Dokter sudah memeriksa kaki Arjuna dan kondisinya sudah lebih baik. Tak perlu melakukan tindakan karena proses penyembuhan anak seusia Arjuna sangat cepat. Hanya saja dokter berpesan agar tak memaksakan untuk menopang beban dengan kakinya yang sakit.“Apakah aman jika kami melakukan penerbangan kembali ke Jakarta?”“Dengan prosedur yang sama kami rasa aman. Saya sudah menghubungi dokter di Jakarta terkait hasil rongten terakhir, nanti akan ditindak lanjuti di Jakarta. Tak perlu khawatir.”“Terima kasih dokter,” ucapku sambil menoleh pada Arjuna.“Yeay... bisa ketemu oma... yeay...yeay.”Arjuna sangat senang karena dokter mengizinkannya pulang. Dia akan membantu oma menyiapkan pesta untuk bunda dan Papa Angga. Akan dipastikan pestanya meriah.Setelah dokter meninggalkan ruangan aku menghubungi Hendra untuk mengurus tiket kepulanganku. Namun sebelumnya aku minta melakukan pengecekan kontrak yang sudah aku tandatangani, apakah sudah ada feedback pada email perusahaan?Hendra memahaminya.
“Iya mas, aku diantar sopir saja. Kalau ada apa-apa kabari ya mas.”Aku tutup telepon dan meminta bibi untuk meminta sopir bersiap mengantarku ke kantor. Oma yang mendengar suaraku saat menjawab telepon Mas Angga bertanya siapa yang kecelakaan?“Itu oma, di jalan ada tabrak lari Mas Angga kebetulan lewat jadi mengabtar korban ke rumah sakit. Mas Angga sudah meminta Hendra untuk menggantikannya.”“Syukurlah, oma agak khawatir tadi.”Aku pamit pada oma dan Arjuna saat bibi memberitahu jika sopir sudah siap. Arjuna melambaikan tangannya dan kembali bermain bersama oma. Hari ini pasti banyak laporan yang harus aku periksa karena kepergian kami ke Singapura lebih dari waktu yang sudah kami siapkan.Sesampainya di kantor, aku meminta Dania ke ruanganku memberikan laporan selama aku tak ada di tempat, terutama mengenai agenda rapat yang sudah diatur ulang.“Semua sudah memberikan konfirmasinya dan mulai nanti siang sudah ada rapat yang akan dilakukan.”Aku mengangguk sambil melihat laporan sa
Aku perhatikan wajah Pak Adrian seakan belum puas dengan penjabaran dari tim kami, namun aku sepertinya akan mempertimbangkan kontrak kerja sama ini. Sayang memang jika aku mengakhiri kerja sama dengan salah satu rumah sakit terbesar ini, tapi kami telah membuang banyak waktu. Akan lebih efektif jika kami memikirkan kontrak baru. “Oke kita gunakan desain terakhir untuk bagian dengan tema baru rumah sakit.”Pak Adrian meminta asistennya mengambilkan kontrak yang sudah direvisinya. Tidak banyak perubahan hanya detail desain dan tanggal mulai aktif kontrak. Sebagian yang lain sudah dalam pengerjaan.Kami masing-masing menandatanganinya dan aku mendapatkan salinan asli yang bertanda tangan. Kontrak kerja keseluruhan proyek ini sudah ditandatangani sebelumnya.“Terima kasih Pak Adrian, semoga semua berjalan lancar,” ucapku sambil menjabat tangannya.Pak Adrian mengangguk dan meminta kami menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Aku mengucapkan terima kasih dan meminta Dania mempersilakan t
Dania memeluknya erat dan isak tangisnya mulai terdengar. Ditepuknya punggung Alisha untuk memberi kekuatan dan menenangkannya.“Sha, tidak apa... sudah ada Pak Angga di sini. Maafkan aku tidak bisa menjagamu dengan baik,” ucap Dania menyesali kejadian ini.Petugas hotel datang membawa kartu akses kamar. Aku meminta Dania mengurusnya di resepsionis. Setelah itu hubungi Hendra untuk datang ke sini. Dania mengangguk memahami perintah Pak Angga.“Antarkan kami ke kamar!”Aku membopong Alisha yang sudah tak sadar. Dania mengambil tas Alisha dan membawanya. Aku ikuti petugas hotel menuju lift yang mengantarkanku ke kamar. Setelah pintu dibuka aku membawa Alisha masuk dan membaringkannya di kasur.Kuucapkan terima kasih pada petugas hotel dan mengatakan akan mengganti kerusakan pintu yang kudobrak. Petugas hotel hanya mengangguk karena belum sepenuhnya memahami siapa yang harus bertanggung jawab.Aku hubungi Dania untuk membelikan pakaian ganti untuk Alisha. Dania mengerti dan mencoba menca
“Mas, Adrian malah membuat laporan ke kepolisian? Seharusnya aku yang menuntutnya melakukan tindakan kekerasan,” ucapku kesal membaca pesan dari Hendra.“Kita hadapi saja ya. Mas dan Hendra sudah mengumpulkan bukti agar tidak bisa dituntut. Namun kita harus mengikuti prosesnya. Karena Adrian yang menuntut maka kita harus menunggu dan membuktikan jika kita tidak bersalah.”Mas Angga menjelaskan dengan tenang. Tak ada ketakutan pada wajahnya. Aku jadi sedikit tenang mendengarnya. Awalnya aku sangat takut jika Mas Angga akan dipenjarakan.“Sha, Arjuna semalam telepon, kangen sama bundanya. Semalam mas bilang kamu sudah istirahat karena banyak pekerjaan.”“Terima kasih ya mas. Alisha video call Arjuna sekarang, ya? Luka mas ditutupi dulu biar Arjuna tidak bertanya.”Mas Angga mengangguk. Arjuna pasti akan menanyakan detail kejadiannya jika dia mengetahuinya. Diubah posisi duduknya agar tak terlihat bagian yang masih sedikit memar.“Bunda..., Arjuna kangen bunda. Kenapa bunda tidak diajak?”
“Mas, bukankan tadi anak Pak Adrian?” tanyaku pada Mas Angga.“Sepertinya begitu, nanti aku akan cari tahu mengenai penyakitnya serta kondisi Ryan,” jawab Mas Angga juga penasaran.“Papa kalau tidak salah Ryan pernah bilang dia punya penyakit jantung bawaan. Apakah berbahaya, Pa?” tanya Arjuna pada Mas Angga.Aku menanyakan Arjuna tahu dari siapa. Arjuna mengatakan jika Ryan yang menceritakannya padanya saat mereka bermain bersama dulu.“Mas, apa kita lihat dulu Ryan sebentar? Setelah mengetahui kondisinya kita baru pulang. Aku tidak tega jika melihat anak kecil dengan penyakit yang berat,” ucapku sedih.Mas Angga mengizinkanku untuk melihat kondisi Ryan terlebih dahulu. Kami menuju ruang IGD, mencari tahu kondisi Ryan saat ini. Ryan memang pasien tetap di rumah sakit ini. Namun kondisinya kali ini sedang drop. Tidak seperti biasanya, jelas perawat yang menjaganya.Tak lama Adrian datang setelah menyelesaikan administrasi untuk Ryan. Saat dilihatnya Aku dan Mas Angga, Adrian hanya mena
Malam ini aku bisa tidur nyenyak. Acara lamaran berjalan lancar. Awalnya aku sedikit khawatir dengan beberapa kejadian sebelumnya yang membuat aku merasa bersalah pada Mas Angga. Kejadian di hotel kemarin masih memberikan bekas luka.Rasa marah membuat aku ingin memutuskan kontrak dengan Adrian, namun Mas Angga melarangnya. Hal ini akan membuat Adrian melakukan tindakan yang tidak kita duga. Mas Angga berjanji akan melakukan pengawasan pada Adrian. Sepertinya John dan rekannya akan mendapatkan tugas kembali menjaga Alisha.Saat aku ingin membaringkan tubuhku beristirahat. Sebuah pesan masuk dari Mas Angga. Aku membacanya dan mencoba memahaminya.-Sha. John mas minta mengawasi Adrian dibantu Petra. Kamu sendiri akan di kawal Hans. Mas tak mau ada hal yang tidak kita inginkan dilakukan Adrian.--Selamat istirahat hanny, mimpi indah ya.-Aku tersenyum membaca pesan berikutnya. Aku membalas pesan dengan singkat padat dan jelas.-Iya mas, terima kasih.--Mimpi indah juga ya mas.-***Hendra
Bunda berusaha keras mengusir masa lalunya yang tiba-tiba hadir. Saat dirinya hamil dan meminta bantuan pada keluarganya, Ibu tirinya mengusirnya. Harapan satu-satunya mendapat bantuan dari keluarganya sirna saat disapatinya ayahnya tak ada di rumah.Keluarga besarnya memiliki perusahaan yang cukup berkembang saat itu dan dipegang oleh ayahnya sebagai pimpinan. Ayah menikah kembali setelah ibu kandungnya meninggal karena sakit. Ibu Hanum, orang yang mengusirnya untuk tidak menemui ayahnya hingga akhirnya diterima kabar jika ayahnya meninggal karena penyakit jantungnya kambuh.“Bunda, Angga ada fotonya. Apakah bunda mau melihatnya untuk memastikan apakah bunda mengenalnya?” tanya Angga pelan melihat bunda yang diam tak bergerak.Bunda menarik napas panjang dan menatap ke arah Angga sambil mengangguk. Bagaimanapun jika memang itu adalah ibu tirinya makan kewajibannya untuk mengurusnya.Angga memberikan ponselnya dengan foto Bu Hanum yang sedang berbaring di ruang rawat. Dalam hati bunda
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k