Mas Angga menanyakan padaku, apakah masih ingat saat dia menolong korban tabrak lari, ternyata dia adalah Nenek Hanum, ibu sambung bunda. Ternyata dunia begitu sempit hingga sekian lama mereka dipertemukan kembali.“Nenek Hanum selama ini tinggal dengan siapa?” tanyaku penasaran.“Itulah Sha, Mas akhirnya meminta Petra menyelidikinya. Tinggal dengan siapa sebelum kecelakaan yang masih belum terjawab. Mas masih meminta Petra dan John untuk terus mendapatkan informasi.”“Kondisinya bagaimana mas?”Mas Angga mengatakan jika agak sulit mencari informasi dari Nenek Hanum, kadang seperti orang normal, kadang hanya ingat masa lalunya. Bunda sekarang memiliki tugas menjaga dan merawat neneknya. Sesampainya di rumah bunda, aku turun dari mobil yang sudah terparkir. Kulayangkan pandangan ke beberapa tempat yang menyimpan kenangan. Rumah bunda tak banyak berubah. Bayangan Mas Tyo sepertinya masih ada di sini.Mas Angga yang menyadari jika Alisha kembali mengenang masa lalunya, kemudian berjalan
John melanjutkan penjelasannya jika di sana Bu Hanum dan beberapa orang tua lain mendapat kekerasan fisik. Saat ini kegiatan di panti tersebut dihentikan. Beberapa pengurus panti saat ini sedang di interogasi terkait kejadian ini.Luka yang didapat kemarin sebagian karena penganiayaan di panti jompo bukan karena kecelakaan. Saat dikejar oleh penjaga panti saat menyeberang itulah Bu Hanum tertabrak mobil.“Siapa yang menitipkannya di sana?” tanyaku kembali meminta kejelasan.Menurut keterangan, Bu Hanum ditemukan di jalan oleh dinas sosial, saat ditanyakan identitasnya tidak bisa menjawab, kemudian dititipkan di sana.Aku mengangguk paham mengapa sulit mendapatkan jawaban dari nenek terkait masa lalunya. Aku akan mencari solusi untuk nenek. Jika perlu aku akan memeriksakannya ke dokter sekaligus melakukan terapi. Setelah selesai John dan Petra kembali ke tugasnya masing-masing.Aku berencana membahas hal ini setelah pernikahanku nanti. Namun aku tetap meminta John mengawasi seperti bia
Pesta Resepsi Hendra dan Sherly sebagian besar disponsori beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan Anugerah Aksara. Hendra sebagai Asisten Presdir pastinya mengenal baik rekanan perusahaan.“Papa pestanya besar. Aku mau pesta bunda dan papa nanti lebih besar dari ini. Masa papa kalah sama Om Hendra,” ucap Arjuna sesaat kami memasuki tempat pesta berlangsung.“Arjuna yang mengaturnya, papa yakin pestanya akan lebih besar dari pesta ini,” ucap papa menyemangati Arjuna.“Siap papa, percayakan pada Arjuna.”Aku yang mendengarnya menggelengkan kepala. Mas Angga terkadang bukan membuat tambah tenang tapi malahan memanasi Arjuna yang memang tak mau kalah.“Kita ucapkan selamat untuk pengantinnya yuk, baru kita makan,” ajakku agar mereka tak lagi mengomentari pesta ini.“Ayo bunda, setelahnya Arjuna mau mencari es krim,” ucapnya senang.Aku menggandeng tangannya. Arjuna langsung menarik tangan Mas Angga untuk melangkah menuju pelaminan. Beberapa tamu yang merupakan rekanan perusahaa
“Adrian Herianto, papa coba pastikan dahulu informasi ini. Jika sudah papa akan kabari kembali.”“Baik Pa.”Mereka beranjak bangun menuju meja di bagian tengah. Arjuna masih asyik menikmati makanan begitu juga Haikal dan Deandra. Alisha dan Mami Jessy berbincang di kursi yang menghadap jendela, entah apa yang sedang diobrolkannya.“Papa Angga, kakek... mau ikut makan?” tanya Arjuna sesaat melihat aku dan Pak Yudha datang.“Masih disisakan untuk papa dan kakek?” tanyaku senang.“Tentu saja, bunda dan nenek juga sudah kami pisahkan. Kami hanya memakan sebagian saja,” jelas Arjuna bangga bisa membagi makanan yang dipesan kakeknya.Alisha dan Mami Jessy yang mendengarnya ikut menghampiri mereka. Semua mendapatkan makanan yang sudah disiapkan Arjuna. Saat menerimanya semua tersenyum senang. Arjuna sangat hebat.“Bunda, adakah yang terlupa?” tanya Arjuna sesudah selesai mencuci tangan kembali setelah selesai makan.“Lupa? Arjuna bisa bantu bunda agar mengingatnya?” tanyaku kembali sambil men
“Bagaimana dengan Keluarga Herianto? Bagaimana hingga memiliki perusahaan dan mengganti namanya?”“Kalau hal itu saya tidak mengetahuinya. Saya membeli saham setelah namanya Gemilang Grup. Nama Dawijaya saya ketahui dari cerita sesama pemegang saham,” jelasnya.Aku menarik napas panjang. Masih memerlukan waktu sepertinya hingga aku bisa mengetahui masa lalu Nenek Hanum dengan perusahaannya. Setelah menyeruput kopi terakhirnya, Pak Radinka pamit. Masih ada janji yang harus ditepati, katanya. Aku mengangguk dan bangun dari kursi mengantarnya ke pintu.“Pak Angga, mohon maaf saya tidak bisa hadir di pernikahan nanti, namun saya akan mendoakan agar berjalan lancar dan menjadi keluarga Sakinah, Mawadah dan Warohmah,” ucap Radinka sesaat aku membukakan pintu untuknya.“Aamiin... Tidak apa Pak, doa Pak Radinka sudah lebih dari yang kami butuhkan.”Pak Radinka mengangguk dan melangkah keluar ruangan setelah mengangguk padaku. Kuperhatikan punggungnya hingga menghilang karena berbelok menuju li
“Sudah, kita langsung ke Butik Syahara langganan mama. Semoga di sana ada yang pas dengan kamu, Sha,” ucap oma. “Alisha, ganti baju dulu ya oma,” ucapku sambil melihat pakaianku yang hanya mengenakan piyama. Oma mengangguk dan memanggil bibi untuk meminta sopir bersiap. Mereka akan ke butik langganan. Arjuna yang masih bingung dengan kejadian yang membuat oma marah, hanya memperhatikan oma yang berjalan agak pincang. “Oma, kakinya sakit?” tanya Arjuna merasa bersalah. Didekatinya oma sambil menggandeng tangannya menuju ruang keluarga. Oma duduk di sofa dan meluruskan kakinya hingga terasa lebih baik. Oma melihat Arjuna yang duduk di sampingnya dengan penuh penyesalan. "Tidak apa Arjuna, oma hanya kaget tadi. Lain kali jangan berlarian di dalam rumah." Arjuna hanya mengangguk. Ini kedua kalinya dia tidak menuruti perkataan bunda dan Omanya. Dulu dia yang jatuh dari tangga hingga beberapa kali dilakukan operasi untuk memulihkannya. Kali ini Oma yanga sakit kaki ya setelah ter
Mas Angga menghentikan gerakannya setelah suara itu terdengar jelas di dalam ruangan. Aku menoleh ke arah suara, dan tersenyum melihat Arjuna yang bertolak pinggang di sana. Mas Angga melangkah ke arah Arjuna dan berjongkok di hadapannya. “Kenapa Arjuna melarang papa?” tanyanya pelan. “Arjuna akan mendampingi bunda. Papa sabar sebentar,” jawabnya sambil menarik tangan Mas Angga beranjak ke tempatnya semula. “Silakan papa, bisa dimulai.” Suara Arjuna yang lantang mendapatkan tepuk tangan dari tamu undangan yang datang. Arjuna tersenyum senang saat bunda juga sudah memasangkan cincin di jari papanya. Arjuna menggandeng tangan papa dan bunda, kemudian meminta diambilkan fotonya oleh fotographer. Setelah selesai aku dan Mas Angga naik ke pelaminan. Akan diadakan sesi foto keluarga. Resepsi akan dimulai pukul sebelas. Aku dan Mas Angga akan mengganti pakaian pengantin yang sudah disiapkan perias. “Papa, apakah aku boleh tinggal di sini? Arjuna mau menikmati hidangan yang ada,” t
Mas Angga tak lagi menanggapi ucapan Aristya, karena masih banyak tamu yang akan memberikan ucapan selamat pada kami. Saat tamu mulai sepi, rasa penasaranku kembali hadir. Siapa sebenarnya Aristya? “Mas, aku boleh bertanya sesuatu?” tanyaku perlahan. “Tanya apa Sha?” jawabnya terdengar khawatir. “Siapa Aristya Mas?” lanjutku tanpa memedulikan saat ini masih di atas pelaminan. “Bolehkah mas jelaskan nanti setelah acaranya selesai?” tanyanya memohon padaku. Aku tak menjawabnya karena sudah ada tamu yang berjalan menaiki pelaminan untuk memberikan ucapan selamat serta berfoto bersama. Aku sedikit kesal karena Mas Angga belum menjelaskannya. Hingga aku harus memaksakan senyumanku setiap kali ada tamu yang mengucapkan selamat dan berfoto bersama. Kedatangan Aristya membuat pikiranku mengembara. Entah apakah hanya perasaanku saja jika kehadiran Aristya akan menimbulkan masalah? Atau karena instingku mengatakan jika ada hal yang belum aku tahu mengenai hubungan antara Mas Angga da
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k