Mas Danu menarik kasar tanganku menuju kamar dan menutup pintunya dari dari dalam."Kamu apa-apaan sih mas? Narik-narik tangan aku, sakit tau!"Dia menatap nyalang kearahku, bisa dipastikan emosinya saat ini sedang naik. Membuat nyaliku sedikit menciut."Apa maksud kamu ngomong yang enggak-enggak sama bapak kamu?" Giginya gemelutuk."Apaan sih mas aku nggak ngomong aneh-aneh sama bapak kok mas.""Jangan bohong! Kalau kamu nggak ngadu yang enggak-enggak mana mungkin bapak ngomong kaya gitu sama aku. Pake ngomong siap nerima kamu lagi dirumahnya segala, emang dia pikir aku mau menceraikan kamu? Jujur aja kamu ngomong apa sama orang tua kamu tadi?""Aku hanya mengatakan pada mereka bahwa sekarang aku bukan satu-satunya wanita yang menjadi istri kamu," ucapku sambil membuang pandangan kesembarang arah guna meringankan beban berat yang menghimpit dada.Bukan tanpa sebab jika mata kami bersirobok sudah pasti akan ada air mata yang mengalir dari kedua sudut mataku."Kenapa kamu harus ngomong
Akhirnya aku bungkam walau hati terasa dongkol terlebih melihat senyum kemenangan yang terbit diwajah Viola. "Memangnya kamu ini siapa nak, temannya Nilam ya?" tanya ibu lembut kepada Viola."Oh bukan Bu. Mana mungkin saya berteman dengan mbak Nilam. Kenalkan nama saya Viola istrinya mas Danu," ucap Viola dengan bangga.Seketika ekspresi wajah bapak dan ibu berubah menjadi masam."Oh jadi kamu istri kedua Danu yang tiba-tiba masuk kedalam rumah tangga anak saya?" tanya ibu dengan sinis."Ibu jangan sembarangan bicara ya saya ini lebih dulu mengenal mas Danu daripada mbak Nilam. Jadi saya yang lebih lama hadir dihidup mas Danu," jawab Viola dengan geram."Sudahlah Bu, harusnya ibu yang sudah tua bisa menghormati yang lebih muda. Sekarang status Viola sama dengan Nilam, jadi saya mohon jangan menyudutkan Viola!" ucap mas Danu tegas."Ini suami yang kamu pertahankan nduk? Melihat sikapnya kepada orang tua seperti itu apakah yakin tetap ingin bertahan?" Kini bapak yang bersuara lantang.
Mataku terbelalak melihat nominal yang tertera dalam layar mesin ATM. Terdapat angka dua dengan tujuh angka bulat berjejer di belakangnya.Itu uang yang selama ini aku kirimkan ke kampung tapi kini telah diserahkan kembali kepadaku oleh orang tuaku. Ah betapa hati mereka seperti malaikat.Jika ditambah dengan tabungan yang ada di ATM pribadiku yang berjumlah lima belas juta sepertinya aku bisa membuat usaha kecil-kecilan.Untuk menutup biaya rumah bisalah dengan uang hasil jualanku. Satu bulan aku bergabung menjadi reseller produk kecantikan, keuntungan bersih yang mengalir di ATM baruku sudah mencapai tiga juta setengah. Nominal yang fantastis bagi seorang pemula, meski perjuangannya begitu menguras pikiran.Aku sudah berfikir dengan matang mengenai usaha yang akan aku rintis. Dalam benakku saat ini adalah bisnis hijab. Mengingat saat ini trend hijab dengan berbagai model tengah menjamur. Kebetulan aku mempunyai teman yang memiliki usaha konveksi skala kecil. Dia bersedia untuk beke
"Eh mbak Nilam disini juga ternyata. Tapi inikan restoran mahal, pasti disini cuma numpang nongkrong dan persen segelas air putih aja kan?" Benar-benar mulutnya selalu saja digunakan hanya untuk merendahkan orang lain."Terserah aku dong, lagian aku juga nggak minta dibayarin sama kamu kan?" jawabku ketus."Kalau mbak mau aku bisa bayarin makanan kamu kok. Buruan deh pesan apa yang mbak mau mumpung aku lagi baik hati. Jarang-jarang loh bisa makan makanan mahal gratis pula.""Nggak perlu! Aku masih mampu jika hanya makan di restoran ini.""Aduh mbak ini sombong ya mau ditraktir juga pake nolak segala. Yasudahlah ayo mas kita pesen makanan udah lapar aku seharian keliling mall," ajak Viola kepada mas Danu."Maaf ya dek aku belum pulang ke rumah," ucap mas Danu lirih."Nggak papa kok mas, aku sudah mulai terbiasa. Mungkin kamu besok juga harus bisa membiasakan diri tanpa aku.""Apa maksud kamu bicara seperti itu dek?""Bukan apa-apa. Hanya saja sesuatu yang ada di dunia ini pasti akan
Aku membaca huruf demi huruf pada surat pemeriksaan dari dokter tadi siang. Ternyata dua bulan yang lalu sebelum mas Danu melangsungkan pernikahan, sudah ada malaikat kecil yang singgah di rahimku.Andai saja aku tau lebih awal pasti kami berdua telah berbahagia. Hanya berdua, tanpa ada adik madu yang mengusik kebahagiaan kami.Sayangnya Sang Perancang takdir membuat skenario yang begitu apik dalam hidupku. Dia mengujiku dengan rasa sakit, rasa cemburu hingga aku termotivasi bangkit dan menjadi wanita mandiri.'Nak mungkin nanti kasih sayang yang papa beri untukmu tidaklah utuh, tapi yakinlah mama tak akan pernah membiarkanmu kekurangan kasih sayang,' gumamku pada malaikat kecilku, sambil mengelus-elus perut yang masih rata.Deru mobil mas Danu terdengar berhenti di depan rumah. Akhirnya ingat juga dengan istri pertamanya ini."Dek, mas boleh minta tolong sama kamu nggak?""Minta tolong apa mas?""Anu, itu. Kemarin katanya Viola lihat kamu makan salad buah, dia mau minta tapi nggak di
"Aku ingin melanjutkan kuliahku di Amerika. Oleh karena itu aku ingin mengakhiri hubungan kita," ucap Viola, kekasihku."Loh kenapa mesti putus? Aku rela kok nunggu kamu sampai kuliah kamu selesai.""Tapi aku nggak bisa LDR-an. Siapa yang menjamin kamu akan tetap setia selama aku pergi, nggak ada kan?""Tapi aku sayang banget sama kamu, nggak mungkinlah aku menghianati kamu. Kamu harus percaya itu, aku lelaki yang setia!""Tapi maaf keputusanku sudah bulat, besok aku akan pergi. Jangan pernah hubungi aku lagi karena kini hubungan kita telah berakhir!"Dia berlalu pergi dari hadapanku. Saat itu hatiku benar-benar patah. Bukan hal mudah bagiku untuk menjatuhkan hati kepada seorang wanita. Maka ketika cinta itu datang aku rela melakukan apapun untuk pujaan hatiku, bisa dibilang aku ini tipe pria bucin.Selepas kepergian Viola hidupku terasa hampa, hingga aku bertemu dengan seorang wanita pelayan restoran yang membuat hatiku sedikit bergetar.Awalnya aku mengabaikan rasa itu, mungkin aku
"Oke jika kamu bersikeras untuk pisah, keluar dari rumahku! Aku beri waktu sampai besok untuk berkemas. Kita lihat berapa lama kamu bisa hidup tanpa uangku."Ucapan mas Danu seakan mengisyaratkan bahwa dimatanya aku adalah wanita lemah yang bergantung hidup dengannya.Sayangnya Nilam yang lemah dan penurut telah kamu lukai perasaanya, Mas dan kini berubah menjadi Nilam yang mandiri tanpa bantuan seorang suami."Fir, boleh nggak kalau aku nginep beberapa hari di rumah kamu?" Ucapku kepada Fira melalui sambungan telepon."Wah kebetulan nih suami aku beberapa hari kedepan ada tugas diluar kota. Bisalah nemenin aku disini, malah seneng kalau ada temannya.""Eh tapi aku bawa banyak barang dagangan tapi," ucapku tak enak."Tenang aja, paviliun belakang rumahku kosong nanti bisa taruh disana. Eh tapi kenapa nih kok tiba-tiba mau pindahan?""Aku minta cerai sama mas Danu. Eh bukannya ditalak malah diusir.""Hahaha... Sadar juga sekarang, mestinya dari bulan kemarin kamu minta cerai. Tenang a
"Apa kabar mas, pastinya lebih baik kan?" Sapaku kepadanya, tapi pandangannya mengarah ke perutku."Kamu hamil dek?""Seperti yang kamu lihat, bahkan sebenarnya anak ini sudah ada dari sebelum kamu menikahi Viola.""Lantas mengapa kamu nggak ngomong sama aku, Dek?""Waktu itu aku juga belum tahu, Mas. Mungkin karena aku terlalu terbiasa dengan gelar mandul yang disematkan Mama kamu. Takdir yang membuat perjalanan jodoh kita berakhir.""Enggak Dek! Sampai kapanpun kita akan menjadi sepasang suami istri.""Hey kamu terlambat mas, ini kita sudah resmi bercerai," ucapku menyerahkan surat cerai yang kebetulan aku ambil tadi pagi."Hahaha... Kamu ini lucu, Dek. Mana mungkin kita bercerai sedangkan aku tak pernah menceraikanmu dan tidak ada surat gugatan cerai yang datang kepadaku.""Kata siapa? Surat gugatan cerai dan surat-surat undangan persidangan selalu dikirim ke alamat rumah yang kamu tinggali, rumah mama eh maksudnya mantan mertua."Mas Danu tampak kebingungan, apa mungkin dia tak pe
"Aku datang kesini mau pamit sama kamu juga Arsha," ucap Mas Danu kepadaku.Ternyata itu yang membuat dia tiba-tiba datang ke rumahku, dia ingin berpamitan."Memangnya kamu mau pergi kemana, Mas?" Tanyaku.Aku menangkap ekspresi sedih dari wajahnya, dia menghela nafasnya."Perusahaan yang aku kelola akhir-akhir ini mengalami kerugian karena ditipu oleh client. Sebelum bangkrut dan aku rugi besar, aku memutuskan untuk menjualnya saja. Oleh karena itu, aku ingin pindah ke kampung mama dulu, menetap dan memulai usaha disana.""Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi, Mas. Kudoakan semoga hidupmu bisa lebih baik disana.""Terima kasih, Nilam. Aku juga minta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat kepadamu juga kepada Arsha, aku sadar, aku bukanlah ayah yang baik untuknya. Tapi aku senang karena sekarang ada Abim yang memperlakukannya lebih baik daripada aku ayah kandungnya.""Aku sudah memaafkan semua yang telah berlalu, Mas, dan aku pastikan Arsha tidak akan pernah membenci papanya
"Oh iya aku ingat. Sandra... Sandra yang dulu giginya dipagar, rambutnya dikepang dua terus kaca matanya besar bulat itu kan?" Tanya Mas Abim.Aku hampir saja melepas tawa mendengar penuturan Mas Abim barusan."Ihh... Kok yang diinget yang itu sih? Bukannya yang baik-baik malah jeleknya aku yang kamu ingat." Sandra terlihat kesal."Maaf, tapi dulu kamu kaya gitu kan?" Tanya Mas Abim."Iya, iya, dulu aku emang cupu, item, dekil. Tapi sekarang aku sudah cantik kan?" Tanya Sandra dengan percaya dirinya.Ya, aku akui Sandra memang cantik."Cantik itu relatif, dan menurutku kecantikan seorang wanita dilihat dari hatinya, seperti istriku ini contohnya." Mas Abim memujiku seraya tersenyum kearahku hingga membuatku tersipu."Ini istri kamu? Nggak salah kamu pilih istri?" Tanya Sandra dengan nada bicara seakan mengejekku."Memangnya apa yang salah? Dia istri yang cantik fisiknya juga baik hatinya, tentu saja aku tak salah pilih istri," ucap Mas Abim."Ya lihat aja penampilannya, kolot banget.
"Oh iya aku ingat. Sandra... Sandra yang dulu giginya dipagar, rambutnya dikepang dua terus kaca matanya besar bulat itu kan?" Tanya Mas Abim.Aku hampir saja melepas tawa mendengar penuturan Mas Abim barusan."Ihh... Kok yang diinget yang itu sih? Bukannya yang baik-baik malah jeleknya aku yang kamu ingat." Sandra terlihat kesal."Maaf, tapi dulu kamu kaya gitu kan?" Tanya Mas Abim."Iya, iya, dulu aku emang cupu, item, dekil. Tapi sekarang aku sudah cantik kan?" Tanya Sandra dengan percaya dirinya.Ya, aku akui Sandra memang cantik."Cantik itu relatif, dan menurutku kecantikan seorang wanita dilihat dari hatinya, seperti istriku ini contohnya." Mas Abim memujiku seraya tersenyum kearahku hingga membuatku tersipu."Ini istri kamu? Nggak salah kamu pilih istri?" Tanya Sandra dengan nada bicara seakan mengejekku."Memangnya apa yang salah? Dia istri yang cantik fisiknya juga baik hatinya, tentu saja aku tak salah pilih istri," ucap Mas Abim."Ya lihat aja penampilannya, kolot banget.
"Kok kamu memuji mantan istrimu di depanku sih, Mas? Jangan-jangan kamu masih menaruh hati ya sama mantanmu ini?" Tanya Shela penuh selidik."Ya nggak mungkinlah aku masih menaruh hati sama Nilam, lagipula dia sudah menikah dan aku juga sudah punya kamu." Mas Danu menjelaskan."Iya aku tau kalau kalian sudah punya pasangan masing-masing, tapi tak menutup kemungkinan kalau kamu masih ada rasa kan sama dia?" Shela menunjuk kearahku.Sekarang ini posisiku layaknya orang ketiga yang sedang menonton drama sepasang suami-istri.Sebenarnya aku ingin beranjak dari sini tapi takut Mas Abim kesusahan mencariku. Lagian Mas Abim ngapain aja sih di toilet kok lama banget?"Udahlah Shela, ini tempat umum. Malu ribut-ribut disini, diliatin orang tau.""Loh kamu kok malah nyalahin aku sih? Jelas-jelas kamu yang salah karena masih mengharapkan mantan istrimu!""Astaga, Shela! Kapan aku bilang kalau aku masih mengharapkan Nilam? Nggak pernah kan? Kamunya aja yang selalu negatif thinking sama aku.""Yau
Part 31❤️❤️❤️"Oke jika kalian ingin kami pergi dari rumah ini, tapi sebelum pergi beri aku uang untuk modal usaha!" Ucap Tante Dewi.Entah apa sebutan yang cocok disematkan untuk Tante Dewi, bolehkah aku menyebutnya dengan si muka tembok?Kesalahan yang ia perbuat tak lantas membuatnya merasa bersalah justru dengan tanpa malu meminta uang kepada orang yang dia kecewakan.Kulihat Bunda menghembus nafas dengan kasar, mungkin untuk menetralkan emosinya."Apa kamu bilang? Minta uang? Masih berani kamu minta uang dariku?" Tanya Bunda."Apanya yang salah sih? Wajarlah kalau aku minta uang darimu, karena kamu udah ngusir kami, jadi aku sama anakku perlu uang untuk bertahan hidup diluar sana," ucap Tante Dewi dengan entengnya."Oke kalau kamu mau uang dariku, aku kasih."Aku tercengang mendengar keputusan Bunda, kenapa dia bisa sebaik itu."Nah gitu dong Mbak, toh uangmu banyak. Aku juga minta sedikit kok cuma 25 juta aja. Aku yakin uang segitu nggak akan mempengaruhi kekayaan keluargamu."
Part 30❤️❤️❤️Prak...Aku melempar sepatu rusak ku itu dihadapan Vika yang tengah asyik menonton sinetron favoritnya."Apaan sih kamu, nggak ada sopan santun sama sekali, main lempar barang di depan orang." Vika terlihat kaget dan kesal, tapi bodo amat kali ini aku lebih kesal dengannya."Lebih nggak sopan mana sama orang yang main masuk ke kamar orang lain dan mencuri disana?""Apa maksud kamu? Kamu menuduhku mencuri? Punya bukti apa kamu?" Tanya Vika dengan ekspresi yang dibuat tenang tapi aku tau ada sedikit raut tegang di wajahnya."Sepatu ini cukup jadi bukti. Kamu mencurinya dari kamarku lalu merusaknya, Kan?""Aduh Nilam..., Nilam. Sepatu itu nggak bisa ngomong, jadi mana bisa membuktikan kalau aku pencurinya." Vika tersenyum sinis.Iya aku tau jika sepatu ini tak bisa membuktikan jika Vika bukan pencurinya. Sayangnya aku tak bodoh, bukti yang sebenarnya sudah aku kantongi."Eh ini ada apa kok ribut-ribut?" Tante Dewi mendekat."Ini Ma, masak Nilam menuduhku mencuri sepatu but
"Makanya kalau diajak makan itu jangan aji mumpung! Mentang-mentang gratisan jadi nggak kira-kira makannya, kaya seminggu nggak makan," sungut Bunda."Halah bilang aja kamu nggak ikhlas kan waktu traktir aku?" Ucap Tante Dewi."Kamu ini benar-benar nggak bisa dibaikin ya, Wi. Semakin keluargaku baik sama kamu, semakin nggak tau diri sikapmu itu!"Kulihat wajah Tante Dewi pucat pasi. Sudah dipastikan nyalinya menciut mendengar Bunda berbicara dengan oktaf yang lebih tinggi dari biasanya.Sesabar-sabarnya orang pasti ada titik dimana orang tersebut tak lagi bisa mengontrol emosinya. Mungkin itu yang saat ini Bunda rasakan.Bibir Tante Dewi terkatup seperti ingin mengeluarkan suara, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya tertunduk.Tak menyangka Tante Dewi yang biasanya pandai menyanggah ucapan lawan bicaranya kini kini hanya diam seperti kerupuk yang disiram dengan air."Sabar, Bunda! Jangan emosi, nggak baik buat kesehatan kamu sendiri!" Ayah menenangkan Bunda
"Dek udah belum siap-siapnya?""Sebentar, Mas! Tunggu aku pake lipstik sebentar, biar nggak kelihatan pucat.""Yaudah aku keluar duluan, mau manasin mobil. Yuk anak ayah tunggu di mobil!" Ajak Mas Abim kepada Arsha yang sudah rapi dan wangi itu.Rencananya akhir pekan ini akan kami habiskan untuk liburan bersama keluarga. Tak perlu pergi ke tempat yang jauh, cukup pergi ke pantai yang masih berlokasi di kota ini."Eh kalian pagi-pagi mau pergi kemana?" Tanya Tante Dewi dengan muka bantal khas orang bangun tidur, padahal arloji saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kamu ini kalau bangun tidur mbok ya, cuci muka dulu terus gosok gigi! Mulut kamu bau bangkai tau," sungut Bunda sambil menutup hidung dengan jari telunjuknya."Halah bau mulutnya orang bangun tidur itu wajar. Kalian mau pergi kemana sih? Masih pagi juga.""Pagi apanya? Nggak lihat kamu, kalau matahari udah ada ditengah-tengah. Mbok kamu itu sadar, udah tua perbanyak ibadah! Bangun yang pagi terus sholat subuh!""I
"Eh Abim baru pulang kerja ya? Pasti capek, sini biar aku pijitin!"Mendengar deru mobil memasuki garasi, Vika segera menyambut sang pemilik mobil di depan pintu. Dasar tak tau malu, berani-beraninya dia menggoda lelaki yang jelas-jelas istri sahnya masih disini.Beruntungnya suamiku ini bukanlah tipe lelaki yang mudah tergoda, apalagi dengan makhluk seperti Vika. Dia memilih berlalu, mengabaikan Vika dan berjalan kearahku yang sedang menyuapi makan Arsha."Pintarnya anak ayah makannya habis banyak ya? Emangnya jagoan ayah makan sama apa?" Tanya Mas Abim."Asa makan ayam goreng sama sayur sop," jawab anakku."Wah enak ya, Ayah jadi pengen.""Enak dong, kan ibu yang masak," ucap Arsha sambil mengacungkan jempol tanganya."Bim kok kamu cuekin aku sih? Kan niatku baik, itu tandanya aku peduli sama kamu. Nggak kaya istrimu yang lebih memilih anaknya dibanding menyambut kepulangan suaminya." Vika datang dengan wajah masamnya."Anak Ayah tadi main apa aja sama Ibu?"Mas Abim abai terhadap V