"Sayang kamu sudah pulang kerja? Kok awal pulangnya sekarang?" tanya Adiva disuatu siang. Hari ini dia tak kuliah, dia sedikit merasa tak enak badan."Aku tak fokus kerja karena terlalu khawatir dengan keadaan kamu. Makanya aku mutusin buat cepet-cepet pulang." ucap Adrian sembari melonggarkan dasinya."Ya ampun, aku cuma masuk angin biasa. Kamu sampai sekhawatir ini. Kamu perhatian banget."Diva gemas dengan Adrian yang sangat perhatian dengannya. Dia sama sekali tak menyesal sudah mencoba membunuh kakak perempuannya. Sebab saingannya sudah tak ada, perhatian Adrian kini sepenuhnya sudah menjadi miliknya."Jangan pernah sepelekan sakitmu. Aku antar ke Dokter ya?" tanya Adrian masih dengan perasaan cemas.Belum sempat menjawab, Adiva tiba-tiba merasa mual. Adiva lari ke toilet dan segera mutah."Kayaknya aku beneran harus bawa kamu ke Dokter, deh! Kamu pucet banget!" ucap Adrian setelah Diva selesai mutah."Enggak perlu, Bang. Aku beneran enggak apa-apa. Cukup ada Abang disampingku ak
Adrian mengaktifkan ponselnya setelah selesai meeting. Keningnya mengernyit tatkala ponselnya mendapat beberapa pesan dari operator memberitahu bahwa nombor Diva beberapa kali sempat menghubunginya ketika nombornya sedang tak aktif. Tak menunggu waktu lama lelaki itu pun segera menghubungi balik Diva, sialnya sekarang malah gantian nombor Diva yang tak aktif. Adrian tak berpikir sesuatu yang buruk tengah terjadi pada selingkuhannya, dia terlihat biasa saja dan melakukan makan siang dengan sekertarisnya tanpa kecurigaan apapun.Sejam kemudian Adrian kembali mencoba menghubungi Diva tapi nombor Adiva masih tak aktif juga. Adrian mulai panik tapi sayangnya pekerjaannya yang menumpuk memaksanya untuk menepis segala kegundahannya tentang keadaan Diva.Jam sudah menunjukan pukul 2siang, Adrian mencoba kembali menghubungi Adiva tapi sayang sekali nombor Adiva juga belum aktif. Akhirnya Adrian berinisiatif untuk memghubungi salah satu teman Adiva yang dia kenal. Adrian cukup terkejut mendenga
Adrian duduk di sofa sambil menunggui Diva pulang. Di sebelah tempat duduknya sudah ada 2 koper berisi barang-barang milik Adiva. Entah apa yang sedang dilakukan Diva sekarang karena sudah hampir dua jam Adrian menunggu kepulangan wanita itu namun dia tak kunjung muncul dihadapan Adrian."Tuan, apa ada yang perlu saya kerjakan lagi?" tanya Icha, wanita yang menjadi pembantu Adrian."Tidak."Icha bergegas pergi setelah mendengar jawaban Adrian. Wajah Adrian dipenuh emosi, Icha tahu Tuannya sedang sangat marah. Tak mau melewatkan momen itu, Icha diam-diam mengambil foto wajah marah majikannya dan memberikannya pada Eric. Usia Icha memang sudah menginjak 45 tahun. Tapi dia masih sangat baik menjalankan perannya sebagai mata-mata di rumah Adrian.Tiga puluh menit sudah berlalu, Adrian melihat dari pintu keluar saat sebuah mobil mengantarkan Diva. Rahangnya mengeras, tangannya juga mengepal seolah tak sabar memberi pelajaran wanita yang sudah mengkhianatinya."Darimana kamu?" tanya Adrian
Setelah melihat vidio tak senonohnya bersama Diva, Adrian langsung menghapusnya. Dia tau itu tak berguna, vidio sudah terlanjur tersebar namun setidaknya dia tak perlu sakit hati membaca komenan hujatan dari teman-temannya di postingan tersebut.Ingatan Adrian kembali ke semalam, saat dia mabuk dia masih berada di klub malam. Dia kebingungan saat menyadari kini dirinya sudah berada dalam kamarnya.Adrian turun dan menemui Icha, saat itu Icha sedang mandi. Adrian sempat kesal karena cukup lama menunggu Icha keluar. Hampir tiga puluh menit Adrian menunggu akhirnya Icha keluar juga."Bik siapa yang mengantarkan aku pulang semalam?" tanya Adrian setelah Icha keluar dari kamar mandi."Non Diva, Tuan. Dia datang dengan seorang lelaki." Icha sengaja memanasi Adrian, berharap hubungan mereka makin berantakan."Brengs*k! Pasti dia pelakunya!" Lagi-lagi Adrian salah menuduh. Diva benar-benar tak tahu apa-apa. Wanita itu hanya ingin membantu Adrian pulang tanpa berniat buruk sedikitpun. Adrian b
"Bang, sabar! Kita bicarain ini baik-baik. Aku bener-bener enggak pernah ngrekam kegiatan kita di kamar ini selama ini. Tolong percaya sama aku!" Diva berusaha membujuk Adrian, namun lelaki itu nampaknya tetap tak mau percaya sedikitpun ucapannya."Diva...Diva...! Tak ada orang lain di kamar ini selain kita berdua. Sekarang, kamu harus menanggung akibat dari perbuatanmu!""Aa...Tolong...!"Diva menahan tangan Adrian yang hampir saja menusukan pisau di perutnya. Tenaga Adrian yang sangat kuat membuat wanita itu kesusahan."Tolong...Bik Icha tolong...!"Sembari berteriak Adiva tetap menahan tangan abang iparnya agar pisau yang di pegang lelaki itu tak berhasil menusuk perutnya."Diva...kamu di dalem, Nak...!"Suara ketukan pintu dari ibu Diva terdengar. Diva sedikit lega karena itu. Dia pikir kedatangan ibunya bisa membuat Adrian mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Sayangnya tidak sama sekali."Mah, tolong, Mah...! Bang Adrian mau membunuhku!" teriak Diva."Adrian, apa yang kamu lak
Seorang lelaki paroh baya buru-buru berjalan di lorong Rumah sakit dengan beberapa plastik berisi makanan di tangannya. Jam sudah menunjukan pukul dua siang namun dia baru sempat memesan makanan lewat online.Brugh!Lelaki itu terjatuh karena di tabrak oleh seseorang, plastik di tangannya jatuh mengakibatkan makanan yang sudah dibelinya pun berhambur mengotori lantai."Maaf, Pak. Saya sibuk menelpon sampai saya tak sengaja menabrak Anda." ucap seorang gadis muda yang menabrak lelaki itu.Melihat raut wajah bersalah gadis itu, lelaki paroh baya tersebut tak jadi marah."Ok, enggak apa-apa.""Pak, saya ganti makanannya, ya. Saya beneran enggak enak sudah buat makanan Anda terjatuh!" ucap gadis muda itu masih dengan rasa bersalahnya."Enggak usah, saya enggak marah kok. Biar nanti saya pesan makanan lewat online lagi saja!" ujar lelaki tersebut."Pokoknya saya yang harus ganti. Tangan Anda terlihat gemetar, pasti Anda sudah sudah sangat kelaparan.""Hehe...! Dari pagi saya memang belum s
"Kamu sekarang paham kan, Renata. Orang licik akan tetap kalah sama orang baik. Jadi, semoga kejadian ini menyadarkan kamu dan bisa mengembalikan kamu ke Renata yang baik seperti dulu. Itu saja sih harapanku!"Eric memasukan ponselnya ke dalam saku celananya dan bersiap pergi. Baru beberapa langkah Eric melangkah, suara Renata menghentikan langkahnya."Aku enggak akan nyerah sampai kapanpun, Ric. Kamu perlu camkan itu. Aku akan melakukan apa saja untuk bisa hancurin Ola demi dapetin kamu!"Eric kembali menoleh ke wanita itu dan tersenyum kecut."Kamu dengerin baik-baik, Re. Selama ada aku, tidak akan ada yang bisa menyentuh Ola lagi. Silahkan kalau kamu mau membuang-buang waktu!"Saat Eric akan membuka pintu ruangan Renata, seorang lelaki berjas hitam buru-buru pergi dari depan pintu. Ternyata lelaki itu diam-diam mendengar obrolan Renata dan Eric sedari awal.Di tempat lain Adrian masih ada di dalam kamarnya. Keadaannya terlihat sangat kacau. Karir dan hidupnya sudah benar-benar hanc
"Cobaan apa lagi ini?" gumam Hani dengan suara bergetar. Lutut wanita itu mendadak lemah setelah dia mendapat kabar kalau Eric kecelakaan."Nek, ada apa?" Elsa yang kebetulan ada di samping Neneknya ikut panik melihat keadaan Neneknya yang terlihat begitu sedih setelah mendapat panggilan telepon."Papahmu kecelakaan, cepat panggilkan Yanto untuk antarkan Nenek ke rumah sakit!" perintah Hani sambil bersiap pergi. Elsa sangat syok mendapatkan kabar buruk tersebut. Namun meski begitu dia buru-buru lari menghampiri sopir pribadi Hani yang sedang ada dalam kamarnya."Bang Yanto, dipanggil Nenek. Cepat, Bang. Penting!"Yanto yang sedang menyapu kamarnya berhenti sejenak."Tunggu sebentar, ya, Elsa. Abang beresin dulu sampah-sampah ini. Tanggung!" balas Yanto lembut."Enggak usah, Bang. Ini penting banget. Papah kecelakaan. Nenek suruh Abang antarkan dia ke rumah sakit!""Apa? Dokter Eric kecelakaan?" Yanto tak kalah syok mendengar kabar buruk tersebut. Elsa mengangguk, "Iya,Bang. Makanya c
Hendrik, lelaki tampan berumur 35 tahun itu tampak marah sambil mengetuk sebuah kaca mobil yang beberapa saat lalu mengikuti mobil bos wanitanya. Kaca mobil diturunkan, lelaki yang ada di dalamnya sama sekali tak menyangkal tuduhan Hendrik saat itu.Ya, lelaki di dalam mobil tersebut ternyata adalah Roy. Dia sengaja tidak membalas kemarahan Hendrik melainkan mengajak bicara Hendrik saat itu. Hendrik di tawari sepuluh kali lipat uang yang Eric berikan pada Hendrik jika lelaki itu mau mengkhianati Eric dan berpihak pada Roy.Siapa yang tak tergiur dengan uang yang dijanjikan Roy, termasuk Hendrik. Namun selama ini tidak sekalipun dia mengkhianati majikan meski dibayar dengan bayaran sangat mahal. Lelaki itu lalu mengajak rekannya yang bernama Irvant untuk mengerjai Roy. Caranya dengan mengajak Renata dan pembantu rumah tangga di rumah Eric untuk bekerjasama melakukan skenario yang sudah direncanakan Roy."Kamu?"Roy menatap tajam kearah Hendrik, dia sama sekali tak menyangka lelaki tamp
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Marvin tepat disebelah Eric."Kita sudah terkepung. Istri saya bisa dalam bahaya jika kita tetap mau melawan lelaki gila itu. Untuk sementara waktu kita ikuti saja perintah lelaki gila itu." Eric terlihat pasrah, dia belum menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Dia tak mau istri dan anak tirinya terluka sedikitpun karena kecerobohannya.Eric dan Marvin mengikuti arahan Roy untuk masuk dalam rumah Nayla. Disana Nayla dan ibunya juga sudah terikat. Ternyata Roy sudah curiga kalau Eric tahu tentangnya sejak Azam dan Marvin menemui lelaki itu diam-diam. Anak buah Roy ada dimana-mana jadi dengan mudah ia mengawasi gerak gerik orang yang ingin dia pantau.Semua sandra diikat, Roy tertawa puas melihat musuhnya berada di hadapannya tanpa berdaya."Jadi wanita ini yang buat Ayah saya masuk penjara. Saya ingin tahu apa spesialnya wanita ini sampai buat Ayah saya tergila-gila!" Roy mendekat kearah Ola. Seketika Emosi Eric melu
"Anda mau bawa saya kemana?" tanya Eric pada Marvin saat lelaki itu membawanya pergi."Ke suatu tempat yang pastinya membuat Anda terkejut!"Eric akhirnya diam, meski dia belum mengenal Marvin tapi entah kenapa dia langsung percaya begitu saja pada lelaki itu. "Rumah siapa ini?" tanya Eric setelah sampai di sebuah rumah yang kelihatannya seperti rumah kosong tak terawat. Tapi anehnya disana terparkir beberapa mobil mewah. Padahal lampu di rumah itu sama sekali tak menyala."Di dalam rumah itu ada kedua orang tua Renata. Mereka di sekap oleh seseorang.""A-apa?""Entah apa yang sudah Renata lakukan beberapa hari ini sama Anda dan keluarga Anda. Saya cuma ingin kasih tahu Anda saja kalau itu semua bukan kemauan Renata. Ada seseorang yang memaksanya melakukan itu!""Pak, tanpa diancam seseorang pun memang Renata selalu mengganggku keluarga saya. Jangan mengada-ngada dech!" ucap Eric sambil tertawa. Dia ingat betul betapa jahatnya Renata yang pura-pura koma demi bisa tetap memasukan Ola
"Doc, maaf. Saya ada perlu sebentar!"Saat hendak kembali ke ruangannya Eric di hadang oleh kakak lelaki Grecia. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada Eric setelah selesai menjenguk adiknya di penjara."Dokter Eric, bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin sampaikan pada Anda!" ucap lelaki yang bernama Azam tersebut."Ok, bicaralah. Saya ada waktu sekitar 30 menitan lagi!"Eric agak penasaran dengan wajah Azam yang menunjukan ketakutan saat hendak bicara."Kamu kenapa?" tanya Eric karena Azam tak langsung bicara."Sa-saya sebenernya takut mau bicara disini. Takut ada yang nguping pembicaraan kita!""Ok, kalau gitu kamu ikut ke ruanganku ya. Kita bicarakan disana saja!"Azam mengangguk kemudian mengikuti Eric menuju ruangannya."Sekarang katakan apa yang mau kamu sampaikan!" ucap Eric setelah menutup pintu ruangannya."Tadi saya menjenguk Grecia. Dia bilang anda dan Mbak Ola sedang dalam bahaya!" ucap Azam dengan suara lirih."Dalam bahaya?" Eric bertanya dan Azam mengangguk."Se
"Ric, kalau kamu sayang ibu. Tolong ceraikan Ola. Dia perempuan enggak bener Kamu harus jauhi wanita jahat seperti dia!"Seketika Ola dibuat lemas dengan ucapan ibu mertuanya. Wanita yang selama ini selalu mendukungnya tiba-tiba termakan fitnah dan berubah menjadi sangat membencinya."Saya akan selesaikan masalah ini secepatnya. Ibu jangan khawatir, ya. Sekarang ibu istirahat. Aku enggak mau penyakit ibu kambuh kalau ibu banyak pikiran."Ola salah paham dengan kalimat Eric barusan. Dia pikir Eric sama seperti Hani, terpengaruh dengan fitnah yang Renata berikan.Eric menarik tangan Ola ke luar kamar, jika biasanya Renata senang karena rencananya berhasil, kali ini dia merasa bersalah karena sudah membuat berantakan keluarga Eric."Renata, kalau Eric bercerai dengan Ola nanti. Ibu janji akan merestui kamu dan Eric."Renata pura-pura tersenyum. Dia sudah sadar, restu dari Hani saja tak cukup untuk membuat Eric jatuh lagi ke pelukannya. Eric begitu keras kepala. Lelaki itu pasti akan me
Jam menunjukan pukul 1 malam. Eric masih belum juga bisa memejamkan matanya. Dia terus mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Dia ingin percaya dengan Ola namun dia bingung kenapa bisa bungkusan obat pencuci perut itu ada di meja rias istrinya kalau bukan wanita itu pelakunya.Eric menatap Ola yang sudah pulas tidur disampingnya. Ia kembali meyakinkan hatinya kalau Ola bukan orang jahat seperti apa yang ada di dalam pikirannya.Karena suntuk, Eric memutuskan untuk keluar kamar. Dia menuju dapur dan meneguk segelas air putih hangat untuk menetralkan perasaan kacaunya.Saat ingin kembali ke kamar, Eric berhenti sejenak karena mendengar suara isakan ibunya. Lelaki itu takut ibunya masih sakit jadi buru-buru mendatangi kamar ibunya."Bu, ini aku. Apa ibu baik-baik saja?" tanya Eric setelah mengetuk pintu. Ibunya tak merespon ucapan Eric, lelaki itu mencoba membuka pintu dan beruntungnya pintu kamar Hani memang tak terkunci."Bu, maaf. Aku tahu aku salah. Maaf sudah buat ibu sedih sep
"La, ada orang tua Adrian di ruang tamu. Mereka datang untuk bela sungkawa sekaligus meminta maaf karena pernah salah paham sama kamu!" Hani mendatangi kamar Ola. Setelah pemakaman Anisa selesai, Ola lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Memang Ola sangat membenci Anisa tapi kepergian Anisa yang terlalu mendadak dan penuh dengan misteri membuat wanita itu sangat syok."Tunggu, sebentar lagi saya turun untuk menemui mereka, Bu.""Kami tunggu di bawah, ya. Suamimu Eric juga ada disana!""Baik, Bu."Ola berganti baju sebelum turun. Dia juga sedikit memoles wajah agar tidak terlalu terlihat pucat."Maaf Tante, Om. Saya baru tahu kalian ada disini!" ucap Ola setelah menemui keluarga Adrian."Enggak apa-apa, Ola. Maaf ya kami baru tahu kabar kematian adik kamu jadi kami baru bisa datang," ucap Ayah Adrian."Enggak apa-apa, Om. Melihat kalian datang saja sudah buat kami senang." Ola bicara sembari tersenyum, tak ada dendam sama sekali terlihat di wajahnya."Begini, La. Kami sebe
[Kamu pikir dengan cara menyewa bodyguard, kamu bisa lepas dari pengawasanku?]Renata yang tengah makan tersedak karena membaca pesan dari Roy.[Aku tidak mau ikut campur dengan balas dendammu. Tolong jangan ganggu aku lagi!]Renata mengetik pesan dengan gemetar, meski baru mengenal Roy tapi dia tahu betapa jahatnya lelaki itu. Renata curiga, kecelakaan yang menimpa pengacaranya itu juga ulah Roy.[Tak ada siapapun yang berhak menolak tawaran kerjasamaku. Menolak berarti mati!]Renata tak melanjutkan makan malamnya. Dia berniat mematikan ponsel karena tak mau diganggu oleh Roy lagi. Namun sayangnya sebelum dia berhasil, satu lagi pesan masuk dari Roy. Lelaki itu mengirimkan sebuah gambar orang tua Renata yang sedang di sekap oleh lelaki itu. Renata marah bukan main dia langsung menelepon Roy. Malam ini juga Renata akhirnya menemui Roy di sebuah restoran. Mereka akhirnya sepakat melakukan kerjasama.Keesokan harinya, Renata mendapatkan kabar kalau adik Ola meninggal. Roy ternyata yang
"Bu, kamu lihat obat yang aku simpan kemarin enggak?" tanya Anisa sambil mengobrak-abrik lemari bajunya."Enggak, Nis. Kamu yang simpan kok malah tanya ibu?""Aku letak dalam lemari sini tapi kok enggak ada, ya? Aneh!"Anisa kembali mengecek isi lemarinya. Tapi dia masih juga tak mendapatkan obat yang ia cari."Jangan-jangan ada yang mencurinya, Nis!"Anisa dan ibunya saling berpandangan kemudian tatapan mereka beralih ke Grecia yang sedang pura-pura tak mendengar apapun."Grecia, kamu ambil obat dalam lemariku?""Obat apa?" tanya Grecia pura-pura tak tahu.Anisa gelagapan, dia tak mungkin menjawab jujur kalau obat itu adalah obat pencuci perut dengan dosis cukup tinggi. Dia pikir dengan cara itu dia bisa dibawa ke rumah sakit sehingga bisa melarikan diri tentunya di bantu oleh orang-orang Roy."Kamu jawab aja pertanyaanku, kamu tahu tidak?"Grecia dengan santainya menggelengkan kepalanya."Kamu enggak bohong kan?"Anisa tak percaya dengan jawaban Grecia."Buat apa aku bohong. Enggak