Ting Ting
Suara bel berbunyi yang menandakan pulang. Di saat anak yang lain keluar gerbang dan sibuk mengeluarkan kendaraan mereka, tidak dengan anak yang hemat berbicara seperti Leo, ia justru tidak langsung pulang. Ia pergi ke rooftop sekolah dan berdiam diri disana.
"Leo, mau pulang gak?" tanya Reynal yang sengaja menyusul Leo ke rooftop sekolah.
"Duluan aja," balas Leo.
"O ya, gue pinjem buku lo ya!" sahut Aditia.
"Hmm," jawab Leo.
"Oke duluan ya." Reynal dan Aditia berlalu meninggalkan Leo sendiri.
Sengaja ia pergi rooftop untuk menenangkan diri sekaligus menunggu anak-abak lain pulang. Tinggalah Leo sendiri, diam termenung memikirkan satu hal, yaitu rasa benci. Bahkan sosok Ayahnya sekalipun, ia masih menaruh rasa bencinya itu sampai-sampai ia tidak mau mengakui Ayahnya sendiri.
Leo menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya membayangkan kenangan Ibu dan Kakaknya. Di raut wajahnya menggambarkan ekspresi penyesalan karena kematian dua orang yang amat ia cintai.
Ternyata berdiam sendiri di rooftop sekolah cukup membosankan. Leo yang mulai bosan dengan kesendiriannya itu, mulai menggendong tasnya dan turun dari sana.
Saat ia turun dan melewati mushola sekolah, ada hal yang mengejutkan dirinya. Ternyata seorang perempuan berhijab yang kerap dipanggil Key tengah menyapu lantai di luaran mushola. Leo faham bahwa Key kena hukum membersihkan mushola karena perbuatannya pagi tadi.
Key yang menyadari keberadaan Leo kemudian diam mematung setelah Leo tepat berada di hadapannya. Begitu pula dengan Leo juga melakukan hal yang sama.
Keduanya merasa kaku saat bertemu. Key juga mengigit bibir bawahnya karena saking gugupnya. sepertinya Key ingin mengucapkan sesuatu namun tidak bisa ia utarakan.
Leo mulai melangkahkan kakinya dan berjalan menuju tempat berdiri Key.
"Silahkan," ucap Key sambil menepi ke pinggir memberi jalan dan membiarkan Leo berlalu melewatinya tanpa kata permisi. Kemudian ia berkata lagi, "A-anu." Key bicara dengan gugup.
Hal ini membuat Leo menghentikan langkahnya.
"Maafkan aku. Tadi, kamu hampir kena hantaman bola karena aku," tutur Key.
"Jangan dipikirkan," lanjut Leo.
Hanya kata itulah yang terucap dari Leo. Dia pun mulai meninggalkan gadis itu. Key pun diam dan berfikir keras. Ada sesuatu yang ia ingin sampaikan dibenaknya namun ia tidak sanggup mengatakannya. Tetapi kemudian Key memberanikan diri.
"Tunggu!"
Suara itu membuat Leo menghentikan langkahnya kembali dan juga membuatnya membalikan badannya.
Jantung Key berdebar-debar dengan kencang, perasaannya campur aduk antara gugup, takut, dan malu. Key tidak yakin dengan dirinya. Namun, setelah melihat Leo menatapnya dengan tatapan yang meyakinkan, Key akhirnya memberanikan dirinya untuk bicara.
"Maaf, A-ada yang ingin ku bicarakan," ucap Key gugup.
Leo hanya diam memerhatikan dengan memasang wajah datarnya.
"Ma-maukah kamu menilai tulisanku?"
Leo sempat terdiam sejenak. "Tidak, cari orang lain saja," jawab Leo dingin, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Key merasa dirinya telah gagal. Tapi ia tidak menyerah, ia punya alasan tersendiri kenapa ia mengajukan permintaan seperti tadi.
Setelah berfikir lama, akhirnya Key memutuskan untuk mencobanya lagi. Key melemparkan sapunya dan mengejar Leo yang menuju parkiran.
"Hey tunggu, aku mohon!"
Leo kembali terhentikan langkahnya karena Key mengejarnya.
"Aku mohon, nilailah tulisanku!"
Key memohon pada Leo sambil membungkukan badannya.Melihat hal itu, Leo menghela nafas panjang kemudian berbicara "Apakah belum jelas? Aku tidak bisa. Cari orang lain saja."
"Aku hanya percaya dirimu. Aku ingin kau memberikan argumen tentang tulisanku. Tolonglah!"
Key tetap memohon dan masih membungkukan badannya."Berapa kali harus kukatakan? jawabanku tidak," ucap Leo sambil meneruskan langkahnya menuju motornya di parkiran.
Key mengejarnya kemudian memohon-mohon sambil mengikutinya.
"Ayolah, aku ingin karya tulisku sempurna."
"Aku memohon seperti ini karena aku sadar tulisanku itu banyak sekali kekurangannya dan...
...dan aku hanya percaya dirimu tidak dengan orang lain."
Key memohon-mohon sampai Leo menaiki motornya."Aku mohon!" lirih Key pada Leo.
Melihat hal itu, Leo yang tengah menaiki motornya itu mendekatkan wajahnya dan berbicara pada Key dengan sorot mata menakutkan. Jantung Key berdebar dengan kencang karena jarak wajahnya dan wajah Leo kini sangatlah dekat.
"Tidak!"
Leo kemudian menyalakan mesin motornya dan memakai helmnya kemudian melaju meninggalkan Key sendiri yang tengah berdiri di parkiran.
Key kemudian mendengus. Raut wajahnya mulai asam karena Leo menolak permohonannya. Key juga menendang batu krikil yang ada di depannya saking kesalnya karena permohonannya di tolak oleh Leo.
"Hey!"
Key terkejut karena ada seseorang yang menyapanya dari belakang. Dilihatnya Bapak Mandor tengah berdiri di belakangnya.
"Kenapa masih berdiri disini? Sudah membersihkan mushola?"
"Sudah Pak."
"Bagus, sekarang bersihkan juga ruang loker siswa."
"Siap Pak."
"Oke, jika sudah selesai hubungi saya di ruang TU," ujar Pak Mandor seraya memasang earphone di telinganya.
"Baik Pak."
Key kembali mendengus kesal. Namun akhirnya, ia mengikuti perintah Bapak mandor. Ia berniat pergi ke ruang loker siswa untuk membersihkannya.
"Eh? perasaan tadi aku pegang sapu. Sapunya kemana?"
****
Leo akhirnya sampai di rumahnya. Ia Kemudian masuk ke kamarnya dengan melempar tasnya dan membaringkan tubuh diatas ranjangnya. Sesekali ia memejamkan matanya dan kembali membukanya.
Melihat pemandangan atap kamar cukuplah membosankan, sehingga ia berajak dari ranjang dan duduk di meja belajarnya dan melakukan pekerjaannya. Pekerjaan Leo ialah menulis di buku jurnalisnya kemudian mencopy nya ke layar komputer.
Namun saat ia akan menyentuh pulpen untuk menulis, ia kembali teringat akan Key.
"Dasar perempuan aneh," gumam Leo
Kemudian Ia melanjutkan menulis tulisannya sampai akhirnya bunyibketukan pintu kembali menghentikannya.
"Masuk!"
"Leo, kamu sedang sibuk?" tanya Fira seraya masuk ke kemarnya.
"Tidak juga," jawab Leo.
"Leo, bibi hanya ingin bilang kalau Ayahmu tadi siang kemari," ucap Fira sambil membuka-bukakan tirai kamar Leo.
Mendengar hal itu Leo pun berhenti menulis.
"Bibi tau kamu tidak ingin menemuinya. Tapi, Bibi merasakan perasaan Ayahmu yang sangat merindukanmu, ia ingin--
Belum selesai bibi fira bicara, Leo meletakan pulpennya dengan keras di atas meja membuat Bibi Fira berhenti bicara.
"Bilang padanya jangan pernah menemuiku lagi!" tegas Leo.
"Dengar Leo, kamu itu satu-satunya putranya. Dia masih menyayangimu, jadi wajar dia merindukanmu" ucap Fira berusaha meyakinkan.
"Semua yang ia lakukan adalah kebohongan Bi, termasuk kerinduannya padaku juga termasuk kebohongan," jelas Leo.
"Aku tidak memiliki ayah sepertinya," balas Leo.
"Tapi--
"Cukup Bi! Leo tidak ingin berdebat dengan Bibi," tukas Leo.
Fira pun terdiam. Leo terlalu keras kepala, ia masih belum berdamai dengan masa lalu. Fira akhirnya masih memakluminya.
"Begitu. maaf telah menganggumu," kata bibi fira sambil keluar dari kamar Leo.
Tersirat dalam hati Leo perasaan bersalah pada Bibinya, ia hanya menunduk dengan tangan yang menopang kepalanya.
"Maafkan Leo Bi," lirih Leo
"Ya Alloh, berantakan banget ruangan ini. Aku harus beresin sendiri gitu? berilah hambamu ini ketabahan Ya Alloh," ucap Key dengan sedikit menggerutu.
Key mulai membereskan ruang loker penyimpanan siswa, mulai dari menyapu sampai mengepel lantainya ia lakukan semuanya sendiri.
Tiba-tiba terlintas di pikirannya kejadian tadi dimana jantungnya berdebar dengan kencang saat ia berbicara dengan Leo dengan jarak wajah sangat dekat. Otomatis hal ini membuat Key senyum-senyum sendiri.
"Astagfirulloh, kok jadi mikirin kejadian yang tadi sih? Nanti ini kerjaan gak beres lagi," ucap Key.
"Orang itu bener-bener bawa pengaruh ternyata, berkharisma banget penampilannya. Gak tanggung-tanggung aku tadi mendadak ngomong kaku pas ngomong sama dia," gerutu Key.
"Kayaknya kalo jadi pemimpin dia pasti bakal jadi orang berwibawa."
"Ya Alloh, kenapa malah ngomongin orang itu lagi. Aku kan lagi kesel sama dia."
"Tapi tunggu. kalo gak minta tolong sama dia, sama siapa dong? cuma dia yang sefaham soalnya, hufffttt." Key dari tadi haya menggerutu sendiri.
Key melanjutkan membersihkan ruang loker penyimpanan siswa. Tak lama kemudian ia menemukan loker milik seseorang yang terus-terusan dari tadi ia bicarakan.
"Panjang umur, ini dia nih lokernya. Baru aja diomongin," ucap Key.
Key terus memperhatikan papan nama yang tertera di loker itu.
"Leonar Halim Al-ghifari? Nama yang bagus. Orangnya tampan, baik juga," ungkap Key
"Astagfirulloh Khansa! Jangan bilang kamu suka padanya. Inget! Orang itu kejam, cuek, jutek, dingin, horor lagi." Key terus-terusan bicara dengan diri sendiri. Sampai kemudian ia langsung terdiam dan berfikir.
"Tapi ...
... Impian ku bergantung padanya."
Key menghela nafas panjang memikirkannya. "Apa yang harus ku lakukan?"
Tak lama kemudian, ia memperhatikan loker penyimpanan Leo. Lalu ia tersenyum ceria seperti orang yang telah mendapatkan ide.
"Begitu, aku tahu caranya ..."
"Begitu ternyata, aku tau caranya," ucap Key.
Hari itu Leo bersama dua sahabatnya yakni Reynal dan Aditia tengah bermain basket karena jadwal pelajaran hari itu adalah Pendidikan Jasmani."Dit, ganti baju yuk! Bentar lagi pelajaran Kimia. Takutnya marah Bu Lasmi kalo telat," ajak Reynal pada Aditia."Oh iya, lupa gue. Leo! Ganti baju! sekarang bagian pelajaran Bu Lasmi nih." Aditia berdalih menyeru Leo.Mendengar hal itu, Leo pun berhenti memainkan bola basketnya dan mulai menghampiri keduanya."Bentar dulu, ini kembaliin dulu bola basketnya ke ruang fasilitas, nanti baru ganti baju," sahut Reynal."Oke ayo," balas Aditia.
Gebrugh!Ceklek.Pintu gudang sekolahpun mendadak tertutup, dan terdengar juga suara sayup orang yang menguncinya."Hey, tunggu jangan dikunci! Di dalam masih ada orang, hey!" Key berlari kearah pintu yang terkunci sambil menyeru seseorang yang telah menguncinya berdua bersama Leo."Pak? Pak Mandor? Buka Pak pintunya jangan dikunci ada orang di dalam!" Seruan Key dari dalam gudang.Tidak salah lagi, siapa lagi orang yang bertugas mengunci semua pintu selain Pak Mandor?"Pak? Buka Pak!" Key terus berteriak berharap Pak Mandor masih ada di area gudang.
Gebrugh. Pintu gudang sekolah akhirnya terbuka. Dan ternyata ... Dugh. Saking kerasnya Key mencoba membobol grendel kunci, dorongannya sampai overdosis hingga ia menabrak tihang yang berdiri di depan gudang. "Aduh!" Key terpental kembali dan langsung tergeletak di lantai. Leo tak kuasa menahan geli di hatinya setelah melihat kelakuan Key, ia beberapa kali terlihat senyum kecil namun ia mencoba menahan senyumannya itu.
Malam itu terlihat Aditia tengah asyik memainkan ponselnya di sebuah caffe menunggu Leo dan Aditia yang belum muncul. Brak! "Ya Alloh," ujar Aditia yang terkejut karena tiba-tiba Leo datang dan memukul meja yang ada di hadapannya. Terlihat juga Leo menatapnya dengan sorotan tajam yang mematikan. "Kenapa nih?" tanya Aditia yang keheranan melihat tingkah Leo. Leo memicingkan mataya. "Kau orangnya?" "Selow selow, maksudnya gimana nih?" "Kau yang menulis tulisan itu!" desis Leo. Aditia langsung tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Leo. "Acieee, lo pasti kebaperan ya gue nulis itu," goda Aditia. "Kalo enggak, mana mungkin lo marah cuma gara-gara gue nulis itu." "Jangan-jangan lo ngira kalo Key yang nulis tulisan itu ya, Acieee ---" "Diam! atau kubunuh kau!" d
Aditia kembali ke dalam cafe dan kembali duduk di kursinya. Dilihatnya hanya ada Reynal dan Leo, ia pun bertanya-tanya"Lahh, sepupu lo belum datang juga Rey?" "Ini juga masih ditunggu. Heran, kemana dulu itu anak? Gara-gara lo juga nih, kelamaan di toilet." "Lah? Kok jadi gue?" Aditia keheranan. "Tadi gue mau cari Fayla keluar, tapi mana mungkin gue tinggalin Leo sendiri disini, yaudah gue harus nunggu lo balik. Eh, ternyata lu lama gak balik-balik kayak ditelen bumi," celoteh Reynal "Ya maaf, soalnya tadi di toilet gue debat sama cewek," tutur Aditia "Hah? Yang bener aja, yang ada lo gombalin tu cewek." Reynal sesikit tertawa mendengarnya. "Asli bukan palsu Rey, tadi ada cewek kerudungan yang ngintip gue lagi kencing," "Yaelah Dit, mana mungkin ada cewek mau ngintip lo di toilet cowok. Apalagi lo bilang ni cewek kerudungan, ngaco l
Bel pulang sekolah berbunyi. Key menelusuri koridor sekolah yang mulai sepi dengan kedua kaki yang gemetar dan jantung yang berdebar-debar. Karena hari ini ia akan berbicara serius dengan sosok yang ia kagumi. Key tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hanya satu alasan kenapa ia sangat mengagumi sosok yang bernama Leonar itu. Leo adalah orang pertama yang memuji karangan tulisannya. Seandainya Leo tidak memuji karangan Key waktu itu, Mungkin mereka tidak akan saling kenal saat ini. Sepertinya gudang sekolah adalah markas pertemuan mereka dan pulang sekolah adalah waktu mereka untuk melakukan pertemuan itu. Saat Key hampir sampai, terlihat Leo yang tengah bersandar di dinding pinggir gudang. Key tidak bisa membohongi dirinya, lelaki itu benar-benar terlihat tampan. Dengan tas yang disoren di sebelah bahunya, beserta kedua tangan yang dimasukan kedalam saku celananya. Lalu berdiri sebelah dengan kaki kanan yang disandar li
Reynal kemudian berjalan pelan menghampiri ketiga perempuan itu sambil tidak melepaskan pandangannya dari Sira. Sedangkan Sira sendiri hanya mencoba membuang muka ke arah lain. Namun, Reynal hanya diam saat sudah berhadapan langsung dengan ketiga perempuan itu. "Lah? Kok pada diem? Dogy ama meong gak mau salaman gitu?" ucap Fayla sambil melirik Reynal dan Sira yang dari tadi hanya saling diam. Reynal kemudian menyodorkan tangan isyarat mengajak Sira bersalaman, kemudian Sira juga menjabat tangan Reynal dan keduanya berakhir salaman tanpa sepatah kata pun. Key yang melihat itu mendadak tersenyum, ia teringat akan pertemuannya dengan Leo saat pertama kali di tangga lantai dua. Keduanya kaku saat hendak bicara, ternyata hal serupa bisa terjadi pada sahabatnya Sira. "Ekhem! Ciee pada malu-malu, biasanya kan pada berantem mulu," ujar Fayla yang memecahkan keheningan diantara mereka. Key juga terlihat senyum
"Kau adalah perempuan teraneh yang pernah aku temui Khansa Arima Iriana." ~Leonar Halim Al-ghifari~
Leo terlihat membereskan pakaiannya untuk ia kemas dalam koper. Dari pagi Leo hanya sibuk sendiri di kamar. Mempersiapkan matang-matang keberangkatannya besok lusa. Arlinda hanya tersenyum saat mendapati putranya sangat bersemangat untuk berangkat ke pesantren. "Sudah beres berkemasnya?" tanya Arlinda yang membuat Leo menoleh ke belakang. "Belum," ujar Leo sambil tersenyum. "O ya, ada yang ingin ketemu sama kamu loh," balas Ibunya. Leo pun mengrengitkan dahinya. "Siapa, Bu?" Arlinda pun tersenyum sambil menoleh ke belakangnya. Ia membawa dua orang laki-laki seumuran Leo. Arlinda pun mempersilahkan dua orang itu masuk ke kamar Leo. "Silahkan kalian temani El, Tante tinggal disini ya," ucap Arlinda pada dua orang laki-laki itu dan berakhir meninggalkan mereka. Bola mata Leo terbuka lebar, mendapati dua orang lelaki yang ada di depannya kini adalah
"El?""El sudah sadar.""Alhamdulilah..."Terdengar patah kata syukur memenuhi ruangan yang terlihat asing bagi Leo. Beberapa orang terdengar suka cita mengelilingi dirinya.Leo merasakan tubuhnya yang sepertinya tengah berbaring, dirinya hendak bangun, namun seluruh tubuhnya masih lemas. Entah kenapa tiba-tiba ia susah berbicara, selang oksigen juga masih mengurung hidungnya yang semakin mempersulitnya bicara.Apa yang terjadi? Dimana aku?Leo masih belum mengerti keadaanya sekarang. Yang ia lakukan sekarang ini hanyalah mengedarkan bola matanya melihat sekitarannya.Tiba-tiba dua orang perempuan memeluknya. Yang satu memeluk tubuhnya dan yang satu terus menciumi keningnya sambil terus menangis. Ked
Satu minggu berlalu setelah kematian Khansa. Leo memberanikan keluar rumah untuk berziarah ke makam gadisnya.Waktu satu minggu terbilang cukup untuk membuatnya kembali pulih dari kesedihannya itu. Leo memutuskan untuk menjadi sesorang yang tegar dan tidak mudah putus asa. Ia masih memiliki masa depan yang harus dipikirkan, terlebih usianya terbilang masih belia. Masih panjang perjalanan yang harus ia tempuh.Setibanya disana, ia mendapati kuburan Khansa yang masih terlihat baru. Ia pun berjongkok sembari mengelus-elus batu nisannya. Sesekali Leo tersenyum getir sambil melihat batu nisan yang bertuliskan Khansa Arima Iriana itu."Hey, aku kemari. Maaf baru kali ini." Leo berbicara sambil menaburkan taburan kelopak bunga diatas pemakaman Khansa.Segera ia membacakan surah-surah Al-Qur'an dikhususkan untuk almarhumah yakni Yasin, Al-Waqi'ah dan Al-
Key, adalah anak yang tidak tau sama sekali siapa, dimana, bagaimana orang tua kandungnya. Besar di panti asuhan membuatnya selalu menyebut dirinya buta dan tuli akan Ayah Ibunya.Sampai krisis moneter panti asuhan melanda dirinya dan anak-anak lainnya. Mendorong Key kecil harus dewasa sebelum waktunya. Ia pun bergelut dengan dunia yang sebenarnya, mencari uang dengan mengamen di jalanan.Hingga sampailah Key duduk dibangku kelas empat SD, hasilnya mengamen tidak cukup untuk membiayai sekolahnya. Maka Key mendobrak sisi baik dalam dirinya, titik hitam mulai menguasai hatinya. Hingga ia berakhir masuk ke dunia kegelapan dengan menjadi seorang pencuri dan pencopet.Jungkir balik dalam dunia hitam telah Key rasakan berulang kali. Rasa sakit seolah-olah menjadi temannya, sisi baik sudah ia sirnakan dalam dirinya. Hanya satu yang ia tuju yakni demi kehidupan yang memadai. Bermodalkan teman-teman jalanannya, Key mampu memb
Dua hari berlalu setelah pemakaman Khansa. Leo masih mengurung di kamar dengan pipi terus menitikan air mata. Sampai-sampai kantung matanya mulai terlihat gelap karena teus menerus menangis. Badannya lemah dan rambutnya kusut, dua hari ini hanya ia habiskan untuk menyandar di pintu sembari melamun. Tangan kanannya masih memegangi buku diary peninggalan Khansa. "Non Khansa berpesan sebelum kondisinya kritis. Ia meminta Bibi untuk menyerahkan tas, buku, dan laptop sama Aden. Terima ya Den, ini permintaan terakhir non Khansa." Perkataan Bi Arin terngiang di pikirannya. Leo sama sekali belum melihat isi tasnya, itu
Leo merebahkan tubuhnya di kamar lamanya. Hari ini adalah hari yang amat lelah baginya setelah menyaksikan rekonstruksi kasus Riana. Berusaha mengubur ingatannya tentang pembunuhan keluarganya itu, Leo mengistirahatkan diri hari ini. Merasa dahaga karena cuaca cukup panas, Leo beranjak ke dapur untuk mencari minuman segar. Maka diambilah jus lemon di lemari pendingin. Bersandar di jendela dapur sambil memandangi suasana kebun memanglah menghijaukan pandangan. Seteguk jus lemon yang dingin mengalir di tenggorokan dengan nikmatnya, sangat cocok diminum sebagai pemuas dahaga. Terbuai dengan suasana, tak sengaja Leo menyenggol lemari gelas di belakangnya. Senggolannya cukup keras membuat salah satu gelas jatuh dan pecah di tangan kirinya. Leo meringis karena pecahan itu melukai tangannya membuat darah segar menggenang di pergelangan tangannya. Bukan
Setelah pengakuan mengejutkan dari Khansa, sedikit demi sedikit mereka mulai menghilangkan kecanggungannya masing-masing. Hal ini berbeda dari ekspetasi Khansa bahwa Leo akan kecewa dan menghindarinya, nyatanya pengakuan itu malah membuat mereka semakin dekat.Dua hari setelahnya Leo terus menemani Khansa di rumah sakit dan tak jarang untuk menghiburnya dengan jalan-jalan keluar. Sempat terlintas di benak Leo, kenapa Khansa masih harus menjalankan perawatan? Padahal dirinya dan gadis itu masuk rumah sakit pada hari yang sama.Semua itu terpikirkan karena Leo tidak sabar untuk mengajak Khansa jalan-jalan dan kembali duduk meneduh di pinggir danau seperti dulu lagi.Kali sekarang Leo mengajak dua sahabatnya, Reynal dan Aditia juga menjenguknya. Namun ada rasa tak enak di benak Leo saat Khansa tidak berbicara padanya sama sekali, menimang Leo tidak menjenguk Khansa akhir-akhir ini karena disibukkan dengan urusan pengadilan Ri
Leo meracau di kamarnya. Ia bingung dengan sifat Khansa yang berubah akhir-akhir ini. Kondisinya kian membaik pasca dia pingsan di taman, hanya saja pihak rumah sakit belum membolehkan Khansa untuk pulang dan masih harus menjalankan perawatan beberapa hari lagi. Lelaki itu sudah beberapa kali menjenguk Khansa. Namun Leo dibuat heran bahkan bingung sendiri dengan sikap gadis itu. Khansa belum pernah menjawab setiap pertanyaan yang Leo tanyakan. Jangankan menjawab, Gadis itu bahkan tidak berbicara sama sekali dengannya. Tetapi Leo tidak menyerah, sekali lagi ia akan pergi menemuinya. Mungkin menanyakan baik-baik kenapa dirinya akhir-akhir ini sifatnya berubah. Jika harus meminta maaf karena kesalahan besarnya, Leo siap melakukannya. Lagi pula tragedi itu terjadi karena dirinya. Singkat cerita Leo sampai di rumah sakit. Ia melihat Bi Arin bersama Echa tengah membawa Khansa jalan-jalan keluar ruangan. Mata gadis itu masih t
"Leo? Leo!" "Bertahan bro." "Lo pasti kuat." "Sadar Leo." "Jangan tinggalin Bibi, Leo." Seruan itu memaksa Leo untuk membuka matanya. Atap putih dan tiang infus menjadi benda pertama yang lihat. Matanya pun kembali beredar dengan benak bertanya-tanya, dimana ini? Rumah sakit. Badannya masih terasa lemas. Bukan hanya itu, sakit dan pegal nyaris menyebar di sekujur tubuhnya. Leo hendak bangun sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di sebuah ranjang yang dikelilingi banyak orang. "Leo, akhirnya kamu sadar juga," ucap Fira penuh haru seraya menggenggam tangan Keponakannya itu. "Alhamdulilah, lo gapapa kan?" tan