"Sebenarnya dulu sempat saya ingin berbicara ini padamu. Hanya saja, umurmu belum cukup untuk mengerti. Mungkin sekarang, kau sudah bisa mengerti semuanya," jelas Jaka.
"Sebenarnya apa yang ingin anda bicarakan?"
Jaka terdiam sesaat. Angin sepoi pun datang yang sejuknya meresapi kulit dua insan yang tengah duduk di kursi taman itu. Membuat bulu-bulu pergelangan tangan Leo berdiri. Leo merasakannya, perasaan yang was-was pasti melanda dirinya setelah mendengar pembahasan mengenai pembunuhan keluarganya.
"Menurutmu, kategori apa kasus yang menimpa keluargamu dulu?" Jaka membuka perbincangan dengan pertanyaan serius.
Leo berfikir dan berusaha mengingat kembali ingatannya. "Ini semacam.., pembunuhan yang dilatarbelakangi perampokan," jawab Leo.
Mendengar pernyataan Leo, Jaka terlihat menghela nafas panjang. "Berdasarkan penyelidikan yang saya lakukan, perampokan yang terjadi pada keluargamu bu
Khansa hanya menunduk malu sambil duduk di ranjang kamarnya. Mendapati orang yang ada di sampingnya kali ini adalah Leo."Em, makasih lagi. Kata Bi Arin, kamu kemarin nolong aku," ucap Khansa memecah keheningan."Bagaimana keadaanmu?"Khansa menarik-narik selimutnya dan berbuat salah tingkah. "Ya, seperti biasa, baik baik ajah."Leo memicingkan matanya. "Pingsan dengan hidung berdarah, apa menurutmu itu baik-baik saja?""Ih gak percayaan banget deh. Itu tuh cuma mimisan biasa doang," tukas Khansa.Leo menganggukan kepalanya. "Yah, aku mengerti. Kau tidak ingin
"A-ar-lin-da..."Leo membeliakan matanya. Ayahnya mengigaukan mendiang Ibunya? Apakah ini artinya Antonio masih mencintai Arlinda? Lalu kenapa Antonio tega berkhianat sampai selingkuh dengan Riana?Leo memejamkan matanya kuat-kuat. Masalah ini sangatlah berbelit untuk difahami. Leo benar-benar tidak mengerti dengan keadaan yang sebenarnya. Mulai dari mana ia harus memecahkan misterinya itu?Apa mungkin desain kamar yang Leo tempati itu sengaja dibuat mengikuti kesukaan Arlinda supaya Antonio senantiasa mengingat sosok mendiang istrinya itu?Leo mulai melemah, ia pun menyandarkan bahunya pada dinding sambil terus memperhatikan Ayahnya itu. Kondisi Leo kali ini mudah lelah dikarenakan otaknya selalu dipakai berfikir keras akhir-akhir ini.Tak lama kemudian, ponsel Leo berdering. Diraihnya, ternyata masuk sebuah pesan singkat yang sukses membuat Leo kembali terkejut.
Leo dan ketiga temannya kembali lagi ke Rumah Sakit Senja Biru, tempat yang sama dengan dirawatnya Antonio. Disana mereka sempat betemu dengan Fira yang sedang mencari Yumna disana."Leo? Kenapa tanganmu diperban? Kau terluka? Muka kamu juga kenapa?"Deretan pertanyaan dilontarkan Fira saat Leo datang menghampirinya."Kenapa tangannmu? Sepertinya kelihatan parah, apa yang sebenarnya terjadi?""Gini Bi, jadi si Leo itu uda---awwwhh sakit anjir!" Aditia yang hendak menjawab pertanyaan Fira akhirnya tertunda karena Leo mengijak kakinya sebagai isyarat untuk bungkam.Leo mendelik pada Aditia kemudian kembali menoleh pada Bibinya. "Ini bukan apa-apa Bi, hanya luka karena terjatuh saja tadi.""Kamu yakin? Tapi muka kamu lebam gitu, kamu yakin cuma jatuh? Kamu gak berantem 'kan?" Fira sedikit tidak percaya dengan pernyataan Keponakannya setelah melihat beberapa bekas merah dan biru memenuhi
"Tuan!" seru supir pribadi Riana saat Leo keluar mobil dan hendak masuk ke dalam rumah. Remaja itu hanya menoleh tanpa menyahut seruan itu."Ini handphonenya Juragan, tadi Bu Riana nitip sama saya. Tapi kalo dipikir lagi, mending saya kasih aja sama Tuan," ujar pria berumur empat puluh tahunan itu.Leo menerima ponsel yang diserahkan supir Riana. Tanpa basa-basi, Leo segera masuk menuju kamarnya karena lukanya membuatnya kian terkurai lemas. Maka ia istirahatkan lukanya itu dan terlelap tidur dengan tangan yang masih memegang ponsel milik Ayahnya.Leo memejamkan mata. Meski demikian, pikirannya melayang-layang memikirkan solusi dari masalah yang menimpa ia dan keluarganya. Namun sebelum ia lelap tertidur, ia pun menyadari sesuatu. Ia teringat dengan posel Antonio yang sekarang dipegangnya.Leo segera bangkit, mungkin ada petunjuk dalam ponsel Ayahnya itu. Terlebih lagi ia teringat akan perbincanga
Leo sudah lama tidak mengunjungi danau tempat dirinya termenung dulu. Melepaskan beban, menenangkan pikiran, dan mengistirahatkan tenaga adalah hal yang didapatkan jika diam disana.Ia terus memikirkan perkataan Jaka sebelum diseret ke kantor polisi."Berpikir logika Leo! Saya mencintai Arlinda, mana mungkin saya membunuh orang yang saya cintai?!"Entah kenapa perkataan Pak Jaka selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Kalo menurut akal dan logika, memang mustahil seseorang membunuh orang yang dicintainya.Tetapi bukti bahwa Jaka ada di tempat terbunuhnya Pak Ilham sudah jelas menunjukan ia pelakunya. Pisau yang dipeganginya juga berlumuran darah. Yang lebih menguatkannya lagi, bagaima
Khansa?!Tanpa pikir panjang, maka buru-buru Leo meninggalkan lapangan dan berlari ke jalanan. Ia yakin, pasti ada petunjuk untuk mengetahui siapa yang menculik Khansa.Tak lama setelah ia sampai ke jalanan. Terlihat sebuah mobil sedan melesat tak jauh dari posisinya sekarang. Leo yakin itu adalah pelakunya, maka ia mengejarnya dengan sekuat tenaga.Dengan nafas terenggal-enggal, Leo mulai kehabisan tenaga.Kekuatan laju mesin berbeda jauh dengan kekuatan lari manusia, sehingga mobil itu kian berjarak dengannya. Tak kehabisan akal, Leo mengingat-ngingat plat nomornya saat mobil semakin meninggalkannya.Bukankah plat nomor itu?"Ck! Jadi dia ingin bermain cerdik denganku?" decak Leo sembari memperhatikan laju mobil yang semakin tidak berbekas.****Ding dongSuara bel rumah Reynal sejak ta
Leo akhirnya sampai di sebuah bangunan besar setelah mengikuti alamat yang tertera di pesan teror itu. Bangunan itu hanya memiliki satu lantai namun areanya sangat luas, berlorong seperti lekukan labirin. Setelah memarkirkan motor yang ia pinjam dari sopir Ayahnya, Leo sedikit terkejut karena menemukan mobil dengan plat yang ia kenal. Yang lebih membuatnya terkaget lagi, motor ninja putih kesayangannya juga ikut terparkir disana.Leo mengabaikan motor dan mobil --yang merupakan milik Ayahnya tersebut.Segera ia bergegas ke arah lorong gelap yang kini berada di depannya. Terlihat samar-samar cahaya di ujung lorong sana, membuat ia harus mempercepat langkahnya.Saat menembus cahaya itu, dirinya terbawa masuk ke sebuah ruangan yang benderang dit
Suara langkah kaki kian mengencang, Riana sudah mendekat. Khansa mengumpat dalam hati karena tangannya tidak kunjung terlepas dari ikatannya. Ceklek. Pintu akhirnya terbuka dan menampakkan Riana yang membukanya. Segera wanita itu berjalan mendekati Khansa yang keadaannya masih terikat. "Kau senjata berhargaku gadis manis," ujar Riana seraya membuka kain yang membungkam mulut Khansa dan melepaskan tali yang mengikat kakinya. "Lepasin! Tante maunya apaan si?" gertak Khana "Diam!" bentak Riana. "Dasar wanita jahat, Tante mau aku
Leo terlihat membereskan pakaiannya untuk ia kemas dalam koper. Dari pagi Leo hanya sibuk sendiri di kamar. Mempersiapkan matang-matang keberangkatannya besok lusa. Arlinda hanya tersenyum saat mendapati putranya sangat bersemangat untuk berangkat ke pesantren. "Sudah beres berkemasnya?" tanya Arlinda yang membuat Leo menoleh ke belakang. "Belum," ujar Leo sambil tersenyum. "O ya, ada yang ingin ketemu sama kamu loh," balas Ibunya. Leo pun mengrengitkan dahinya. "Siapa, Bu?" Arlinda pun tersenyum sambil menoleh ke belakangnya. Ia membawa dua orang laki-laki seumuran Leo. Arlinda pun mempersilahkan dua orang itu masuk ke kamar Leo. "Silahkan kalian temani El, Tante tinggal disini ya," ucap Arlinda pada dua orang laki-laki itu dan berakhir meninggalkan mereka. Bola mata Leo terbuka lebar, mendapati dua orang lelaki yang ada di depannya kini adalah
"El?""El sudah sadar.""Alhamdulilah..."Terdengar patah kata syukur memenuhi ruangan yang terlihat asing bagi Leo. Beberapa orang terdengar suka cita mengelilingi dirinya.Leo merasakan tubuhnya yang sepertinya tengah berbaring, dirinya hendak bangun, namun seluruh tubuhnya masih lemas. Entah kenapa tiba-tiba ia susah berbicara, selang oksigen juga masih mengurung hidungnya yang semakin mempersulitnya bicara.Apa yang terjadi? Dimana aku?Leo masih belum mengerti keadaanya sekarang. Yang ia lakukan sekarang ini hanyalah mengedarkan bola matanya melihat sekitarannya.Tiba-tiba dua orang perempuan memeluknya. Yang satu memeluk tubuhnya dan yang satu terus menciumi keningnya sambil terus menangis. Ked
Satu minggu berlalu setelah kematian Khansa. Leo memberanikan keluar rumah untuk berziarah ke makam gadisnya.Waktu satu minggu terbilang cukup untuk membuatnya kembali pulih dari kesedihannya itu. Leo memutuskan untuk menjadi sesorang yang tegar dan tidak mudah putus asa. Ia masih memiliki masa depan yang harus dipikirkan, terlebih usianya terbilang masih belia. Masih panjang perjalanan yang harus ia tempuh.Setibanya disana, ia mendapati kuburan Khansa yang masih terlihat baru. Ia pun berjongkok sembari mengelus-elus batu nisannya. Sesekali Leo tersenyum getir sambil melihat batu nisan yang bertuliskan Khansa Arima Iriana itu."Hey, aku kemari. Maaf baru kali ini." Leo berbicara sambil menaburkan taburan kelopak bunga diatas pemakaman Khansa.Segera ia membacakan surah-surah Al-Qur'an dikhususkan untuk almarhumah yakni Yasin, Al-Waqi'ah dan Al-
Key, adalah anak yang tidak tau sama sekali siapa, dimana, bagaimana orang tua kandungnya. Besar di panti asuhan membuatnya selalu menyebut dirinya buta dan tuli akan Ayah Ibunya.Sampai krisis moneter panti asuhan melanda dirinya dan anak-anak lainnya. Mendorong Key kecil harus dewasa sebelum waktunya. Ia pun bergelut dengan dunia yang sebenarnya, mencari uang dengan mengamen di jalanan.Hingga sampailah Key duduk dibangku kelas empat SD, hasilnya mengamen tidak cukup untuk membiayai sekolahnya. Maka Key mendobrak sisi baik dalam dirinya, titik hitam mulai menguasai hatinya. Hingga ia berakhir masuk ke dunia kegelapan dengan menjadi seorang pencuri dan pencopet.Jungkir balik dalam dunia hitam telah Key rasakan berulang kali. Rasa sakit seolah-olah menjadi temannya, sisi baik sudah ia sirnakan dalam dirinya. Hanya satu yang ia tuju yakni demi kehidupan yang memadai. Bermodalkan teman-teman jalanannya, Key mampu memb
Dua hari berlalu setelah pemakaman Khansa. Leo masih mengurung di kamar dengan pipi terus menitikan air mata. Sampai-sampai kantung matanya mulai terlihat gelap karena teus menerus menangis. Badannya lemah dan rambutnya kusut, dua hari ini hanya ia habiskan untuk menyandar di pintu sembari melamun. Tangan kanannya masih memegangi buku diary peninggalan Khansa. "Non Khansa berpesan sebelum kondisinya kritis. Ia meminta Bibi untuk menyerahkan tas, buku, dan laptop sama Aden. Terima ya Den, ini permintaan terakhir non Khansa." Perkataan Bi Arin terngiang di pikirannya. Leo sama sekali belum melihat isi tasnya, itu
Leo merebahkan tubuhnya di kamar lamanya. Hari ini adalah hari yang amat lelah baginya setelah menyaksikan rekonstruksi kasus Riana. Berusaha mengubur ingatannya tentang pembunuhan keluarganya itu, Leo mengistirahatkan diri hari ini. Merasa dahaga karena cuaca cukup panas, Leo beranjak ke dapur untuk mencari minuman segar. Maka diambilah jus lemon di lemari pendingin. Bersandar di jendela dapur sambil memandangi suasana kebun memanglah menghijaukan pandangan. Seteguk jus lemon yang dingin mengalir di tenggorokan dengan nikmatnya, sangat cocok diminum sebagai pemuas dahaga. Terbuai dengan suasana, tak sengaja Leo menyenggol lemari gelas di belakangnya. Senggolannya cukup keras membuat salah satu gelas jatuh dan pecah di tangan kirinya. Leo meringis karena pecahan itu melukai tangannya membuat darah segar menggenang di pergelangan tangannya. Bukan
Setelah pengakuan mengejutkan dari Khansa, sedikit demi sedikit mereka mulai menghilangkan kecanggungannya masing-masing. Hal ini berbeda dari ekspetasi Khansa bahwa Leo akan kecewa dan menghindarinya, nyatanya pengakuan itu malah membuat mereka semakin dekat.Dua hari setelahnya Leo terus menemani Khansa di rumah sakit dan tak jarang untuk menghiburnya dengan jalan-jalan keluar. Sempat terlintas di benak Leo, kenapa Khansa masih harus menjalankan perawatan? Padahal dirinya dan gadis itu masuk rumah sakit pada hari yang sama.Semua itu terpikirkan karena Leo tidak sabar untuk mengajak Khansa jalan-jalan dan kembali duduk meneduh di pinggir danau seperti dulu lagi.Kali sekarang Leo mengajak dua sahabatnya, Reynal dan Aditia juga menjenguknya. Namun ada rasa tak enak di benak Leo saat Khansa tidak berbicara padanya sama sekali, menimang Leo tidak menjenguk Khansa akhir-akhir ini karena disibukkan dengan urusan pengadilan Ri
Leo meracau di kamarnya. Ia bingung dengan sifat Khansa yang berubah akhir-akhir ini. Kondisinya kian membaik pasca dia pingsan di taman, hanya saja pihak rumah sakit belum membolehkan Khansa untuk pulang dan masih harus menjalankan perawatan beberapa hari lagi. Lelaki itu sudah beberapa kali menjenguk Khansa. Namun Leo dibuat heran bahkan bingung sendiri dengan sikap gadis itu. Khansa belum pernah menjawab setiap pertanyaan yang Leo tanyakan. Jangankan menjawab, Gadis itu bahkan tidak berbicara sama sekali dengannya. Tetapi Leo tidak menyerah, sekali lagi ia akan pergi menemuinya. Mungkin menanyakan baik-baik kenapa dirinya akhir-akhir ini sifatnya berubah. Jika harus meminta maaf karena kesalahan besarnya, Leo siap melakukannya. Lagi pula tragedi itu terjadi karena dirinya. Singkat cerita Leo sampai di rumah sakit. Ia melihat Bi Arin bersama Echa tengah membawa Khansa jalan-jalan keluar ruangan. Mata gadis itu masih t
"Leo? Leo!" "Bertahan bro." "Lo pasti kuat." "Sadar Leo." "Jangan tinggalin Bibi, Leo." Seruan itu memaksa Leo untuk membuka matanya. Atap putih dan tiang infus menjadi benda pertama yang lihat. Matanya pun kembali beredar dengan benak bertanya-tanya, dimana ini? Rumah sakit. Badannya masih terasa lemas. Bukan hanya itu, sakit dan pegal nyaris menyebar di sekujur tubuhnya. Leo hendak bangun sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di sebuah ranjang yang dikelilingi banyak orang. "Leo, akhirnya kamu sadar juga," ucap Fira penuh haru seraya menggenggam tangan Keponakannya itu. "Alhamdulilah, lo gapapa kan?" tan