Semua keadaan sama sekali tidak aku duga. Rencana yang semula aku susun berantakan. Lebih baik aku menyelesaikan dengan sangat cepat. Hatiku harus bisa aku susun dengan baik. Aku akan memantapkan semua yang aku rasakan. Dengan cepat aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku sangat terkejut melihat baju yang ukurannya sangat pas buatku. Pasti Cinta yang menyediakannya. Tanpa banyak berpikir aku memakainya. Perasaanku aku siapkan dengan baik.
Perlahan aku keluar. Semua mata memandangku. Aku melangkah ke tengah tepat di hadapan Minah. “Minah, apa kau mau menerimaku atau tidak?” tanyaku memastikan.
Minah menatap Rahman yang menggelengkan kepala. Dia masih tidak menjawab semuanya. “Minah! Jawab!” ucapku keras sekali lagi.
“Agus! Apa kau memang benar mencintainya?” Cinta menyela semakin membuatku marah. Aku menolehkan pandanganku ke arahnya, membalas tatapan tajamnya. “Cinta! Diam, dan jangan menyela! Ini semua gara-gara kamu. Kau s
Di hotel, Minah merasa kebingungan dengan pertanyaan yang diajukan Agus. Dia menatap Rahman yang masih saja menggelengkan kepalanya. Apalagi Cinta dengan tatapan tajam terus menyorot Agus yang sama sekali tidak menganggap dia ada di hadapannya.“Minah! Jawab!” bentak Agus sekali lagi.“Aku … aku … ma-u …”“Minah! Terima saja lamarannya!” Cinta dengan tiba-tiba mengatakan hal yang sangat mengejutkan semua orang terutama Agus. Dia berjalan ke depan Minah dan memegang pundaknya. “Cinta? Tapi …” Minah menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mungkin menerima lamaran itu. Bagaimana dengan Rahman? Kami … kami saling mencintai.” Minah memeluk Rahman dengan erat.“Mbak, ini tidak baik. Hatiku nanti pecah kayak piring yang terlempar di lantai. Mbak kudu mengerti,” sela Rahman terus meyakinkan Cinta.“Cinta! Are you okey?” Ben segera menarik leng
Cinta datang tanpa aku duga. Dia masih sibuk dengan kedua anak itu. Aku hanya diam menatapnya. Wajah itu terbayang. Aku menggeleng cepat. Sepertinya aku sudah mengenalnya sejak lama.“Pegang satu. Aku akan menyusui satunya. Dia Nantha. Ini Laga. Mereka anak-anakku.” Cinta menatapku. Aku diam menurutinya. Tidak aku percaya melakukan itu. Menurut. Itulah yang tanpa sadar aku lakukan.“Loh, kok kelihatan itu?” tanyaku sembari menunjukkan jariku ke gundukan indah. Anak itu enak sekali. Aku menelan saliva melihatnya. Kok bisa aku memikirkan hal tidak jelas ini. Sangat aneh.“Kenapa berpaling? Bukannya kamu sudah pernah melihatnya?” Cinta terkekeh menatapku. Aku masih saja berpaling membelakanginya. Kenapa aku selalu saja khilaf ya sama dia? Seharusnya aku tidak bisa melakukan ini.“Cinta, aku mau pergi.” Cinta menatapku dengan sendu. “Tidak baik berada di dalam rumah tanpa ada siapapun. Kita bukan sepasang
Kepalaku sangat pening. Rasanya samar-samar. Sampai jalan saja kejeduk berkali-kali. Kenapa jadi begini ya? Aku segera memakai baju. Aku ingat di hotel terpeleset di bath up dan terjedut sampai benjol. Lha kok malah parah. Pandanganku terasa gelap. Aku seperti ingin pingsan. Lebih baik aku menuju ranjang saja.“Kenapa ya?”Aku seperti melayang. Duh sakit! Aku sepertinya terlelap.Aku berada di taman. Kenapa aku tiba-tiba di halaman rumahku? Hah, wanita itu mendorong kereta berisi anak kembar? Wajahnya sangat mirip denganku. Mereka berlari menuju ke arahku. Wanita ini memelukku dengan erat. Senyumannya sangat cantik. Aku memeluknya. Kami sangat bahagia.“Agus!”“Hah!”“Loh, kok!”Aku terbangun. Ini di mana? Kok, ada di kamar wanita? Sebaiknya aku memakai baju dan segera keluar saja. Tapi … kok baju beskap. Kayak mau lamaran saja. Ini ndak jelas. Aku segera memakainya. Baju ini seba
Aku bertemu Ben. Dia menyerahkan tiket kepadaku. Ben menemui Cinta. Dia meminta maaf kepada Cinta. Semua masalah dia yang menyebabkan hingga aku kehilangan ingatan. Ben menghadang mobil Cinta dan merayunya untuk kembali. Cinta sangat marah dan menendangnya. Ben berlari hingga menyusulnya sampai ke bandara. Dia melihat Cinta akan pergi ke Paris. Seketika Ben menghubungi Rahman untuk mengatakan keberadaan Cinta. Rahman memintanya untuk membeli tiket di dalam pesawat yang sama dengan Cinta. Ben bersusah payah mencari informasi. Dia menghubungi Mira sahabat Cinta yang kebetulan membelikan Cinta tiket. Ben segera melakukan perintah Rahman.Hatinya lega saat menemukanku dan bisa memberikan tiket untuk membalas budiku.“Pergilah. Cinta ada di dalam pesawat ini,” kata Ben membuatku terkejut seketika. Aku tidak menyangka dia akan melakukan hal itu.“Terima, kasih,” ucapku segera berlari menemui penjaga yang akan menutup akses masuk ke dalam pesawa
Aku terus menatap Cinta. Dia masih saja bersenda gurau dengan pria di sebelahnya, membuatku sangat kesal.“Pak dari tadi tolah-toleh kayak kitiran aja. Nggak enak ini lihatnya,” kata pria di sebelah kananku. Aku ini duduk di antara dua laki-laki tua yang mukanya jutek banget. Bisa kalian bayangkan, bagaimana rasanya duduk di sini. Punggungku mati rasa.“Pak di sana itu istriku. Lihatlah, masa dia itu sama laki-laki lain ketawa-ketiwi gitu. Aku kan, jadinya tidak enak.” Aku semakin kesal melihanya bersama si gundul itu.‘Kamu jadi laki-laki juga nyebelin. Masa istri ditinggal kayak begitu. Ya sudah, terima aja. Itu hukuman buat kamu,” jawabnya semakin membuatku geleng-geleng. Hilang ingatan itu sesuatu yang sama sekali tidak terduga. Aku sendiri juga tidak mau seperti itu. Ini semua gara Ben. Tapi … dia sudah membantuku membelikan tiket dan meminta maaf. Aku akan berusaha melupakannya.“Malah ngelamun. Kamu
Lelaki itu masih terus membawa Cinta dan meninggalkan bandara. Ini tidak bisa aku biarkan. Siapa dia? Lalu kenapa dia membawanya?Dalam pikiranku berkecamuk, tentang apa yang harus aku lakukan. Pertama-tama, aku harus kabur dari para penjaga bandara yang menuduhku menculik istriku sendiri. Aku membutuhkan ponsel untuk menghubungi Rahman.“Pak, I need ponsel,” kataku membuat dia menggeleng. “No!” jawabnya singkat.Wadew, bagaimana ini? Aku harus melarikan diri secepatnya. Pandanganku mengarah ke kanan dan kiri. Mereka masih memakan burger. Aku menelan saliva. Rasanya lapar sekali. Aku selama perjalanan hanya memakan makanan pesawat. Aku masih sangat lapar. Bagaimana tidak, lempengan perut rataku ini sangat panjang. Pasti aku akan cepat lapar. Jadi kangen masakan Ibu di rumah. Sayur asem sambal pete ikan asin. Duh, kriuk!Aku terus memutar otak, mencari cara cepat kabur. Aku ini cerdas. Pasti akan bisa melakukan apapun juga. Agus &he
Aku masih mendengar suaranya. Bayangan itu persis seperti Cinta. Dia sangat aku rindukan. Bayangannya selalu saja membuatku merana. Kenapa aku sampai hilang ingatan. Semua sudah fatal, dan aku tidak bisa menemukannya. Dia bersama lelaki tidak aku kenal. Dia berada di dalam dekapannya. Aku tidak bisa melakukan apapun. Sekarang aku sebaiknya pasrah saja.“Agus …”Aku menundukkan kepala. Masih memikirkan Cinta. Dia, bayangan di hadapanku ini mirip dengannya. Kepalaku selalu terisi dengan dirinya. “Plak!” Bahkan pipiku terasa tamparannya. Aku semakin gila. Pikiranku tidak waras.Kedua pipiku merasa dia pegang dengan kedua tangannya. Bibirnya menghangatkan bibirku. Sejenak aku memejam menikmati kenyamanan ini. Seakan hidupku melayang.“Plak!”Tamparan itu kembali aku rasakan. Sudah! Aku tidak waras. Aku sepertinya pingsan di bawah pohon ini terus tidak bernyawa hingga melihat sosok Cinta di hadapanku. Bahkan be
Cinta melucutiku, membuka semua bajuku. Dia menarikku, masuk ke dalam kamar mandi. “Masuk dang anti baju, cepat!” Cinta memberikan baju yang ternyata sudah disiapkan pihak hotel kepadaku. “Cinta, dari mana baju ini?” tanyaku sembari dengan cepat memakainya.“Aku tadi di taxi segera meminta untuk menyiapkan. Aku ada teman disini. Dia dengan cepat mengirimkannya. Pihak hotel memasukkan ke dalam kamar. Jelas? Tanya saja,” ucapnya kesal melihatku cerewet.“Sudah pakai baju. Lalu kita mau ke mana?” Cinta menunjukkan atap. Aku mendongakkan kepalaku ke atas. “Kita akan melewati sana?” Cinta menggelengkan kepalanya. Aku semakin tidak mengerti. “Cinta, lalu kita ke mana?”Cinta menarikku kencang. Sepertinya aku baik-baik saja. Kita bersatu kembali jiwa. Raga … belum sih. Tunggu waktu yang tepat.“Agus, kita akan membuka atap. Biar semua orang mengira kita lewat atas. Nah, kita ber
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny