"Gimana, Ric. Elsa sudah ketemu?" tanya Hani pada anaknya. Wanita paroh baya itu ingin sekali ikut mencari Elsa tapi Erik melarang. Erik tahu kondisi kesehatan ibunya sedang tak baik, sejak Ola dipenjara wanita itu sering sakit-sakitan karena terlalu mengkhawatirkan keadaan Ola."Maaf, Bu. Aku sudah cari Elsa kemana-mana bahkan ke makam Dani dan rumah lama Elsa namun masih juga tidak ketemu."Sebenarnya Eric tak tega menyampaikan kabar ini pada Hani, namun tak ada cara lain selain jujur pada ibunya."Elsa, kemana kamu, Nak. Nenek harap kamu baik-baik saja diluar sana!" Eric makin merasa iba melihat ibunya menangisi Elsa.Jam menunjukan pukul delapan malam, namun Elsa belum bisa ditemukan. Eric masih mencari Elsa ditemani oleh Nayla. Eric juga membayar banyak orang buat membantu dia mencari keberadaan Elsa.Saat jam sembilan malam ponsel Eric tiba-tiba berdering. Ternyata itu panggilan telepon dari Hani. Eric segera mengangkat telepon itu.[Hallo, Bu.] sapa Eric melalui panggilan telep
"IBu, Elsa, kita pindah restoran saja, ya. Aku enggak nyaman makan disini!" ucap Eric dengan raut wajah khawatir. Dia tak mau Adrian memergokinya ada disana. Adrian dan lelaki yang tengah makan bersamanya pasti tengah merencanakan sesuatu, untuk saat ini Eric harus menjauhkan keluarganya dulu dari orang-orang jahat itu."Kenapa mesti enggak nyaman sama Adrian sih, Ric. Yang salah itu dia, jadi seharusnya dia yang enggak nyaman liat kita. Bukan sebaliknya.""Untuk sekarang banyak hal yang enggak bisa aku ceritain ke ibu, tolong dengerin aku kali ini saja." Erik menarik tangan ibunya sedangkan Elsa mengekorinya dari belakang."Kenapa sih harus pindah restoran, Pah. Padahal tadi niatnya Elsa mau kenalin Papah sama Om baik itu!" Elsa terlihat sedikit kecewa, namun Eric sama sekali tak ingin merubah keputusannya."Lain kali saja kenalinnya ya, sayang. Sekarang Papah mau ajak kamu ke restoran yang lebih enak makanannya. Kamu nanti bakalan suka makan disana. Tolong jangan ngambek. Senyum do
"Sayang kamu sudah pulang kerja? Kok awal pulangnya sekarang?" tanya Adiva disuatu siang. Hari ini dia tak kuliah, dia sedikit merasa tak enak badan."Aku tak fokus kerja karena terlalu khawatir dengan keadaan kamu. Makanya aku mutusin buat cepet-cepet pulang." ucap Adrian sembari melonggarkan dasinya."Ya ampun, aku cuma masuk angin biasa. Kamu sampai sekhawatir ini. Kamu perhatian banget."Diva gemas dengan Adrian yang sangat perhatian dengannya. Dia sama sekali tak menyesal sudah mencoba membunuh kakak perempuannya. Sebab saingannya sudah tak ada, perhatian Adrian kini sepenuhnya sudah menjadi miliknya."Jangan pernah sepelekan sakitmu. Aku antar ke Dokter ya?" tanya Adrian masih dengan perasaan cemas.Belum sempat menjawab, Adiva tiba-tiba merasa mual. Adiva lari ke toilet dan segera mutah."Kayaknya aku beneran harus bawa kamu ke Dokter, deh! Kamu pucet banget!" ucap Adrian setelah Diva selesai mutah."Enggak perlu, Bang. Aku beneran enggak apa-apa. Cukup ada Abang disampingku ak
Adrian mengaktifkan ponselnya setelah selesai meeting. Keningnya mengernyit tatkala ponselnya mendapat beberapa pesan dari operator memberitahu bahwa nombor Diva beberapa kali sempat menghubunginya ketika nombornya sedang tak aktif. Tak menunggu waktu lama lelaki itu pun segera menghubungi balik Diva, sialnya sekarang malah gantian nombor Diva yang tak aktif. Adrian tak berpikir sesuatu yang buruk tengah terjadi pada selingkuhannya, dia terlihat biasa saja dan melakukan makan siang dengan sekertarisnya tanpa kecurigaan apapun.Sejam kemudian Adrian kembali mencoba menghubungi Diva tapi nombor Adiva masih tak aktif juga. Adrian mulai panik tapi sayangnya pekerjaannya yang menumpuk memaksanya untuk menepis segala kegundahannya tentang keadaan Diva.Jam sudah menunjukan pukul 2siang, Adrian mencoba kembali menghubungi Adiva tapi sayang sekali nombor Adiva juga belum aktif. Akhirnya Adrian berinisiatif untuk memghubungi salah satu teman Adiva yang dia kenal. Adrian cukup terkejut mendenga
Adrian duduk di sofa sambil menunggui Diva pulang. Di sebelah tempat duduknya sudah ada 2 koper berisi barang-barang milik Adiva. Entah apa yang sedang dilakukan Diva sekarang karena sudah hampir dua jam Adrian menunggu kepulangan wanita itu namun dia tak kunjung muncul dihadapan Adrian."Tuan, apa ada yang perlu saya kerjakan lagi?" tanya Icha, wanita yang menjadi pembantu Adrian."Tidak."Icha bergegas pergi setelah mendengar jawaban Adrian. Wajah Adrian dipenuh emosi, Icha tahu Tuannya sedang sangat marah. Tak mau melewatkan momen itu, Icha diam-diam mengambil foto wajah marah majikannya dan memberikannya pada Eric. Usia Icha memang sudah menginjak 45 tahun. Tapi dia masih sangat baik menjalankan perannya sebagai mata-mata di rumah Adrian.Tiga puluh menit sudah berlalu, Adrian melihat dari pintu keluar saat sebuah mobil mengantarkan Diva. Rahangnya mengeras, tangannya juga mengepal seolah tak sabar memberi pelajaran wanita yang sudah mengkhianatinya."Darimana kamu?" tanya Adrian
Setelah melihat vidio tak senonohnya bersama Diva, Adrian langsung menghapusnya. Dia tau itu tak berguna, vidio sudah terlanjur tersebar namun setidaknya dia tak perlu sakit hati membaca komenan hujatan dari teman-temannya di postingan tersebut.Ingatan Adrian kembali ke semalam, saat dia mabuk dia masih berada di klub malam. Dia kebingungan saat menyadari kini dirinya sudah berada dalam kamarnya.Adrian turun dan menemui Icha, saat itu Icha sedang mandi. Adrian sempat kesal karena cukup lama menunggu Icha keluar. Hampir tiga puluh menit Adrian menunggu akhirnya Icha keluar juga."Bik siapa yang mengantarkan aku pulang semalam?" tanya Adrian setelah Icha keluar dari kamar mandi."Non Diva, Tuan. Dia datang dengan seorang lelaki." Icha sengaja memanasi Adrian, berharap hubungan mereka makin berantakan."Brengs*k! Pasti dia pelakunya!" Lagi-lagi Adrian salah menuduh. Diva benar-benar tak tahu apa-apa. Wanita itu hanya ingin membantu Adrian pulang tanpa berniat buruk sedikitpun. Adrian b
"Bang, sabar! Kita bicarain ini baik-baik. Aku bener-bener enggak pernah ngrekam kegiatan kita di kamar ini selama ini. Tolong percaya sama aku!" Diva berusaha membujuk Adrian, namun lelaki itu nampaknya tetap tak mau percaya sedikitpun ucapannya."Diva...Diva...! Tak ada orang lain di kamar ini selain kita berdua. Sekarang, kamu harus menanggung akibat dari perbuatanmu!""Aa...Tolong...!"Diva menahan tangan Adrian yang hampir saja menusukan pisau di perutnya. Tenaga Adrian yang sangat kuat membuat wanita itu kesusahan."Tolong...Bik Icha tolong...!"Sembari berteriak Adiva tetap menahan tangan abang iparnya agar pisau yang di pegang lelaki itu tak berhasil menusuk perutnya."Diva...kamu di dalem, Nak...!"Suara ketukan pintu dari ibu Diva terdengar. Diva sedikit lega karena itu. Dia pikir kedatangan ibunya bisa membuat Adrian mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Sayangnya tidak sama sekali."Mah, tolong, Mah...! Bang Adrian mau membunuhku!" teriak Diva."Adrian, apa yang kamu lak
Seorang lelaki paroh baya buru-buru berjalan di lorong Rumah sakit dengan beberapa plastik berisi makanan di tangannya. Jam sudah menunjukan pukul dua siang namun dia baru sempat memesan makanan lewat online.Brugh!Lelaki itu terjatuh karena di tabrak oleh seseorang, plastik di tangannya jatuh mengakibatkan makanan yang sudah dibelinya pun berhambur mengotori lantai."Maaf, Pak. Saya sibuk menelpon sampai saya tak sengaja menabrak Anda." ucap seorang gadis muda yang menabrak lelaki itu.Melihat raut wajah bersalah gadis itu, lelaki paroh baya tersebut tak jadi marah."Ok, enggak apa-apa.""Pak, saya ganti makanannya, ya. Saya beneran enggak enak sudah buat makanan Anda terjatuh!" ucap gadis muda itu masih dengan rasa bersalahnya."Enggak usah, saya enggak marah kok. Biar nanti saya pesan makanan lewat online lagi saja!" ujar lelaki tersebut."Pokoknya saya yang harus ganti. Tangan Anda terlihat gemetar, pasti Anda sudah sudah sangat kelaparan.""Hehe...! Dari pagi saya memang belum s