Lia berada di kamarnya yang berantakan karena semua bajunya berserakan. Lia merasa kesal karena semua baju yang dia miliki hanya kemeja lengan panjang yang biasa dia pakai untuk berangkat ke kantor dan celana panjang bahan kain. Ada satu celana jeans yang sudah sangat lusuh dan satu-satunya celana jeans yang bagus dan layak dipakai, hanyalah celana yang waktu itu dia beli di Semarang.Lia mendesah frustasi. Kemarin saat akan berkencan dengan Ivan, dia tak merasa se bingung ini, kenapa hanya akan pergi makan sate dengan Revan, dirinya begitu frustasi karena tak punya baju bagus? "Masa aku pakai kaos yang beli di Semarang juga, ya ampun!" gerutunya, kesal."Mulai besok, aku harus menyisihkan uang untuk membeli baju, sepatu, dan tas untuk dipakai jalan, bukan untuk kerja saja," gumam Lia sambil terus mengobrak abrik lemari bajunya. Berharap menemukan sebuah blouse cantik agar bisa dipakai untuk kencan perdananya dengan Revan.Mata Lia berbinar saat melihat sebuah blouse berwarna ungu
Ivan tersenyum lebar sambil menatap Lia. Wajahnya terlihat begitu mengejek Lia."Oke, aku bakal kasih kamu kesempatan sekali lagi." Tanpa permisi, Ivan langsung duduk di bangku kosong yang ada di depan Lia."Aku mau kok, kita kencan lagi. Ya, ini semua karena kita dulu satu SMA. Aku kasihan lihat kamu seperti ini." Ivan terus nyerocos tanpa memberi kesempatan Lia untuk bicara."Maaf, Van. Kursi itu sudah ada yang punya. Silahkan kamu cari kursi yang lain," ucap Lia, tegas. Lia enggan berurusan lagi dengan Ivan."Puft! memangnya kamu janjian makan sama siapa? temen cewek? nggak apa apa, kita bisa jalan bertiga. Mungkin dia juga cewek nggak laku kayak kamu? iya kan?" cibir Ivan, dia tetap tak peduli dengan ucapan Lia."Aku mau duduk dengan siapa, itu urusanku! sekarang , tolong pergi! sebelum pemilik kursi itu datang!" ketus Lia."Memangnya ini warung punya kakek Lo? bebas dong! siapa saja boleh duduk di sini." Ivan mengangkat satu kakinya untuk menunjukkan jika dirinya tak mau pergi.L
Hari ini, dari pagi, Lia merasa tak bersemangat. Dia merasa ada yang berbeda dari sikap Revan sejak kejadian semalam. Lia jadi makin penasaran, apa sebenarnya yang diucapkan Ivan. "Huft…" Lia menghela napas sambil melirik jam tangannya. Sudah pukul 10 pagi, dan Revan belum muncul di kantor. Ada apa gerangan dengannya? Revan bahkan tak memberi kabar jika hari ini akan terlambat masuk kantor. Lia memandangi jari manisnya yang sudah di lingkari cincin pemberian Revan. Awalnya, Lia ingin memberi kejutan pagi ini pada Revan dengan mengenakan cincin pemberiannya waktu itu. Namun ternyata, Revan belum muncul sampai se-siang ini.Lagi-lagi Lia menghela napas. "Pacar kamu kasih cincin, Li?" Teriakan Mita membuyarkan lamunan Lia. Rita dan Novi yang mendengar ucapan Mita, langsung menoleh ke arah Lia. Dengan serentak, mereka berdua memandang jemari Lia. Dengan spontan, Lia menutupi cincin yang melingkar di jari manisnya. Karena bingung harus menjawab apa, Lia hanya tersenyum kaku."Coba
"Makan siang pake sate buntel?" Anita memperhatikan Lia yang sedang menata kotak bekal di atas meja kerjanya. "Kemarin kami beli terlalu banyak, jadi sisanya aku bawa pulang. Tenang aja, tadi pagi sudah aku angetin kok," Lia meletakkan sekotak nasi di depan Anita. "Ini apa?" Anita menunjuk sebuah kotak bekal yang berisi makanan berkuah kecoklatan. "Tongseng kambing, yuk makan," Lia mulai menyendok tongseng dan menuangkannya di atas nasi, lalu mengambil satu tusuk sate dan menggigitnya. "Ehmmm, ini enak banget," gumam Lia sambil terus mengunyah makanannya. "Memangnya Pak Revan pesen berapa banyak, sampai nggak habis di makan?" Anita mengambil sendoknya dan mengacak-acak nasi yang ada di depannya. "Dia pesen sate buntel tiga porsi, sama tongseng dua porsi. Gila kan? Kami cuma berdua loh. Padahal, sate ini walaupun satu porsi cuma tiga tusuk tapi kan besar banget." Lia menggelengkan kepalanya sambil terus melahap makan siangnya. Anita memutar bola matanya, "ya, namanya juga sedang
"Kamu pesan apa?" tasnya Revan, saat melihat Lia membawa bungkusan kresek warna putih di tangannya. "Bistik sapi, ini paling terkenal loh di Solo. Rasanya dijamin enak." Lia berjalan ke dapur untuk mengambil piring. Setelah itu, Lia menata piring dan makanan yang baru saja diantar oleh driver aplikasi pemesanan makanan. "Beneran enak? kapan-kapan kita makan di restoran nya saja ya?" Ajak Revan. Dia duduk manis di kursinya sambil memperhatikan Lia yang sangat cekatan menyiapkan makan malam. "Tempatnya di pinggir jalan, warung dadakan gitu dan pakai tenda. Aku takut kamu nggak nyaman nanti," jelas Lia sambil menyerahkan sepiring nasi dan sepiring bistik lidah sapi. "Terima kasih, sayang," ucap Revan sambil menerima sodoran piring dari Lia. Bukannya menjawab, Lia malah mematung. Melihat ekspresi Lia, Revan langsung tergelak. "Pak Revan jangan main-main! Sukanya bikin orang salting!" Kesal Lia. Dia menghempaskan pantatnya dengan kasar ke atas kursi dan melipat kedua tangannya, tan
"A-apa?!"Belum reda debaran jantung Lia karena serangan dari Revan, sekarang jantungnya berdebar dua kali lipat lebih cepat saat mendengar ucapan kekasihnya itu. "Lalu bagaimana?" Pekik Lia lirih, tampak sekali bahwa Lia sangat kalut. Revan terdiam, tatapannya menatap pintu depan yang masih di tutup dan di kunci dari dalam. Dia harus bagaimana? Apakah akan mengenalkan saja Lia kepada kedua orang tuanya? Toh, dia memang berniat untuk serius dengan Lia. Tapi, jika dia kenalkan Lia sekarang, apakah orang tuanya tidak akan berpikir negatif pada Lia? Karena Revan belum resmi bercerai tapi malah mengenalkan wanita lain pada kedua orang tuanya. Tapi jika Revan menyembunyikan Lia, bagaimana perasaan Lia? dia pasti sangat sedih. "Aku harus tenang dan berpikir jernih," batin Revan. Revan menatap Lia yang tampak gugup dan takut, lalu buru-buru dia mendekat dan memeluk kekasihnya itu. Tubuh Lia gemetar dalam pelukan Revan, dan Revan merasa bersalah karenanya. "Lia… tenang lah, jangan k
Revan segera berlari menuju mobilnya, menyalakannya dan bergegas untuk mencari Lia. Dia pasti belum begitu jauh -jika berjalan kaki-.Tapi sepertinya tidak mungkin Lia berjalan kaki, karena sandalnya masih tertinggal di rumah Revan.Mana mungkin Lia berjalan pulang ke rumah sambil bertelanjang kaki kan?Sepanjang jalan, Revan melajukan mobilnya dengan pelan, agar bisa mencari Lia yang mungkin sedang berjalan di pinggir jalan.Namun, semakin jauh Revan menyetir, dia belum juga bisa menemukan Lia.Mungkin saja Lia naik taxi atau ojek online.Tanpa berpikir panjang, Revan menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan cepat menuju Rumah Lia.Dia berharap Lia sudah sampai di rumahnya.Revan menepikan mobilnya, di pinggir jalan besar. Gang menuju rumah Lia tidak bisa dimasuki mobil, karena terlalu sempit. Hanya sepeda motor yang bisa memasukinya.Setelah keluar dari mobil, Revan segera berlari menuju rumah Lia yang ternyata sepi, bahkan lampu rumah pun masih mati.Apakah Lia belum sampa
Lia memasuki ruang kerjanya. Sebelum membuka pintu ruangannya, dia sempatkan diri melirik ruang kerja Revan yang masih kosong. Revan sepertinya belum berangkat, atau mungkin dia ada meeting di luar sehingga masuk kerja agak terlambat?Lia memasuki ruangan dan benar saja, ruangan yang tadinya riuh ramai langsung berubah sepi saat dia muncul.Semua mata menatap dirinya, lebih tepatnya menatap matanya yang membengkak. Semoga saja mereka hanya melihat mata Lia, bukan bibirnya.Secara tidak sadar, Lia berusaha menutupi bibirnya dengan tangan lalu berdhehem dan buru-buru duduk di kubikelnya."Habis berantem sama pacar ya? masa baru jadian udah berantem aja," celetuk Novi.Lia yang sedang menyalakan komputernya sempat terkejut dan menghentikan aktivitasnya, namun tak berselang lama, dia sudah bisa mengendalikan diri dan melanjutkan pekerjaannya."Namanya pacaran mah, biasa berantem kok, Li. Itu bumbu dalam bercinta," ucap Rita sambil tersenyum."Iya, kalau nggak berantem, pacarannya jadi ham
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd