Rasa pusing itu datang sedemikian hebatnya ketika Laura hendak beranjak dari peraduannya. Jam di nakas sudah menunjukkan pukul enam pagi dan itu artinya Laura harus segera bangun mempersiapkan segala kebutuhannya dan Abraham. Tpi sakit kepala yang datang tiba-tiba ini membuatnya kesulitan untuk bangun. Aroma sabun menyapa hidung Laura. Abraham keluar dari dalam kamar mandi dengan balutan handuk yang masih melilit pinggang. Kecupan ringan dipucuk kepalanya spontan membuat Laura mengalungkan lengannya di leher Abraham.
“Bangun yuk!” ajak Abraham dengan satu tangan memeluk Laura, sementara tangan lainnya menyangga tubuhnya agar tidak menindih Laura. “Kok tumben sejak semalam nempel banget sama aku, hm?” Abraham mengusap punggung Laura pelan kemudian menggantinya dengan ciuman pada bibir penuh yang tampak menggoda imannya itu. “Hari ini mau bolos kerja lagi?”
Laura menggeleng tanpa melepas pelukannya. “Nggak mungkin, Mas. Nanti aku
TIN ... !!Abraham tersentak dari lamunan karena bunyi klakson mobil yang berada tepat di belakang mobilnya. Lampu lalu lintas telah berubah hijau tanpa Abraham sadari. Abraham melajukan mobilnya perlahan menyusuri jalanan Malang yang padat. Hampir semalaman Abraham tidak bisa tidur. Pertengkaran tidak beralasan dengan Laura membuat dirinya dirundung perasaan bersalah. Lagi-lagi Abraham melakukan kebodohan yang fatal. Kebodohan yang membuat istri tercintanya itu kembali salah paham untuk kesekian kalinya. Dering ponsel yang mengagetkan langsung mengalihkan fokus mengemudi Abraham. Seseorang yang ia kenal menelponnya—buru-buru Abraham sambungkan dengan handsfree ke telinga.“Gue udah dekat kok ... oh, belokan mana? Kanan? Ok ... iya, gue udah masuk parkiran.”Abraham memparkir mobil miliknya sesegera mungkin kemudian memasuki gedung cafe yang tidak jauh dari posisinya berada. Pintu cafe pun terbuka dan lambaian tangan seseorang yang Abraham kena
Kata-kata dokter Obgyn masih terngiang-ngiang di telinga Laura. Ia hamil. Dan itu adalah buah cintanya bersama dengan Abraham yang tiba-tiba saja bertumbuh di rahimnya sekarang. Satu yang Laura tidak mengerti. Kenapa harus sekarang amanah itu datang? Disaat dirinya tengah dirundung masalah yang membuat sekujur tubuhnya merinding, kenapa Tuhan malah begitu tega memberikannya seorang anak? Anak yang selalu ia dambakan disetiap mimpi serta doa. Anak yang paling ia tunggu seiring dengan perasaannya yang bertumbuh bersama Abraham. Tapi, kenapa harus sekarang? Kenapa anak ini datang disaat waktu yang tidak tepat?“La—"Panggilan Freya membuyarkan lamunannya. Laura menoleh ketika melihat sahabat dekatnya itu yang tengah menatap begitu lekat sembari menopangkan dagu. “Kamu kenapa melihatku kayak gitu?” tanya Laura mulai risih. “Nggak ada kerjaan sampai-sampai main ke divisi orang?”“Kerjaan ada, tapi itu bisa diselesaikan nanti,
Seringnya Abraham pergi dengan Alana membuat Laura terkadang menjadi goyah. Abraham memang selalu mengantongi izinnya, namun siapa yang sangka kalau Laura tidaklah sekuat dan selegowo seperti yang Freya sarankan. Apalagi dalam keadaan tengah berbadan dua seperti ini tidak bisa dipungkiri kalau Laura sangat membutuhkan sosok suaminya itu. Pagi itu sama seperti pagi biasanya. Hanya saja keadaan Laura sedang tidak baik. Ia merasakan pegal dan berat pada tubuh dan kakinya. Bahkan perutnya juga terasa kencang tidak seperti biasanya. Sambil berpegangan pada apapun yang bisa ia pegang, Laura masuk dalam bilik kubikel di mana sudah ada Becca yang tengah duduk manis menikmati secangkir kopi hitam dengan kunyahan sandwich dimulutnya. Becca menatap Laura penuh tanya.“Laura?” Becca menatap Laura dengan mimik wajah kaget. “Kamu kenapa?” sambung Becca penuh rasa khawatir. Becca menghampiri Laura lalu menyuruhnya lekas duduk. “Akhir-akhir ini aku melihatmu ser
Laura menepuk berulang kali pipi laki-laki yang tidur disebelahnya namun tanpa hasil. Bunyi jam weker di nakas sudah sejak tadi berkumandang menyuruh Sang Empunya untuk bergegas bangun. Laura mengurungkan niatnya turun dari ranjang ketika dirasakan ada lengan kokoh melingkari pinggang dan menahan pergerakannya.“Kamu mau ke mana? Biar aku saja yang lakukan,” cegah Abraham dengan mata yang masih setengah terbuka akibat mengantuk. Laura bahkan tidak tahu pukul berapa suaminya itu ikut tidur disampingnya. “Jangan mencoba bandel, Sayang. Turuti kata dokter dan bergantunglah padaku,” lanjutnya meski kata ‘dokter’ terdengar aneh di telinga Laura.“Aku cuma mau ke kamar mandi kok, Mas,” sahut Laura berdalih.“Kalau gitu sekalian mandi bersama gimana?” Abraham menguap dan melakukan peregangan pada kedua lengannya. Kemudian ia turun dari ranjang, berjalan memutar dan meraih tubuh Laura ke dalam gendongannya deng
Bulan berikutnya adalah bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh Laura. Dengan harap-harap cemas Laura menunggu pintu bercat putih di depannya terbuka. Ya, hari ini adalah genap satu bulan sudah setelah Laura diminta untuk bedrest total oleh Dokter Jarvis. Dan selama itu pula berbagai pantangan telah Laura lakukan, termasuk tidak pergi ke mana-mana selain hanya di atas ranjang dengan ditemani Abraham. Sikap posesif Abraham ternyata menguntungkannya sekarang. Selama satu bulan Abraham hanya menemaninya di rumah dan hanya memenuhi panggilan ke klinik jika terlanjur membuat janji dengan pasien. Selebihnya Abraham menetap di rumah meskipun harus seharian berada di depan notebook. Tak lama kemudian pintu itu pun terbuka dengan seorang perawat yang memanggil namanya untuk masuk. Laura menoleh ke arah laki-laki yang dengan setia merangkulnya—memberikan isyarat agar mereka berdua masuk bersamaan.Baik Dokter Jarvis dan Abraham keduanya saling berpandangan cukup lama, lalu tawa me
Tubuh seorang perempuan langsung menghambur dalam pelukan Abraham saat ia baru saja selangkah masuk ke dalam ruang tunggu rumah sakit. Alana menangis sesunggukan di dada bidangnya saat menceritakan apa yang terjadi dengan anak laki-lakinya itu. Tiba-tiba Oliver kejang-kejang karena suhu tubuhnya yang terlampau tinggi. Ditambah lagi bawaan penyakit asma yang diderita anak itu semakin memperkeruh keadaan. Mau tidak mau selang tabung oksigen harus ikut menempel di hidung dan untung saja tidak ada kejadian serius lainnya yang di alami bocah itu.“Harusnya kamu lebih waspada kalau sejak awal memang sudah ada penyakit bawaan asma. Anak sekecil dia mana bisa berpikir layaknya orang dewasa selain menangis,” tukas Abraham saat keduanya memutuskan duduk di depan ruang perawatan anak. Abraham melepas tangan Alana dilengannya kemudian melanjutkan perkataannya lagi. “Nanti setelah Oliver pulih dari rumah sakit, aku ingin kita segera mengurus rangkaian tes DNA sesegera mu
Berita pulangnya Laura ke rumah orangtuanya sampai juga ke telinga Bunda. Entah kata-kata apa yang Abraham rangkai untuk menghipnotis ibunya hingga Bunda datang ke rumah Mama sepagi ini. Belek di mata Laura masih menumpuk sementara Bunda sudah berpakaian rapi dan wangi saat meremas punggung tangannya lembut.“Bunda sudah dengar semuanya dari Abe. Kalau dia berbuat keterlaluan tolong dimaafkan ya, Sayang. Abe itu terkadang nggak peka dan itu memang kelemahannya.” Bunda memonopoli pembicaraan. “Nggak apa-apa kalau kamu mau di sini untuk sementara waktu, tapi kesehatan tetap nomor satu ya, La. Kasihan Si Kembar.” Laura mengangguk sembari tersenyum. “Nanti bila perlu biar Bunda yang akan menggantikanmu marah ke Abe. Pokoknya masalahmu nggak boleh sampai mempengaruhi suasana hatimu,” tambah Bunda lagi.“Bunda mau mengerti saja Laura sudah senang kok,” timpal Laura. “Bunda ke sini sama siapa? Naik taksi?”Bun
Perutnya tiba-tiba terasa lapar. Laura ingin sekali makan sesuatu yang manis dan hangat yang meleleh di mulutnya dalam satu kali gigitan. Baru membayangkannya saja air liur Laura sudah keluar ke mana-mana.Apa ini yang namanya ngidam? Batin Laura.Buru-buru ponsel diraihnya, menekan tombol aplikasi delivery food serta berselancar mencari resto atau depot makanan yang menjual makanan yang ia inginkan. Pintu kamar Laura diketuk seseorang dari luar. Tiba-tiba saja separuh badan Mama muncul dari balik pintu.“Di luar ada Danesh,” kata Mama. “Kayaknya dia bawa sesuatu buat kamu. Temui dulu gih.”Laura beranjak dari atas ranjangnya sembari menyambar sweater sebelum keluar kamar. Tak dipungkiri lagi bahwa kedatangan Danesha pastinya karena suruhan Abraham yang seharian ini memang tidak menghubunginya sama sekali. Laki-laki itu terkadang suka kelewatan kalau sudah sibuk dengan pekerjaannya. Tidak hanya lupa waktu, tapi juga lupa k
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …