"Oke Danu terserah kamu jika terus membela dan mempertahankan hubunganmu dengan wanita miskin ini!" ucap Mama sambil mengarahkan telunjuk di depan wajahku.
"Tapi kamu masih ingat kan perjanjian kita sebelum kamu memutuskan menjadikan pelayan ini istrimu?"Perjanjian? Aku benar-benar tak tau ada kesepakatan apa antara ibu dan anak ini sebelum Mas Danu menikahiku."Iya Ma, aku ingat tapi bukankah itu takdir Tuhan? Lagipula kami baru menikah selama satu tahun, bukankah itu masih belum terlalu lama?""Mama nggak mau tau, kesepakatan tetaplah kesepakatan! Bukankah kamu dulu menyetujuinya? Bukan salah Mama jika ternyata wanita pilihanmu itu man*ul."Aku semakin tak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Mama yang tiba-tiba merestui pernikahanku dengan anaknya dulu?"Sebenarnya apa isi perjanjian itu mas?"Daripada semakin penasaran lebih baik aku bertanya untuk mendapat kejelasan."I-itu... Anu dek.."Kegugupan mas Danu semakin membuat rasa penasaranku membuncah terlebih melihat keringatnya bercucuran di ruangan ber-AC ini."Biarkan Mama yang menjelaskan," ucap mama dengan ekspresi dinginnya."Kamu masih ingat kan jika dulu aku sangat menentang hubungan kalian berdua? Tapi Danu bersikeras untuk menikahimu, bahkan ia bersikeras untuk kawin lari denganmu. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku merestui kalian berdua dengan syarat kamu harus hamil sebelum pernikahan kalian menginjak satu tahun."Kulirik Mas Danu yang tertunduk tak berani mengangkat kepalanya."Lalu apa yang akan terjadi jika dalam jangka waktu tersebut aku belum bisa hamil?""Terpaksa kalian harus berpisah!"Aku terperangah, haruskah takdir menjadikanku janda setelah berhasil mempunyai seorang suami selama satu tahun."Apa tak ada solusi lain selain perceraian? Aku mohon Ma masih ada banyak waktu, setelah ini kami akan mengikuti program hamil supaya bisa lekas memberikan Mama cucu," ucap mas Danu mengiba."Sayang sekali, waktu satu tahun menurut Mama sudah cukup. Tapi Mama punya solusi lain, itupun jika kalian setuju," ucap mama sambil melirik kearahku."Danu akan melakukan apapun asal tidak berpisah dengan Nilam. Katakan apa yang harus aku lakukan Ma?""Jadikan Viola istrimu maka Nilam juga akan tetap menjadi istrimu!"Benarkah ini solusi terakhir, entah apa yang akan terjadi jika ada dua ratu dalam sebuah rumah tangga. Yang pasti banyak masalah yang akan terjadi.Aku melirik kearah Mas Danu, tergambar dengan jelas raut kecemasan juga kebimbangan di wajahnya.Tak hanya Mas Danu, akupun juga bimbang antara dimadu atau dicerai.Berbeda dengan ekspresi Viola yang terlihat amat senang dengan senyum penuh kemenangan yang ia tampilkan."Izinkan aku bicara berdua dengan Nilam sebentar!""Oke Mama beri kalian waktu 15 menit untuk memutuskan semuanya."Mas Danu menggandeng tanganku menuju kamar yang dulu kami tempati di rumah ini."Aku nggak mau dimadu Mas," lirihku.Aku tak ingin berkata aku kuat padahal nyatanya sedang membohongi diri sendiri dan berkamuflase seakan semuanya baik-baik saja."Apakah itu artinya kamu menginginkan hubungan kita segera berakhir? Tolonglah Dek, jangan menempatkan aku diposisi yang sulit, jujur aku tidak bisa jika harus memilih antara kamu dan mama!""Apakah kamu masih mencintai Viola?"Kutatap dua manik mata suamiku tersebut."Adanya Viola tak akan merubah bahwa kamu tetep menjadi yang nomor satu dihatiku."Bukan jawaban itu yang aku mau mas. Padahal aku berharap ia berkata dengan lantang bahwa sama sekali tak ada cinta untuk Viola."Itu artinya memang ada rasa cinta untuk Viola begitu kan Mas?""Jangan makin mempersulit keadaan! Intinya hanya satu kamu rela dimadu atau rela aku ceraikan?""Mas yakin akan tetap ada aku dihatimu meski nanti posisiku dengan Viola sama?""Percayalah! Tak ada yang bisa menggantikan posisimu dihatiku."Tak ada sorot kebimbangan di matanya, hanya ada sorot mata yang seakan membiusku untuk meyakini ucapan pria yang menjadi kekasih halalku tersebut."Baiklah Mas demi keutuhan rumah tangga kita, aku izinkan kamu menikah dengan Viola."Jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat mengucapkan kalimat itu. Seakan dada ini dihimpit oleh batu besar, sakit pasti sakit. Bahkan mata ini ikut bereaksi dengan meneteskan bola-bola kristal cair."Maafkan aku Dek, tolong maafkan aku! Aku tak punya pilihan lain," ucapnya sambil merengkuh tubuh ini kepelukannya disertai kecupan bertubi-tubi yang mendarat dipucuk kepalaku.Kemarin pelukan seperti ini masih terasa begitu nyaman dan hangat tapi kini rasa itu telah berbeda berganti dengan perasaan cemas karena mungkin besok bukan hanya aku yang akan dia peluk seperti ini."Sudah Dek, hapus air matamu! Kamu terlihat jelek jika menangis."Mungkin dulu jika kata itu muncul dari bibirnya saat aku menangis, maka wajah sedihku akan berubah menjadi senyuman. Tapi kini malah membuatku ingin menangis lebih lama.Tok tok tok"Sudah lebih dari 15 menit waktu yang kalian habiskan untuk berdiskusi!" teriak Mama dari balik pintu yang masih tertutup itu."Tunggu sebentar Ma, kami akan segera keluar," jawab mas Danu sedikit berteriak.Aku menyeka bekas air mata yang masih membasahi pipiku. Aku tak bisa membohongi diri bahwa aku terluka, tapi setidaknya aku masih bisa berbohong dihadapan Mama dan Viola dengan bersikap seolah aku wanita kuat."Jadi bagaimana Danu, kamu bersedia kan menikah dengan Viola?"Hening beberapa saat, kulirik mas Danu yang ternyata juga tengah menatapku seakan meminta persetujuanku untuk menjawab pertanyaan Mama. Aku hanya mengangguk pelan."Iya Ma, aku akan menuruti keinginan Mama untuk menikah dengan Viola," ucap Mas Danu lirih."Lalu bagaimana dengan mbak Nilam apa dia setuju dengan pernikahan kami?" tanya Viola.Ah gadis ini, bukankah dia yang kekeh ingin bersanding dengan Mas Danu, tapi kenapa sekarang dia bertanya seolah-olah mengerti perasaanku.Andai aku punya kuasa untuk menolak poligami ini, sudah tentu aku dengan tegas berkata tidak. Tapi yasudahlah aku hanya berdoa semoga bisa terus kuat dan sabar."Tentu saja Nilam akan setuju sayang, lagipula Nilam punya hak apa untuk melarang Danu menikahimu. Seharusnya ia beruntung karena Danu masih mempertahankannya, kalau tidak pasti dia sudah menjadi gadis miskin seperti dulu. Nilam juga pasti akan berfikir seribu kali untuk menuntut cerai dari D
"Sudah kubilang jangan datang di pesta pernikahan Danu tapi masih aja ngotot mau datang, sekarang malah nangis-nangis kan? Harusnya kamu sadar jika kedatanganmu hanya merusak suasana, awas aja jika ada yang tau kalau kamu juga istrinya Danu!"Mama benar, harusnya aku tak perlu sok kuat dan memaksakan diri untuk menyaksikan akad kedua yang terucap dari bibir suamiku.Sekuat apapun aku mencoba meredam gejolak didada nyatanya sia-sia. Aku tak rela melihat pesta megah antara suami dan istri barunya.Mereka tersenyum manis didepan ratusan tamu undangan tak peduli disini ada hati yang tersayat."Nih makan dulu biar kuat menghadapi kenyataan!"Seorang pria muda menyodorkan sepiring penuh nasi dengan daging rendang, acar timun serta kerupuk diatasnya."Buruan nih ambil, tangan gue pegel tau!"Dengan ragu aku menerima piring tersebut, aku masih memandang pria tersebut rasanya wajahnya tidak asing seperti pernah bertemu dengannya sebelumnya."Ngapain sih ngeliatin gue sampe segitunya, jangan-ja
"Kenapa sih tu muka lecek amat? Katanya mau curhat, buruan deh cerita kupingku udah siap nih dengerin keluh kesah sahabat tercintaku ini!"Menjadi wanita rumah tangga seutuhnya membuatku bosan. Berulangkali aku meminta izin kepada suamiku untuk bekerja, tapi selalu penolakan yang aku dapat."Mencari nafkah itu tugas suami jadi kamu nggak usah mikir cari uang. Kalau jatah bulanan habis tinggal bilang, nanti aku tambah. Aku mau punya istri penurut yang mengurus rumah dan suami seutuhnya.""Tapi aku bosan di rumah terus Mas!""Kamu bisa refreshing dengan jalan-jalan sebentar ke mall atau kumpul bareng teman. Dengan syarat kamu harus selalu ada saat aku di rumah!"Dan benar saja, aku menjadi wanita rumahan yang hanya keluar saat kebutuhan rumah telah habis dan juga bertemu dengan sahabatku saat aku jenuh.Seperti saat ini, aku tidak mau stress sendiri memikirkan kisah rumah tanggaku. Oleh sebab itu aku ingin berbagi sedikit kisah dengan sahabatku Safira."Mas Danu nikah lagi Fir," ucapku
"Mbak kok baru sampai, kita udah nunggu lama banget lho. Mbak sengaja ya pergi lama biar aku sama Mas Danu kecapekan nunggu diteras?"Baru saja aku turun dan menginjakkan kaki dari taxi, suara Viola sudah merepet seperti petasan yang terus-menerus meledak.Aku hanya menatapnya malas sambil mengambil anak kunci dari tas selempangku dan memutarnya di tempat lubang kunci pintu masuk.Aku melenggang masuk dengan santai disusul Viola yang berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya. Mungkin dia kesal karena aku abaikan."Dek kamu masak apa, aku lapar dari pagi belum makan?" tanya mas Danu."Maaf mas aku nggak tau kalau kamu mau pulang hari ini jadi aku belum masak. Aku juga tadi udah makan diluar sama Fira. Kalau kamu lapar suruh aja istri baru kamu yang masak!"Viola langsung membelalakkan matanya menatapku dan hanya aku tanggapi dengan senyuman."Nggak bisa gitu dong Mbak! Aku ini capek habis honeymoon sama Mas Danu, pengen istirahat. Jadi tolong mbak aja ya yang masak buat kita!"Entah
"Mas Danu... Mas Danu?"Suara cempreng Viola disertai suara ketukan pintu yang bertubi-tubi benar-benar memekakkan telinga."Buruan deh temuin istri mudamu, berisik tau mas!"Viola langsung nyelonong masuk ke kamarku setelah pintu dibuka oleh mas Danu."Mbak Nilam gimana sih, hari inikan masih jatah mas Danu tidur sama aku. Kenapa mas Danu malah disuruh tidur sama mbak?""Siapa juga yang nyuruh mas Danu tidur sama aku, tuh mas Danu sendiri yang pengen disini!" ucapku sambil melirik kearah suamiku tersebut."Aku nggak percaya sama mbak, mana mungkin mas Danu memilih tidur sama mbak Nilam? Secara mbak kan udah nggak menarik, masih cantikkan aku kemana-mana. Jadi sudah dipastikan mas Danu lebih betah sama aku ketimbang sama istri tuanya.""Terserah mau ngomong apa tentang aku, lebih baik kamu tanya sendiri sama suamiku itu kenapa sekarang bisa ada di kamar ini!""Mas Danu juga suami aku, bukan cuma suami mbak aja." Viola beralih menatap suaminya."Pasti mbak Nilam bohong kan mas? Pasti s
"Mbak Nilam ini jatah bulanan buat Mbak!"Viola berucap sambil mengulurkan sebuah amplop berwarna coklat muda kearahku. Biasanya nafkah dari Mas Danu selalu ditransfer langsung ke rekeningku.Tapi kini berbeda, jatah nafkah yang dulu hanya untukku kini harus terbagi. Seperti halnya aku berbagi suami, aku juga harus rela berbagi jatah nafkah.Aku meraba amplop tersebut sebelum membukanya. Tak bisa diterka berapa uang yang terdapat di dalamnya, tapi bisa dipastikan kalau isinya tak lebih dari separuh yang biasanya aku terima.Biasanya diawal bulan seperti ini ada notifikasi di layar hp ku yang mengatakan ada transferan masuk senilai 10 juta.Dengan uang itu aku bisa memenuhi kebutuhan rumah, mengirim sedikit kepada orang tuaku juga ada sisa untuk ditabung.Meskipun aku tak tau berapa kisaran gaji yang diterima Mas Danu sebagai seorang direktur di perusahaan yang diwariskan ayahnya sebelum meninggal.Yang pasti aku sudah merasa cukup dengan nafkah yang selalu diberikan Mas Danu hingga sa
"Bapak sama ibu datang kesini kok ngga bilang-bilang?" Ucapku kaget menatap sepasang malaikatku tengah berdiri di depan pintu."Iya kami sengaja mau memberi kejutan buat kamu," jawab ibu sembari tersenyum manis.Aku merindukan dua sosok ini. Dua malaikat yang tak pernah berhenti menyayangiku. Juga doa mustajabnya tak pernah putus mereka lantunkan untukku."Kejutan dari ibu dan bapak sukses bikin aku shok saking senangnya. Yaudah ayo masuk pak, buk pasti kalian lelah menempuh perjalanan jauh!"Aku menyuguhkan dua cangkir teh manis untuk orang tuaku beserta stoples kue kering."Ayo diminum tehnya biar badannya enakkan!""Iya terimakasih nduk."Entah mengapa ada perasaan senang bercampur was-was pada kunjungan orang tuaku saat ini.Terlebih lagi aku belum mengirim uang untuk kedua mereka, ah bagaimana mau mengirim untuk orang tua, untuk mencukupi kebutuhan rumah saja aku harus berfikir keras. Beruntung aku masih punya tabungan meski entah bisa menutup kebutuhan rumah sampai kapan."Ndu
Mas Danu menarik kasar tanganku menuju kamar dan menutup pintunya dari dari dalam."Kamu apa-apaan sih mas? Narik-narik tangan aku, sakit tau!"Dia menatap nyalang kearahku, bisa dipastikan emosinya saat ini sedang naik. Membuat nyaliku sedikit menciut."Apa maksud kamu ngomong yang enggak-enggak sama bapak kamu?" Giginya gemelutuk."Apaan sih mas aku nggak ngomong aneh-aneh sama bapak kok mas.""Jangan bohong! Kalau kamu nggak ngadu yang enggak-enggak mana mungkin bapak ngomong kaya gitu sama aku. Pake ngomong siap nerima kamu lagi dirumahnya segala, emang dia pikir aku mau menceraikan kamu? Jujur aja kamu ngomong apa sama orang tua kamu tadi?""Aku hanya mengatakan pada mereka bahwa sekarang aku bukan satu-satunya wanita yang menjadi istri kamu," ucapku sambil membuang pandangan kesembarang arah guna meringankan beban berat yang menghimpit dada.Bukan tanpa sebab jika mata kami bersirobok sudah pasti akan ada air mata yang mengalir dari kedua sudut mataku."Kenapa kamu harus ngomong
"Aku datang kesini mau pamit sama kamu juga Arsha," ucap Mas Danu kepadaku.Ternyata itu yang membuat dia tiba-tiba datang ke rumahku, dia ingin berpamitan."Memangnya kamu mau pergi kemana, Mas?" Tanyaku.Aku menangkap ekspresi sedih dari wajahnya, dia menghela nafasnya."Perusahaan yang aku kelola akhir-akhir ini mengalami kerugian karena ditipu oleh client. Sebelum bangkrut dan aku rugi besar, aku memutuskan untuk menjualnya saja. Oleh karena itu, aku ingin pindah ke kampung mama dulu, menetap dan memulai usaha disana.""Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi, Mas. Kudoakan semoga hidupmu bisa lebih baik disana.""Terima kasih, Nilam. Aku juga minta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat kepadamu juga kepada Arsha, aku sadar, aku bukanlah ayah yang baik untuknya. Tapi aku senang karena sekarang ada Abim yang memperlakukannya lebih baik daripada aku ayah kandungnya.""Aku sudah memaafkan semua yang telah berlalu, Mas, dan aku pastikan Arsha tidak akan pernah membenci papanya
"Oh iya aku ingat. Sandra... Sandra yang dulu giginya dipagar, rambutnya dikepang dua terus kaca matanya besar bulat itu kan?" Tanya Mas Abim.Aku hampir saja melepas tawa mendengar penuturan Mas Abim barusan."Ihh... Kok yang diinget yang itu sih? Bukannya yang baik-baik malah jeleknya aku yang kamu ingat." Sandra terlihat kesal."Maaf, tapi dulu kamu kaya gitu kan?" Tanya Mas Abim."Iya, iya, dulu aku emang cupu, item, dekil. Tapi sekarang aku sudah cantik kan?" Tanya Sandra dengan percaya dirinya.Ya, aku akui Sandra memang cantik."Cantik itu relatif, dan menurutku kecantikan seorang wanita dilihat dari hatinya, seperti istriku ini contohnya." Mas Abim memujiku seraya tersenyum kearahku hingga membuatku tersipu."Ini istri kamu? Nggak salah kamu pilih istri?" Tanya Sandra dengan nada bicara seakan mengejekku."Memangnya apa yang salah? Dia istri yang cantik fisiknya juga baik hatinya, tentu saja aku tak salah pilih istri," ucap Mas Abim."Ya lihat aja penampilannya, kolot banget.
"Oh iya aku ingat. Sandra... Sandra yang dulu giginya dipagar, rambutnya dikepang dua terus kaca matanya besar bulat itu kan?" Tanya Mas Abim.Aku hampir saja melepas tawa mendengar penuturan Mas Abim barusan."Ihh... Kok yang diinget yang itu sih? Bukannya yang baik-baik malah jeleknya aku yang kamu ingat." Sandra terlihat kesal."Maaf, tapi dulu kamu kaya gitu kan?" Tanya Mas Abim."Iya, iya, dulu aku emang cupu, item, dekil. Tapi sekarang aku sudah cantik kan?" Tanya Sandra dengan percaya dirinya.Ya, aku akui Sandra memang cantik."Cantik itu relatif, dan menurutku kecantikan seorang wanita dilihat dari hatinya, seperti istriku ini contohnya." Mas Abim memujiku seraya tersenyum kearahku hingga membuatku tersipu."Ini istri kamu? Nggak salah kamu pilih istri?" Tanya Sandra dengan nada bicara seakan mengejekku."Memangnya apa yang salah? Dia istri yang cantik fisiknya juga baik hatinya, tentu saja aku tak salah pilih istri," ucap Mas Abim."Ya lihat aja penampilannya, kolot banget.
"Kok kamu memuji mantan istrimu di depanku sih, Mas? Jangan-jangan kamu masih menaruh hati ya sama mantanmu ini?" Tanya Shela penuh selidik."Ya nggak mungkinlah aku masih menaruh hati sama Nilam, lagipula dia sudah menikah dan aku juga sudah punya kamu." Mas Danu menjelaskan."Iya aku tau kalau kalian sudah punya pasangan masing-masing, tapi tak menutup kemungkinan kalau kamu masih ada rasa kan sama dia?" Shela menunjuk kearahku.Sekarang ini posisiku layaknya orang ketiga yang sedang menonton drama sepasang suami-istri.Sebenarnya aku ingin beranjak dari sini tapi takut Mas Abim kesusahan mencariku. Lagian Mas Abim ngapain aja sih di toilet kok lama banget?"Udahlah Shela, ini tempat umum. Malu ribut-ribut disini, diliatin orang tau.""Loh kamu kok malah nyalahin aku sih? Jelas-jelas kamu yang salah karena masih mengharapkan mantan istrimu!""Astaga, Shela! Kapan aku bilang kalau aku masih mengharapkan Nilam? Nggak pernah kan? Kamunya aja yang selalu negatif thinking sama aku.""Yau
Part 31❤️❤️❤️"Oke jika kalian ingin kami pergi dari rumah ini, tapi sebelum pergi beri aku uang untuk modal usaha!" Ucap Tante Dewi.Entah apa sebutan yang cocok disematkan untuk Tante Dewi, bolehkah aku menyebutnya dengan si muka tembok?Kesalahan yang ia perbuat tak lantas membuatnya merasa bersalah justru dengan tanpa malu meminta uang kepada orang yang dia kecewakan.Kulihat Bunda menghembus nafas dengan kasar, mungkin untuk menetralkan emosinya."Apa kamu bilang? Minta uang? Masih berani kamu minta uang dariku?" Tanya Bunda."Apanya yang salah sih? Wajarlah kalau aku minta uang darimu, karena kamu udah ngusir kami, jadi aku sama anakku perlu uang untuk bertahan hidup diluar sana," ucap Tante Dewi dengan entengnya."Oke kalau kamu mau uang dariku, aku kasih."Aku tercengang mendengar keputusan Bunda, kenapa dia bisa sebaik itu."Nah gitu dong Mbak, toh uangmu banyak. Aku juga minta sedikit kok cuma 25 juta aja. Aku yakin uang segitu nggak akan mempengaruhi kekayaan keluargamu."
Part 30❤️❤️❤️Prak...Aku melempar sepatu rusak ku itu dihadapan Vika yang tengah asyik menonton sinetron favoritnya."Apaan sih kamu, nggak ada sopan santun sama sekali, main lempar barang di depan orang." Vika terlihat kaget dan kesal, tapi bodo amat kali ini aku lebih kesal dengannya."Lebih nggak sopan mana sama orang yang main masuk ke kamar orang lain dan mencuri disana?""Apa maksud kamu? Kamu menuduhku mencuri? Punya bukti apa kamu?" Tanya Vika dengan ekspresi yang dibuat tenang tapi aku tau ada sedikit raut tegang di wajahnya."Sepatu ini cukup jadi bukti. Kamu mencurinya dari kamarku lalu merusaknya, Kan?""Aduh Nilam..., Nilam. Sepatu itu nggak bisa ngomong, jadi mana bisa membuktikan kalau aku pencurinya." Vika tersenyum sinis.Iya aku tau jika sepatu ini tak bisa membuktikan jika Vika bukan pencurinya. Sayangnya aku tak bodoh, bukti yang sebenarnya sudah aku kantongi."Eh ini ada apa kok ribut-ribut?" Tante Dewi mendekat."Ini Ma, masak Nilam menuduhku mencuri sepatu but
"Makanya kalau diajak makan itu jangan aji mumpung! Mentang-mentang gratisan jadi nggak kira-kira makannya, kaya seminggu nggak makan," sungut Bunda."Halah bilang aja kamu nggak ikhlas kan waktu traktir aku?" Ucap Tante Dewi."Kamu ini benar-benar nggak bisa dibaikin ya, Wi. Semakin keluargaku baik sama kamu, semakin nggak tau diri sikapmu itu!"Kulihat wajah Tante Dewi pucat pasi. Sudah dipastikan nyalinya menciut mendengar Bunda berbicara dengan oktaf yang lebih tinggi dari biasanya.Sesabar-sabarnya orang pasti ada titik dimana orang tersebut tak lagi bisa mengontrol emosinya. Mungkin itu yang saat ini Bunda rasakan.Bibir Tante Dewi terkatup seperti ingin mengeluarkan suara, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya tertunduk.Tak menyangka Tante Dewi yang biasanya pandai menyanggah ucapan lawan bicaranya kini kini hanya diam seperti kerupuk yang disiram dengan air."Sabar, Bunda! Jangan emosi, nggak baik buat kesehatan kamu sendiri!" Ayah menenangkan Bunda
"Dek udah belum siap-siapnya?""Sebentar, Mas! Tunggu aku pake lipstik sebentar, biar nggak kelihatan pucat.""Yaudah aku keluar duluan, mau manasin mobil. Yuk anak ayah tunggu di mobil!" Ajak Mas Abim kepada Arsha yang sudah rapi dan wangi itu.Rencananya akhir pekan ini akan kami habiskan untuk liburan bersama keluarga. Tak perlu pergi ke tempat yang jauh, cukup pergi ke pantai yang masih berlokasi di kota ini."Eh kalian pagi-pagi mau pergi kemana?" Tanya Tante Dewi dengan muka bantal khas orang bangun tidur, padahal arloji saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kamu ini kalau bangun tidur mbok ya, cuci muka dulu terus gosok gigi! Mulut kamu bau bangkai tau," sungut Bunda sambil menutup hidung dengan jari telunjuknya."Halah bau mulutnya orang bangun tidur itu wajar. Kalian mau pergi kemana sih? Masih pagi juga.""Pagi apanya? Nggak lihat kamu, kalau matahari udah ada ditengah-tengah. Mbok kamu itu sadar, udah tua perbanyak ibadah! Bangun yang pagi terus sholat subuh!""I
"Eh Abim baru pulang kerja ya? Pasti capek, sini biar aku pijitin!"Mendengar deru mobil memasuki garasi, Vika segera menyambut sang pemilik mobil di depan pintu. Dasar tak tau malu, berani-beraninya dia menggoda lelaki yang jelas-jelas istri sahnya masih disini.Beruntungnya suamiku ini bukanlah tipe lelaki yang mudah tergoda, apalagi dengan makhluk seperti Vika. Dia memilih berlalu, mengabaikan Vika dan berjalan kearahku yang sedang menyuapi makan Arsha."Pintarnya anak ayah makannya habis banyak ya? Emangnya jagoan ayah makan sama apa?" Tanya Mas Abim."Asa makan ayam goreng sama sayur sop," jawab anakku."Wah enak ya, Ayah jadi pengen.""Enak dong, kan ibu yang masak," ucap Arsha sambil mengacungkan jempol tanganya."Bim kok kamu cuekin aku sih? Kan niatku baik, itu tandanya aku peduli sama kamu. Nggak kaya istrimu yang lebih memilih anaknya dibanding menyambut kepulangan suaminya." Vika datang dengan wajah masamnya."Anak Ayah tadi main apa aja sama Ibu?"Mas Abim abai terhadap V