Seruputan terakhir Americano menyadarkan Abraham. Pukul 01.00 dini hari dan sebentar lagi café milik Danesha akan segera ditutup. Suasana café yang berangsur sepi menandakan kalau dirinya juga harus bergegas pulang menemui Sang Istri di rumah. Abraham mengecek ponsel yang sejak awal ia telantarkan di meja bersama dengan dua gelas kosong yang telah tandas sejak beberapa jam yang lalu. Hampir tidak ada pesan ataupun telepon dari Laura. Salahnya juga kenapa ia tidak mencoba menghubungi istrinya lebih dulu saat istirahat siang. Apalagi ia juga tahu kalau hari ini Laura akan ke klinik untuk kontrol bersama Galileo. Bicara soal Galileo, Abraham menggeram dengan tangan mengepal. Ia hampir tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya saat Laura tengah bersama laki-laki itu. Kerja nalarnya buntu seketika. Abraham bahkan tidak tahu kenapa dirinya berubah seperti ini. Bahkan ketika ia dulu bersama dengan Alana, rasa itu tidak pernah ada. Ralat. Ada, tapi tidak membabi buta seperti s
Sesuai janjinya Abraham pergi menemui Alana di tempat yang telah mereka berdua sepakati sebelumnya. Jam makan siang membuat restoran keluarga ini tampak ramai di kunjungi oleh pengunjung. Abraham menyeruput es teller yang baru saja ia pesan sembari memperhatikan Alana yang tengah menyendok besar spagetti bolognise yang menjadi makanan kesukaannya ke dalam mulut lebarnya. Tingkah Alana itu membuat pikiran Abraham berkelana ke sepuluh tahun yang lalu. Di mana ketika keduanya masih bersama. Di mana waktu seakan terasa indah ketika menghabiskan waktu bersama-sama. Di mana mereka pernah dinobatkan menjadi best couple saat mengikuti ajang di kampus. Sayangnya itu dulu. Dulu ketika dirinya masih terlalu naif atas semua sandiwara yang selama ini telah Alana lakukan terhadapnya. Senyum seringai menghiasi garis bibir Abraham. Ia bahkan malu sendiri karena sadar akan kebodohannya itu.“Langsung saja, Al. Apa yang telah kamu katakan pada Laura di klinik kemarin? Jawab secara jujur
Laura mengerjapkan matanya berulang kali. Sosok Abraham sudah menyambutnya di depan pintu lift yang terbuka. Senyumnya yang sejak kemarin tidak Laura lihat mendadak membuat dirinya dilanda rindu. Jika bukan karena pemandangan sialan siang itu, Laura tentu tidak akan pergi dari rumah semalaman. Laura mengalihkan pandang ke Freya yang malah tampak biasa saja melihat kemunculan Abraham di depannya. Sahabatnya itu tampak tidak terkejut dengan kehadiran Abraham di apartemennya.“Aku kangen.” Itu adalah sapaan pertama yang berhasil membuat hati Laura melemah. “Kamu masih mau pulang bersamaku, kan?” See? Salahkah jika Laura menjadi lunak karena ditanyai seperti itu? “Daripada pulang ke rumah Mama, gimana kalau kita pulang ke rumah kita saja?”Ulah Si Freya rupanya, batin Laura.Laura kembali mengalihkan pandang ke arah Freya yang sudah terngaga melihat tingkah laku Abraham. Lucu sih, tapi sayangnya
Permasalahan Alana meredup seketika. Dan beberapa minggu terakhir ini Laura dan Abraham kembali dengan rutinitas mereka biasanya. Bekerja sesuai bidang yang mereka geluti sembari menebar cinta di mana-mana. Mereka kembali pada masa-masa honeymoon untuk kesekian kalinya. Hampir disetiap sudut rumah sudah pernah mereka berdua jelajahi menjadi tempat percintaan panas mereka. Dan yang paling ekstrem menurut Laura adalah di dalam mobil saat perjalanan pulang menuju rumah. Bayangkan saja Abraham memintanya melakukan blowjob ditengah-tengah kemacetan sebagai appetizer dan dilanjutkan dengan main course di garasi. Sungguh tidak perlu diragukan lagi keperkasaan suaminya itu. Libidonya tidak pernah turun walau sehari. Dan puncak dari semua hari adalah ketika weekend tiba. Laura akan dibuat tidak bisa berjalan karena harus melayani urusan bawah perut suaminya itu. Tapi setidaknya Laura cukup bahagia sekarang dan mulai menikmati kehidupan pasangan suami istri yang tentram.Sore itu sepul
Laura membuka pintu mobil segera setelah mobil masuk ke area garasi. Napasnya memburu menahan gejolak yang sedang ia rasakan dihatinya. Istri mana yang tidak kecewa mendengar suami yang telah ia nikahi ternyata memiliki keturunan dengan perempuan lain. Parahnya lagi Abraham menampik semua itu. Sejujurnya Laura ingin mempercayainya, tapi perilaku bocah laki-laki itu pada Abraham sungguh sulit ia hilangkan dari pikirannya. Mini dress yang tengah Laura kenakan ia buka sehingga menyisakan tubuh yang hanya berbalutkan bra dan panties berwarna nude. Setelan babydoll Laura ambil dari dalam lemari, namun buru-buru Abraham mencegahnya. Kalau Abraham sudah bertingkah seperti ini, maka sudah dapat dipastikan hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Oleh sebab itu dengan terburu-buru pula Laura mendorong tubuh Abraham hingga mundur beberapa langkah.“Aku nggak mau ada sentuhan malam ini,” kata Laura datar. Bahkan terdengar sedingin es.“Terus kamu ingin aku melakuk
“Kamu gila?!?”Letusan yang menyadarkan Laura adalah letusan yang berasal dari Freya. Memang sejak dulu Freya adalah pematik dari setiap tindakan yang akan Laura ambil.“Tolong jangan mengundang keributan, Frey. Aku sudah cukup pusing memendam ini sendiri sejak kemarin,” desah Laura. Sebenarnya bukan kehendak Laura membuka aib suaminya itu, tapi saat ini ia memerlukan saran dari orang luar yang mungkin bisa membuka otaknya. Dan Freya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang Laura percayai. “Aku bingung, Frey. Awalnya aku mengamuk dengan Mas Abe saat tahu pertama kali, tapi lambat laun aku malah kehabisan semangat dan menerima keadaan.”“Itu sebabnya aku bilang kamu gila. Kamu itu aneh, La. Masalah ini nggak bisa kamu sepelekan karena ini sudah menyangkut kedudukanmu di rumah. Bilang padaku apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”Laura menyandarkan tubuh di punggung kursi kerjanya kemudian menghela
Rasa pusing itu datang sedemikian hebatnya ketika Laura hendak beranjak dari peraduannya. Jam di nakas sudah menunjukkan pukul enam pagi dan itu artinya Laura harus segera bangun mempersiapkan segala kebutuhannya dan Abraham. Tpi sakit kepala yang datang tiba-tiba ini membuatnya kesulitan untuk bangun. Aroma sabun menyapa hidung Laura. Abraham keluar dari dalam kamar mandi dengan balutan handuk yang masih melilit pinggang. Kecupan ringan dipucuk kepalanya spontan membuat Laura mengalungkan lengannya di leher Abraham.“Bangun yuk!” ajak Abraham dengan satu tangan memeluk Laura, sementara tangan lainnya menyangga tubuhnya agar tidak menindih Laura. “Kok tumben sejak semalam nempel banget sama aku, hm?” Abraham mengusap punggung Laura pelan kemudian menggantinya dengan ciuman pada bibir penuh yang tampak menggoda imannya itu. “Hari ini mau bolos kerja lagi?”Laura menggeleng tanpa melepas pelukannya. “Nggak mungkin, Mas. Nanti aku
TIN ... !!Abraham tersentak dari lamunan karena bunyi klakson mobil yang berada tepat di belakang mobilnya. Lampu lalu lintas telah berubah hijau tanpa Abraham sadari. Abraham melajukan mobilnya perlahan menyusuri jalanan Malang yang padat. Hampir semalaman Abraham tidak bisa tidur. Pertengkaran tidak beralasan dengan Laura membuat dirinya dirundung perasaan bersalah. Lagi-lagi Abraham melakukan kebodohan yang fatal. Kebodohan yang membuat istri tercintanya itu kembali salah paham untuk kesekian kalinya. Dering ponsel yang mengagetkan langsung mengalihkan fokus mengemudi Abraham. Seseorang yang ia kenal menelponnya—buru-buru Abraham sambungkan dengan handsfree ke telinga.“Gue udah dekat kok ... oh, belokan mana? Kanan? Ok ... iya, gue udah masuk parkiran.”Abraham memparkir mobil miliknya sesegera mungkin kemudian memasuki gedung cafe yang tidak jauh dari posisinya berada. Pintu cafe pun terbuka dan lambaian tangan seseorang yang Abraham kena
Kata-kata dokter Obgyn masih terngiang-ngiang di telinga Laura. Ia hamil. Dan itu adalah buah cintanya bersama dengan Abraham yang tiba-tiba saja bertumbuh di rahimnya sekarang. Satu yang Laura tidak mengerti. Kenapa harus sekarang amanah itu datang? Disaat dirinya tengah dirundung masalah yang membuat sekujur tubuhnya merinding, kenapa Tuhan malah begitu tega memberikannya seorang anak? Anak yang selalu ia dambakan disetiap mimpi serta doa. Anak yang paling ia tunggu seiring dengan perasaannya yang bertumbuh bersama Abraham. Tapi, kenapa harus sekarang? Kenapa anak ini datang disaat waktu yang tidak tepat?“La—"Panggilan Freya membuyarkan lamunannya. Laura menoleh ketika melihat sahabat dekatnya itu yang tengah menatap begitu lekat sembari menopangkan dagu. “Kamu kenapa melihatku kayak gitu?” tanya Laura mulai risih. “Nggak ada kerjaan sampai-sampai main ke divisi orang?”“Kerjaan ada, tapi itu bisa diselesaikan nanti,
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …