Seseorang menarikku dari belakang. Kepalaku ditutupnya dengan kain. Gelap. Pandanganku sangat gelap. Aku tidak bisa melihat apapun juga. Beberapa tangan menarikku sangat kencang. Bahkan mereka sekitar lima orang menggendongku menuju ruangan.
“Brak!”
Pintu terhentak sangat keras. Aku semakin tidak mengerti. Dengan cepat seseorang menarik kain beledu hitam yang semula menutup wajahku. “Glek! Glek!” Mereka mencengkeram wajahku. Mulutku terbuka. Aku meminum sesuatu. Rasanya tubuhku sangat aneh.
“Buk!”
Tubuhku terhempas di ranjang. Duh, kepalaku kok aneh. Muter-muter tidak jelas. “Plak!” Tamparan mendadak mengenai pipi kananku. Bagaimana aku bisa melihat. Ruangannya gelap kayak kuburan. Ini sangat membingungkan. Mau menjebak Cinta, malah aku sepertinya yang kejebak.
Aku merasakan sesuatu yang sangat aneh. “Apa?” Ini tidak mungkin. Belalai ini … jemariku terus mengipasinya berharap dia ma
Semua keadaan sama sekali tidak aku duga. Rencana yang semula aku susun berantakan. Lebih baik aku menyelesaikan dengan sangat cepat. Hatiku harus bisa aku susun dengan baik. Aku akan memantapkan semua yang aku rasakan. Dengan cepat aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku sangat terkejut melihat baju yang ukurannya sangat pas buatku. Pasti Cinta yang menyediakannya. Tanpa banyak berpikir aku memakainya. Perasaanku aku siapkan dengan baik.Perlahan aku keluar. Semua mata memandangku. Aku melangkah ke tengah tepat di hadapan Minah. “Minah, apa kau mau menerimaku atau tidak?” tanyaku memastikan.Minah menatap Rahman yang menggelengkan kepala. Dia masih tidak menjawab semuanya. “Minah! Jawab!” ucapku keras sekali lagi.“Agus! Apa kau memang benar mencintainya?” Cinta menyela semakin membuatku marah. Aku menolehkan pandanganku ke arahnya, membalas tatapan tajamnya. “Cinta! Diam, dan jangan menyela! Ini semua gara-gara kamu. Kau s
Di hotel, Minah merasa kebingungan dengan pertanyaan yang diajukan Agus. Dia menatap Rahman yang masih saja menggelengkan kepalanya. Apalagi Cinta dengan tatapan tajam terus menyorot Agus yang sama sekali tidak menganggap dia ada di hadapannya.“Minah! Jawab!” bentak Agus sekali lagi.“Aku … aku … ma-u …”“Minah! Terima saja lamarannya!” Cinta dengan tiba-tiba mengatakan hal yang sangat mengejutkan semua orang terutama Agus. Dia berjalan ke depan Minah dan memegang pundaknya. “Cinta? Tapi …” Minah menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mungkin menerima lamaran itu. Bagaimana dengan Rahman? Kami … kami saling mencintai.” Minah memeluk Rahman dengan erat.“Mbak, ini tidak baik. Hatiku nanti pecah kayak piring yang terlempar di lantai. Mbak kudu mengerti,” sela Rahman terus meyakinkan Cinta.“Cinta! Are you okey?” Ben segera menarik leng
Cinta datang tanpa aku duga. Dia masih sibuk dengan kedua anak itu. Aku hanya diam menatapnya. Wajah itu terbayang. Aku menggeleng cepat. Sepertinya aku sudah mengenalnya sejak lama.“Pegang satu. Aku akan menyusui satunya. Dia Nantha. Ini Laga. Mereka anak-anakku.” Cinta menatapku. Aku diam menurutinya. Tidak aku percaya melakukan itu. Menurut. Itulah yang tanpa sadar aku lakukan.“Loh, kok kelihatan itu?” tanyaku sembari menunjukkan jariku ke gundukan indah. Anak itu enak sekali. Aku menelan saliva melihatnya. Kok bisa aku memikirkan hal tidak jelas ini. Sangat aneh.“Kenapa berpaling? Bukannya kamu sudah pernah melihatnya?” Cinta terkekeh menatapku. Aku masih saja berpaling membelakanginya. Kenapa aku selalu saja khilaf ya sama dia? Seharusnya aku tidak bisa melakukan ini.“Cinta, aku mau pergi.” Cinta menatapku dengan sendu. “Tidak baik berada di dalam rumah tanpa ada siapapun. Kita bukan sepasang
Kepalaku sangat pening. Rasanya samar-samar. Sampai jalan saja kejeduk berkali-kali. Kenapa jadi begini ya? Aku segera memakai baju. Aku ingat di hotel terpeleset di bath up dan terjedut sampai benjol. Lha kok malah parah. Pandanganku terasa gelap. Aku seperti ingin pingsan. Lebih baik aku menuju ranjang saja.“Kenapa ya?”Aku seperti melayang. Duh sakit! Aku sepertinya terlelap.Aku berada di taman. Kenapa aku tiba-tiba di halaman rumahku? Hah, wanita itu mendorong kereta berisi anak kembar? Wajahnya sangat mirip denganku. Mereka berlari menuju ke arahku. Wanita ini memelukku dengan erat. Senyumannya sangat cantik. Aku memeluknya. Kami sangat bahagia.“Agus!”“Hah!”“Loh, kok!”Aku terbangun. Ini di mana? Kok, ada di kamar wanita? Sebaiknya aku memakai baju dan segera keluar saja. Tapi … kok baju beskap. Kayak mau lamaran saja. Ini ndak jelas. Aku segera memakainya. Baju ini seba
Aku bertemu Ben. Dia menyerahkan tiket kepadaku. Ben menemui Cinta. Dia meminta maaf kepada Cinta. Semua masalah dia yang menyebabkan hingga aku kehilangan ingatan. Ben menghadang mobil Cinta dan merayunya untuk kembali. Cinta sangat marah dan menendangnya. Ben berlari hingga menyusulnya sampai ke bandara. Dia melihat Cinta akan pergi ke Paris. Seketika Ben menghubungi Rahman untuk mengatakan keberadaan Cinta. Rahman memintanya untuk membeli tiket di dalam pesawat yang sama dengan Cinta. Ben bersusah payah mencari informasi. Dia menghubungi Mira sahabat Cinta yang kebetulan membelikan Cinta tiket. Ben segera melakukan perintah Rahman.Hatinya lega saat menemukanku dan bisa memberikan tiket untuk membalas budiku.“Pergilah. Cinta ada di dalam pesawat ini,” kata Ben membuatku terkejut seketika. Aku tidak menyangka dia akan melakukan hal itu.“Terima, kasih,” ucapku segera berlari menemui penjaga yang akan menutup akses masuk ke dalam pesawa
Aku terus menatap Cinta. Dia masih saja bersenda gurau dengan pria di sebelahnya, membuatku sangat kesal.“Pak dari tadi tolah-toleh kayak kitiran aja. Nggak enak ini lihatnya,” kata pria di sebelah kananku. Aku ini duduk di antara dua laki-laki tua yang mukanya jutek banget. Bisa kalian bayangkan, bagaimana rasanya duduk di sini. Punggungku mati rasa.“Pak di sana itu istriku. Lihatlah, masa dia itu sama laki-laki lain ketawa-ketiwi gitu. Aku kan, jadinya tidak enak.” Aku semakin kesal melihanya bersama si gundul itu.‘Kamu jadi laki-laki juga nyebelin. Masa istri ditinggal kayak begitu. Ya sudah, terima aja. Itu hukuman buat kamu,” jawabnya semakin membuatku geleng-geleng. Hilang ingatan itu sesuatu yang sama sekali tidak terduga. Aku sendiri juga tidak mau seperti itu. Ini semua gara Ben. Tapi … dia sudah membantuku membelikan tiket dan meminta maaf. Aku akan berusaha melupakannya.“Malah ngelamun. Kamu
Lelaki itu masih terus membawa Cinta dan meninggalkan bandara. Ini tidak bisa aku biarkan. Siapa dia? Lalu kenapa dia membawanya?Dalam pikiranku berkecamuk, tentang apa yang harus aku lakukan. Pertama-tama, aku harus kabur dari para penjaga bandara yang menuduhku menculik istriku sendiri. Aku membutuhkan ponsel untuk menghubungi Rahman.“Pak, I need ponsel,” kataku membuat dia menggeleng. “No!” jawabnya singkat.Wadew, bagaimana ini? Aku harus melarikan diri secepatnya. Pandanganku mengarah ke kanan dan kiri. Mereka masih memakan burger. Aku menelan saliva. Rasanya lapar sekali. Aku selama perjalanan hanya memakan makanan pesawat. Aku masih sangat lapar. Bagaimana tidak, lempengan perut rataku ini sangat panjang. Pasti aku akan cepat lapar. Jadi kangen masakan Ibu di rumah. Sayur asem sambal pete ikan asin. Duh, kriuk!Aku terus memutar otak, mencari cara cepat kabur. Aku ini cerdas. Pasti akan bisa melakukan apapun juga. Agus &he
Aku masih mendengar suaranya. Bayangan itu persis seperti Cinta. Dia sangat aku rindukan. Bayangannya selalu saja membuatku merana. Kenapa aku sampai hilang ingatan. Semua sudah fatal, dan aku tidak bisa menemukannya. Dia bersama lelaki tidak aku kenal. Dia berada di dalam dekapannya. Aku tidak bisa melakukan apapun. Sekarang aku sebaiknya pasrah saja.“Agus …”Aku menundukkan kepala. Masih memikirkan Cinta. Dia, bayangan di hadapanku ini mirip dengannya. Kepalaku selalu terisi dengan dirinya. “Plak!” Bahkan pipiku terasa tamparannya. Aku semakin gila. Pikiranku tidak waras.Kedua pipiku merasa dia pegang dengan kedua tangannya. Bibirnya menghangatkan bibirku. Sejenak aku memejam menikmati kenyamanan ini. Seakan hidupku melayang.“Plak!”Tamparan itu kembali aku rasakan. Sudah! Aku tidak waras. Aku sepertinya pingsan di bawah pohon ini terus tidak bernyawa hingga melihat sosok Cinta di hadapanku. Bahkan be