikitpun ia tidak merasa iri ataupun silau
Arfaaz masih saja terngiang ucapan Herman barusan. Bagaimana ia bisa menilai rapuhnya hati Arindi jika dia terlihat tegar dan kuat menghadapi semua hal yang menyakitkanya."Mau kemana kamu Rind?" tanya Arfaaz yang melihat Arindi pergi dari meja makan. Hari ini sengaja Arfaaz melarang kedua istrinya untuk memasak. Ia ingin membawakan makanan dari luar. Karena ada sang Mama juga. "A aku makan di dapur saja, Mas. Aku takut membuat Mama tidak suka," ujarnya lirih."Tidak. Kamu juga duduk disini. Naina ada disini. Kamu pun juga harus ada disini," perintah Arfaaz dengan tegas. Arindi tetap menurut perintah suaminya walau ia juga mendapat tatapan tidak suka dari mertia dan madunya. "Oh iya Mama dengar Nessa baru saja menggelar pernikahan ya?" tanya Tami memecah keheningan."Iya Ma."Hanya Arfaaz yang mampu menjawab. Untuk apa Arindi angkat bicara jika suaminya tidak mengajaknya turut serta."Tetapi, Mama juga mendengar kabar yang tidak sedap. Ada yang bilang menantu Tami menghadiahi mem
Arindi memilih pergi meninggalkan madu dan suaminya yang sedang berdebat. Bertahun-tahun bersama Arfaaz membuat Arindi hafal betul perangai suaminya tersebut. Brakk... Pintu ditutup Arfaaz dengan keras. Ia mengikuti langkah Arindi menuju kamar. Arindi diam. Karena ia mengerti emosi Araaz saat itu. "Bisa kamu mengajarkan Naina itu Rind? Tentang bagaimana seorang wanita harus mandiri? Aku dibesarkan hanya oleh Mamaku. Dari situ aku banyak belajar. Sekaya apapun suami, suatu hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Kita tidak akan pernah bisa menolak bala."Arindi menghela nafas pelan. "Kenapa harus aku? Kamu yang membawa Naina masuk ke rumah ini bukan? Jadi kamu sendiri dong yang seharusnya bertanggung jawab."Arfaaz sedikit kaget dengan respon yang diberikan Arindi. Dia yang dulu bersikap lembut, kini justru terkesan acuh tak acuh. "Setidaknya agar ia belajar dari kamu Rind," ucap Arfaaz mencoba masih bersikap lembut."Passion seseorang itu berbeda, Mas. Tidak bisa kamu puk
Arindi menyipitkan mata sesaat setelah Herman mengucap nama sang anak. "Kenapa dengan Keenandra? Kamu tau nama anakku?" tanya Arindi."Ehm iya. Maksutku, ehm."Herman salah tingkah. "Ayolah aku tidak banyak waktu untuk melayani ketidakjelasan kamu ini. Apa kurang kerjaan atau kesibukanmu sebagai Kapolda masih kurang? Hingga kau urusi anakku segala?" ujar Arindi dengan tidak sabar. "Ehm Keenan. Keenan berhak bahagia, Rind," ujar Herman walau terlihat masih ada yang mengganjal di fikiranya. Arindi mengangguk."Oh iya tentu. Karena itu juga menjadi salah alasanku mempertahankan pernikahanku dengan Mas Arfaaz. Karena Keenandra berhak bahagia. Dan kebahagiaan dia adalah memiliki orang tua yang lengkap," jawab Arindi dengan mantap. "Tetapi apa penilaian orang lain terhadapmu Rind? Kamu cantik, kamu sukses, kamu pintar tetapi kamu lebih mempertahankan pernikahan kamu walau jelas-jelas suamimu sudah menikah lagi."Herman seperti tidak mau mengalah untuk mempengaruhi Arindi agar cerai dar
"Sombong sekali kamu, Rind. Di dunia ini bukan hanya kamu yang pandai memasak. Jangan besar kepala dulu."Suara Tami yang menuruni tangga membuat Arindi terkesiap. Namun hal tersebut justru membuat Naina tersenyum penuh kemenangan. Ia menyeringai. Dalam hati, ia bersorak mana tega sang mertua mendiamkan dirinya yang menyandang gelar sebagai menantu kesayangan itu.Arindi hanya memasang wajah datar. "Hidup di zaman yang semua serba modern ini tidak usah dipersulit. Banyak kan jasa yang bisa mengantarkan makanan ke rumah. Diluar juga tidak kurang-kurang yang berjualan bukan? Jadi berhenti untuk kamu sok sempurna Rind. Ingat seperti apapun kamu berdiri saat ini, ada aib di masa lalumu yang tidak akan hilang begitu saja," ucap Tami dengan tajam.Sakit? Tentu saja. Pertahanan Arindi mulai terkikis apalagi jika disangkutpautkan dengan masa lalu. Tapi Arindi tetap pada prinsipnya untuk bertahan dengan apapun cercaan yang tertuju padanya. "Tuh dengar Mbak," olok Naina. Arindi memasang waja
Naina menautkan alis. Menatap Arfaaz tak percaya. "Ada apa?" tanya Arfaaz yang kikuk saat ditatap Naina seperti itu. Namun sejurus kemudian Naina tertawa kecil. "Ada yang lucu?" tanya Arfaaz lagi. Naina menggeleng pelan. "Tidak ada yang lucu. Tetapi ada yang aneh.""Apa? ""Setiap pasangan suami istri tentu punya tujuan menikah yaitu untuk mendapatkan keturunan Mas. Tapi kamu kok justru menolak pemberian Mama. Namanya juga ikhtiar kan. Siapa tau memang berhasil. Daripada harus program bayi tabung. Habis ratusan juta itu Mas." jelas Naina.Namun entah mengapa raut wajah Arfaaz berbeda. Seolah ia memendam kekesalan. "Aku sudah bilang. Tidak perlu pakai cara seperti ini." "Apa salahnya dicoba sih Mas? Ini juga ada sertifokay MUI dan BPOM juga. Jadi tidak perlu lah kamu khawatir terlalu berlebihan," uar Naina yang terus berusaha agar Arfaaz setuju. "Aku bilang tidak ya tidak," bentak Arfaaz. Naina kaget. Begitu juga dengan Tami. Mereka tak menyangka reaksi Arfaaz akan seperti itu.
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora