Mas Angga menghentikan gerakannya setelah suara itu terdengar jelas di dalam ruangan. Aku menoleh ke arah suara, dan tersenyum melihat Arjuna yang bertolak pinggang di sana. Mas Angga melangkah ke arah Arjuna dan berjongkok di hadapannya. “Kenapa Arjuna melarang papa?” tanyanya pelan. “Arjuna akan mendampingi bunda. Papa sabar sebentar,” jawabnya sambil menarik tangan Mas Angga beranjak ke tempatnya semula. “Silakan papa, bisa dimulai.” Suara Arjuna yang lantang mendapatkan tepuk tangan dari tamu undangan yang datang. Arjuna tersenyum senang saat bunda juga sudah memasangkan cincin di jari papanya. Arjuna menggandeng tangan papa dan bunda, kemudian meminta diambilkan fotonya oleh fotographer. Setelah selesai aku dan Mas Angga naik ke pelaminan. Akan diadakan sesi foto keluarga. Resepsi akan dimulai pukul sebelas. Aku dan Mas Angga akan mengganti pakaian pengantin yang sudah disiapkan perias. “Papa, apakah aku boleh tinggal di sini? Arjuna mau menikmati hidangan yang ada,” t
Mas Angga tak lagi menanggapi ucapan Aristya, karena masih banyak tamu yang akan memberikan ucapan selamat pada kami. Saat tamu mulai sepi, rasa penasaranku kembali hadir. Siapa sebenarnya Aristya? “Mas, aku boleh bertanya sesuatu?” tanyaku perlahan. “Tanya apa Sha?” jawabnya terdengar khawatir. “Siapa Aristya Mas?” lanjutku tanpa memedulikan saat ini masih di atas pelaminan. “Bolehkah mas jelaskan nanti setelah acaranya selesai?” tanyanya memohon padaku. Aku tak menjawabnya karena sudah ada tamu yang berjalan menaiki pelaminan untuk memberikan ucapan selamat serta berfoto bersama. Aku sedikit kesal karena Mas Angga belum menjelaskannya. Hingga aku harus memaksakan senyumanku setiap kali ada tamu yang mengucapkan selamat dan berfoto bersama. Kedatangan Aristya membuat pikiranku mengembara. Entah apakah hanya perasaanku saja jika kehadiran Aristya akan menimbulkan masalah? Atau karena instingku mengatakan jika ada hal yang belum aku tahu mengenai hubungan antara Mas Angga da
Aku dan Mas Angga kaget dan langsung menoleh ke arah Arjuna. Ternyata Arjuna masih pulas tidur, sepertinya Arjuna bermimpi. Aku tersenyum malu, jika saja Arjuna memang terbangun apa yang harus kami jelaskan. “Sepertinya aku harus mengalah pada Arjuna malam ini,” ucap Mas Angga sambil tersenyum menggodaku. Aku cubit pinggangnya dan beranjak menuju kasur menemani Arjuna yang masih tidur dengan napasnya yang teratur. Mas Angga mengikutiku dan berbaring pada sisi yang lain. Besok sore kami akan berangkat ke Paris, bukan hanya untuk berbulan madu namun aku juga akan menjadi pengisi seminar di kampusku dahulu. Mas Angga sepertinya sudah tertidur. Aku tersenyum melihatnya dan memeluk Arjuna yang ada di tengah kami. Saat mataku mulai memejam kurasakan tanganku yang memeluk Arjuna digenggam perlahan. Aku tersenyum ternyata Mas Angga belum tidur. Namun aku tak membuka mata kembali karena memang sudah mengantuk. *** “Arstya, kapan kembali ke Indonesia?” tanyaku setelah melihatnya turun
“Tidak ada, aku hanya menjalankan kontrak kerjaku dengan Angga,” jawabku ringan. Aku tak ingin Adrian mengetahui rencanaku. Aku takut jika nanti dia akan membocorkannya pada Angga. Walau mereka dahulu bersaing merebutkanku, kini aku tahu mereka bekerja sama dalam beberapa bisnis belakangan ini. Apalagi aku dengar Adrian juga menyukai Alisha. Entah nanti apakah akan bekerja sama dengannya. Aku bersama Angga dan Adrian dengan Alisha. Sepertinya akhir yang indah, seulas senyum tanpa sengaja terukir di bibirku. Adrian yang melihatnya menjadi sangat yakin jika Aristya merencanakan sesuatu. Tapi saat ini mungkin rencananya belum dimulai, karena Angga masih di Paris bersama Alisha. Mengingat itu Adrian hanya tersenyum kecut. “Sudahlah ayo kita makan makanan kita, sepertinya sudah dingin,” ucap Adrian menghentikan lamunanku. “Ya, sebaiknya kita mulai makan. Setelah ini harus menyiapkan pekerjaan kita bukan? Sepertinya Hendra dan Fathir yang akan memimpin rapat kali ini,” gumamnya sam
Aku bangun perlahan agar tak mengganggu Alisha yang masih pulas. Membersihkan diri dan mengenakah bathrobes. Baru saja aku melangkah keluar suara ketukan di pintu terdengar. Aku bergegas membukakan pintu dan meminta pelayan meletakkan pesanannya di meja. Setelah pintu di tutup aku menghampiri tempat tidur. Alisha masih menarik selimutnya seperti anak kucing yang kedinginan. Aku menaikkan suhu ruangan agar tidak terlalu dingin. Sesaat matanya mengerjap terbangun. “Siapa mas? Memangnya sudah pagi ya?” Aku mendekati dan duduk di pinggir kasur. Mengelus kepalanya pelan. Semoga apa pun yang terjadi nanti kita akan saling jujur dan percaya satu sama lain ya Hanny. Sepertinya rinai hujan akan terus membasahi jalan kita, batinku mengingat pesan Robert dan kedatangan Aristya yang tiba-tiba di pernikahanku. “Ini masih siang Hanny, kita melakukannya tengah hari bolong bukan malam. Ayo bangun!,” jawabku pelan sambil mengecup keningnya. “Badanku pegal semua Mas, boleh tidur lagi sebentar?
Aku bangun dari kursi lalu menjabat tangannya yang terulur padaku. Aku hanya terdiam saat tangannya membalas jabat tanganku karena pikiranku sibuk menerka siapa laki-laki di sampingnya. "Sudah lama sekali Alisha, bagaimana kabar Arjuna?" tanyanya pelan. "Baik Angeline, Arjuna pasti senang sekali jika aku sampaikan salammu," jawabku sambil tersenyum. "Oh ya. ini suamiku Mas Angga. Mas ini Angeline," lanjutku sambil menoleh ke arah Mas Angga. "Angga. Senang berkenalan." Mas Angga menjabat tangan Angeline sesaat, kemudian menoleh ke arah laki-laki di sampingnya dan mengulurkan tangannya. "Alisha, ini bos saya, Jose," ucapnya mengenalkan laki-laki yang selesai menjabat tangan Mas Angga. Aku membalas uluran tangannya diikuti Mas Angga. Saat aku menawarkan untuk bergabung bersama kami Angeline menolaknya karena sudah memesan meja di dalam. Aku tersenyum dan mempersilakannya untuk masuk. Siapa Jose, Angeline mengenalkannya sebagai bosnya. Apakah Robert tahu jika Angeline sedek
“Aristya memiliki kontrak dengan ShaBra. Sudah enam bulan belakangan.” “ShaBra! Mengapa aku tidak pernah menemuinya?” tanyaku penasaran. “Adrian, kontrak kerja sama yang dimiliki perusahaan Aristya dengan ShaBra mengatasnamakan Adrian. Aku pernah meminta Hendra mengecek siapa saya rekanan perusahaan yang dimiliki Adrian, Hendra menemukan nama Aristya di sana.” Aku masih tidak memahaminya. Kontrak kerja yang sekarang ada sebagian besar melanjutkan dari perjanjian sebelumnya. Saat ini sebagian besar kontrak memang kualihkan ke Perusahaan Anugerah Aksara, Mas Angga yang bertanggung jawab penuh pada kontrak baru. Aku sendiri hanya menandatanganinya setelah semua selesai disepakati. “Jadi mas sudah tahu ini sejak lama?” “Belum lama, mas menunggu Hendra mencari motif di belakangnya, hasilnya bersih murni kerja sama kontrak kerja.” “Tapi mas, apa mas pernah berpikir jika Aristya masih menyimpan rasanya untuk Mas Angga?” tanyaku penasaran. “Sama halnya jika aku menanyakan perasaa
“Robert..., biar aku yang menenangkannya,” suara Mas Angga terdengar di telingaku sesaat kemudian aku sudah berada dalam dekapannya. “Aku harus menjelaskan sesuatu pada Alisha,” ucapnya gusar. “Aku sudah mendengarnya. Tidak perlu dijelaskan.” “Hanny, kamu baik-baik saja kan?” tanya Mas Angga padaku. Aku mengangguk dan mengeratkan pelukanku pada Mas Angga. Robert yang melihatnya tersenyum dan mengangguk. Kemudian melangkahkan kakinya pelan meninggalkan kami, sesaat berada dalam posisi sejajar Robert memberikan kami pesan. “Terima kasih Alisha, karena kehadiranmu di sini, akhirnya aku tahu hubungan Angeline dan Jose. Kini aku sudah mengakhiri hubungan kami. Tapi satu hal, aku bahagia melihat kamu bahagia bersama Angga.” Robert meninggalkanku dengan langkah gontai. Aku mengikuti punggungnya menghilang melalui sudut mataku. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya, namun aku hanya berharap Robert mendapat pengganti yang lebih baik. “Mas....” “Sudah Hanny, kita kembali ke ho
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k