Leo duduk termenung di rerimbunan pohon yang berdiri tegak di pinggir danau. Ia benar-benar berfikir keras untuk keluar dari masalahnya itu. Untuk saat ini, ia membutuhkan jawaban atas segala pertanyaan di benaknya itu.
Sesekali ia memijat keningnya karena terlalu keras berfikir. Apa aku harus menerima tinggal bersama Ayah? benaknya bertanya-tanya, menurutnya itulah langkah pertama untuk mengetahui kebenaran tentang tragedi masa lalunya. Menurutnya, ada beberapaa kejanggalan yang harus ia selidiki.
"Duaarrr!"
Suara itu jelas membuat Leo terhentak karena terkejut, renungannya juga buyar seketika karena mendengar suara itu. Kala ia menoleh ke sumber suara, matanya sempat terbelalak mendapati Khansa yang dari tadi jongkok sambil menertawakannya.
"Kaget ya? Hehe maaf," ujar Khansa sambil mengambil po
Kamis pun tiba, Leo dan Aditia berkemas memasukan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil Reynal, hanya saja saat ini Reynal terlihat terjebak dengan lamunan yang mengiangi pikirannya. Membuat dirinya terlihat lambat saat berkemas."Rey? Napa si? Ngelamun mulu," tanya Aditia yang daritadi memperhatikannya."Ada hal yang belum gue kasih tau sama lo berdua," jawab Reynal yang membuat Leo berhenti berkemas dan ikut ke dalam pembicaraan."Emang ada apa?" tanya Aditia kembali.Belum juga Reynal menjawab, ketiganya sudah di hebohkan dengan teriakan Fayla yang datang menghampiri ke tiganya."Cihuuuyy! I'm coming guys, kita jadi ke pantai nih yeaayyy!" teriak Fayla yang membuat ke tiga pria itu menoleh."Berisik lo kacamata bunglon! Ni kuping meledak denger suara lo!" seru Aditia membalas teriakan Fayla."Eh gagak hutan! Ter
"Yok naik semua, gue yang nyetir!" suruh Aditia pada yang lainnya saat mereka menyewa mobil ontel untuk mengelilingi pantai."Emang bisa? Setau gue lo kan gak bisa nyetir mobil," timpal Reynal membuat Aditia berdecak kesal."Jangan buka kartu disini dong Rey! Ntar gue belajar, lagipula kan ini cuma mobil goes (mobil kayuh)." Aditia mulai menduduki tempat setir mobilnya."Feeling gue gak enak nih," gumam Reynal."Yo cepetan naik semua. Heh Gagak Hutan! Awas ya kalo nyetirnya gak bener!" ancam Fayla yang sudah duduk di joke belakang Aditia."Bawel lo, Bunglon!" decak Aditia.Mereka pun naik. Leo duduk di joke depan dan para gadis duduk di joke tengah yang menampung tiga orang. Sedangkan Reynal duduk sendiri di joke paling belakang."Oke udah siap? Kit
Hey, kamu sebenernya mau kemana sih?" Khansa mulai bicara setelah dari tadi membuntuti Leo dari belakang."Keliling," jawab Leo singkat."Gak ada yang lebih seru kek caranya?" gerutu Khansa sambil mendahului Leo berjalan kemudian meghadangnya. "Daripada keliling, mending kamu promosiin cerita aku," ujar Khansa sambil melentangkan tangannya."Promosi?" gumam Leo yang terlihat keheranan."Masa lupa? Kamu kan udah janji pas di pinggir danau," rengek Khansa.Leo hanya menanggapi Khansa dengan ekspresi datarnya "Nanti," jawabnya.Sabar. Satu kata yang harus Khansa
"Key? Baru liat sekarang. Lo kemana aja? Apa guenya yang gak liat kali ya?" tanya Aditia setelah Khansa ikut bergabung ke meja makan.Khansa hanya tersenyum menanggapi perkataan Aditia. Pria itu memakluminya, dari awal gadis ini susah menjawab pertanyaan dari lawan jenis. Kecuali jika berbicara dengan sesama jenisnya."Liat lo, gue jadi keinget sesuatu. Tau gak? Kemarin gue liat yang aneh," ucap Aditia seraya memotong hidangan ayam panggang dan memindahkan ke piringnya.Perkataan Aditia membuat semuanya berhenti makan sejenak. "Emang lo liat apaan Dit?" tanya Reynal kemudian melanjutkan suapan makannya lagi.Aditia menilik-nilik Leo dan Khansa dengan teliti, sepertinya wajah yang kemarin benar-benar mirip dengan keduanya. Namun melihat mereka saat makan juga diam saja seperti belum saling mengenal, Aditia ragu dan menepis sangkaannya. "Gak mungkin deh," gumamnya.
Pukul 03.30 pagi, Khansa mengucek bola mata kantuknya dan berusaha men-charge ponselnya yang mati sejak semalam tadi. Meninggalkan ponselnya yang sudah ia nyalakan, segera Khansa beranjak ke kamar mandi.Ponsel dengan data seluler yang belum mati terdengar mengeluarkan bunyi notifikasi berkali-kali. Ini aneh, Khansa terbilang jarang mendapat banyak notifikasi atau bahkan chat. Ia selalu menyembunyikan akunnya itu, hanya beberapa orang saja temannya yang tau akun atau kontaknya. Terlampau penasaran, Khansa pun kembali dan mencoba melihat apa isi ponselnya.Mata Khansa terbeliak kala melihat apa yang ada di ponselnya. Ia pun melempar ponselnya ke atas kasur membiarkan ratusan notifikasi menggetarkan ponselnya. Semu tidak percaya, ia pun menjerit sebentar kemudian menutup mulutnya itu dengan t
Leo selesai berbenah, kemudian bersiap masuk mobil bersama barang-barangnya. Meski sedikit berat hati karena meninggalkan Bibinya, Leo tetap memaksakan untuk pergi. Ada alasan lain kenapa Leo memutuskan untuk tinggal bersama Ayahnya."Sudah siap berangkat?" tanya Fira sambil menghampiri Keponakannya itu.Leo mengangguk. "Terimakasih Bi, karena selama ini sudah mau merawat Leo. Maaf merepotkan Bibi," ujar Leo pada Bibinya yang sudah ia anggap orang tua sendiri."Leo." Fira memegang pundak Leo, "kau mengingatkanku pada Adrian. Lagipula Bibi banyak berhutang budi dengan Kak Arlin, sudah seharusnya Bibi merawatmu," balas Fira."Jangan Khawatir, Leo pasti sering mengunjungi Bibi," lanjut Leo.Fira tersenyum. "Gapapa, lagipula Pamanmu sama Adrian datang bulan ini.""Syukurlah, sampaikan salam Leo pada mereka. Nanti Leo kembali kesini dan mengunjungi mereka."Kem
"Sebenarnya dulu sempat saya ingin berbicara ini padamu. Hanya saja, umurmu belum cukup untuk mengerti. Mungkin sekarang, kau sudah bisa mengerti semuanya," jelas Jaka."Sebenarnya apa yang ingin anda bicarakan?"Jaka terdiam sesaat. Angin sepoi pun datang yang sejuknya meresapi kulit dua insan yang tengah duduk di kursi taman itu. Membuat bulu-bulu pergelangan tangan Leo berdiri. Leo merasakannya, perasaan yang was-was pasti melanda dirinya setelah mendengar pembahasan mengenai pembunuhan keluarganya."Menurutmu, kategori apa kasus yang menimpa keluargamu dulu?" Jaka membuka perbincangan dengan pertanyaan serius.Leo berfikir dan berusaha mengingat kembali ingatannya. "Ini semacam.., pembunuhan yang dilatarbelakangi perampokan," jawab Leo.Mendengar pernyataan Leo, Jaka terlihat menghela nafas panjang. "Berdasarkan penyelidikan yang saya lakukan, perampokan yang terjadi pada keluargamu bu
Khansa hanya menunduk malu sambil duduk di ranjang kamarnya. Mendapati orang yang ada di sampingnya kali ini adalah Leo."Em, makasih lagi. Kata Bi Arin, kamu kemarin nolong aku," ucap Khansa memecah keheningan."Bagaimana keadaanmu?"Khansa menarik-narik selimutnya dan berbuat salah tingkah. "Ya, seperti biasa, baik baik ajah."Leo memicingkan matanya. "Pingsan dengan hidung berdarah, apa menurutmu itu baik-baik saja?""Ih gak percayaan banget deh. Itu tuh cuma mimisan biasa doang," tukas Khansa.Leo menganggukan kepalanya. "Yah, aku mengerti. Kau tidak ingin
Leo terlihat membereskan pakaiannya untuk ia kemas dalam koper. Dari pagi Leo hanya sibuk sendiri di kamar. Mempersiapkan matang-matang keberangkatannya besok lusa. Arlinda hanya tersenyum saat mendapati putranya sangat bersemangat untuk berangkat ke pesantren. "Sudah beres berkemasnya?" tanya Arlinda yang membuat Leo menoleh ke belakang. "Belum," ujar Leo sambil tersenyum. "O ya, ada yang ingin ketemu sama kamu loh," balas Ibunya. Leo pun mengrengitkan dahinya. "Siapa, Bu?" Arlinda pun tersenyum sambil menoleh ke belakangnya. Ia membawa dua orang laki-laki seumuran Leo. Arlinda pun mempersilahkan dua orang itu masuk ke kamar Leo. "Silahkan kalian temani El, Tante tinggal disini ya," ucap Arlinda pada dua orang laki-laki itu dan berakhir meninggalkan mereka. Bola mata Leo terbuka lebar, mendapati dua orang lelaki yang ada di depannya kini adalah
"El?""El sudah sadar.""Alhamdulilah..."Terdengar patah kata syukur memenuhi ruangan yang terlihat asing bagi Leo. Beberapa orang terdengar suka cita mengelilingi dirinya.Leo merasakan tubuhnya yang sepertinya tengah berbaring, dirinya hendak bangun, namun seluruh tubuhnya masih lemas. Entah kenapa tiba-tiba ia susah berbicara, selang oksigen juga masih mengurung hidungnya yang semakin mempersulitnya bicara.Apa yang terjadi? Dimana aku?Leo masih belum mengerti keadaanya sekarang. Yang ia lakukan sekarang ini hanyalah mengedarkan bola matanya melihat sekitarannya.Tiba-tiba dua orang perempuan memeluknya. Yang satu memeluk tubuhnya dan yang satu terus menciumi keningnya sambil terus menangis. Ked
Satu minggu berlalu setelah kematian Khansa. Leo memberanikan keluar rumah untuk berziarah ke makam gadisnya.Waktu satu minggu terbilang cukup untuk membuatnya kembali pulih dari kesedihannya itu. Leo memutuskan untuk menjadi sesorang yang tegar dan tidak mudah putus asa. Ia masih memiliki masa depan yang harus dipikirkan, terlebih usianya terbilang masih belia. Masih panjang perjalanan yang harus ia tempuh.Setibanya disana, ia mendapati kuburan Khansa yang masih terlihat baru. Ia pun berjongkok sembari mengelus-elus batu nisannya. Sesekali Leo tersenyum getir sambil melihat batu nisan yang bertuliskan Khansa Arima Iriana itu."Hey, aku kemari. Maaf baru kali ini." Leo berbicara sambil menaburkan taburan kelopak bunga diatas pemakaman Khansa.Segera ia membacakan surah-surah Al-Qur'an dikhususkan untuk almarhumah yakni Yasin, Al-Waqi'ah dan Al-
Key, adalah anak yang tidak tau sama sekali siapa, dimana, bagaimana orang tua kandungnya. Besar di panti asuhan membuatnya selalu menyebut dirinya buta dan tuli akan Ayah Ibunya.Sampai krisis moneter panti asuhan melanda dirinya dan anak-anak lainnya. Mendorong Key kecil harus dewasa sebelum waktunya. Ia pun bergelut dengan dunia yang sebenarnya, mencari uang dengan mengamen di jalanan.Hingga sampailah Key duduk dibangku kelas empat SD, hasilnya mengamen tidak cukup untuk membiayai sekolahnya. Maka Key mendobrak sisi baik dalam dirinya, titik hitam mulai menguasai hatinya. Hingga ia berakhir masuk ke dunia kegelapan dengan menjadi seorang pencuri dan pencopet.Jungkir balik dalam dunia hitam telah Key rasakan berulang kali. Rasa sakit seolah-olah menjadi temannya, sisi baik sudah ia sirnakan dalam dirinya. Hanya satu yang ia tuju yakni demi kehidupan yang memadai. Bermodalkan teman-teman jalanannya, Key mampu memb
Dua hari berlalu setelah pemakaman Khansa. Leo masih mengurung di kamar dengan pipi terus menitikan air mata. Sampai-sampai kantung matanya mulai terlihat gelap karena teus menerus menangis. Badannya lemah dan rambutnya kusut, dua hari ini hanya ia habiskan untuk menyandar di pintu sembari melamun. Tangan kanannya masih memegangi buku diary peninggalan Khansa. "Non Khansa berpesan sebelum kondisinya kritis. Ia meminta Bibi untuk menyerahkan tas, buku, dan laptop sama Aden. Terima ya Den, ini permintaan terakhir non Khansa." Perkataan Bi Arin terngiang di pikirannya. Leo sama sekali belum melihat isi tasnya, itu
Leo merebahkan tubuhnya di kamar lamanya. Hari ini adalah hari yang amat lelah baginya setelah menyaksikan rekonstruksi kasus Riana. Berusaha mengubur ingatannya tentang pembunuhan keluarganya itu, Leo mengistirahatkan diri hari ini. Merasa dahaga karena cuaca cukup panas, Leo beranjak ke dapur untuk mencari minuman segar. Maka diambilah jus lemon di lemari pendingin. Bersandar di jendela dapur sambil memandangi suasana kebun memanglah menghijaukan pandangan. Seteguk jus lemon yang dingin mengalir di tenggorokan dengan nikmatnya, sangat cocok diminum sebagai pemuas dahaga. Terbuai dengan suasana, tak sengaja Leo menyenggol lemari gelas di belakangnya. Senggolannya cukup keras membuat salah satu gelas jatuh dan pecah di tangan kirinya. Leo meringis karena pecahan itu melukai tangannya membuat darah segar menggenang di pergelangan tangannya. Bukan
Setelah pengakuan mengejutkan dari Khansa, sedikit demi sedikit mereka mulai menghilangkan kecanggungannya masing-masing. Hal ini berbeda dari ekspetasi Khansa bahwa Leo akan kecewa dan menghindarinya, nyatanya pengakuan itu malah membuat mereka semakin dekat.Dua hari setelahnya Leo terus menemani Khansa di rumah sakit dan tak jarang untuk menghiburnya dengan jalan-jalan keluar. Sempat terlintas di benak Leo, kenapa Khansa masih harus menjalankan perawatan? Padahal dirinya dan gadis itu masuk rumah sakit pada hari yang sama.Semua itu terpikirkan karena Leo tidak sabar untuk mengajak Khansa jalan-jalan dan kembali duduk meneduh di pinggir danau seperti dulu lagi.Kali sekarang Leo mengajak dua sahabatnya, Reynal dan Aditia juga menjenguknya. Namun ada rasa tak enak di benak Leo saat Khansa tidak berbicara padanya sama sekali, menimang Leo tidak menjenguk Khansa akhir-akhir ini karena disibukkan dengan urusan pengadilan Ri
Leo meracau di kamarnya. Ia bingung dengan sifat Khansa yang berubah akhir-akhir ini. Kondisinya kian membaik pasca dia pingsan di taman, hanya saja pihak rumah sakit belum membolehkan Khansa untuk pulang dan masih harus menjalankan perawatan beberapa hari lagi. Lelaki itu sudah beberapa kali menjenguk Khansa. Namun Leo dibuat heran bahkan bingung sendiri dengan sikap gadis itu. Khansa belum pernah menjawab setiap pertanyaan yang Leo tanyakan. Jangankan menjawab, Gadis itu bahkan tidak berbicara sama sekali dengannya. Tetapi Leo tidak menyerah, sekali lagi ia akan pergi menemuinya. Mungkin menanyakan baik-baik kenapa dirinya akhir-akhir ini sifatnya berubah. Jika harus meminta maaf karena kesalahan besarnya, Leo siap melakukannya. Lagi pula tragedi itu terjadi karena dirinya. Singkat cerita Leo sampai di rumah sakit. Ia melihat Bi Arin bersama Echa tengah membawa Khansa jalan-jalan keluar ruangan. Mata gadis itu masih t
"Leo? Leo!" "Bertahan bro." "Lo pasti kuat." "Sadar Leo." "Jangan tinggalin Bibi, Leo." Seruan itu memaksa Leo untuk membuka matanya. Atap putih dan tiang infus menjadi benda pertama yang lihat. Matanya pun kembali beredar dengan benak bertanya-tanya, dimana ini? Rumah sakit. Badannya masih terasa lemas. Bukan hanya itu, sakit dan pegal nyaris menyebar di sekujur tubuhnya. Leo hendak bangun sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di sebuah ranjang yang dikelilingi banyak orang. "Leo, akhirnya kamu sadar juga," ucap Fira penuh haru seraya menggenggam tangan Keponakannya itu. "Alhamdulilah, lo gapapa kan?" tan