Baswara mendekati tubuh Sam yang masih terbaring di atas ranjang. Kedua tangannya kini telah berada tepat di leher Sam, mengapit erat seakan hendak mencekik Sam. Membuat dahi Sam mengernyit dan segera membuka matanya.
“Kau gila, Bas?” tanya Sam dengan nada sedikit berteriak. Dadanya sesak dengan tatapan takut.
Bukannya marah atau takut, Baswara malah tertawa terbahak-bahak melihat reaksi berlebihan yang diperlihatkan sahabatnya-Sam. Sepertinya ia begitu puas melihat wajah takut Sam.
“Apa kau takut aku benar-benar melakukannya?” tanya Baswara tanpa rasa bersalah.
“Sialan! Bercandamu terlalu mainstream, Bas!” ucap Sam kesal yang kini mencoba mengontrol kembali napasnya.
“Jangankan membunuhmu, Sam. Bahkan jika kau terluka atau tersakiti, justru aku yang akan lebih dulu maju untuk melindungimu, Sam. Kau bukan sekedar bawahan ataupun sahabat. Kau lebih dari itu,” ucap Baswara kali ini menunjukkan wajah kes
Ketukan pintu menyadarkan Baswara dari lamunan. Ternyata sekretaris Sam datang menemuinya.“Maaf, Tuan. Tuan Sanjaya menitipkan pesan,” ucapnya yang kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat.Masih dengan wajah tenang, Baswara mulai membuka amplop yang tertutup dengan rapat. Sebuah jadwal keberangkatan, beserta tiket pergi dan semua tujuan yang harus Baswara kunjungi terdapat di sana.“Sialan!” ujar Baswara dengan kepalan menghantam kuat ke atas meja. “Andai saja, Sam tidak dirawat. Aku pasti memintanya menggantikanku, setidaknya menemaniku di sana,” ungkapnya sembari menghempaskan tubuh pada sandaran kursi.Tertera jelas jam keberangkatan Baswara yang tidak lain esok siang tepat pukul sebelas. Terang saja ini membuat emosi Baswara kembali tidak terkontrol. Ia benar-benar tidak siap untuk berangkat, terlebih ia tahu akan bersama siapa kelak saat berada di sana.“Jean, dia lagi! Haruskah aku berangkat?&rdquo
“Bas, maafkan aku. Apa aku mengganggumu?” tanya kana yang seakan tersadar akan sikapnya. Ia merasa begitu malu ketika melihat angka yang ditunjukkan jarum jam. “Ya ampun, apa yang kau lakukan Kana? Mengapa kau begitu nekad menghubungi Baswara di jam segini? Mengapa kau begitu yakin kalau itu Baswara?” gumamnya sambil menunjukkan ekspresi kalut dan begitu kacau.“Ah, tidak. Apakah aku boleh menemuimu?” tanya Baswara dengan jantung yang berdetak begitu cepat, hingga memaksa dirinya menekan kuat bagian dada untuk menenangkan diri.“Bertemu? Maksud kamu besok?”“Tidak, Kana. Sekarang, yah sekarang ini. Aku sudah berada di depan rumahmu.”Mendadak kedua mata Kana terbelalak, jantungnya seakan berhenti beberapa detik yang kemudian ia kembali berusaha untuk bernapas normal.“Mobil merah yang ada di depan rumahku?”“Ya.”“Sudah berapa lama kamu di sana?&
Kana terlihat cantik dengan gaun merah marunnya. Ia tersenyum manis di depan cermin. Sepertinya ia bersiap-siap hendak menemui Baswara di airport. Waktu menunjukkan pukul sembilan. Ia merasa lebih baik datang diawal untuk memberikan kejutan pada Baswara. Namun, sesaat kemudian gawai Kana berdering, ternyata itu panggilan dari guru private Soga yang hendak mengabarkan kalau Soga akan pulang lebih awal.Sontak saja hal ini membuat Kana menjadi bimbang. Jika ia nekad menemui Baswara di airport maka sudah pasti ia tidak akan sempat menjemput Soga. Sedangkan dirinya sendiri begitu ingin menyaksikan Baswara berangkat dengan pesawatnya.“Huh! Mengapa aku jadi seperti ini? Mengapa aku sampai merasa kecewa begini enggak bisa menghantar Baswara,” gumamnya dengan raut wajah penuh kekesalan.Dering kembali berbunyi, kali ini Arya yang menghubunginya.“Kana, Soga akan pulang pukul berapa hari ini? Saat ini aku berada di kafe yang tak jauh dari sekola
Pesawat mulai terbang, namun tatapan Baswara masih mengarah ke airport meskipun sang pujaan tak lagi terlihat.“Benar kata orang, ‘Jika kau mencintai seseorang, maka kotanya pun ikut kau cintai’,” gumam Baswara disertai hembusan napas berat dari mulutnya. “Pesawat baru saja berangkat, tapi aku sudah merasa rindu. Bagaimana ini?”Kegelisahan Baswara menarik seorang pria yang duduk di sampingnya. Pesawat berkelas itu dinaiki banyak pengusaha hebat dan orang kaya lainnya. Terlihat dari jas, pakaian dan sikap mereka yang begitu menunjukkan level kedudukannya.Baswara masih saja kepikiran Kana. Ia mencoba menyalakan TV yang ada di depannya, namun tidak ada acara yang menarik. Bahkan film yang biasa menjadi penghiburnya saat perjalanan pun kini terasa membosankan. Baswara terus saja menunjukkan wajah kesal diikuti dengusan sebal.“Maaf, apa anda baik-baik saja?” tanya pria dewasa yang duduk di sampingnya.&
Sam masih terbaring di atas ranjang, namun wajahnya kali ini jauh lebih segar. Ia terlihat asik menatap layar gawai yang ada di tangannya.“Tok, tok, tok!”Pintu terbuka, terlihat Kana berjalan masuk disusul dengan Soga. Kana terlihat cantik dengan gaun modern, sedangkan Soga mengenakan pakaian rapi dengan tas ransel di pundaknya.“Bagaimana kabarmu, Sam?” sapa Kana yang kini masih berdiri di samping ranjang. Sedangkan Soga duduk di sofa sambil memainkan ipad-nya.“Udah lumayan, mungkin besok sudah boleh kembali bekerja. Aku enggak tenang banget ninggalin kantor, sedangkan Baswara harus pergi keluar negeri,” jelasnya dengan wajah masam, sambil duduk bersandar pada bantal.Seketika Sam tersadar dan kembali bertanya, “Apa kau tahu kalau Baswara sudah pergi?”Kana tersenyum dan mengangguk.“Apakah kau sempat menghantarkannya ke bandara, Kana?” sambung Sam.Seketika
Sebuah mobil mewah mendarat tepat di depan hotel. Mobil hitam klasik keluaran terbaru itu dikendarai sopir pribadi yang sengaja dikirim untuk menjemput Baswara. Ternyata kedatangan Baswara begitu disambut hangat oleh pihak Tuan Mark. Ia dengan sengaja mempersiapkan makan malam spesial untuk menjamu rekan bisnisnya yang tak lain Baswara.Masih menggunakan kemeja dan celana lea panjang, Baswara melangkah masuk ke kamar yang telah disediakan untuk dirinya. Meraih kunci yang ada di meja resepsionis dan berlalu pergi menuju lantai lima.Sepanjang jalan Baswara masih saja mengingat sosok pria tua yang sempat berbicara dengannya. Sesekali ia menggelng seakan meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.Pintu kamar terbuka, ruang VIP dengan satu tempat tidur dan balkon indah. Lengkap dengan meja makan dan sofa yang nyaman. Terlihat pula tempat tidur dengan ukiran bak kerjaan, lemari kecil juga meja hias. Membuat Baswara tersenyum sembari menyentuh meja.
Baswara kembali ke hotelnya dengan diantar Dean. Keduanya kini terlibat bincang hangat. Saling terbuka sambil memperkenalkan diri.“Apakah Tuan suka dengan keadaan di sini?” tanya Dean dengan senyum sumringah sambil melirik Baswara dari cermin.“Ya, tapi tidak untuk jangka panjang,” jawab Baswara dengan wajah tenang.“Apa karena ada seseorang yang Tuan tinggalkan di Indonesia?” tanya Dean kembali, kali ini dengan nada meledek.Baswara enggan menjawab, namun mimik wajah ceria dan senyum yang terkembang sudah menunjukkan jawaban.“Apakah Tuan sudah menikah? Jika saya boleh menebak, usia Tuan sekitar tiga puluhan, bukan?”Baswara mengangguk masih dengan sikapnya yang tenang. Bersandar sambil sesekali menatap ke arah luar jendela.“Tuan sudah menikah? Aku penasaran wanita seperti apa yang menjadi pilihan hati Tuan?”“Belum.”“Andai saja aku bisa be
“Tuan, benarkah Tuan akan kembali ke Indonesia esok?” tanya Dean dengan wajah sedih.“Ya, pekerjaanku selesai lebih awal di sini.”“Tuan, bisakah kita bertemu kembali?” tanya Dean kali ini terlihat ia menyeka air mata yang sempat jatuh.Baswara hanya bisa terdiam menatap sikap Dean yang begitu menyukai dirinya. Ia tak menyangka percakapan kecil selama melakukan perjalanan bersama Dean membuat keduanya merasa dekat satu sama lain, meskipun hanya dua hari dua malam bersama.“Tentu saja, aku mungkin akan sering berkunjung kesini,” ungkap Baswara yang segera membuat Dean tersenyum dan mengangguk senang.“Sebenarnya, nenekku begitu ingin bertemu dengan Tuan. Dia sangat kagum saat aku menceritakan sosok Tuan kepadanya. Dia bahkan begitu penasaran betapa tampannya wajah Tuan,” ungkap Dean dengan penuh semangat.“Kalau begitu, bawalah nenekmu saat mengantarkanku besok ke bandara.&rdqu
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu